Jakarta - Ibu Kota Negara Indonesia
Jauh dari hiruk pikuk ramainya kota, seorang perempuan berdiri terpaku di depan pintu rawat inap rumah sakit. Pada saat ini, perasaan wanita itu seolah seperti prajurit perang yang tertembak mati oleh teman seperjuangannya.
"Mama, kita udah melakukan tes kecocokan ginjal antara Papa dan Kak Marni secara diam-diam. Tapi, apakah Kak Marni mau mendonorkan ginjalnya untuk Papa? Andai ak-aku anak kandung Papa pasti aku bisa menggantikan Kak Marni. Ma, Pa, maafin Rania yang gak berguna ini.. hiks..." ratap Rania si anak angkat keluarga Sutejo.
"Anak itu harus mau! Itu kan gunanya dia kembali dalam keluarga kita. Lagian dia juga masih bisa hidup setelah mendonorkan ginjalnya. Itu tidak akan membuat dia mati. Jadi, Rania jangan nangis ya... Kalau Rania nangis gini bakal bikin Mama sama Papa malah sedih..." sahut Salma, wanita yang melahirkan Marni ke dunia ini.
Bahkan masih sempat-sempatnya ia memeluk Rania. Kemudian sang suami, Rahadian Sutejo yang terbaring lemas di ranjang rumah sakit pun menjawab dengan santainya, "Benar kata Mamamu, Rania. Semua akan baik-baik saja. Papa akan segera sembuh dan akan liburan bareng Rania, Masmu, dan Mamamu nanti."
"Oke, udah cukup sedihnya. Sekarang Mama bakal ngupasin apel buat kalian biar sedihnya ilang. Oya, bukannya kemarin kamu bilang lagi suka sama sebuah novel dari salah satu platform online novel yang baru masuk ke Indonesia. Coba ceritain ke Papa, siapa tahu bagus. Nanti biar diangkat jadi film terus kamu jadi pemeran utamanya gimana? Katanya, kamu pengen jadi artis?" kata Salma sambil mengupas apel untuk mereka.
Klek, suara pintu terbuka tanpa sengaja oleh tangan Marni yang gemetar. Meski begitu raut wajah Marni tetap datar tanpa emosi. Ia dengan tangguhnya menatap kedua orang tua tercintanya.
Harapannya akan kasih sayang orang tua yang ia dambakan sejak ia kecil di panti asuhan sampai ia tumbuh besar dan dapat berdiri sendiri tak pernah berubah. Namun, semua hancur. Usahanya selama ini untuk meraih perhatian mereka tak pernah membuat mereka menganggap dirinya adalah putri mereka. Air matanya yang sudah di ujung tanduk pun menolak untuk jatuh.
"Eh Kak Marni... Jenguk Papa ya? Kok repot-repot bawa buah. Ini buah apel oleh-oleh Mas Bimo dari Jepang aja belum habis," sambut Rania.
Marni diam tanpa menjawab. Hanya berjalan masuk dan meletakkan buah yang ia bawa ke meja. Kemudian, berlalu pergi meninggalkan ruang rawat inap.
"Ma, kenapa Kak Marni diam? Apa Kak Marni mendengarkan percakapan kita, kemudian salah paham? Terus dia gak mau Papa sembuh... hiks...hiks," sesal Rania. Rahadian dan Salma saling menatap kemudian menyadari arti perkataan Rania.
"Rania, kamu jagain Papamu. Mama bakal jelasin masalah ini sama Marni dulu," kata Salma sambil bergegas mengejar Marni.
...☘️☘️☘️...
Drrt, getaran telpon genggam milik Marni menemani langkahnya menuruni tangga rumah sakit. Ia berusaha menahan amarah dan emosi yang ingin meledak dalam dirinya.
"MARNI!!!" suara teriakan yang ia kenal. Ia menoleh kearah datangnya suara. Melihat sosok ibu yang berjalan kearahnya. Andai itu bukan dengan teriakan tapi dengan senyuman dan nada yang lembut.
Imajinasi macam apa itu Marni. Heh!
Suara benaknya membangunkan Marni dari imajinasi liar yang tak akan pernah terwujud. Ia pun berbalik tanpa menghiraukan sosok itu, lalu melangkah secepat yang ia bisa.
"DIAM DISITU! ANAK DURHAKA CEPAT KESINI! PAPAMU KRITIS BUKANNYA NUNGGUIN MALAH KELAYAPAN!"
"MARN--Akkk...," ketika Marni menyebrangi jalan kemudian berbalik, ingin melihat apakah ibunya masih mengejar Marni. Tapi ia malah melihat sosok ibu itu hampir saja tertabrak oleh mobil yang melaju tanpa kendali. Andai Marni tidak menggantikan tubuhnya sebagai tameng mungkin wanita yang melahirkannya itu akan menjadi korban ketiga dari dua korban yang lain.
"Marni, astaga! Bagaimana ini? Tubuhmu rusak. Apa ginjalmu juga rusak? Ah tunggu, aku telpon ambulans. Marni, kamu jangan gerak. Nanti bagaimana kalau tambah parah...." suara ibu yang membuat hati Marni tersayat ingin sekali Marni tak mendengarnya.
Ah...
Air mataku akhirnya jatuh juga!
Sungguh menyedihkan tetapi bagaimanapun, ini adalah proses kematian dirinya dan ia sudah tidak lagi perlu berjuang untuk bertahan dalam kehidupan ini. Kesadarannya mulai buram lalu ia terbangun kembali, melihat raganya yang berlumuran darah diangkat menuju ambulans oleh petugas paramedis.
Ketika ia duduk di ambulans hal aneh terjadi. Cincin pemberian almarhumah nenek Rahayu seperti berkelap-kelip. Melihat itu ia menjadi teringat oleh nenek kesayangannya yang tinggal di panti jompo sebelah panti asuhan di mana ia masih kecil dulu. Sayangnya ketika ia berusaha mengenang masa-masa indah itu, tanpa diduga ia tertarik dalam pusaran cincin.
...☘️☘️☘️...
Agra - Ibu Kota Kerajaan Afreda
Kerajaan Afreda adalah kerajaan yang terkenal akan kekuatan sihir mereka. Tower sihir banyak dijumpai di kerajaan ini, sudah sama seperti banyaknya tower sinyal provider di dunia modern. Bahkan akademi sihir terbaik di seluruh benua berada di Agra, Ibu Kota Kerajaan Afreda.
Sayangnya, keagungan kerajaan Afreda tak berarti sama dengan kedamaian bagi keluarga klan Arkhaya. Dalam ruang bawah tanah di sebuah mansion yang terletak di pinggir kota Agra, di sana ada empat peti mati yang hancur karena petarung yang sedang terjadi. Hanya ada satu peti mati di tengah ruangan yang masih utuh.
Seluruh ksatria sihir dari klan Arkhaya berusaha melindungi peti itu dengan cara mengelilinginya. Bertahan dari serangan sihir yang terjadi dari segala arah.
"Tuan Aron, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa bertahan seperti ini terus..." teriak Sebastian.
Aron menggertak giginya, ia mencari cara agar keturunan terakhir tuannya tidak musnah. Tetapi sebelum Aron memberikan keputusannya, peti milik keturunan terakhir keluarga Arkhaya bersinar terang. Sinar yang memusnahkan seluruh makhluk hidup yang berada di ruangan itu, kecuali mereka yang memiliki sumpah darah untuk setia pada keluarga Arkhaya.
...☘️☘️☘️...
Kota Shyam - Salah Satu Kota Kerajaan Afreda
Tiga tahun setelah kejadian genosida terhadap klan Arkhaya, Aron dan pengikut yang tersisa menghapus jejak mereka dan melarikan diri ke Kota Shyam. Kota yang bertahan hidup dengan perdagangan manusia, senjata, dan segala sesuatu yang ilegal menjadi legal di Kota Shyam.
Di Kota ini, Aron dan semua pengikut klan Arkhaya sibuk membangun kekuatan mereka kembali tanpa sadar bahwa jiwa tuan terakhir mereka telah tergantikan.
Ya, Marni Sutejo terlahir kembali menjadi Mariana Arkhaya.
Bukankah ini terasa ajaib? Tapi semuanya benar nyata terjadi. Bahkan bagi seorang Marni yang selalu cepat beradaptasi harus menggunakan seluruh waktunya dari ia hanya dapat mendengar tanpa bergerak sampai akhirnya dia dapat membuka mata sekarang, untuk benar-benar mencerna dan menerima kenyataan ia hidup kembali.
Sejak Tuhan membuat ia terlahir kembali, dia masih belum tahu apa yang harus ia lakukan. Ia lelah dengan kehidupan ini. Tetapi ia juga tidak ingin merasakan kematian yang menyakitkan seperti kehidupan sebelumnya. Kalaupun ia harus mati, ia ingin menyambut kematiannya dalam keadaan damai. Untuk mencapai hal itu, ia harus mencari cara agar ia menjadi Mariana tanpa ketahuan bahwa ia adalah jiwa yang berbeda.
Haruskah aku bilang aku lupa ingatan seperti dalam novel isekai?
Klek, suara pintu terbuka. Derap langkah sepatu dengan langkah yang teratur mendekati raga Mariana yang terbaring lemah di ranjang.
"Nona, hari ini penginapan yang kita bangun begitu ramai karena festival perayaan ulang tahun kerajaan. Kita akan segera membangun klan Arkhaya kembali. Jadi, Nona beristirahatlah tanpa perlu khawatir. Tetapi saya memohon maaf atas ketidakmampuan saya, kita harus hidup seperti rakyat biasa dulu. Bahkan harus menyembunyikan diri kita," sesal Aron tertunduk lesu di samping Mariana.
Mariana berusaha menggerakkan tangannya untuk menyentuh Aron. Aron yang merasakan sentuhan tangan dingin milik tuannya pun, tersentak kaget. Lelaki paruh baya yang terlihat perkasa itu tersenyum gembira seperti bocah seakan tak percaya dengan yang sedang terjadi.
"Ahkkk! No-nona bangun!!!! Ah! Maafkan, saya yang membuat keributan. Nona minumlah air putih ini terlebih dahulu," kata Aron sambil membawa segelas air putih menuju kearah Mariana terbaring. Setelahnya ia memastikan bahwa Mariana nyaman dengan posisinya kemudian ia mengundurkan diri meninggalkan ruangan, "saya akan memanggil dokter dan memasak bubur untuk Nona. Kalau begitu saya permisi terlebih dahulu."
Klek, suara pintu tertutup. Ruangan yang Mariana tempati menjadi sunyi kembali. Tetapi, kesunyian ini membuat ia lebih tenang.
Aku harus berakting dengan baik ketika Aron dan dokter memeriksaku.
Marni memejamkan matanya kembali. Tetapi, suara ledakan bak suara ratusan kembang api dinyalakan bersama. Hal ini, membuat Marni terbangung dari tidurnya.
"Tuan Aron, kami akan menahannya di sini. Kau pergilah," bujuk seseorang di balik pintu kamar Mariana.
"Tidak, kalian itu lemah. Kalian pikir tanpa kekuatan Nona kalian bisa bertahan? Aku sudah tua tapi kekuatan sihirku lebih baik dari kalian. Kau, Sebastian ilmu pengobatanmu adalah yang paling dibutuhkan oleh Nona sekarang. Pergilah bersama Nona dan bawa cincin sihir ini. Didalamnya ada semua yang kalian butuhkan dari gulungan sihir, makanan, obat-obatan, pakaian, boom dan racun. Ini akan menolongmu," tutur Aron sambil memberikan cincin dalam genggaman Sebastian.
Sebastian menatap teman seperjuangannya untuk yang terakhir kali. Ia tidak tahu apakah ia akan bertemu lagi di masa depan. Air matanya ada di kelopak mata tapi ia dengan cepat berbalik dan memasuki kamar Mariana.
"Nona maaf karena kelancangan saya yang akan memeluk Nona," Sebastian berkata sambil menyelimuti Mariana bak bayi kemudian menggendongnya pergi. Melewati lorong-lorong gelapnya kota Shyam hingga berhasil tiba di pintu hutan hujan yang penuh dengan rawa.
Penginapan yang mereka bangun terlahap api, terlihat dengan jelas dari bukit hutan. Ketidakmampuan dan keputusasaan menyelimuti diri Sebastian.
"Nona, mari kita pergi. Kita harus hidup dan selamat supaya perjuangan Tuan dan pengikut klan Arkhaya yang lain tidak sia-sia," monolog Sebastian untuk Mariana tetapi sebenarnya perkataan itu juga untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa melakukan semuanya. Berharap hari esok adalah harapan baru untuk klan Arkhaya.
...☘️☘️☘️...
Hutan Hujan - Perbatasan Wilayah Afreda
Hujan turun dari langit sudah lebih dari satu jam. Bau tanah di hutan menyeruak membuat rasa nyaman di hati Marni.
Ia melihat tetes hujan dari balik jendela kamarnya. Marni kira ia akan tinggal di dalam gua atau bermalam di atas sebuah pohon. Ternyata ada markas tersembunyi di jantung hutan hujan yang dibangun oleh klan Arkhaya.
Perlahan dengan iringan bunyi hujan ditambah rayuan manja udara dingin Marni mulai merasakan kantuk. Ia akhirnya menyerah untuk tertidur pulas dalam pelukan selimut yang hangat.
Tanpa Marni sadari ia masuk dalam sebuah mimpi. Ia duduk bersenderkan pohon besar di pinggir bukit. Seluas ia memandang, di sana ia bisa melihat bebatuan besar dan laut biru dari tempat ia duduk.
"Indah bukan?" bisik seseorang di telingan kirinya.
"Ah!" Marni reflek langsung menoleh kearahnya. Ia terasa tidak asing dengan sosok di depannya. Tapi, di mana ia pernah menemuinya.
"Mariana?"
"Hai, Marni... senang bertemu denganmu."
"Ah, ya--senangg bertemu denganmu juga..."
Mereka duduk terdiam entah berapa lama hingga Mariana mencoba membuka percakapan dengan Marni, "ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu, makanya aku masuk dalam mimpimu. Tapi, sebelum itu apa kamu ada pertanyaan untukku?"
"Ini mimpi?" pertanyaan balik Marni karena ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Melihat ekspresi bodoh Marni pun membuat Mariana tertawa geli.
"Ekhm. Mimpi. Tentu saja mimpi," jawab Mariana.
"Kau ingat bagaimana kamu bisa datang ke dunia ini? Ingat Cincin yang menghisapmu? Aku yang memberikan cincin itu kepadamu sebelum kamu pergi dari panti asuhan dulu..." kenang Mariana akan sosok kecil Marni yang polos. Peri kecil yang licah yang berceloteh dengan riang ketika dia bilang kalau dia menemukan kedua orangtuanya.
"Nenek Rahayu? Kau?"
"Hei, walaupun wujudku terlihat seperti wanita umur 20an tapi aku ini sudah berumur, Anak Muda...hehehe..." ujar Mariana sambil mengingat kenangan masa mudanya.
"Orang-orang di Afreda menjulukiku si Jenius Arkhaya. Ditambah lagi dengan kultivasi immortal dan bakat sihir dengan mana tak terbatas keturunan klan Arkhaya membuatku sangat terkenal. Sayangnya, aku bosan karena tidak ada yang menarik di benua ini hingga suatu hari aku menemukan laboratorium kuno yang meneliti tentang artefak yang membuat kita tidak hanya bisa berteleportasi tapi juga dapat melakukan time travel. Kau bisa menebak terusan dari ceritaku?" tanya Mariana menguji kemampuan mendengar Marni.
"Kau adalah time traveler?" sahut Marni seadanya sambil mencoba memahami situasinya.
"100% buat Marni. Aku berhasil berkelana dari ruang dan waktu yang berbeda, bahkan ke era atau zaman yang berbeda. Tapi, sayangnya aku tidak bisa membawa ragaku sehingga dengan terpaksa aku menaruh tubuhku di tempat peristirahatan terakhir milik klan Arkhaya. Kemudian ketika aku menjadi time traveler, aku akan menggunakan tubuh seseorang yang telah mati tetapi ia belum menyelesaikan urusannya. Aku akan memakai tubuhnya sebagai gantinya aku membantu menyelesaikan urusan mereka. Jadi, waktu itu aku mewujudkan keinginan nenek Rahayu kemudian menikmati hari-hari tuaku sambil merawatmu."
"Terimakasih telah merawatku tapi kenapa kamu memberiku cincin aneh yang menghisap jiwaku? Kau benar-benar tulus merawatku?" tanya Marni dengan penuh kecurigaan pada Mariana.
"Hei! Aku tulus! Sungguh. Aku memberikan cincin itu agar aku bisa tahu apa kau dalam bahaya atau tidak. Kamu pikir dengan kebodohanmu itu dan kelicikan keluarga Sutejo, di mana kamu masih utuh dan tetap selamat?" tutur Mariana sambil menusuk jidat Marni kemudian ia melanjutkan berkeluh-kesah lagi.
"Ingat ketika kamu mau olimpiade fisika? Rania sengaja memasukan obat tidur dalam makan malammu kemudian dia membuka jendela kamarmu dan mengambil selimutmu. Kalau bukan aku yang menutup jendelamu dan mengambil selimutmu kembali. Lalu siapa? Hah!"
"Bukan hanya itu, gaun pestamu, pekerjaan rumahmu, hal-hal sepele itu. Kamu pikir mereka membiarkan hidupmu dengan tenang?Anak ini..."
"Oya, kamu tahu sebenarnya kamu itu bukan putri yang tertukar tapi ayahmu sengaja menukarmu. Dia membawa seluruh bayi dengan benihnya ke panti asuhan di mana kamu dibesarkan. Bagaimana kamu takut sekarang tahu kalau ternyata mereka adalah saudaramu? Hah! Ada satu lagi yang membuatku geleng kepala. Fakta bahwa ayahmu juga menyewa pembunuh bayaran untuk membuatmu kecelakaan. Sialnya, aku bisa mencegahnya tapi kamu kecelakaan dengan sendirinya. Benar-benar anak bodoh. Sia-sia nenek ini merawatmu. Aduh, kepalaku jadi sakit kalau mengingatnya..." keluh Mariana sambil memegang keningnya berpura-pura sakit kepala.
"Ini mimpi bagaimana bisa sakit kepala," kata Marni sambil melirik cuek.
"Hei, Kau ini. Benar-benar cucu durhaka!" teriak Mariana sambil menjitak jidat Marni.
"Aww sakit! Berhenti. Berhentilah. Hei, oke aku minta maaf..." keluh Marni hingga akhirnya Mariana melepas Marni dan mereka duduk dengan tenang sambil menikmati semilir angin yang menerpa.
"Aku lanjutkan ceritanya. Apa Kamu masih mau mendengarkan?" tanya Mariana yang dijawab anggukan oleh Marni.
"Waktu itu, aku tidak bisa menolongmu. Manaku habis karena tiba-tiba terseret ke duniaku dan terpojok oleh serangan genosida para aristokrat dan keluarga kerajaan. Aku terpaksa menggunakan sihir cahaya terlarang. Tentu saja, bayarannya jiwaku tidak akan pernah bisa kembali kedalam tubuhku. Akhirnya, aku membawamu kemari sebagai gantinya. Lagi pula kamu juga mati di dunia modern."
"Kau! Mariana!"
"Hei... jangan marah dulu. Mimpi ini akan segera berakhir. Aku menggunakan seluruh kekuatanku yang tersisa untuk masuk dalam mimpimu. Setelah ini aku akan menghilang dari dunia ini kecuali kau membuat kontrak denganku dengan darah klan Arkhaya yang mengalir dalam tubuh itu. Kalau kamu pikir masih membutuhkanku, kita bisa melakukan kontrak tapi jika tidak berarti sekarang aku akan mengucapkan selamat tinggal."
"Semoga hidupmu bahagia kali ini, Mar---" ucapan Marian terpotong oleh teriakan Marni.
"Diam!!! Siapa bilang aku akan membiarkanmu mati dengan tenang! Enak saja! Siapa yang melibatkan aku dengan semua ini??? Siapa? dan sekarang kamu mau melarikan diri?!!!" teriak Marni histeris ketika mengingat hari-hari yang ia lalui sebagai Mariana yang menjadi buronan kerajaan.
"Ayo membuat kontrak sekarang!"
...☘️☘️☘️...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!