Bagi yang tidak mau bertele-tele dan ingin masuk ke fantasinya bisa langsung loncat ke chapter 22 (awal mula). Namun pasti akan menemukan beberapa poin pertanyaan yang jawabannya ada di chapter 1 - 21. Terima kasih dan selamat membaca. Juga mohon maaf jika tulisannya di awal-awal bab sangatlah acak-acakan.
***
Sepoi-sepoi angin malam terasa dingin menusuk tulang, menggerakkan dedahan pohon disana-sini, gesekan daun-daunnya membunyikan melodi khas alam, juga rintik-rintik hujan terdengar diatas genting menambah syahdunya suasana itu. Ia masih terduduk didepan kamar pondoknya. Kamar 15 komplek c. Terkadang ia masuk ke kamar hanya sekedar ingin tahu jam berapa, lekas tahu ia kembali keluar dan duduk ditempat semula, sejak pukul 22.00 WIB ia duduk termenung, hingga kini sudah menginjak pukul setengah tiga pagi.
Pondok Pesantren Al-MUKHLIS atau lebih akrabnya diucap dengan singkatan PPAM, berdomisili di Jati Agung, sebuah nama desa kecil di kabupaten Pringsewu Lampung, asuhan sekaligus dirian KH Habib Seggaf Baa Alawi, merupakan salah satu cucu baginda Nabi saw keturunan Syaikh Faqihul Muqoddam, baru saja tadi siang dititipi dan diamanahi oleh orang tua bocah lanang yang sedari tadi duduk terdiam sejuta bahasa. Entah apa yang ada di dalam fikirannya, ia terus-terusan diam dan hanya diam, bahkan rasa kantuk pun seolah tak mendatanginya malam ini.
Ia hanya teringat akan dua hal yang menjadi pesan untuknya. Pertama, dari guru barunya abah Seggaf yang mengatakan:
"Yang istiqomah untuk jama’ahnya yaa nak!"
Ucapan yang sangat halus ia rasakan, begitu merasuk dalam palung hatinya. Dan yang kedua dari ayahnya sendiri setelah menghantarnya ke kamar bersama lurah pondok dan kemudian berpamitan undur diri pulang dan meninggalkan sang anak jagonya itu.
Sang ayah juga di lingkungannya dikenal sebagai tokoh masyarakat yang biasa dipanggil dengan sebutan kiai. Datuk-datuknya pun rata-rata seorang ulama.
Hanya saja sosok sang ayah ini tidakk tergiur sedikitpun dengan sesuatu yang bernama dunia. Beliau berjiwa zuhud tinggi! Baginya hidup di dunia hanyalah seperti numpang lewat atau bahkan lebih dari itu. Ada pesangon untuk bekal hidup hari ini dan besok, beliau katakan kita sudah hidup kaya.
Ya! Memang demikianlah tuntunan syari’at Nabi yang sebenarnya! Sang ayah berpesan simple tapi padat,
“Yang nurut dan berbaktilah dengan kiaimu! Jangan sampai tidak! Ingat-ingat pesan Aby ini terus ya!"
Kedua pesan itu hanya ia jawab,
“Iya, insya allah.”
Karena dua pesan itulah ia hampir semalaman terjaga, membuat hati pilu seolah berkabut penuh pertanyaan, mulai dari ucapan guru barunya yang hanya berpesan sholat jama’ah.
“Mengapa hanya disuruh berjama’ah? Tidak disuruh mengajinya juga yang rajin?” gumamnya dalam relung batinnya yang paling dalam.
Ditambah lagi pesan ayahnya yang biasa ia panggil dengan sebutan ‘Aby Syakur’ itu.
“Mengapa kedua orang yang sudah mendapat gelar kiai itu tak satupun menyuruhku untuk mengaji?”
Pertanyaan itu terus berputar-putar berulang kali dalam benaknya. Berfikir mendalam, itu memang kebiasaannya. Hingga acapkali batinnya goyah, terfokus pada satu titik saja namun ternina bobo untuk hal lainnya! Yang demikian terjadi dikala jutaan pertanyaan batin tak kunjung terjawabkan.
Ia duduk dengan mengangkat kedua pahanya hingga tertempel diperutnya, ia letakkan pipi diatas lutut kaki kirinya, sembari memandangi gelapnya malam pertamanya di pondok pesantren itu.
Ia terus diam termenung, namun hatinya melaju kencang tak berarah hingga bergulirnya sang waktu. Detik demi detik, berubah menit demi menit terus berjalan.
“Kriiiiiiing kriiiiing.” Alarm jam milik satu temannya berbunyi menandakan sang waktu telah tepat pukul 03:00 pagi.
“Kreeeek.”
Luitan esel pintu berbunyi. Sedikit demi sedikit pintu kamar terbuka bersama wujud kang Ghoffar si pemilik jam alarm itu.
“Lho, kang Jamal belum istirahat?" tanyanya.
“Belum ini kang, nggak tau kenapa saya tidak bisa tidur! Fikiran melayang! Hehe..” jawab Jamal sambil cengengesan.
“Emmm.. Memangnya kenapa? Apa yang difikiri kang Jamal?” tnya Ghoffar lagi.
“Hehe.. ndak ada apa-apa kang Ghoffar! ! Cuma ndak bisa tidur saja!” jawab Jamal dengan bahasa medoknya.
“Owalah.. Yasudah kalau begitu.. Saya mau kekamar mandi dulu!" ucap Ghoffar.
“Iya kang! Silakan!” Jawab Jamal singkat.
Ghoffar pun pergi meninggalkan Jamal seorang diri.
Sedikit sapaan dari Ghoffar agaknya membuat jiwanya sedikit gusar! Tak lagi bisa menikmati lamunan panjangnya yang sedari tadi ia lakukan.
Tidak mau berlama-lama, ia pun bangkitkan badannya dengan sedikit menghentakkan kakinya tanda nafsunya penuh akan kesal. Dia turun dari lantai atas dan menyusul Ghoffar kekamar mandi untuk bersuci.
Lekas berwudlu, ia kembali kekamarnya. Mengganti sarung dan baju yang ia kenakan lalu setelahnya menggelar sajadah gambar ka’bahnya itu.
4 raka’at shalat tasbih memang sudah menjadi kebiasaannya kala batin hampa dan pelupuk mata tak kunjung bisa dipejamkannya. Ia juga tipekal orang yang suka akan wirid. Seperti membaca shalawat, istighfar, tasbih, tahmid atau membaca ratib-ratib dan hizb-hizb.
Selesai melaksanakan shalat tasbihnya, ia langsung berwirid dengan putaran tasbih yang ia genggam. Sedikit melegakan kehampaan itu rupanya. Ia terus melanjutkan bacaan itu. Disamping menjadi sebuah amaliyyah teruntuknya, ia sangat mengetahui bahwa sebuah wirid atau lantunan dzikir itu bisa menjadi penenang hati yang kisruh dan jiwa yang gundah.
Sangat cocok dengan apa yang telah Allah firmankan didalam al-Qur’an:
“Alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub.”
(ketahuilah, bahwasanya dengan berdzikir hati akan merasa tenang).
Juga hadits-hadits Nabawi atau atsar para shohabat dan maqolah ulama salaf, diantaranya ucapan shahabat Abi Dzarr al-Ghifari:
“Likulli syai’in jalaa’ wajalaa’ul qolbi dzikrulloh.”
(tiap-tiap sesuatu itu ada pembersihnya, dan pembersih hati adalah dzikrulloh).
Jamal terus berdzikir hingga beduk dan adzan tanda waktu shubuh telah tiba.
Pagi yang indah! Kicauan burung-burung liar mulai bersautan disana-sini. Ditambah tumbuhan bambu yang rindang yang menurut pelajaran IPA merupakan jenis rumput raksasa.
Juga pepohonan jati yang dedaunannya basah bekas hujan gerimis semalam. Belum lagi terbitnya sang mentari pagi dengan kemilau cahaya jingganya, menjadikan nuansa awal hari begitu menakjubkan dan indah berseri-seri.
Begitulah kata orang-orang. Lain halnya dengan santri baru putra kiai Syakur ini. Yang pura-pura tersenyum menyapa tiap kali berpapasan dengan santri-santri lainnya, padahal hatinya tertegun dan gundah segundah-gundahnya. Hal itu terjadi sebab terhujani besatan juta pertanyaan didadanya buah dari dua ungkapan.
Ia hanya terus berjalan-jalan tak terarah hendak kemana ia bertujuan. Menutupinya dengan alasan melihat-lihat pesantren barunya itu dengan mulut yang senantiasa selalu terbungkam.
Padahal gumaman batinnya selalu mengatakan ingin melawan, namun begitu susah ia jalankan. Hingga luapan allohumma paksa lah yang akhirnya ia lakukan.
Ia ayunkan kaki, menuju dan menjumpai teman-teman seniornya yang sedang duduk-duduk santai di emperan depan komplek dengan suguhan satu gelas kopi dan rokok lintingan tembakau jawa.
Dia nekat berkenalan dengan mereka. Hitung-hitung juga untuk menambah daftar nama kenalan baru. Karena yang dia kenal di pesantren barulah hanya tiga orang saja. Ridwan dan Ghoffar teman kamarnya yang berdomisili dari daerah yang sama, juga merupakan santri baru sama seperti dirinya. Dan yang terakhir adalah kang Rahmad, si lurah pondok yang menghantarkannya bersama Aby ke kamarnya.
“Assalamu’alaikum kang!" sapa Jamal membuka kata.
“Wa’alaikum salam!" jawab semuanya.
"Siapa namamu kang?" ucap salah satu diantara mereka bertanya tiba-tiba.
“Saya Jamal, lengkapnya Muhammad Jamaluddin!” ungkap Jamal.
“Lha asalnya darimana kang Jamal?” tanya dia lagi.
“Saya dari Ambarawa bagian barat kang!” jawab Jamal.
“Owalah.. Berarti dekat! Jalan kakinsaja bisa sampai dengan cepat! Oiya, namaku Fahmi! Trus ini Irfan dan dia Barok!” kata dia yang ternyata bernama Fahmi.
Jamal pun bersalaman dengan kesemuanya. Dia berusaha ramah dan murah senyum dengan mereka. Begitu pula sebaliknya.
Obrolan demi obrolan perlahan terobralkan. Saling tanya ini itu tentang kehidupan masing-masing sebelum akhirnya semua orang pemuda itu menjadi santri di satu pondokan itu.
Jamal banyak dihujani pertanyaan yang menurut fikirnya agak-agak aneh oleh seniornya. Bahkan diajaknya juga untuk meracik lintingan rokok namun Jamal belum mau.
“Lha kenapa nggak merokok?” tanya Fahmi.
“Nggak tau lah kang! Tapi mungkin belum! Yang jelas untuk sekarang ini saya pribadi belum tertarik!” jawab Jamal mengungkapkan.
“Hehehe.. Jika belum, itu berarti suatu saat bisa tertarik dong?” tanya Fahmi yang disahut tawa teman-teman lainnya setuju.
“Kang Jamal tahu tidak? Didalam racikan sebuah rokok ini ada makna yang yang mendalam!” ungkap Fahmi.
“Makna yang mendalam?” bingung Jamal.
"Iya! Makna yang mendalam!” jawab Fahmi serius.
"Makna apa itu kang Fahmi?” tanya Jamal memastikan.
“Begini kang Jamal.. Rokok itu komposisinya terbuat dari kertas papir, tembakau atau mbako jika dalam bahasa jawa, dan cengkeh!.."
"Maksudnya papir itu sebenarnya adalah fafirru ilalloh! Yang artinya maka berlarilah kalian semua ke Alloh! Jadi kita disuruh untuk cepet-cepat kembali ke Alloh, dalam artian taubat dan ibadah-ibadah lainnya!.."
"Kemudian yang kedua dari komposisi rokok adalah tembakau atau mbako. Dan kata mbako sebenarnya adalah diambil dari bahasa arab yaitu lafadz baqo’ yang artinya kekal atau terus-terusan ada..."
"Nah.. Kang Jamal.. Setelah kita tadi disuruh fafirru ilalloh, kita juga disuruh untuk baqo’ alias terus menerus dalam melaksanakan fafirru ilalloh nya! Buat gampangannya adalah istiqomah!.."
"Dan arti atau maknanya cengkeh dari komposisi yang terakhir adalah rasa manis! Karena cengkeh adalah pemanis bagi rokok!.."
"Dalam peribadatan yang istiqomah sebelumnya, sebisa mungkin kita rasakan rasa manisnya alias tanpa adanya keterpaksaan!.."
"Kemudian kita bakar rokok itu dengan korek lalu kita hisap dan rasakan kenikmatannya. Maka akan keluar untuk kita asap atau dalam bahasa jawanya kebul atau qobul yang artinya diterima! Maksudnya diterima disisi Allah ibadah kita! Hehehe.. Kurang lebihnya begitu kang Jamal!” jelas Fahmi panjang kali lebar ples kali luas juga.
“Emm… Cukup menarik juga ya! Tidak kusangka ada-ada saja arti didalam sepuntung rokok itu! Hehehe..” jujur Jamal.
“Dan satu lagi kang Jamal!” ucap Fahmi.
“Iya?” kata Jamal memiringkan kepala penuh tanya.
“Saat menghisap rokoknya, kita barengilah dengan membaca dzikir atau shalawat didalam hati! Kan lumayan bisa sedikit-sedikit dzikir nafas seperti dzikirnya para wali!" ungkap Fahmi.
“Hahaha! Atau memang jangan-jangan kamu juga termasuk wali ya kang Fahmi? Hahaha..” Jamal tertawa terbahak-bahak diikuti oleh yang lainnya saat bertanya.
“Wali talkeh alias leh nguntal mangane akeh! Haha..” sangkal Fahmi. (Wali talkeh alias jika makan porsinya banyak!)
Mereka tertawa dengan serentak. Tiba-tiba Irfan melontarkan pertanyaan ke Jamal yang agaknya membuat ia terdiam sejenak dari kekehan tawanya. Begitupun dengan si Fahmi dan Barok.
“Kang Jamal kok lebih milih mondok? Tidak sekolah saja? Kan enak kalau sekolah! Bisa melihat banyak cewek disana-sini. Lain halnya dipondok! Iyaa sih, duduk bersama disatu ruangan, tapi terhalang oleh satir atau penutup!”
Mendadak suasana menjadi begitu senyap dan tidak lagi asyik. Namun dengan agak bernafas berat dan menghelanya, Jamal pun memberikan jawabannya,
“Hehehe.. Kang.. Kang.. Aku sudah telat untuk sekolah!" jawab Jamal jujur.
“Kenapa?” tanya Irfan.
“Iya kang Irfan! Orang saya lulus Mts sudah empat tahun silam!” ujar Jamal.
“Lha kok?” Fahmi penasaran.
“Iya! Saya sebelum mondok disini pernah main ke tanah jawa empat tahun! Hehe.. Tapi hanya sekedar main-main! Juga saya tidak suka sekolah! Pusing merasakannya! Aku sampai lulus Mts saja sembari dipaksa-paksa sama Aby! Coba saja tidak, pasti sedari SD aku tidak mau sekolah dan hanya mondok saja!” cerita Jamal.
“Kenapa bisa demikian?” tanya Fahmi yang berambut gondrong.
“Kalau menurutku, sekolah sama mondok itu lebih dominan dan penting mondok! Jika dalam hal untuk bisa mencetak generasi yang baik, berakhlak dan berguna dimasyarakat!" jawab Jamal.
“Kenapa bisa kamu punya pendapat seperti itu?" protes Barok yang sedari tadi hanya diam tapi mendengarkan.
Jamal menanggapinya dengan jawaban santai dan dengan gaya bicara yang klasik.
“Memang sih! Aku tidak menafikan mereka-mereka yang unggul dan berprestasi di pendidikan formalnya dan sekarang ilmu-ilmunya juga sudah dimanfaatkan oleh banyak orang. Okelah mereka baik! Bahkan sangat baik!.."
"Tapi coba kita lihat! Berapa persen mereka-mereka yang sekolah formal dan mari kita bandingkan dengan yang pulang lulusan pesantren!.."
"Yang kata kang Irfan mungkin sumpek suasananya serta tidak bisa bebas melihat cewek-cewek walau hanya sekedar untuk refreshing sejenak. Tapi justru itulah yang menarik menurutku!.."
"Justru jika kita hindarkan dulu fikiran tentang pasangan saat belajar, otak kita akan bisa full fokus ke pelajaran alias tidak terbagi dua! Separuh berfikir pelajaran, separuh lagi memikirkan dia! Hehehe.."
"Coba bandingkan berapa persen! Dan manfa’atan mana dengan anak santri?” tanya Jamal kepada mereka.
“Ya! Memang tidak bisa dipungkiri dan harus diakui masih unggulan santri! Tapi pendidikan formal juga tidak kalah pentingnya!" cocok Fahmi.
“Iya! Memang betul! Tidak ada ilmu yang tidak penting. Maka menurutku hebat-hebatnya orang adalah mereka yang mampu mengimbangkan keduanya! Mampu mengkolaburasikan bidang formal dan non formal! Dalam arti dia ya sekolah ya mondok!” ucap Jamal mengungkapkan keseluruhan.
“Tapi jarang sekali orang bisa demikian itu! Rata-rata kalah salah satunya, kalau nggak sekolahnya ya mondoknya!” kata Fahmi.
“Maka dari itu saya katakan tadi, dia sehebat-hebat manusia! Yasudah dulu kang! Saya mau pamit balik ke kamar dulu!" ucap Jamal berniat pamitan sambil bersiap untuk beranjak dari tempat duduknya.
“Oh iyaa.. Silakan!” jawab mereka serempak.
“Besok kita ngopi lagi kang Jamal!” ajak Irvan yang nampaknya mulai agak tertarik dengan obrolan dan kata-kata bijak Jamal.
“Insya allah.” senyum Jamal sembari bangkit dari tempat duduknya dan kembali ke kamarnya guna bersiap-siap melakukan shalat Dluha.
Selesai do’a dibelakang sholatnya, ia duduk santai dikamarnya dengan ditemani secangkir kopi dan beberapa bungkus kuaci yang ia beli di koperasi pesantren.
Dia mulai membuka buku-bukunya yang dibawanya dari rumah. Hampir kesemua buku Jamal membahas tentang sejarah. Ia begitu tertarik dengan sejarah. Jamal terobsesi dari sosok publik figur dan kiai tingkat Internasional yaitu maulana Al-habib Luthfi bin Yahya Pekalongan.
Dengan bahasa sederhananya, beliau banyak menerangkan tentang sejarah dan membahas hikmah-hikmah yang tersirat didalamnya. Beliau juga berhasil menarik simpati Jamal untuk terus mempelajari sejarah dan Jamal juga berhasil mendapatkan hikmah yang yang lumayan banyak dari kisah-kisah yang dibacanya. Dia jadikan hikmah itu menjadi tendensi berjalan dan suatu landasan dalam kehidupannya.
Dari sekian banyak cerita yang ia baca, Jamal sangat tertarik dengan sosok-sosok Ashabul-kahfi. Bagi Jamal, mereka itu adalah gambaran sosok-sosok santri di era zaman dahulu yang berhasil sukses dan bersahaja.
Dalam ceritanya, mereka berenam adalah kumpulan pemuda-pemuda yang beruzlah dan menjauh dari pemerintahan yang dzolim kesebuah gua yang sangat jauh dari mana-mana guna untuk bisa lebih fokus beribadah dan mengabdi pada Tuhan Yang Maha Perkasa.
Begitu pula dengan santri! Mereka beruzlah dan menjauh dari fitnah yang kini semakin meraja-lela dimana-mana. Berlari dari pergaulan yang semakin bebas dan melanggar syara’! Menuju suatu tempat yang dinamakan dengan pondok pesantren yang semua orang tahu bahwa didalamnya teruntuk belajar mendalami ilmu-ilmu agama. Serta belajar juga merupakan kewajiban setiap muslim dan suatu ibadah dengan pahala yang cukup agung.
“Kang Jamal!”
Tiba-tiba suara Ridwan terdengar memanggil dan menghilangkan kefokusan juga keasyikannya dalam membaca kisah favoritnya.
"Njih kang Ridwan!" sahut Jamal.
“Sedang baca apa kang?" tanya Ridwan.
“Ooh.. Ini kang Ridwan! Sejarah Ashabul-kahfi!” jawab Jamal tersenyum.
“Sepertinya sangat asik jika dilihat kang Jamal membacanya! Ish.. Padahal itu sejarah! Apa sih asiknya baca tentang sejarah?” tanya Ridwan dengan nada agak kurang tertarik dengan pelajaran sejarah.
“Owalah kang Ridwan! Silakan kopinya diseruput dulu! Dan ini kuacinya!" ajak Jamal agar Ridwan bisa duduk santai bersamanya.
“Gini loo kang Ridwan..”
Dengan bahasa klasiknya dan kelihatan meniru logat bicara Habib Luthfi, Jamal menerangkan tentang sejarah dan sedikit menjelaskan hikmah-hikmah yang tersirat didalamnya. Khususnya yang terkandung pada sejarah ashabul-kahfi.
Ridwan memanggut-manggut mendengarkan.
“Ooh.. Jadi begitu.. Keren juga ternyata! Jika kita berhasil mengudari hikmah dari cerita-cerita sejarah orang zaman dulu, kita akan menemukan ilmu yang bisa kita gunakan untuk kehidupan sehari-hari kita!” kata Ridwan menyimpulkan.
“Nah.. Betul banget itu kang Ridwan! Hehehe..” jawab Jamal dengan senyum penuh kepuasan karena bisa sedikit berbagi ilmu untuk teman sekamarnya.
“Selain kisah ashabul-kahfi, apalagi yang kang Jamal tau?” tanya Ridwan lagi penuh ketertarikan.
“Ya banyak kang Ridwan! Didalam kitab-kitab kuning banyak sekali shiroh-shiroh atau sejarah-sejarah yang cukup mengesankan menurutku. Kang Ridwan ingat cerita Nabi Yunus as?” ucap Jamal dengan bertanya.
“Iya! Yang ditelan ikan paus itu kan?” Ridwan memastikan.
“Iya! Tepat sekali! Tapi lebih tepatnya ikan nun namanya. Saat hati beliau marah dan kecewa, beliau pergi meninggalkan kaumnya yang ingkar dan durhaka. Namun Allah agaknya kurang setuju dengan apa yang menjadi keputusan Nabi Yunus!.."
"Maka Allah mengujinya dengan dilemparkannya Nabi Yunus dilaut saat kapal yang ditungganginya oleng tertabrak ombak dengan keluarnya nama beliau tiga kali berturut-turut saat diundi. Namun meskipun begitu, Allah tak menghendaki hamba-Nya yang sholeh binasa secara sia-sia. Maka diutuslah ikan nun untuk menelan nabi Yunus. Kang Ridwan tau bagaimana kondisi beliau saat diperut ikan?” tanya Jamal.
“Yang pasti susah kang!” simpul Ridwan.
“Bukan hanya susah kang Ridwan! Tapi susah diatas susah! Bayangkan saja, beliau berada didalamnya lautan yang sangat gelap lalu ditambah didalam perut ikan. Gelap didalam gelap!" ungkap Jamal dengan raut wajah serius.
“Ih!” terkejut Ridwan, ada jejak ketakutan dimatanya.
“Namun dari situ nabi Yunus sadar, bahwa ini semua sebab keteledoran dan keputus-asaannya terhadap kaumnya. Padahal yang namanya putus asa itu sangat-sangat dilarang oleh Allah. Maka bertasbihlah beliau dengan lafadz…?” ucap Jamal sengaja memotong ucapannya.
“Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzh-dzholimin,” Kata Ridwan melanjutkan ucapan Jamal.
“Naah!” Jamal membenarkan dan mengacungkan jempol.
“Lantas apa hikmah yang kang Jamal maksudkan dari kisah tadi?” tanya Ridwan.
“Ya, disamping kita tau bahwasanya putus asa akan membawakan bencana pada diri sendiri, kita juga bisa menarik hikmah 'meskipun kita dilanda bencana atau suatu permasalahan yang menurut kita sangat berat dirasakan, kita jangan sampai lengah dan lupa terhadap Allah. Ingat dan sebut nama Allah selalu serta sesali semua perbuatan buruk kita. Maka Allah akan membukakan pintu untuk kita bisa keluar dari persalahan kita, sebagai mana yang Allah lakukan kepada nabi Yunus as,” Jawab Jamal.
“Owh, iya-iya. Saya paham sekarang!” puas Ridwan.
“Oiya kang Ridwan! Ini kuacinya! Jadi sampai lupa, kebanyakan ngobrol! Hehehe..” kata Jamal mengguyoni Ridwan.
“Iya kang Jamal terima kasih.” sahut Ridwan dengan tersenyum.
Mereka pun mengobrol dengan asiknya, sembari makan camilan kuaci. Keakraban demi keakraban terlukis dari keduanya. Suatu persahabatan yang intim mulai terjalin.
Mereka terus berceritera ngalor-ngidul. Terkadang tertawa terbahak-bahak, kadang pula bermode serius. Ya! Semua itu benar-benar indah dirasakan Jamal dan Ridwan.
"Kang Ridwan. Saya masih sangat bertanya-tanya!" kata Jamal.
"Bertanya-tanya apa kang Jamal?" tanya Ridwan penasaran.
"Ini loo.. Biasanya kan yang namanya anak selalu di sayang dan bersama orang tuanya," ucap Jamal misterius.
"Lalu?" Bingung Ridwan.
"Lha terus kenapa anak ayam kok saya belum pernah tau sejarahnya dia ikut sama bapaknya yaa? Hahahaha.." Jamal tertawa ngakak diikuti oleh Ridwan.
"Ahahaha. Iya juga ya. Tapi ada lagi pertanyaan yang sampai saat ini tidak ada yang bisa jawab!" kata Ridwan.
"Apa itu?" tanya Jamal.
"Itu kuntilanak darimana asal dasternya?" tanya Ridwan sambil menahan tawanya.
"Hahahaha. Iya-yaa. Darimana ya?" Jamal malah balik bertanya.
"Ya nggak tahu aku! Makanya bertanya! Jhahaha." ujar Ridwan dengan tawanya yang terus menggelegar.
Jamal tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sangat senang bisa berteman dengan sosok Ridwan, yang bisa diajak bercanda dan bisa juga serius.
"Ngomong-ngomong nih ya kang Jamal," ucap Ridwan.
"Iya," singkat Jamal.
"Kamu itu cita-citanya ingin jadi apa?" tanya Ridwan serius.
"Lho-lho-lho. Kok topiknya jadi seperti pertanyaan ibu guruku dikelas satu? Haha.." jawab Jamal dengan bercanda.
"Hiss.. Serius kang Jamal!" kata Ridwan.
"Cita-citaku jadi orang!" jawab Jamal kini juga dengan wajah serius.
"Maksudmu? Memangnya sekarang kamu bukan orang?" tanya Ridwan.
"Haha... Bukan begitu kang Ridwan. Maksud saya yang namanya orang ya orang!" ungkap Jamal.
"Hialah, kok malah mbulet!" bingung Ridwan.
"Hahaha," Jamal kembali tertawa lalu berkata,
"Orang asli itu sifatnya ya orang asli. Bukan bersifat hewan!"
"Bisa diperjelas?" tanya Ridwan.
"Kalajengking itu sifatnya suka menyakiti hewan yang lainnya dengan sengatnya. Jadi misal kamu mengaku orang, kamu harus menghindari sifat suka menyakiti orang lain! Jika belum bisa, maka kamu belum sepenuhnya jadi orang, tapi masih jadi kalajengking juga!" kata Jamal yang membuat Ridwan mengangguk.
"Contoh lain ialah monyet. Dia sangat rakus dan serakah. Kamu faham kan kang Ridwan?" Jamal memastikan.
"Iya. Aku faham kang. Masyaallah. Kukira jawabanmu tadi asal-asalan. Ternyata masya allah."
Jamal kembali menggelengkan kepalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!