Kesibukan hari ini di kediaman keluarga Adyatma terasa hangat. Bunda setiap pagi sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk anggota keluarga. Menjadi istri dari seorang pemilik perusahaan tidak membuatnya bermalasan karena adanya para maid yang suaminya pekerjakan.
" Bi, tolong bangunkan Jihan. Pagi ini dia ada penilaian harian jadi jangan sampai telat sampai ke sekolah."
" Baik Nyonya, sarapan untuk Den Arfan sama Non Jihan sudah bibi taruh di meja ya Nya."
Bunda hanya menganggukkan kepalanya, sarapan untuk seluruh keluarga akan siap sebentar lagi, bekal untuk sang suami juga sudah selesai di siapkan.
Lelaki yang masih terlihat tampan itu akan keluar kota untuk mengurus masalah di cabang perusahaan selama 3 hari. Terbiasa di siapkan bekal, hari ini suaminya itu juga meminta di buatkan makanan favoritnya.
" Pagi Bunda cantikk."
Bunda menoleh melihat Jihan turun di ikuti kedua lelaki beda usia yang berwajah mirip itu.
" Pagi sayang. Sini duduk yang manis, sebelum berangkat kamu harus sarapan dulu biar saat pengambilan nilai nanti tidak lemas."
" Dia aja Nda, males gerak mana bisa nanti pengambilan nilai olahraga."
" Ishh, Abang. Adek bisa yaa, kan setiap pagi sebelum bangun udah gerak di kasur."
" Mana ada, itu bukan gerak. Kalau Abang ajak olahraga jangan nolak. Minggu besok Abang mau lari pagi sama Fattan, kamu ikut juga ya."
" Abang Zayan gak ikut bang? Kalau dia ikut, Jihan mau ikut juga."
Arfan mendengus, dia sangat tahu kalau sang adik tertarik dengan sahabatnya itu. Untungnya Zayan tidak merespon dan hanya menganggap Jihan seperti adik.
" Zayan lagi keluar negeri, nemenin Daddy urus perusahaan di sana."
" Itu teman kamu udah mulai terjun ke perusahaan Bang, kamu kenapa gak mau?"
" Abang mau fokus kuliah sama urus cafe dulu Yah, sebentar lagi selesai jadi biar gak ke bagi otaknya.hahaha."
" Bohong tuh Yah."
" Adek juga harus semangat belajarnya, nanti kan bantu Abang urus perusahaan juga. Itu satu-satunya warisan untuk kalian dari Ayah."
" Udah ngomong warisan aja Yah, kamu juga masih beberapa tahun lagi pensiun. Biarkan anak-anak nentuin cita-cita dan impiannya."
" Kita gak akan tahu ke depannya Bun, Ayah hanya kasih pondasi karena nanti yang menjalankan mereka sendiri. Ayah ingin kalian tetap terjamin kehidupannya saat Ayah pergi nanti."
Arfan mengernyit mendengar ucapan Ayah, " Ayah kaya mau pergi lama saja, kan cuma 3 hari di sana."
" Iyaa, Ayah titip Bunda dan Jihan sama kamu yaa."
" Ayahh." Bunda semakin tidak tenang dengan ucapan Ayah.
" Apa sayang? bekal Ayah udah di siapkan kan?"
" Sudah Yah, semua sesuai permintaan Ayah."
" Pulang Ayah dari luar kota, kita jadi jalan-jalan kan Yah. Jihan udah siapkan baju renang."
Keluarga mereka berencana akan jalan-jalan ke pantai dan menginap dua hari di sana. Namun karena ada urusan mendadak di perusahaan, Ayah harus menunda acara liburan mereka.
" Iya sayang. Sepulangnya Ayah, besoknya kita langsung berangkat. Janji sama Ayah, selama Ayah pergi, Jihan harus jadi anak baik budi dan nurut apa kata Bunda sama Abang."
" Ay, ay, captain." Jihan memberikan gaya hormat layaknya prajurit membuat Ayah tertawa.
Mereka pun melanjutkan sarapan dengan tenang namun Jihan akan selalu bercerita dengan heboh membuat Ayah senang saat mendengar cerita dari putri bungsunya itu, sedangkan Arfan dan Bunda hanya mendengar dan sesekali menimpali cerita Jihan.
" Bang, nanti pulang sekolah adek bareng sama Andro ya. Yena ulang tahun, jadi mau kasih kejutan dulu."
" Iya, tapi janji jangan sampai malam pulangnya. Abang lagi sibuk ngurus cafe jadi bilang sama Andro langsung pulang siap kalian kasih kejutan buat Yena."
" Siap Abang." Jihan akan patuh dengan ucapan Arfan sesuai pemintaan Ayah.
" Inget pesan Abang ya Nak, oiya Ayah udah transfer uang jajan. Di gunakan dengan baik, jangan boros."
Jihan memberikan jempolnya, dia melihat Ayah yang pamit ke Bunda, memeluk tubuh Bunda dengan posesif. Dia juga selalu memberikan ciuman di pipi dan kening Bunda dengan dalam.
" Ayah sama Bunda romantis banget Bang, adek mau juga nanti sama Bang Zayan."
" Husshh, Zayan udah punya pacar. Kamu juga masih kecil Han, sekolah aja yang benar. Katanya mau jadi dokter."
Ayah mendekati kedua buah hatinya, memberikan pelukan dan kecupan satu per satu. Memandang dengan lekat ketiganya dalam diam beberapa saat sebelum masuk ke dalam mobilnya.
" Bye kesayangan Ayah."
Melihat mobil Ayah yang sudah keluar gerbang, Arfan mengajak Jihan untuk pamit ke Bunda dan masuk ke dalam mobil. Sebelum berangkat ke kampus dia akan mengantar Jihan terlebih dahulu.
" Kami pamit ya Nda, assalamu'alaikum." Keduanya mencium punggung tangan Bunda dengan takzim.
" Wa'alaikumsalam, hati-hati bawa mobilnya Bang."
" Siap Bunda."
Kedua masuk ke dalam mobil meninggalkan Bunda di teras rumah yang masih menatap kepergian ketiga kesayangannya itu.
Melangkah masuk ke dalam dan duduk di salah satu sofa, Bunda memikirkan lagi ucapan sang suami sebelum pergi tadi. Pesan yang di ucapkan membuat dirinya bingung dan juga takut secara bersamaan.
"Kenapa perasaan ku jadi tidak tenang yaa. Yaa Allah ada apa ini?"
***
Kelas Arfan baru saja selesai, berjalan keluar dengan Fattan menuju kantin sebelum memulai jam kelas kedua. Arfan hanya diam melihat tingkah Fattan yang sibuk tebar pesona ke mahasiswi yang berpapasan dengan mereka. Cowok tengil itu selalu mengoda para cewek yang mencuri pandang ke arah Arfan.
" Dari semua cewek yang ada di kampus kenapa jadi fans lo semua dah, satu gak ada yang nyantol sama gue."
" Lo banyak maunya jadi cewek udah kabur duluan."
" Dih, jelas gue kan pemilih. Biarpun suka godain cewek-cewek tetap aja gue punya kriteria sendiri buat jadi pasangan."
" Iya in aja biar cepet."
Fattan mendengus, " Dasar kulkas 10 pintu lo, bukannya di pilih malah di cuekin. Apa satu aja apa, yg gue incer malah suka juga sama lo.sial."
" Gih, ambil aja semua." Arfan menjawab dengan cuek. Dia memang selama ini tidak menanggapi semua atensi yang cewek-cewek berikan ke arahnya.
Lebih nyaman dengan kesendirian dan malas berurusan dengan hubungan yang akan membuatnya pusing.
Arfan baru saja mendudukkan dirinya di salah satu bangku dan ingin memesan makanan, getaran dari dalam tasnya membuat dia memutuskan mengangkat panggilan itu namun saat ingin di angkat teleponnya mati. Arfan menatap bingung layar ponselnya. Banyak panggilan tak terjawab dari Jihan dan nomor yang tidak di kenali, saat panggilan panggilan berdering kembali, Arfan langsung mengangkatnya.
" Halo, dek. Kenap..?"
Arfan mengernyit mendengar suara tangisan Jihan.
" Abang dimana?"
" Abang masih di kampus, kamu kenapa nangis?"
" Ayah kecelakaan Bang, abang nyusul yaa ke sini. Bunda sama adek takut." Suara bergetar Jihan ikut membuat
Arfan membulatkan matanya, berusaha bersikap tenang namun tak bisa di pungkiri dadanya berdetak kencang, " Hussst, tenang dek. Iya, abang berangkat ke sana sekarang. Kamu share loc posisi rumah sakitnya."
" Iya bang, adek tunggu yaa."
Arfan beranjak, dia mengambil tas dan melangkah keluar kantin. Fattan yang melihat dan mendengar percakapan sekilas sahabatnya itu ikut bangun juga mendekati Arfan yang terlihat terburu-buru.
" Lo mau kemana? Buru-buru banget."
" Gue mau nyusul Jihan ke rumah sakit, bokap kecelakaan."
" Apaa..?" Fattan menyamai langkah Arfan, " Di rumah sakit mana? Gue ikut lo yaa."
Arfan hanya menjawab dengan anggukan kepalanya. Fattan akan ikut mobil Arfan, biar saja motornya dia tinggal di kampus nanti dia akan menghubungi orang rumah agar mengambil motornya itu. Dia juga yang akan membawa mobil Arfan karena khawatir akan sahabatnya yang sedang tidak fokus.
" Tenang bro, kita berdoa. Semoga kondisi Ayah baik-baik saja."
" Iyaa, gue cuma masih kaget waktu Jihan kasih kabar."
" Arfan mohon Yah, bertahan buat kami bertiga."
TBC..!!
Mereka masih sabar menunggu, di tengah kecemasan yang sangat tinggi Arfan tetap memanjatkan doa untuk keselamatan Ayah. Dia percaya kalau sang Ayah akan kuat dan bertahan.
Tak lama dokter keluar dari ruang UGD.
“ Dengan keluarga pasien…?” ucap dokter.
“ Saya putranya dok, bagaimana kondisi Ayah saya..?” tanya Arfan.
“ Kecelakaan yang pasien alami cukup berat, terjadi benturan di kepala dan bahu sebelah kanannya patah, beliau juga mengalami pendarahan.. Maaf kami sudah berusaha sebaik mungkin namun pendarahan tidak dapat kami hentikan.”
“ Ma..maksud dokter, kondisi Ayah bagaimana?” ucap Arfan terbata.
“ Maaf Mas, kami sudah berusaha melakukan yang terbaik namun takdir Tuhan berkata lain, kami ikut berduka." jawab dokter.
" Innalillahi wa inna ilaihi raji'un". Lirih Arfan.
“ Nggak..!! Ayah nggak boleh pergi..” teriak Jihan. Arfan langsung memeluk tubuh Jihan.
“ Bang, bang.. Bilang sama Ji, Ayah nggak ninggalin kita kan? Ayah punya janji sama Jihan mau jalan-jalan bang.”
Arfan terdiam, dia mengusap punggung adiknya itu. Dia melangkah menuju Bunda, wanita paruh baya itu tampak tenang meskipun Arfan yakin Bunda jauh lebih kehilangan. Di tinggal belahan jiwa tentu tidak mudah.
Ketiganya masuk ke ruang UGD untuk melihat Ayah untuk terakhir kalinya, pamitnya Ayah tadi pagi ternyata jadi pamit terakhir. Pesan yang Ayah sampaikan juga menjadi pesan terakhir.
Arfan meminta untuk jenazah Ayah di bawa ke Jakarta, dia mengurus semua administrasi namun Arfan mengernyit saat semua administrasi Ayah sudah terselesaikan.
“ Pak Arfan..” panggil seseorang dari arah belakang Arfan.
“ Iya.. maaf bapak siapa..?” tanya Arfan.
“ Saya Oliver, asisten dari tuan Shawn.. Jenazah Ayah anda sudah bisa di bawa ke Jakarta, proses pemakaman juga sudah bisa di lakukan setelah tiba di sana.”
Arfan terdiam mendengar ucapan orang itu, namanya tak asing tapi untuk saat ini bukan itu yang harus dia pusingkan. Setelah prosedur pemulangan jenazah selesai, Arfan dan keluarga pulang kembali ke Jakarta.
Bunda dan Arfan memutuskan untuk menguburkan jenazah Ayah besok pagi. Bunda ingin sebelum di kuburkan, keluarga dan kerabat masih bisa bertemu terakhir kalinya. Arfan menghubungi Fattan dan Zayan sedangkan Jihan menghubungi Andro. Di kediaman Adyatma, Fattan dan Zayan mengurus semua keperluan untuk menyambut kedatangan jenazah.
Suasana di perjalanan menuju Jakarta penuh dengan keheningan. Bunda dan Jihan tertidur di pundak Arfan, sedangkan Arfan masih terjaga. Berat rasanya untuk memejamkan mata.
Setibanya di Jakarta, rumah Arfan sudah di penuhi kerabat dan keluarga. Kedatangan jenazah di sambut dengan suasana sedih. Farzan terkenal baik, jadi tidak heran kepergiannya membuat semua merasakan kehilangan.
^^^
Pagi harinya keluarga dan kerabat sudah siap mengantarkan Ayah Farzan menuju peristirahatan terakhirnya. Bunda dan Jihan satu mobil dengan Fattan, sedangkan Arfan memutuskan untuk menemani Ayah di mobil ambulans.
Saat iringan mobil keluar dari perumahan, Arfan melihat sekelompok orang mengenakan pakaian hitam seperti ajudan membuka jalan agar perjalanan mobil ambulans dan mobil yang mengiringi tidak terhambat oleh kemacetan.
Setibanya di sana, Arfan melihat liang kubur untuk Ayah sudah siap. Selama proses penguburan, Arfan terus merangkul Bunda dan Jihan dengan Andro yang berdiri tidak jauh dari belakang Arfan.
“ Bil, udah yuk kita pulang..” ajak Andro namun Jihan masih terdiam di tempatnya.
“ Ayah udah janji weekend nanti mau jalan-jalan ke pantai sama gue An. tapi lihat sekarang Ayah tega ninggalin kita dan melupakan janjinya.”
“ Kita nggak pernah tau umur seseorang Ji, Ayah bukan nggak mau menepati janji tapi waktu Ayah di dunia emang udah habis.”
“ Lo harus kuat Ji, buktiin lo akan selalu bahagia.”
Jihan terdiam tidak merespon ucapan Andro, saat jenazah Ayah akan di tutup oleh tanah Jihan kembali histeris, Andro dengan sigap memeluk Jihan dari belakang dan saat ini dia menolak untuk pulang.
“ Kasian Bunda Ji, dia sekarang butuh semangat dari kedua anaknya.. Lo gak liat, Bunda sejak keberangkatan tadi udah nggak nangis tapi saat ngeliat lo histeris, Bunda kembali nangis.”
“ Tenang aja.. Gue akan temani lo kalau mau ke sini tiap hari.”
Jihan akhirnya mau di ajak pulang, Andro langsung mengabari Arfan bahwa mereka sudah di jalan menuju rumah.
Kelurga dan kerabat satu persatu pulang meninggalkan Bunda dan Arfan di rumah itu. Bunda lebih banyak terdiam, dia tidak histeris seperti Jihan namun dalam diamnya itu air mata tidak berhenti mengalir.
“ Bunda nggak usah khawatir, Arfan akan jalankan amanat dari Ayah dengan baik.”
“ Bunda masih belum percaya kalau Ayah akan secepat ini meninggalkan kita.”
“ Semua yang hidup pasti akan mati Bun, tinggal menunggu waktunya aja.”
“ Bunda jadi ke inget semua ucapan Ayah sebelum berangkat kemarin, dia seperti pamit untuk meninggalkan kita.”
Arfan mengusap punggung Bunda“ Sekarang Bunda istirahat ya, nanti Arfan bangunin pas makan siang.”
Setelah Bunda terlelap, Arfan keluar dari kamar Bunda menuju ruang tamu. Suasana rumah menjadi lain, tidak akan ada lagi suara Ayah, tidak ada lagi obrolan dan diskusi yang sering mereka lakukan.
Semua harus tetap berjalan dengan baik meskipun Ayah sudah tidak bisa mendampingi, Arfan juga akan pastikan kehidupan mereka bertiga akan tetap sama seperti waktu masih ada Ayah.
TBC..!!
Tiga hari berlalu setelah kepergian Ayah, suasana rumah memang menjadi beda seperti saat ini ketiga tampak fokus dengan makanannya tidak ada lagi obrolan yang mewarnai sarapan mereka.
Semalam Max menghubungi Arfan menginfokan bahwa rekan bisnis Ayah membawa uang perusahaan, dan meninggalkan utang yang besar. Pagi ini rencananya pengacara keluarga Adyatma akan datang untuk membicarakan perihal amanat yang sudah Ayah buatkan untuk ahli waris.
“ Pak Doni jadi datang hari ini Bun..?” tanya Arfan.
“ Dia bilang sama Bunda hari ini mau datang sekitar jam 10 an.”
“ Ji, itu supnya kenapa nggak di makan..?” ucap Bunda melihat Jihan hanya mengaduk-aduk supnya.
“ Jihan jadi nggak suka lagi sama sup, karena kalau makan sup jadi keinget sama Ayah.”
“ Yaudah kamu makan roti bakar keju aja, nanti Bunda masakin kentang balado pakai udang yang banyak.”
Arfan hanya bisa mengusap puncak kepala adiknya itu, dari mereka berdua memang Jihan yang paling dekat dengan Ayah.
“ Kamu yakin udah siap untuk sekolah hari ini..?” tanya Arfan.
“ Iya bang, nanti Andro jemput.” jawab Jihan.
Tak lama Andro datang untuk menjemput Jihan, sebenarnya rumah Andro lebih dekat ke sekolah namun karena harus menjemput Jihan jadinya Andro harus menempuh jarak lebih jauh.
“ Hati-hati ya An.. kabarin abang kalau ada apa-apa.” ucap Arfan.
“ Iya bang, kita berangkat ya bang, Bun.” jawab Andro sambil mencium punggung tangan Bunda dan Arfan.
Setelah kepergian Andro dan Jihan, Bunda masuk ke dalam kamar untuk mengambil sebuah berkas. Dia meminta Arfan untuk menunggu di ruang keluarga.
“ Bunda sudah memutuskan menjual rumah ini untuk menutupi utang perusahaan Ayah.”
“ Harus banget Bun, rumah ini di jual.. Kita bisa minta Max dan staff keuangan untuk datang biar mereka bisa pastikan sisa uang perusahaan.”
“ Ini hanya pilihan terakhir Fan, Ayah punya banyak karyawan.. Kasian kalau mereka tidak mendapatkan gaji.”
Ponsel Arfan berbunyi, tertera nama Pak Doni di layar. Pengacara itu menginfokan sudah di jalan menuju rumahnya. Tiga puluh menit kemudian, Pak Doni datang di ikuti dengan Max dan staff perusahaan.
Max dan staff keuangan memberikan laporan keuangan perusahaan Adyatma, jika di totalkan bisa menutupi setengah utang perusahaan sisanya hanya cukup untuk mengaji sepuluh karyawan di level staff biasa.
Arfan hanya bisa menghembuskan nafasnya, dengan berat hati Arfan menyetujui ide Bunda untuk menjual rumah ini. Perusahaan Ayah juga di tutup sampai waktu yang tidak bisa di tentukan.
Max dan staff kantor memutuskan untuk pulang setelah memberikan bekas pada Pak Doni. Untuk warisan yang di berikan oleh Ayah, Bunda hanya mengambil hak untuk Jihan dan Arfan saja, sedangkan sisanya dia serahkan untuk menutupi utang dan gaji karyawan. Nanti malam Pak Doni akan datang kembali untuk membacakan isi wasiatnya di depan semua ahli waris.
Arfan dan Pak Doni memutuskan besok akan mengurus semua, agar masalah itu cepat bisa di selesaikan.
“ Ayah masih memiliki satu rumah yang bisa kita tempati, tidak terlalu besar namun cukup untuk kita bertiga dengan dua ART.”
“ Arfan nggak masalah Bun, dimana aja Arfan dan Jihan akan ikut.. Setelah Arfan urus semua kita langsung beberes untuk pindah.”
“ Iya Nak, nanti kamu jelaskan pada Jihan ya.. Bunda bingung harus ngomong apa pada adikmu.”
“ Bunda tenang aja, Jihan pasti ngerti.. Doakan Arfan bisa tembus rumah ini kembali.”
“ Aamiin.. Bunda selalu doakan.”
^^^
Pagi harinya Arfan dan Pak Doni mengurus semua masalah di perusahaan, terhitung dua hari dari sekarang semua karyawan tidak bekerja lagi di perusahaan Adyatma.
Bunda dan Jihan sudah mulai berkemas, Jihan sempat bingung saat Arfan menceritakan kepindahan mereka. Arfan hanya memberikan alasan bahwa rumah mereka saat ini terlalu besar untuk mereka bertiga. Bunda hanya mengajak satu ART dan satu satpam untuk ikut pindah dengan mereka.
Satu orang yang senang dengan kepindahan Jihan adalah Andro, dia jadi tidak jauh jika harus mengantar dan menjemput Jihan karena rumah Jihan saat ini tidak jauh dari komplek rumahnya.
“ Pak Doni bilang kita masih punya waktu seminggu untuk mengosongkan rumah ini, tapi Bunda ingin kita pindah secepatnya jika sudah selesai berkemas.” ucap Bunda.
“ Barang-barang yang di bawa juga tidak terlalu banyak karena di sana juga masih lengkap.” ucapnya lagi.
“ Jihan sama abang ikut aja Bun.. mau sekarang atau nanti juga sama aja.” ucapan Jihan membuat Arfan mengangguk.
Bunda masuk ke dalam kamar, dia sudah merapihkan pakaian dan barang-barang yang akan di bawa pindah. Bunda juga membawa beberapa baju dan barang milik Ayah sebelum sisanya Bunda sumbangkan.
“ Maafkan aku Yah, rumah ini harus aku jual..” ucap Bunda sambil memandang fotonya dengan Farzan. Banyak kenangan yang terjadi di rumah ini namun keadaan membuat Bunda harus memilih dan pilihannya adalah melepas semua kenangan itu.
Arfan hanya dapat menatap sedih saat mendengar ucapan Bunda dari depan pintu kamar.
***
Sementara itu di tempat berbeda, seorang paruh baya tengah berdiam di depan laptop yang menyala. Baru saja anak buahnya mengabarkan sesuatu padanya. Setelah mendengar keadaan sahabatnya Farzan yang meninggal, saat ini istri dan anak-anak harus berjuang untuk meneruskan hidup dengan masalah yang mendera perusahaan mendiang Ayah mereka.
" Minta Alex urus semua yang berhubungan dengan perusahaan Farzan, pastikan juga anak dan istrinya aman dan terjamin. Bantu Arfan tanpa dia sadari, anak itu sangat mirip dengan sang Ayah. Ah, satu lagi, jadwalkan berangkatan ku ke Indonesia untuk bertemu langsung dengan anak itu."
" Baik Tuan." Oliver beranjak dari ruangan Issam.
Lelaki paruh baya itu melihat ke arah foto yang ada di atas meja, fotonya dengan sang sahabat saat mereka kuliah. Kedekatan keduanya dari awal menjadi Maba sampai lulus kuliah yang terjalin baik.
" Setelah puluhan tahun tak bertemu kenapa harus kabar duka yang harus aku dengar. Kepergianmu meninggalkan duka bukan cuma untuk keluargamu tapi juga bagiku."
Issam mengusap lengan dengan bekas luka yang masih terlihat, luka dari kejadian di masa lalu yang tak akan di lupakan, termasuk pertolongan Farzan di saat genting yang menyelamatkan nyawanya.
" Aku pastikan keluarga mu akan tetap aman dan terjamin kehidupannya, dan sepertinya putra mu akan aku jodohkan dengan putri ku agar dia menjadi anakku."
" Semoga saja Nasha setuju dengan rencana ku, ini salah satu cara yang harus aku lakukan untuk kebaikan putri ku dan juga Arfan."
Issam mengambil ponselnya untuk menghubungi sang putri. Hari kelulusan akan tiba, Nasha bisa langsung pulang ke Indonesia.
TBC..!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!