NovelToon NovelToon

PERTEMUAN TAK DISANGKA: Keberuntungan Naura

Teman Masa Lalu

Samsuar dan Novi terlihat sedang berbincang serius di ruang keluarga. Saat ini perusahaan keluarga yang diwariskan kepada Samsuar sedang mengalami kesulitan keuangan. Berbagai upaya sudah dilakukan Samsuar dengan melakukan Initial Public Offering (IPO), mengeluarkan obligasi, dan hutang pada Lembaga keuangan

konvensional untuk mendapatkan injeksi pendanaan. Namun, sepertinya nasib baik belum berpihak padanya.

“Bagaimana ma, apakah mama ada ide untuk disampaikan pada papa? Papa sudah tidak memiliki cara apapun untuk menyelamatkan perusahaan kita.” Samsuar tampak memijit pelipisnya.

Berhari-hari dia memikirkan cara bagaimana melepaskan perusahaan dari kewajiban pembayaran hutang jangka pendek perusahaan, dan mempertahankan kegiatan operasional perusahaan.

“Apalagi mama pa, tersingkir dari lingkungan sosialita saja sudah menjadikan mama tidak dapat tidur berhari-hari. Kenapa papa tidak mencoba mendapatkan bantuan pendanaan dari kolega-kolega papa.” sahut Novi istri Samsuar.

“Ya ampun ma…., ma…… Dalam situasi seperti ini, kamu masih berpikir tentang lingkungan sosialita. Apa sih yang kamu dapatkan dari mereka selama ini? Mereka seperti teman-teman papa kan, mereka menyingkir di saat perusahaanku dalam keadaan terpuruk.” Samsuar tersenyum kecut.

Dia masih teringat bagaimana dia mencoba untuk meminta bantuan kolega-koleganya, lebih dari lima kolega menawarkan bantuan dengan persyaratan akan take over perusahaan.

“Jangan remehkan teman-teman Novi pa, mereka selama ini selalu ada menemani mama. Bahkan saat papa sibuk dengan urusan perusahaan, mereka selalu ada untuk mama,” Novi berusaha membela gank sosialitanya.

“Iya papa tahu ma, mereka ada karena mama ada uang. Tapi, coba kalau mama tidak ada uang. Apakah mereka masih mau menemani mama?” ucap Samsuar sarkasme, dan Novi diam tidak menjawab pertanyaan suaminya.

Pasangan suami istri terdiam dalam pikiran masing-masing untuk beberapa saat. Tiba-tiba Novi tersenyum, dia teringat dengan Firmansyah teman mereka saat masih kuliah S1. Karena kala itu Novi memilih Samsuar yang lebih mapan secara ekonomi untuk menjadi suaminya, hubungan pertemanan di antara mereka menjadi renggang. Bahkan sampai saat ini dengan usianya yang sudah 58 tahun, Firmansyah masih memutuskan untuk menjalalani kehidupan lajang.

“Apa aku coba meminta bantuan pada Firmansyah ya?” Novi berpikir sendiri.

“Aku akan tanya mas Sam dulu, dia setuju atau tidak jika aku menghubungi Firmansyah untuk menanyakan kemungkinan bantuan.” Akhirnya Novi memutuskan sesuatu. Perlahan dia menggeser duduknya lebih mendekat pada suaminya. Suami yang telah menikahinya selama 30 tahun.

“Pa.., papa masih ingat tidak dengan Firmansyah teman kita dulu waktu kuliah S1?” tanya Novi hati-hati khawatir membangkitkan rasa cemburu di hati suaminya.

Samsuar menoleh ke arah Novi, berusaha menyelidiki maksud dari pertanyaan istrinya. Melihat tatapan selidik dari suaminya, Novi tersenyum kemudian memegang lengan dan menyandarkan kepala ke pundaknya.

“Pa, jangan menatapku seperti itu. Apa papa mencurigaiku? Kita ini sudah sama-sama tua pa, sudah memiliki tiga anak, yang bahkan dua diantaranya sudah saatnya menikah dan memberikan cucu untuk kita.” Novi berusaha menghapuskan rasa curiga suaminya.

Mendengar perkataan Novi, perlahan tatapan selidik Samsuar memudar kemudian dia Kembali mengalihkan pandangan ke depan.

“Ya, papa ingat dia. Terakhir papa ketemu Firmansyah kira-kira empat tahun lalu, saat papa dan dia sama-sama menghadiri rapat koordinasi Persatuan Pengusaha Retailer Indonesia (PPRI) yang kala itu diselenggarakan di Surabaya. Firmansyah saat ini menjadi pengusaha yang sangat disegani di Semarang.” Kata Samsuar pelan, dan menyampaikan pertemuannya dengan eks pesaing dalam mendapatkan istrinya.

“Kenapa tiba-tiba mama menanyakan Firmansyah,” Samsuar balik bertanya.

Novi tersenyum kemudian menghela nafas sebentar.

“Iya, mama tahu kalau Firmansyah saat ini menjadi pengusaha sukses di Semarang. Teman-teman mama yang pada jablay dan kesepian itu sering membicarakannya, tapi mama pura-pura tidak mengenalnya kalau mereka membicarakan tentang Firmansyah. Bulan lalu, tidak sengaja mama ketemu dia saat lagi jalan sama Naura di shopping Arcade, dan dia sempat memberi kartu namanya.” Novi menceritakan pertemuan tidak sengaja dengan Firmansyah. Naura adalah putrinya yang nomor dua, yang saat ini sedang menempuh kuliah semester enam pada sebuah perguruan tinggi di kota Semarang.

Samsuar kembali memperhatikan istrinya.

“Mama mau menghubungi kembali Firmansyah untuk meminta bantuan, atau ingin mengulang lagi saat-saat dulu.” Tanya Samsuar pelan, yang tiba-tiba terbersit rasa cemburu di hatinya. Apalagi dia juga tahu, dulu Novi memilihnya karena dia lebih mapan daripada Firmansyah saat itu. Dia berpikir, Novi saat ini bisa meninggalkannya karena kemapanan Firmansyah saat ini.

“Papa mulai lagi deh. Ya sudah, daripada kita ribut atau papa mencurigai Novi, mending tidak perlu dianggap ada permbicaraan kita dari tadi,” Novi mulai merajuk karena merasa dicurigai suaminya.

Samsuar tersenyum kemudian merangkul istrinya yang sudah tidak muda lagi. Dia berpikir benar apa yang dikatakan istrinya, mereka sudah tidak muda lagi dan sudah tidak penting rasa cemburu atau tidak. Yang lebih penting adalah bagaimana mereka bisa bertahan hidup.

“Maafkan papa ya ma. Setelah tadi papa berpikir, kita memang tidak memiliki ide cara lain untuk saat ini. Papa setuju jika mama mencoba untuk meminta bantuan Firmansyah.” Ucap Samsuar sambil tersenyum untuk menenangkan Novi.

“Baik pa, segera nanti mama hubungi Firmansyah dan membuat janji ketemu. Sekarang kita ke kamar yuk, mama sudah mengantuk” kata Novi mengajak suaminya untuk istirahat.

Pasangan suami istri itu sedikit memiliki harapan untuk menyelamatkan perusahaan, dan kelangsungan masa depan anak-anak mereka. Berdua mereka meninggallkan ruang keluarga dan berjalan masuk ke dalam kamar.

**********

Firmansyah mempelajari dokumen-dokumen shipping company bukti pengiriman barang dengan menggunakan kapal, yang diperkirakan dalam waktu dua minggu sudah akan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Sesekali jidatnya berlipat dan berkerenyit, saat dia menemukan kesulitan dalam memahami dokumen-dokumen

tersebut. Padahal pihak eksportir dari Kanada sudah menunggu dia melakukan approve, agar pihak mereka segera bisa mencairkan uang melalui Letter of Credit pada arriving bank di Kanada.

“Drtt…., drtt..,” tiba-tiba telepon seluler milik Firmansyah bergetar.

Firmansyah menghentikan aktivitasnya sebentar, kemudian menengok ke screen ponsel, dan terbaca nama Novi sedang melakukan panggilan. Melihat nama itu, hatinya sedikit berdesir tapi rasa untuk membalaskan rasa sakit hatinya lebih dari dua puluh tahun yang lalu jauh lebih besar. Perlahan dia mengambil ponsel di atas meja, kemudian menerima panggailan tersebut.

“Selamat siang Novi sayang, ada angin apa ini tiba-tiba mau berinisiasi melakukan panggilan terlebih dulu,” Firmansyah menyapa Novi dengan tersenyum smirk.

“Siang Fir…., maaf ya kalau aku mengganggu aktivitasmu hari ini,” sahut Novi basa-basi.

“Tentu saja tidak Nov, dari dulu kamu selalu menjadi prioritas utamaku. Tapi ternyata bagimu, bahkan namaku tidak pernah ada,” ucap Firmansyah mencoba membangkitkan masa lalu.

“Maaf Fir, kita saat ini  sudah sama-sama tua. Sepertinya kurang bijak, jika kita masih berkutat dengan pikiran di masa dulu. Bisakah kita bicara dengan mengesampingkan masa lalu?” Novi berusaha menetralisir suasana pembicaraan mereka.

“Yap, pasti Nov. Okay…, abaikan perkataanku yang tadi ya. Aku hanya bercanda, he…he.. By the way… kira-kira ada agenda apa sampai kamu mau repot-repot menghubungiku?” tanya Firmansyah.

“Aku ingin meminta bantuanmu Fir. Tapi alangkah tidak etisnya jika aku menyampaikan via panggilan telepon. Bagaimana kalau kamu meluangkan waktu, sehingga aku bisa menemuimu.” Sahut Novi pelan.

“Pasti Nov…, okay nanti sore temui aku di Banaran Coffee ya. Aku tidak mau ribut dengan Samsuar kalau aku yang datang menemuimu.” Akhirnya Firmansyah bersedia untuk ketemu dengan Novi.

“Baiklah, terima kasih Firman. Nanti jam 15.30 aku pastikan akan menemuimu di Banaran Coffee. Dan aku akan minta pada anakku untuk menemani, agar menghindarkan kita dari fitnah orang lain.” Novi menyetujui rencana pertemuan mereka sore ini.

Akhirnya setelah mendapatkan kepastian pertemuan, Novi mengakhiri panggilan telponnya.

***************

Diskusi Kecil

Naura

Naura putri kedua Samsuar dan Novi adalah seorang gadis usia 20 tahun, yang merupakan aktivis kampus. Saat ini dia sedang menikmati satu gelas es jeruk dan mie rebus di food court kampusnya yang berada di daerah atas kota Semarang. Matanya yang jernih tampak focus pada layar laptop di depannya, sedangkan tangannya sibuk memasukkan suapan mie ke mulutnya yang mungil. Sesekali dia menyesap es jeruk dari gelasnya dengan menggunakan sedotan. Duduk di depannya seorang perempuan yang sedang menikmati pisang bakar dan air mineral, dan satu orang laki-laki yang sedang mengetik diatas keyboard.

“Naura…kira-kira konsep untuk tema Minggu Keakraban mahasiswa nanti apa? Apakah kamu ada ide,” gadis di depannya mengajukan pertanyaan.

Naura menghentikan aktivitasnya kemudian memandang kedua temannya, setelah dia berpikir sejenak.

“Usulku sih, Bersatu dalam Perbedaan untuk Berkembang Bersama. Bagaimana menurutmu kalian” Kata Naura.

“Gotcha…., menarik Na. Tidak salah aku memilihmu sebagai partner utamaku selama ini.” seru teman laki-laki Naura sambil menjentikan ibu jari dan telunjuknya bersamaan.

“Halah itu mah maumu Fikr,” sahut Naura pada teman laki-lakinya yang bernama Fikri.

“Kalau kamu sendiri bagaimana In,” Naura lanjut menanyakan pada Iin.

“Aku okay juga sih. Tapi kita harus memiliki logika berpikir juga. Terus kira-kira dasar pemikirannya apa,” kata Iin.

“Menurutku sih, mahasiswa kita kan merupakan representasi dari Mini Indonesia. Dimana based on data akademik, sebaran mahasiswa di kampus kita saat ini berasal dari 30 propinsi dari total 34 propinsi yang ada di Indonesia. Agar mereka tidak berpikir tentang kedaerahan, maka mengintegrasikan mereka dalam kesatuan dan kohesivitas sangat diperlukan.” Naura menyampaikan logika berpikirnya.

“Masing-masing daerah memiliki keragaman seni, budaya, adat maupun keyakinan. Kita tidak bermaksud untuk menghilangkan berbagai keragaman itu, tetapi mewadahi semua keragaman dalam satu rangkaian aktivitas dan memadukannya agar selaras.” Fikri ikut menyumbangkan buah pemikirannya.

“Okay..okay…, pelan-pelan bicaranya. Aku tuangkan dulu dalam tulisan, karena membuat kalimat itu tidak mudah, biar nanti kita tidak lupa.” Sahut Iin kemudian mengambil laptopnya yang tadi dia pinggirkan karena sedang menikmati pisang bakar. Iin dalam setiap event kegiatan kampus, selalu ditunjuk sebagai sekretaris karena dia telaten dalam membuat wrap up dari setiap topik diskusi dalam organisasi kemahasiswaan.

“Terus relation dengan berkembang bersama kira-kira apa girls,” Fikri memancing lagi mereka diskusi.

Naura meminggirkan mangkok mie rebus yang sudah habis, kemudian kembali menyesap es jeruknya. Baru saja dia akan meletakkan gelas, tiba-tiba ada tangan dari samping yang menyerobot gelasnya kemudian meminum sisa es jeruk dari gelasnya secara langsung sampai habis. Sambil melotot, Naura memukul bahu Akbar teman dalam organisasinya.

“Hihhh…, najis Akbar. Sukanya main serobot aja,” teriak Naura.

“Tenang.., tenang friends….., aku capai kepanasan dan hampir mati kehausan dari tadi, Daripada lihat gelas hanya ditaruh, ga salah donk aku manfaatkan.” Sahut teman Naura yang memiliki nama Akbar sambil cengar cengir, kemudian dia meletakkan pantatnya disamping Naura.

Iin memanggil pelayan food court dengan memberi isyarat menggunakan tangannya. Tidak berapa lama, pelayan datang menghampiri mereka.

“Naura mau nambah minuman apa, terus kamu apa Bar,” tanya Iin.

“Orange Juice sama French Fries,” jawab Naura.

“Nasi rames sama dua es teh,” sahut Akbar tidak tahu malu.

“Oh my God….., kamu itu habis angkut barang di pasar atau belum makan satu minggu sih Bar,” kata Iin terkejut sambil tepuk jidat.

“Hush…., catat aja pesanan saya ya mbak,” kata Akbar sama pelayan kantin. Pelayan kantin mengangguk sambil menutup mulutnya geli dengan perilaku Akbar.

“In…kata orang, Logika tanpa logistic itu akan menjadi ANARKHI. Makanya sebelum aku anarkhi merampas makanan kalian, aku harus mengenyangkan perutku dulu.” Sahut Akbar tanpa rasa bersalah.

“Terserah kamu saja Bar, kata orang Jawa “Sakbahagiamu”,” kata Naura asal.

“Vietnam drip satu,  sama sandwich ya,” kata Fikri  yang masih focus pada laptop tanpa terusik kedatangan Akbar.

“Baik, tunggu sebentar ya. Pesanan akan segera kami persiapkan.” Pelayan pamit sambil membawa kembali buku menu.

“Back to topic yok. Bagaimana dengan pertanyaanku terakhir tadi,” kata Fikri.

“Berkembang Bersama menurutku kita tumbuh bersama-sama, saling membantu, kolaborasi dengan mendapatkan manfaat secara bersama juga,” sahut Iin.

“Yap…, dengan perbedaan dan keragaman masing-masing, akan menjadikan setiap wilayah dalam propinsi di negara kita akan memiliki competitive advantage yang tidak dimiliki oleh wilayah yang lain. Sehingga memungkinkan adanya exchange antar wilayah untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga roti tidak hanya dinikmati oleh satu daerah, melainkan masing-masing daerah memiliki roti yang unik dan khas.” Sambung Naura mengutarakan logika berpikirnya.

“Roti??? Roti apaan Naura,” tanya Akbar yang belum ON  karena kelaparan.

Iin memukul lengan Akbar karena gemas dengan sikapnya yang Loading lambat (LOLA).

“Aduh, kenapa mukul sih,” teriak Akbar.

“Makanya kalau belum nyambung, kamu diam saja Dodol… Bikin konsentrasi buyar saja.” Seru Iin kesal.

Fikri tersenyum sambal menggeleng-gelengkan kepala melihat pertengkaran Iin dan Akbar. Sedangkan Naura tersenyum cuek, karena sudah terbiasa bekerja bareng diiringi dengan pertengkaran mereka.

“Iin…, tidak lupa kan kamu merangkum diskusi kita, jangan-janga n karena kamu terpukau dengan perform Den Bagus Akbar kamu jadi melupakan tanggung jawabmu?” tanya Naura sambal tersenyum melihat Iin.

“Aman.., apalagi kalau si Dodol ini disingkirkan sementara Na, aku akan lebih lancar dalam berpikir,” sahut Iin sambil melirik Akbar. Yang dilirik pura-pura tidak melihat.

Naura tersenyum kemudian menoleh pada Akbar yang duduk di sampingnya.

“Akbar…, setahuku kamu tim Funding ya. Bagaimana progress pencairan sponsorship untuk kegiatan kita besok?” tiba-tiba Naura bertanya pada Akbar.

“Betul Naura cantik. Tadi barusan aku masukkan proposal ke beberapa perusahaan-perusahaan di kota ini. Yang sudah respon untuk menjadi sponsor baru ada lima perusahaan yaitu Bank Jateng, toko oleh-oleh di Jalan Pandanaran, perusahaan distribusi soft drink, Cimory, dan Nissin. Yang lainnya baru tahapan mempelajari isi proposal, dan belum ada disposisi dari pimpinan mereka,” dengan lancar Akbar menyampaikan progress report yang dihasilkan oleh timnya.

“Okay, okay…, yang penting jangan lupa, dan jangan bosan-bosan untuk follow up pada mereka Bar. Jika perlu setiap hari ditanyakan pada contact person perusahaannya.” Naura menanggapi laporan Akbar.

“Yoii…, alhamdulillah makananku datang,” kata Akbar yang langsung berbinar melihat pelayan menuju ke arah mejanya dengan membawakan pesanan mereka.

Keempat aktivis organisasi kemahasiswaan (Ormawa) itu hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Akbar. Tetapi begitulah indahnya perbedaan, jika kita bisa mengenali dan memahami kekurangan dan kelebihan masing-masing, maka kita akan mudah mengarahkan pada merubah satu kekurangan dengan memanfaatkan kelebihan yang mereka miliki. Mereka melanjutkan diskusi mereka sampai jam satu siang, dan mereka berhasil mendapatkan satu kesepahaman bersama untuk kesuksesan acara Ormawa.

*********

 

Persyaratan

Pukul 14.30 dengan ditemani Naura, Novi berangkat dari rumah untuk menemui Firmansyah di Banaran Coffee yang berada di wilayah Semarang Selatan. Dengan kecepatan sedang, Naura mengemudikan mobil dan pada pukul 15.00 akhirnya mereka sudah sampai di halaman parkir café yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara IX (Persero). Setelah memarkirkan mobilnya di tempat yang teduh, Naura mengikuti langkah Novi memasuki café. Novi mengedarkan pandangannya ke sekitar café, dan karena merasa tidak melihat Firmansyah, akhirnya dia memilih tempat duduk di tempat yang agak menyendiri di sisi selatan.

Setelah mereka duduk, terlihat seorang waitress menghampiri mereka dengan membawa buku menu. Novi mengambil buku menu kemudian melihat-lihat sebentar.

“Lemon Squash 1, Singkong Goreng khas Banaran 1 dan tempe mendoan 1 ya,” kata Novi pada waitress.

“Kalau aku sup ikan gurami dan Americano,” sahut Naura.

“Baik, mohon tunggu sebentar. Kami akan segera menyiapkan pesanannya,” kata waitress ramah sambil mengambil kembali buku menu dan membawanya pergi.

Naura mengambil gadget dari dalam tasnya, dan tidak menunggu lama dia sudah asyik tenggelam berselancar di dunia maya.

Novi sendiri terlihat sedang gelisah menantikan kedatangan Firmansyah yang berjanji akan menemuinya pada pukul 15.30. Sedangkan saat ini, Rolex di pergelangan tangannya sudah hampir menunjukkan jam sesuai janji pertemuan mereka. Tiba-tiba Novi melihat sebuah Rubicon memarkirkan mobil dekat dengan mobilnya, dan seulas senyum terbit dari bibirnya. Dia melihat Firmansyah yang masih terlihat gagah meskipun garis-garis keriput sudah banyak muncul di wajahnya, sedang turun dari mobil.

Novi berdiri dan menghampiri Firmansyah untuk menyambutnya di pinggir halaman. Firmansyah langsung tahu dimana posisi Novi, kemudian melangkah menghampirinya.

“Hai Nov…, sudah lama menungguku,” tanya Firmansyah tersenyum menyapa Novi.

“Yah lumayanlah, maklum Fir… perempuan yang nyetir jadi harus berangkat lebih awal biar tidak tergesa-gesa di jalan,” jawab Novi sambil mengajak Firmansyah menuju tempat mereka duduk.

“Lho, kamu nyetir sendiri,” tanya Firmansyah heran sambil menatap Novi.

“Putriku nomer 2 yang nyetir, hanya dia yang peduli. Kakaknya sudah tidak bisa dipegang buntutnya, ayo duduk Fir.” Novi menawarkan duduk pada Firmansyah. Naura belum menyadari jika tamu yang ditunggu mamanya sudah datang, dia masih focus pada gadgetnya.

“Kenalkan ini putriku Naura, kita pernah ketemu dulu waktu di Shopping Arcade.” Kata Novi mengenalkan Naura pada Firmansyah. Dia menyikut Naura yang tampak tidak mempedulikan mereka.

“Ada apa ma,” tanya Naura yang bingung kenapa mamanya tiba-tiba menyikutnya. Kemudian di menatap ke depan, dan langsung menganggukkan kepalanya sambil mengulurkan tangan pada Firmansyah.

“Maaf Om, tidak sadar kalau teman mama sudah datang,” ucap Naura sambal mencium tangan Firmansyah.

“Tidak apa-apa nak. Putrimu cantik dan sopan Nov. Persis sepertimu waktu masih muda” kata Firmansyah memuji Naura di depannya. Novi tersenyum mendengar pujian itu.

Novi kembali memanggil waitress untuk melayani Firmansyah.

“Naura pindah kesana ya ma,” Naura ijin untuk pindah tempat duduk, khawatir mengganggu pembicaraan sesama orang tua.

“Ya,” jawab Novi singkat.

“Mari Om,” Naura pamit pada Firmansyah, kemudian dia duduk di tempat yang agak jauh dari mereka.

 

 

********

Sepeninggalan Naura, Novi tampak gelisah di hadapan Firmansyah. Berkali-kali dia tampak menyesap lemon squash untuk mengurangi kegelisahannya. Sedangkan Firmansyah tampak senyum-senyum sendiri melihat ketidak tenangan Novi, karena setelah sekian lama, baru saat ini mereka kembali duduk berdua dengan posisi berhadapan. Firmansyah berusaha memegang tangan Novi untuk membantu mengurangi ketegangannya, tapi dengan sopan Novi menarik tangannya menjauh dari tangannya.

“Maaf jangan lakukan itu Fir, kita tidak muda lagi,” kata Novi pelan.

Firmansyah menarik kembali tangannya, dan untungnya waitress datang mengantarkan pesanan mereka, sehingga membantu mengurangi rasa canggung di antara mereka.

“Mbak yang sup gurami dan Americano minta tolong diantarkan ke meja sana ya,” kata Novi menunjuk ke arah meja Naura.

Firmansyah memasukkan brown sugar ke dalam cangkir kopi dan mengaduk secara perlahan. Dengan memegangi cawan alas cangkir, dia menyesap kopi dengan menggunakan sendok pengaduk kopi.

“Nov…, apa yang ingin kamu bicarakan padaku.” Tanya Firmansyah. Dia yakin jika Novi memiliki masalah besar, karena setelah menikah dengan Samsuar baru kali ini Novi berinisiatif untuk ketemu dengannya secara langsung.

Novi menatap ke mata Firmansyah, tapi kemudian menundukkan pandangannya lagi.

“Sebelumnya mohon maaf ya Fir, kalau aku sudah mengganggu waktumu kali ini. Sebenarnya aku malu untuk bicara padamu, tapi aku dan suamiku bingung harus mencari bantuan kemana lagi.” Novi lirih mencoba mengutarakan alasannya meminta ketemuan.

“Tidak perlu sungkan padaku Nov, katakanlah apa masalahmu.”

Novi mengambil nafas panjang, kemudian menghembuskannya lagi secara perlahan, Dia mengulanginya sampai tiga kali untuk menenangkan perasaannya.

“Perusahaanku butuh injeksi dana yang tidak sedikit Fir. Berbagai cara untuk mendapatkan pendanaan lewat Lembaga keuangan bank maupun maupun nonbank, sudah kami lakukan. Tapi tidak dapat membantu, malahan menimbulkan beban operasional jangka pendek karena beban bunga dan return yang harus kami bayarkan pada investor.” Novi menghentikan perkataanya, dia mengambil gelas dan menyesap lemon squash untuk mengurangi kegugupannya.

Setelah sedikit lega, Novi kembali melanjutkan perkataannya.

“Untuk kelangsungan perusahaan dan masa depan anak-anak kami, perusahaan itu harus kami selamatkan. Tapi kami sudah tidak memiliki alternatif untuk mendapatkan pendanaan lagi, dan bahkan dalam jangka waktu satu bulan, jika kami tidak dapat melunasi beberapa pinjaman, beberapa asset kami terpaksa harus disita oleh pihak luar.” Tanpa sadar Novi berbicara dengan menitikkan air mata, dan tidak sanggup lagi melanjutkan perkataannya.

Suasana diam melingkupi mereka untuk beberapa saat.

“Terus dengan pertemuan ini, apa yang kamu inginkan dari saya Nov,” tiba-tiba Firmansyah tersenyum smirk, dan memberikan pertanyaan yang seakan menghujam jantung Novi,

“Mereka bukan siapa-siapa lagi, alangkah naif sekali jika dia menginginkan bantuan dari Firmansyah.” Novi berpikir sendiri.

“Nov…, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku dan malah terlihat melamun,” kata Firmansyah yang seketika menyadarkan Novi dari lamunannya.

“Begini Fir, sebetulnya tidak tepat jika aku menggantungkan harapanku padamu. Kita bukan siapa-siapa. Tetapi dari beberapa hari terakhir, hatiku mengatakan jika kamu akan menjadi penolong keluargaku untuk mengakhiri permasalahan ini.” Kata Novi sambal tertunduk malu.

Firmansyah tersenyum kemudian kembali menyesap kopinya. Kemudian dia memegang dagu Novi dan mengangkatnya untuk melihat lebih dekat. Tanpa sadar Novi membiarkannya, dan mata keduanya menjadi bertatapan.

“Aku akan menolongmu Nov, berapa dana yang kamu butuhkan,” jawab Firmansyah. Tiba-tiba dia memiliki ide untuk membalas sakit hatinya pada Novi, yang telah memilih Samsuar hanya karena dia lebih mapan pada saat itu. Dan saat sekarang dia membutuhkan bantuan, tanpa malu dia menyampaikan padanya.

“Benarkah Fir…,” kata Novi tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya.

Firmansyah menganggukkan kepalanya dengan mantap.

“Dana yang dibutuhkan perusahaanku saat ini tidak sedikit Fir. Aku tidak berharap kamu akan membantuku sejumlah nominal itu, tetapi paling tidak ada sedikit dana agar kami masih bisa beroperasi. Nominal uang yang dibutuhkan perusahaanku saat ini sebesar 400 milliar Fir.” Ucap Novi lirih tidak berani menatap mata Firmansyah.

Firmansyah sedikit terkejut dengan ucapan Novi, kemudian dia terlihat berpikir sejenak.

“Nov…, sudah aku bilang dari awal bahwa aku akan membantumu. Sangat jarang aku mendengarmu meminta bantuan padaku.” Kata Firmansyah.

“Tapi ada pepatah lama mengatakan bahwa There is no free lunch, bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini.” Lanjutnya lagi.

“Persyaratan apa yang harus aku penuhi Fir, aku akan berusaha memenuhinya.” Ucap Novi yang sangat antusias karena Firmansyah bisa membantunya.

“Mendekatlah kesini, aku akan memberi tahukannya kepadamu. Tidak baik kalau sampai orang lain mendengarnya.” Kata Firmansyah sambil senyum-senyum sendiri.

Novi mendekat ke arah Firmansyah, dan sontak dia terkejut saat mendengar persyaratan yang diajukan.

“Apakah tidak ada pilihan lain Fir,” tanya Novi pelan.

Firmansyah menggelengkan kepalanya, kemudian dia berdiri dan mengambil kunci mobilnya yang tergeletak di atas meja. Dia mengeluarkan e money dari dompetnya dan meninggalkan di atas meja.

“Sorry Nov, waktuku tidak banyak. Gunakan e money untuk membayar pesanan kita. Aku tunggu sampai besok siang jawabanmu. Bye.” Tanpa menunggu Novi yang masih terhenyak dengan persyaratannya, Firmansyah berjalan menuju parkiran mobil.

 

 

*************

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!