"VINAA. TURUN KAMU!!"
"Haduhhhh. Apa lagi sih!" Vina menggaruk kepalanya kesal mendengar teriakan Ayahnya.
Dia terpaksa mempause anime yang sedang ditontonnya dan turun ke bawah menemui Ayahnya yang terus saja meneriakkan namanya.
"Ada apa sih, kenapa Ayah teriak-teriak mulu?" Vina heran melihat wajah Ayahnya yang terlihat sedang marah.
Apa aku membuat kesalahan? Masa sih, kayaknya nggak mungkin deh. Aku kan dari tadi cuma nonton anime.
"Kamu tahu nggak kenapa Ayah manggil kamu."
"Ya kalo Ayah nggak ngasih tahu gimana Vina bisa tahu. Ya nggak Bun?" Vina berucap asal sambil cengengesan menatap Bundanya.
"VINAA!!" teriakan Pak Hendra membuat Vina berhenti cengengesan.
"Ayah pikir karena kamu tidak mau melanjutkan kuliah, dengan memasukkanmu ke dalam kantor Ayah adalah pilihan yang tepat. Tapi ternyata Ayah salah. Kamu masih saja kekanak-kanakan dan tidak bertanggung jawab dalam pekerjaan. Tadi siang ada orang kantor yang melapor ke Ayah kalau kamu sering nonton anime di jam kerja, padahal kamu belum menyelesaikan pekerjaanmu."
Vina tercengang mendengar ada yang berani melapor ke Ayahnya.
"Kamu mungkin berpikir tidak apa-apa karena kamu adalah anak pemilik perusahaan. Tapi Vina, kamu itu harusnya malu. Harusnya kamu sudah cukup malu. Kamu masuk ke perusahaan dengan koneksi Ayah bukan karena usahamu sendiri. Padahal banyak orang yang berpendidikan tinggi melamar kerja ke perusahaan tapi tidak diterima. Apalagi orang seperti kamu, yang cuma lulusan SMA. Mulai besok, kamu nggak usah datang ke kantor lagi!"
Bukannya sedih, wajah Vina terlihat senang.
Bagus deh! Besok aku nggak perlu bangun pagi. Aku akan begadang nonton anime hari ini. Hehehe.
Setelah panjang kali lebar Ayahnya ngomel, Vina kembali masuk ke kamarnya.
"Na na na na," Vina bersenandung kecil dan menari.
"Vanitas-kun..." Vina mengelus poster anime di dinding kamarnya.
"Apa kau dengar yang dikatakan Ayah tadi? Oh iya, ya pasti nggak dengar lah, kan tadi kamu ada di kamar terus. OK, aku akan kasih tau kamu. Kata Ayah..aku..nggak perlu ke kantor lagi, yeyyyy."
"Dan hari ini, aku akan begadang nonton a-ni-meee...," Vina jingkrak-jingkrak menghampiri laptopnya dan melanjutkan nonton anime.
Keesokan harinya, Vina tetap bangun pagi karena ternyata ada event cosplay anime. Yang tentunya tidak akan dilewatkan oleh para otaku.
Vina pergi subuh-subuh agar Ayahnya tidak tahu akan kepergiannya.
Dan dia baru pulang sekitar jam satu siang setelah puas menikmati event.
"Dari mana saja kau! Kenapa kau tidak datang ke kantor?" Pak Hendra menghadang Vina di depan pintu.
"Haa?! Ayah ngomong apa sih. Kan tadi malam Ayah sendiri yang bilang aku tidak perlu lagi datang ke kantor. Kenapa sekarang Ayah malah marah?"
"APA! Jadi kamu nyerah gitu aja?! Harusnya kamu itu berusaha. Kamu harusnya itu minta maaf, dan bilang tidak akan mengulanginya lagi. Dan akan lebih bertanggung jawab atas pekerjaanmu. Bukannya malah keluyuran nggak jelas!!"
Haduhhhh, ini salah, itu salah, aku harus apa sih!
"Haaahh...masuk kamar dan siap-siap."
Eh? Udah selesai marahnya. Tumben cepet banget, biasanya lama.
"Siap-siap kemana Yah?"
"Nanti sore kita ada pertemuan keluarga dengan teman kerja Ayah."
"Ha? Kan itu teman kerja Ayah, ngapain aku harus ikut? Biasanya juga nggak ikut."
"Hergggh!" Pak Hendra benar-benar dibuat jengkel oleh anaknya.
"Kalau dibilang ikut ya ikut! Lagi pula, pertemuan itu diadakan karena Ayah ingin menjodohkanmu dengan anak teman kerja Ayah."
"Oh...Eh? Apa! Ayah bilang Ayah mau menjodohkanku??!"
"Iya, ini semua karena sikapmu sendiri. Kuliah nggak mau, kerja pun cuma main-main. Jadi Ayah pikir, menjodohkanmu dengan Dimas adalah pilihan yang tepat. Dia sangat dewasa dan bertanggung jawab. Siapa tahu dengan menikah dengannya kamu bisa belajar lebih dewasa."
"Ayah, aku mohon Ayah, jangan jodohin Vina. Vina nggak mau menikah. Vina janji, Vina akan serius kerja kali ini. Aku mohon Ayah.."
"Nggak, sebenarnya kemampuanmu saja sudah tidak lulus kualifikasi masuk kantor."
"Kalau gitu Vina kuliah aja. Iya, Vina akan kul-"
"Kalau kerja saja kamu buat main-main, apalagi dengan kuliah?"
"Tapi Yah, Vina masih 20 tahun.."
"Pokoknya keputusan Ayah udah bulat. Nanti sore kamu harus jaga sikap. Kalau Dimas setuju dan merasa cocok denganmu, Ayah akan lanjutkan perjodohannya."
"Apa maksudnya dengan 'merasa cocok denganku'? Apakah itu artinya pendapatnya tentangku sangat penting?" Vina tercengang melihat Ayahnya mengangguk. "Lalu bagaimana dengan pendapatku? Aku tidak setuju dengan perjodohan ini."
"Pendapatmu itu tidaklah penting. Yang terpenting itu adalah pendapatnya, itu saja."
"Tapi Yah.."
"Sudah, ngggak usah pakek tapi-tapi."
"Bundaaa..."
"Nggak ada bunda-bunda. Bunda juga udah setuju dengan keputusan Ayah."
Apa! Bunda juga setuju? Gimana nih, aku nggak mau nikah.
_______
Meskipun sebenarnya enggan, Vina tetap bersiap-siap. Dia memakai dress panjang dengan lengan panjang berwarna hitam pekat. Tak luput juga dengan kacamata hitam.
"Apa-apaan dengan bajumu itu! Kenapa kau memakai hitam-hitam."
"Haduhhhh, kenapa sih dengan bajuku."
"Kita ini mau datang untuk perjodohan, bukan untuk pemakaman. Cepat ganti bajumu!"
"Haduhhh, iya-iya." Vina kembali naik ke kamarnya.
Sambil ganti baju, mulutnya tak henti-henti mengomel.
"Awas aja kalau orang yang dijodohkan denganku ternyata om om tua, akan kuracuni dia dan kurebut hartanya. Hahaha-ha...," tawa Vina menghilang ketika melihat Bundanya berdiri di pintu kamarnya.
"Canda racun, tentu saja aku tidak serius mengatakannya, hehehe."
"Dasar kamu ini, mana mungkin kami akan menjodohkanmu sama om om tua." Bu Vera mengelus kepala anak perempuannya.
"Ayo cepet turun, nanti Ayahmu ngomel lagi."
_______
"Ini sudah bukan jaman Siti Nurbaya lagi Ma, Dimas ngggak mau dijodoh-jodohin."
"Kamu kan belum tahu orangnya, masak udah nolak aja." Bu Vely berusaha membujuk putranya.
"Justru karena itu Ma, bagaimana mungkin aku menikah sama orang yang nggak kukenal."
"Omong kosong, kamu akan sangat suka dengan gadis ini jika kamu melihat fotonya." Bu Vely memperlihatkan foto seorang gadis dari hpnya.
"Lihat, foto ini sangat mirip dengan foto yang Mama temukan di kamar kamu."
Vina! Ini benar Vina kan?
Wajah Dimas memerah ketika mendengar ternyata Mamanya mengetahui dia menyimpan foto seorang gadis.
"Kok Mama bisa tahu tentang foto di kamarku?"
"Sekarang itu tidak penting. Mama nggak tahu kenapa kamu nggak pernah mengenalkan gadis yang ada di foto yang kamu simpan itu sama Mama. Tapi Mama yakin kamu sangat menyukai gadis itu, makanya kamu menyimpan fotonya."
Dimas merebut hp Mamanya dan menatap foto di layar hp dengan seksama.
Apakah benar ini Vina? Iya! Wajahnya benar-benar mirip.
"Gimana? Kamu nggak penasaran apakah foto yang ada di hp Mama dengan foto yang kamu simpan adalah orang yang sama? Emmm, siapa ya namanya tadi? Vi-vi.." Bu Vely pura-pura berusaha mengingat sebuah nama memancing reaksi putranya.
"Vina!" Dimas meneriakkan sebuah nama yang membuat senyum merekah di bibir Mamanya.
"Ah, ya benar Vina. Jadi gimana, kamu mau kan datang pertemuan nanti?"
Dimas mengangguk mantap.
Tentu saja Dimas mau. Bagaimana dia bisa menolak saat mau dijodohkan dengan orang yang ternyata dia sukai sejak kelas satu SMA dulu.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG
Vina duduk di sebuah restoran dengan bosan. Cacing cacing di perutnya dari tadi sudah meraung-raung tak sabar.
"Ayah, aku sudah lapar. Tak bisakah aku makan duluan?"
"Tak sopan jika makan duluan. Tunggu sebentar lagi, mereka pasti akan segera datang."
"Dari tadi Ayah mengatakan hal yang sama. Aku bisa mati kelaparan sebelum menikah."
"Ah, itu mereka."
Vina melihat sepasang suami istri paruh baya dan seorang cowok berjalan ke meja mereka.
"Hahhh... Akhirnya mereka datang juga.." Vina mencomot kue yang ada didepannya tapi tangannya malah dipukul oleh Ayahnya.
"Apa? Kenapa? Aku mau makan kue ini. Mereka sudah datang, jadi aku boleh makan dong."
"Sayang, kamu harus menyambut mereka dulu." Bu Vera memberikan pengertian kepada putrinya.
"Ya ampuuun, sampai kapan aku harus menahan lapar iniii?" Vina bergumam kecil.
"Halo, ini ya yang namanya Vina. Cantiknya.."
"Terimakasih Tante.." Vina mencium tangan Bu Vely lalu berganti menyalami Pak Heru.
"Ini Dimas ya, sudah tinggi sekali ya sekarang." Bu Vera menyapa Dimas yang dari tadi tampak selalu memandangi Vina.
Obrolan pun terus berlanjut sampai beberapa menit lamanya. Vina yang dari tadi menahan lapar sangat kesal dibuatnya.
Saking kesalnya, dia sampai tak menyadari kalau Dimas terus memandanginya dengan bibir yang tersenyum.
Sebenarnya kapan kita akan makan sih? Apakah makanan di meja ini cuma pajangan? Aku sudah menahan lapar dari tadi, tapi mereka terus saja mengobrol dan mengobrol. Huuh!
"Oh iya, supaya kalian menjadi lebih dekat, kalian jalan-jalan berdua aja dulu." Pak Heru memberi usulan yang sangat membuat Vina terkejut.
"Oh, benar sekali itu!" Vina menoleh terkejut ke Bundanya yang menerima usulan itu.
Aku yang dari tadi menahan lapar dan belum makan sedikit pun. Dan sekarang mereka menyuruhku pergi?
"Ayah, aku nggak mau pergi. Aku mau makan, aku sudah sangat lapar..." Vina berbisik ke telinga Ayahnya.
"Kau pergi lah dulu, makannya nanti saja." Pak Hendra membalas bisikan putrinya.
"Tapi Ayah, aku sudah menahan lapar dari tadi.."
"Kalian sedang membicarakan apa? Kenapa bisik-bisik begitu?"
Vina dan Pak Hendra berhenti berbisik-bisik ketika mendengar pertanyaan Bu Vely.
"Ah, bukan apa-apa. Ini, Vina mengatakan kalau dia merasa malu untuk jalan berdua dengan Dimas."
APAA!!! Kenapa Ayah malah mengatakan kebohongan itu??!!
"Haduh, manisnya...Jaman sekarang, banyak anak-anak yang bermesraan di tempat umum tanpa rasa malu. Tapi berbeda dengan anaknya Pak Hendra dan Bu Vera ini, dia malah merasa malu, padahal cuma jalan-jalan aja." Bu Vely tersenyum menatap Vina.
Semua tertawa melihat wajah Vina yang memerah.
Aku lapar tahu! Bukannya malu!
_____
Dimas masih ingat dulu, ketika awal-awal masuk SMA ia pernah satu kelas dengan Vina.
Dimas yang merasa penasaran dengan Vina pun mencari informasi tentang Vina kepada temannya.
"Eh Ron, gua mau nanya nih. Cewek yang duduk di bangku paling depan pojok itu siapa namanya?"
"Yang pakek headset itu?" Roni menunjuk seorang cewek yang dibalas dengan anggukan oleh Dimas.
"Vina. Emang kenapa? Jangan bilang...lu naksir dia," tebakan Roni sepertinya benar.
"Kok lu tau sih, lu dukun ya?"
"Dia emang cantik sih, tapi gua saranin mending lu nyerah dari awal aja deh."
"Hah? Emang kenapa?"
"Dia itu Wibu."
"Wibu?"
"Iya, denger-denger sih gitu. Pernah waktu kita MOS dulu, dia ditembak sama kakak kelas ganteng jago basket lagi. Tapi Vina nolak dia. Tau nggak alasannya apa? Dia bilang, dia nggak suka 3D, dia lebih suka sama 2D."
"Hah? Apa maksudnya 3D sama 2D?"
"3D itu diibaratkan manusia, sementara 2D itu anime."
"Masa sih?"
"Ya kalo nggak percaya coba aja lu deketin dia."
Dan benar saja, ketika Dimas nembak Vina, dia ditolak dengan alasan yang sama persis seperti yang apa diucapkan oleh Roni.
"Woyyy.." suara Vina mengagetkan Dimas dan menyadarkannya dari lamunan.
"Eh, iya? Maaf, tadi kamu bilang apa ya? Aku nggak denger."
"Dari tadi dipanggil-panggil nggak nyaut. Kita mau kemana nih?"
"Eh, kemana ya?" Dimas baru sadar dan bingung mau ngajak Vina jalan kemana.
Hah? Jangan bilang dia nyetir mobil dari tadi tapi nggak tau tujuannya kemana. Padahal dari tadi aku udah nahan lapar, ngiranya mau di ajak makan. Eh dianya malah bengong nggak tau ngelamunin apaan.
"Kalau kamu maunya kemana?" Dimas bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.
"Aku mau makan, laper." ucap Vina jujur.
"Makan dimana?"
"Terserah."
Kebiasaan deh, kalo kaum hawa ditanyain mesti jawabannya terserah.
Gumam Dimas dala hati.
"Mau ke restoran Mawar nggak?"
"Nggak mau!"
Tuh kan! Tadi katanya terserah, giliran dipilihin nggak mau.
"Kalo rumah makan ikan bakar yang terkenal itu mau nggak?"
"Nggak mau! Itu mah kejauhan. Aku tuh dari tadi udah nahan lapar tahu!" Vina mulai mengomel karena jengkel.
Eh buset. Ternyata bener ya, orang kalo lagi lapar tuh jadi nyeremin.
Dimas tertawa mendengar Vina mengomel.
"Kenapa ketawa? Ada yang lucu?"
"Nggak, cuma kenapa tadi kamu nggak makan dulu aja kalo emang udah lapar?"
"Gimana aku mau makan, kalau nggak ada yang makan?! Tadinya sebelum kalian datang, aku tuh udah mau makan. Tapi Ayah melarangku, katanya nggak sopan jika aku makan duluan." Vina terus nyerocos mengeluarkan unek-uneknya.
"Nah, begitu kalian datang aku pun senang karena kupikir waktunya makan sudah tiba. Eh, nggak taunya kalian malah ngobrol. Udah gitu ngobrolnya lama lagi. Terus, belum juga aku makan, malah disuruh pergi sama kamu. Dan tadi, saat aku ngira kamu akan ngajak aku makan, eh kamunya malah bengong bingung mau kemana."
Dimas malah tertawa mendengar Vina yang terlampau jujur dan membuat Vina tambah jengkel.
"Tau ah, kesel aku. Jangan ngajak aku bicara! Aku laper, aku mau irit tenaga," ucap Vina sambil melipat tangannya di dada.
Hening beberapa saat, sampai kemudian Vina kembali nyerocos.
"Oh iya, gara-gara pertemuan ini juga, aku jadi nggak bisa nonton anime. Kamu tahu nggak berapa episode yang bisa aku tonton selama waktu yang kita lewatkan tadi? Mungkin aku sudah menghabiskan satu judul a-ni-me."
"Katanya tadi mau irit tenaga...,nggak mau ngomong, kok sekarang malah ngajak ngobrol?"
"Ih kamu ngeselin banget sih, aku tuh cuma ngungkapin kekesalanku aja kok. Ah udah lah, kamu juga nggak akan ngerti."
Apa semua orang kalo lagi laper jadi marah-marah nggak jelas gini ya?
Gumam Dimas dalam hati.
"Berhenti di sini!"
"Eh, kenapa? Masa gitu aja kamu udah ngambek Vin?" Dimas menghentikan mobilnya.
Saat Vina hendak keluar dari mobil, Dimas mencekal tangannya.
"Ayolah jangan ngambek gini."
"Ngambek apanya! Aku tuh mau makan mi ayam. Noh, kamu nggak liat apa ada gerobak mi ayam di depan," Vina menunjuk gerobak di pinggir jalan.
"Oh, kirain kamu ngambek. Hehehe."
"Ngambek gundulmu itu! Buruan keluar, udah laper banget nih." Vina keluar lebih dulu dari mobil dan disusul Dimas di belakangnya.
Kirain tadi dia ngambek. Ternyata mau makan mi ayam toh, hehehe.
Dimas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG
"Maaf ya, tadi aku ngomel-ngomel nggak jelas. Maklum bawaan laper. Hehehe."
"Iya nggak papa."
Eh, harusnya tadi aku nggak usah minta maaf. Kan aku berniat batalin perjodohan ini lewat dia. Biarin aja dia illfeel sama aku.
Vina kembali menyantap mi ayam di depannya. Tapi kemudian berhenti saat menyadari Dimas terus menatapnya.
"Kenapa kamu ngeliatin aku terus?"
"Vin, kamu lupa sama aku?"
"Kamu pikir aku pikun. Ya kali aku lupa, kita kan baru aja kenalan."
"Bukan itu maksudku." Dimas menepuk jidatnya pelan.
Apa Vina bener-bener udah lupa sama aku? Baiklah, aku akan tanya sekali lagi.
"Vin, masa sih kamu bener-bener udah lupa sama aku??"
"Et dah nih orang! Dibilang gua kagak pikun. Gua NGGAK-PI-KUN." Vina menekankan kata 'nggak pikun' dengan keras.
"Lu itu budek atau nggak ngerti bahasa Indonesia sih. Buset, makanan belum turun ke perut adaaa aja yang bikin kesel." ucap Vina greget sambil menyuapkan mi ayam ke mulutnya.
Tapi ketika melihat Dimas yang masih mengerutkan dahinya, Vina kembali kesal dan urung menyuapkan sendok ke mulut.
"Kenapa lagi?!" ucap Vina sambil menaruh sendoknya.
"Kok ngomongnya jadi 'lu gua'?"
"Ya abisnya lu nyebelin banget sih."
"Jangan pakek 'lu gua'. Pakek 'aku kamu aja' biar kita tambah deket."
"Uhuk uhuk uhuk," Vina tersedak teh yang diminumnya mendengar perkataan Dimas. Nih orang serius banget sih dijodohin sama aku. Dia nggak punya pacar apa.
"Jujur, aku agak sedih ternyata kamu lupa sama aku. Aku itu Dimas-" Dimas nggak bisa meneruskan ucapannya karena dipotong oleh Vina.
"Iya, lu itu Dimas, anaknya Tante Vely sama Om Heru. Dan kita baru kenalan tadi ini, ketemu tadi ini. Gua nggak lupa Dim, gua nggak lupa! Aish nih orang bikin kesel aja." Ucap Vina kesal karena mendengar Dimas terus-terusan mengatakan kalau dia sudah lupa.
"Bukan itu maksudku Vin. Aku itu Dimas, temen kamu waktu SMA dulu," ucapan Dimas membuat Vina kaget.
"Eh? Gua nggak ingat pernah punya temen kayak lu."
"Tuh kan kamu lupa. Padahal kita pernah satu kelas lho Vin waktu kelas satu."
"Yaelah itu kan udah lama banget ya pasti gua lupa lah."
"Tapi aku nggak pernah lupa sama kamu Vin. Aku... dulu pernah nembak kamu. Masa kamu lupa sih," Dimas memalingkan mukanya malu.
Ha? Dia pernah nembak aku? "Maaf, gua nggak ing...Eh, jangan bilang kalau lu itu ketua kelas nyebelin yang selalu ngingetin ada PR itu ya?"
"Hee??" Jadi Vina waktu itu menganggapku sebagai orang yang nyebelin.
"Ah iya, gua ingat sekarang. Maaf gua nggak ngenalin lu. Karena dulu lu itu agak kurusan, beda ma sekarang."
"Vin, ngomongnya pakek aku kamu aja ya."
Ngotot banget sih nih orang mau pakek aku kamu. "Iya iya. Eh, tapi ngomong-ngomong, kamu nggak punya pacar?"
"Kenapa? Apa sekarang kamu menyukaiku?"
Vina mendelik mendengar pertanyaan Dimas yang begitu percaya diri.
"PD banget kamu. Aku tuh nanya karena kalo kamu punya pacar, kamu pasti keberatan sama perjodohan ini. Aku pun sebenarnya juga keberatan dengan perjodohan ini."
"Kalau kamu keberatan, kenapa kamu nggak bilang sama Ayah kamu dan menolak perjodohan ini?"
"Aku nggak bisa menolak perjodohan ini. Karena keputusanku di sini tidak akan mempengaruhi apapun. Sebelumnya aku sudah bilang ke Ayah kalau aku tidak setuju dengan perjodohan ini, tapi Ayah malah bilang kalau keputusan itu tidaklah penting. Ayah bilang hanya keputusanmulah yang dapat membatalkan ataupun melanjutkan perjodohan ini."
Vina memandang Dimas lekat-lekat.
"Maka dari itu, kalau kamu punya pacar, kita bisa menggunakan alasan itu untuk membatalkan perjodohan ini."
"Tapi, masalahnya aku nggak punya pacar tuh. Jadi, aku sih setuju-setuju aja sama perjodohan ini," jawaban Dimas membuat mata Vina terbelalak.
"APAA!! Kamu bilang, kamu setuju dengan perjodohan ini?"
"He-em."
"Tapi, kenapa?! Bagaimana bisa kamu mau nikah sama aku? Kita kan nggak mengenal satu sama lain. Lagi pula, kita juga nggak saling suka."
"Aku kenal kamu kok. Kita pernah satu sekolah, bahkan pernah satu kelas. Kalau soal suka...dulu aku pernah menyukaimu." Bahkan sampai sekarang masih. "Jadi aku tinggal menyukaimu lagi kan?"
Vina mengusap wajahnya frustasi.
Ya ampun...ada ya orang kayak gini...gimana lagi caranya untuk membatalkan perjodohan ini??
"OK. Kalau gitu, aku mau mengatakan sesuatu yang penting. Kamu mungkin bisa menyukaiku. Tapi, aku tak bisa menyukaimu."
Dimas mendongak terkejut menatap Vina.
"Kenapa! Apa kamu sudah punya pacar?"
"Tidak, aku tidak punya pacar."
"Lalu kenapa?"
"Aku mencintai Vanitas."
"Apa? Kau bilang tidak punya pacar, lalu siapa Vanitas itu?"
"Vanitas itu adalah karakter di anime. Aku itu otaku, aku tidak tertarik dengan 3d aku lebih suka dengan 2d."
Dimas benar-benar tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Whaaattt! Demi apa! Dulu aku ditolak dengan alasan itu. Dan sekarang pun aku masih ditolak dengan alasan yang sama.
_______
Dimas terbaring di kasurnya. Perkataan Vina masih terngiang-ngiang di pikirannya.
'Pikirkan itu, kau tidak mau kan menikah dengan orang yang tidak bisa menyukaimu. Keputusan ada ditanganmu.'
"Woyy! Kenapa sih dari tadi diem mulu." Roni yang menginap di rumah Dimas merasa dikacangin oleh Dimas yang sedari tadi diam saja.
"Lu inget nggak sama Vina?" Dimas buka suara.
"Cewek wibu yang lu taksir waktu SMA dulu?"
"Iya. Gue dijodohin sama dia."
"Bagus dong, kan lu sampe sekarang masih suka sama dia."
"Bukan itu masalahnya." Dimas mendesah lesu.
"Apa lagi masalahnya? Lu dari dulu suka sama dia. Terus, sekarang lu dijodohin sama dia. Lalu, dimanakah letak masalahnya??"
"Dia bilang dia nggak bisa suka sama gue. Lu inget nggak kenapa dia nolak gue dulu? Tadi gue juga ditolak dengan alasan yang sama."
"Seriusan? Gila tuh cewek. Sia-sia kecantikannya kalau sukanya malah sama yang nggak nyata."
"Lu ngehina dia?" Dimas memelototi Roni.
"Wey wey, santai bro, santai...masa gitu aja marah. Tapi ya Dim, menurut gue, lu nggak usah ambil pusing masalah itu."
"Maksud lu?"
"Lu terima aja perjodohannya. Kalo lu nikah sama dia, lu kan jadi punya banyak waktu buat ngubah perasaan dia supaya jadi suka sama lu. Bener kan?"
"Oh iya, kenapa gue nggak kepikiran kayak gitu ya?" wajah Dimas berubah menjadi sumringah.
"Siapa dulu dong, Roni gitu lho.." ucap Roni sambil memasang wajah sok keren.
"OK, gue mau bilang sama ortu gue kalau gue setuju dan mau ngelanjutin perjodohannya."
Di sisi lain, ada Vina yang sudah tak sabar menunggu kabar yang ingin didengarnya.
"Yosshh!!! Rencanaku pasti berhasil. Dimas pasti akan membatalkan perjodohannya setelah mendengar alasanku tadi. Sekarang, aku tinggal menunggu kabarnya saja."
.
.
.
.
.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!