...Biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya. Biarlah ku tanggung semua sendiri. Terluka sendiri kupendamkan segala rasa. Karena aku tak bisa mengharapkan cinta yang takkan pernah ada....
..._______...
Katanya, cinta datang tanpa bisa diketahui kapan dan pada siapa cinta berlabuh. Arkan setuju sekali dengan itu. Karena ia sedang merasakannya sendiri. Rasanya senang saat melihat gadis yang ia cintai tersenyum bahagia, tertawa lepas, meski bukan karenanya. Bahagia rasanya saat gadis itu berada di dekatnya, meski bukan ia sebab utamanya. Meski gadis itu ada bersamanya untuk menemani orang lain. Tepatnya menemani sahabatnya sendiri. Ya, Arkan mencintai kekasih sahabatnya sendiri.
Sebenarnya ia tidak benar-benar ingin mengkhianati sahabatnya apalagi merebut kekasihnya. Sejak lama pun ia sudah menyimpan rasa pada gadis itu saat pertama kali mereka bertemu. Namun, saat ia akan mengungkapkan perasaannya pada gadis itu, ia kalah cepat. Ia harus lebih dulu mendengar kabar terjalinnya hubungan antara gadis yang dicintainya dengan sahabatnya. Terpaksa, ia harus merelakan perasaannya kandas sebelum bersemi. Karena Arkan tak ingin persahabatan yang telah lama terjalin harus hancur hanya karena seorang gadis.
Katanya, cinta itu tak harus memiliki. Itu yang Arkan lakukan. Selama hampir setahun ia merasakan bagaimana sakitnya melihat kemesraan gadis yang dicintai bersama sahabatnya. Rasa ingin merebut pasti ada, bahkan setiap harinya, setiap melihat interaksi mereka, rasa itu seakan semakin besar. Tapi tidak, ia tidak boleh egois. Ia yakin, ia bahagia jika sahabatnya dan gadis pujaannya bahagia. Meskipun hatinya harus banyak menampung luka, tak apa. Ia rela, asalkan gadisnya bahagia.
"Arkan! Woy!"
Arkan tersadar dari lamunan kesedihannya saat Faris mengguncang bahunya. Ia baru sadar bahwa sejak tadi ia melamun. Akibat hatinya kembali tergores karena melihat mereka saling memberikan afeksi di depannya.
"Ar, lo kenapa sih? Lagi mikirin apa? Ngelamun terus, perasaan?" Itu yang bertanya Silva. Kekasih Faris yang juga dicintai Arkan.
Inilah salah satu sifat yang membuat Arkan mencintai Silva sebegitu dalamnya hingga rela menahan semua rasa sakit demi melihat Silva bahagia. Silva itu perhatian, ia peduli kepada siapapun. Tak melihat siapa orangnya, kenal atau tidak, baik padanya atau benci sekalipun, Silva tetap membantu dan bersikap baik pada orang itu jika memang sedang dalam kesulitan dan ia bisa membantu. Silva itu baik dan hangat pada semua orang.
Lagi-lagi Arkan hanyut dalam pikirannya sendiri sambil menatap Silva dengan dalam. Kini, giliran Rafan yang turun tangan untuk menyadarkannya.
Rafan mendekatkan wajahnya ke telinga Arkan dan berbisik di sana. "Jangan diliatin terus kalo lo masih mau persahabatan kita tetap terjalin! Ingat, ini keputusan lo sendiri."
Arkan tersadar lantas mengalihkan pandangannya dari wajah Silva. Dilihatnya layar ponsel miliknya lalu bangkit dan menyampirkan tas di bahunya.
"Eum... Kayanya gue harus balik duluan, deh. Gue lupa ada janji sama bokap. Gue duluan, ya!" ucap Arkan seraya memasukkan ponsel ke saku celananya.
"Gue nebeng lo, ya? Hee." Rafan ikut berdiri dan berkata diakhiri cengiran lebar.
Wajah Rafan yang putih dengan mata melengkung membentuk eye smile dan gigi gingsulnya membuat Arkan tak kuasa menahan gemas. Ia pun mengusak rambut brown milik Rafan untuk menyalurkan rasa gemasnya.
"Oke, ayo!" jawab Arkan lalu mereka berpamitan pada Faris dan Silva lantas berlalu menjauhi mereka.
"Tapi nanti gue turunin di lampu merah, ya?" sambung Arkan mengerling pada Rafan yang berjalan di sampingnya.
"Ya jangan, dong! Nanti kalo gue diculik gimana?" seru Rafan tak terima.
"Oh iya, lo kan masih kecil, ya?" balas Arkan sambil merangkul pundak Rafan.
"Enak aja! Gue udah gede, woy!" teriak Rafan agak berjinjit agar bisa mencapai telinga Arkan.
Arkan terkekeh geli sambil berusaha menjauhkan telinganya. "Mana coba yang udah gede? Bisa gak lo ngambil permen ini di tangan gue?" Arkan mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar Rafan tak bisa menjangkaunya.
"Oke! Kalo dapet buat gue, ya!" jawab Rafan lalu berusaha menggapai permen itu dengan memanjat tubuh Arkan.
"Woy, jangan curang dong, lo!" seru Rafan karena Arkan memindahkan permennya ke tangannya yang lain.
Rafan pun menginjak kaki Arkan dengan sangat keras membuat Arkan memekik dan berjongkok memegangi kakinya. Dengan begitu, Rafan bisa dengan mudah mengambil permen itu dari Arkan.
"Tuhkan, apa gue bilang? Gue tuh udah gede," ujar Rafan sembari melahap permen susu kesukaannya itu.
***
Alunan melodi indah tercipta dari kedua tangannya yang bekerja sama bergerak menggelitik sebuah gitar dalam dekapannya. Beriringan dengan suara berat namun merdu menciptakan rasa nyaman yang akan dirasakan oleh siapapun yang mendengar.
🎶 Tak perlu kau katakan isi hatimu
Semua telah tersirat di dua matamu
Simpan semua upaya tuk buatku percaya
Semua baik adanya
Terluka sendiri kupendamkan segala rasa
Karena aku tak bisa
Mengharapkan cinta yang takkan pernah ada
🎶 Sudah, kini ku melepaskan
Cinta, yang dulu ku banggakan
Aku sadari semua ini memang bukan salahmu
Aku ini memang bukan untukmu
Entah sejak kapan lagu itu menjadi favoritnya. Yang pasti, setiap malam ia selalu menyanyikan lagu ini. Lagu yang seakan menggambarkan perasaannya yang tak bisa ia ungkapkan pada Silva--gadis yang ia cintai.
Arkan hanya bisa memendam segala rasa karena Silva telah dimiliki sahabatnya. Meski begitu, ia tak berniat untuk move on dan beralih pada lain hati. Ia hanya ingin mencintai Silva walau harus selalu tersakiti. Sekali lagi, Arkan rela asalkan Silva bahagia. Katakanlah Arkan bodoh. Tapi, beginilah caranya mencintai. Untuk sekarang, biarkan dirinya tenggelam dalam kepahitan cinta bertepuk sebelah tangan, hingga ia telah sampai pada batasnya untuk menyerah.
Tok tok tok!
"Arkan! Ayo makan malam dulu! Semuanya udah nunggu di bawah!"
Arkan lantas menyimpan gitarnya di sofa lalu bangkit untuk menemui orang yang memanggilnya di balik pintu kamar.
"Iya, Mah. Ayo ke bawah!" jawab Arkan dengan senyum lembut setelah membuka pintu lalu merangkul sang mama untuk berjalan di sampingnya.
Lisa hanya tersenyum dan menepuk-nepuk pipi Arkan. Ia sudah terbiasa dengan sifat manja anak sulungnya ini.
Mereka pun menuruni tangga menuju ruang makan.
"Arkan, ada yang mau Papa bicarakan setelah makan malam sama kamu," ujar Setya setelah Arkan dan Lisa bergabung di meja makan.
"Iya, Pah," jawab Arkan tanpa bertanya lebih lanjut tentang hal apa yang akan dibicarakan dengannya.
"Ayo makan, hey!" ujar Arkan pada Nesya--adiknya yang masih duduk di sekolah menengah pertama. Lalu dibalas cengiran dan anggukan oleh gadis itu.
Kebiasaan Nesya saat ingin tahu sesuatu tapi ia tahu bahwa dirinya tidak diizinkan mengetahui sesuatu itu, Nesya akan menatap objek sambil mengira-ngira apa yang disembunyikan darinya.
***
Sesuai yang dikatakan Setya sebelum makan malam, kini Arkan, Setya dan Lisa sudah duduk di sofa ruang keluarga. Sementara Nesya diperintahkan masuk ke kamarnya untuk belajar.
"Ada apa, Pah?" tanya Arkan menatap Setya.
"Sebelumnya, kamu harus janji dulu untuk tidak buru-buru menolak," ucap Setya yang diangguki Arkan tanpa perdebatan.
"Kami melakukan ini agar masa depanmu dan masa depan usaha kami terjamin. Saat ini, perusahaan Papa sedang menjalin kerja sama dengan perusahaan teman lama Papa yang pengaruhnya cukup luas, besarnya pun hampir sebanding dengan perusahaan Papa. Sahabat Papa berniat menjodohkan kamu dengan anak gadisnya saat dia mengetahui bahwa Papa juga punya anak laki-laki seumuran anaknya. Papa setuju dengan usulan itu. Tapi, bukan demi perusahaan kami saja. Anak gadisnya juga sangat baik, sopan, santun, cerdas, berprestasi di sekolahnya, dan masih banyak lagi kelebihannya. Papa rasa dia cocok untuk kamu. Jadi, menurutmu bagaimana?" jelas Setya menjelaskan dengan perlahan.
"Memangnya siapa gadis itu, Pah?" tanya Arkan meski hatinya merasa tidak berminat.
"Gadis itu cantik, namanya Silvana Oktavia Hanum."
Detik itu juga napasnya terasa tercekat dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Kenapa rasanya semuanya jadi semakin rumit?
...Bersambung......
Note :
Play song : Sudah - Afgan
"Woy, Dek! Mau naek gak lo?!"
Arkan tersadar lalu bangkit hendak menjawab. Namun, bus itu sudah keburu pergi. Untuk kesekian kalinya, ia melewatkan bus. Itu karena ia melamun di halte. Diliriknya jam yang melingkar di tangan kanannya dan ia yakin jika tertinggal satu bus lagi, sudah dapat dipastikan ia akan terlambat masuk sekolah. Jadi, jika tidak ingin dihukum, ia harus naik di bus yang akan segera tiba.
Arkan memilih untuk tetap berdiri agar jika bus tiba, ia bisa langsung naik. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana, pandangan lurus ke depan--kosong. Ya, lagi-lagi Arkan melamun. Di kepalanya kembali terputar percakapannya dengan sang papa semalam. Seharusnya ia bahagia mendengar rencana tersebut. Namun, jika rencana itu disampaikan padanya sebelum Silva dimiliki Faris. Jika sekarang, rasanya semua sia-sia saja.
Flashback on
"Gadis itu cantik, namanya Silvana Oktavia Hanum," jawab Setya.
"Tapi, Silva itu pacarnya Faris, Pah," sanggah Arkan.
"Iya, Papa juga tau, kok, kalau Silva sudah punya pacar. Tapi, kata ayahnya kita gak perlu khawatir. Ia akan mengurus semuanya sampai Silva mau memutuskan pacarnya lalu menerima kamu. Karena sejujurnya, dia gak suka Silva pacaran," jawab Setya.
Semakin tidak karuan hati Arkan. Jujur, ia bingung harus menjawab apa.
Flashback off
"Woy, Dek! Mau naik gak lo?"
Lamunan Arkan kembali buyar. Ia melihat bus yang meninggalkannya tadi masih tak jauh dari halte. Sepertinya pak kernet dan supir kasihan padanya. Arkan segera berlari kecil menghampiri bus itu.
"Punya masalah hidup apa sih lo, Bocah? Ngelamun mulu?" tegur si kernet bus yang masih berdiri di samping pintu bus.
"Banyak, Bang. Saya yakin Abang gak akan kuat. Udah, biar saya aja yang tanggung sendiri," jawab Arkan dengan asal.
"Halah, gegayaan lu, Bocah! Kaya yang masalahnya paling gede aja di dunia! Ayo cepet naik! Kita berenti cuma buat nungguin lu, nih! Gak jadi naek, abis lu!" seru si Abang kernet.
Namun, tanpa menjawab, Arkan berlalu--mencari kursi penumpang yang masih kosong. Hingga di kursi paling belakang, terdapat seorang gadis yang berseragam SMA yang sama dengannya sedang menunduk memainkan ponsel. Arkan harus menegur gadis itu agar ia bisa duduk di kursi dekat jendela di samping si gadis yang masih kosong.
"Permisi! Boleh gue duduk di pojok?" tanya Arkan berkata dengan menatap wajah gadis itu yang masih setia menunduk hingga ia harus merutuki nasib yang seakan tidak memihaknya hari ini saat ia tahu bahwa gadis itu adalah sosok yang sedang membuatnya galau.
"Silva?" gumam Arkan tanpa sadar. Tatapannya menjadi kosong sementara jantungnya berdebar tak menentu. Karena ia sadar, saat ini hanya ada dirinya dan Silva, tanpa Faris. Hanya mereka berdua diantara para penumpang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Ia senang kalau saja kenyataan yang sebenarnya tidak menghantam pikirannya. Bahwa Silva tidak pantas ia harapkan, karena Faris sudah memiliki gadis ini.
"Arkan, hei! Kok malah ngelamun? Ayo, mau duduk gak, lo?"
Seketika Arkan mematung di tempat saat Silva bertanya sambil menyentuh punggung tangannya. Seakan tangan itu mengalirkan listrik bertegangan tinggi yang menyengat saraf-saraf tubuhnya menimbulkan debaran yang semakin menggila di dada.
Arkan masih dengan posisi berdiri hingga bus berjalan dan tubuhnya yang seakan kehilangan tenaga, hampir saja terhuyung ke depan jika refleksnya kurang baik.
"E-eh!" Arkan mencari pegangan dan mendarat di sandaran kursi yang diduduki Silva hingga membuat Silva berada diantara tangan kokoh Arkan.
Jelas itu membuat keduanya kaget. Arkan merasakan jantungnya berhenti berdetak mengakibatkan napasnya pun berhenti.
"A-arkan, napas, hey! Ar, ayo napas!" panik Silva mengguncang tubuh Arkan dengan menyentuh kedua sisi seragam Arkan.
Lagi-lagi Arkan menegang. Ia semakin kesulitan bernapas akibat menyadari posisinya dengan Silva. Hingga wajahnya memerah sampai ke telinga dan dadanya semakin sesak, Arkan kembali berdiri tegak. Merapikan penampilannya, ia memilih berpegangan pada besi di atas kepala saja daripada harus duduk di samping Silva malah membuatnya pingsan karena keseringan menahan napas.
"Loh? Gak jadi duduk di pojok?" tanya Silva mendongak menatap Arkan heran.
Arkan menggeleng kaku lalu menjawab, "E-enggak deh, lagi pengen berdiri."
"Ya udah," tutup Silva mengangkat kedua bahu lalu kembali fokus pada ponselnya.
Sementara Arkan menghabiskan waktunya dengan menetralkan detak jantung sepanjang perjalanan menuju sekolah.
***
Kriiiiing.....
Bel panjang terdengar nyaring di seluruh penjuru sekolah. Tepat dengan Arkan dan Silva yang baru saja menginjakkan kakinya di halaman sekolah sebelum gerbang ditutup.
"Untung aja belum saya tutup gerbangnya. Kebiasaan kamu kalo datang tepat waktu banget! Ini lagi, dek Silva tumben banget baru datang jam segini?" gerutu Pak Satpam yang hendak menutup gerbang sekolah.
"Hehe, maap, Pak Ganteng, gak lagi-lagi, deh," jawab Arkan tersenyum lebar hingga memperlihatkan eye smile-nya.
"Halah, bisa aja modusnya! Udah, sana masuk kelas!"
"Makasih, Pak satpam! Aku masuk, ya!" seru Silva melambaikan tangan sambil berlari masuk menuju kelasnya di kelas 12 IPA 2.
Arkan pun segera berlari menuju kelasnya 12 IPA 1. Meski sering terlambat, Arkan memiliki otak yang cerdas hingga bisa mendapat kelas unggulan.
Sebelum sampai di kelasnya, Arkan mendengar suara Faris dan Rafan berbisik memanggilnya. Ternyata, kepala mereka menyembul keluar jendela. Arkan menghampiri keduanya.
"Baru dateng? Kebiasaan banget lo, kalo telat gak ngajakin kita!"
Geplak!
"Apa-apaan lo, hah?!" murka Faris pada Rafan yang memukul kepala belakangnya.
"Ya lo salah mulu kalo ngomong! Masa telat minta diajakin?" jawab Rafan frustasi pada cowok otak setengah yang sialnya adalah sahabat sendiri.
"Terserah gue, dong! Hidup gue kan gue yang jalanin, bukan lo! Kalo gue telat juga kan gue yang dihukum, bukan lo! Mau apa lo?!"
Sementara Rafan malah mengejek Faris dengan menirukan perkataannya dengan gerakan bibir yang berlebihan.
"Anjir! Sini lu, biar gue gibeng!"
Setelahnya Arkan hanya menyaksikan aksi kejar mengejar antara dua orang sahabat yang sudah kelas 12 SMA tapi kelakuan masih seperti anak TK. Jadi, ia pun kembali menyambung langkah menuju kelasnya. Beruntung masih belum ada guru yang masuk.
***
Salah satu hal yang paling menyebalkan sekaligus menyakitkan bagi Arkan adalah saat Silva menemani Faris yang sedang latihan basket sepulang sekolah. Seharusnya ia akan sangat menikmati permainan dan latihan mereka karena basket adalah salah satu hobinya. Namun, beda lagi cerita jika Silva turut hadir di sini dengan berbagai afeksi yang ia berikan pada Faris.
Seperti sekarang, mereka sedang beristirahat setelah latihan sparing dengan tim basket kelas 11. Seperti biasa, Silva dengan sigap akan menghampiri Faris dengan membawakan sebotol air mineral beserta handuk kecil yang digunakannya untuk mengelap keringat di wajah Faris. Setelahnya mereka akan saling melempar candaan dan tertawa bersama. Tak mempedulikan orang-orang di sekitar mereka yang menyaksikan semua itu. Seakan dunia hanya milik mereka berdua.
"Betapa indahnya dunia kurasa, saat ini, saat ini, karena malam ini malam-- adoh!!"
Rafan yang semula bernyanyi sambil menari langsung meringkuk kesakitan karena pipinya dicubit oleh manusia raksasa--begitu Rafan memanggil Kevin.
"Udah heh, lebay banget lo, Bocil!" sindir Kevin dengan tangan kekarnya menarik bahu Rafan agar duduk dengan benar dan berhenti mengaduh sakit.
"Tau ah, dasar manusia raksasa!" teriak Rafan di depan telinga Kevin.
"Ya lo gaje banget, jelas-jelas masih siang, dibilang malem," jawab Kevin sembari mengusap-usap daun telinganya.
"Nyenyenyenye. Untung pipi gue gak lepas dari tempatnya!" gerutu Rafan membenarkan posisinya kembali duduk di samping Arkan dengan mengusap kedua pipinya yang memerah.
Arkan yang duduk di sampingnya melihat ekspresi Rafan sangat menggemaskan. Dengan dorongan hati yang merasa kasihan pada Rafan yang nampak kesakitan, Arkan menggantikan tangan Rafan untuk mengusap-usap pipi Rafan dengan lembut.
Sebenarnya pemandangan seperti itu sudah biasa bagi mereka karena Arkan dan Faris sangat menjaga Rafan. Namun, entah ada apa dengan Faris yang malah melontarkan kata-kata yang seakan mengejek mereka.
"Kalian kayanya harus cepet-cepet cari pacar, deh. Kaya gue nih, mesra-mesraan tuh sama cewek, jangan sama sesama juga dong! Kasian gue sama lo berdua," katanya diakhiri tawa yang pecah di suasana yang hening.
Semua orang nampak kaget dengan perkataan yang dilontarkan Faris. Mereka tahu maksud Faris memang hanya bercanda, namun seharusnya tidak setajam itu.
Faris masih terus tertawa hingga Arkan berdiri dengan tatapan tajamnya mengarah pada Faris. Dengan kedua tangan mengepal dan rahang mengeras, Arkan menghampiri Faris.
Faris bangkit saat Arkan sampai di hadapannya. "Eh, eh, lo kok marah beneran, sih? Gue kan cuma becanda, Bro!" ujar Faris berusaha menenangkan Arkan.
"Tapi, becandaan lo keterlaluan, Ris. Bukannya kita udah janji bakal terus ngelindungin Rafan walaupun kita udah punya pasangan masing-masing sampe Rafan bisa jaga dirinya sendiri? Sekarang, mana janji lo? Kalo lo lupa, itu janji yang lo usulin sendiri! Terus, lo mau ngingkarin sendiri juga? Bener-bener pengecut, lo!" desis Arkan di depan wajah Faris.
Faris ikut menajamkan tatapannya karena tak terima disebut pengecut. "Gue bilang, gue cuma becanda!" teriak Faris terbawa emosi.
"Tapi lo keterlaluan!" balas Arkan yang juga berteriak.
Semua orang yang ada di sana mulai berdiri untuk berjaga-jaga karena suasana yang mulai menegang.
Kedua orang yang menjadi pusat perhatian masih saling bertatapan tajam. Arkan melangkah maju hingga menghadap langsung ke telinga Faris dan membisikkan sesuatu.
...Bersambung......
Udara malam yang terasa menusuk kulit, tak menghentikan laju motornya. Ia membelah jalanan menuju suatu tempat yang hanya disambangi saat sedang sendiri. Seakan sudah menjadi kebiasaan baginya, setiap malam Arkan akan pergi ke tempat itu.
Beberapa menit kemudian, Arkan sampai di sebuah rumah. Ia berhenti di seberang jalan rumah itu, membuka helm dan diam memandang jauh seseorang yang tak dapat ia genggam. Pandangannya tertuju pada balkon rumah itu yang sepertinya terhubung langsung dengan sebuah kamar yang ia ketahui kamar seseorang yang ia rindukan. Seseorang yang ingin ia miliki namun tak dapat diperjuangkan apalagi digapai. Bahkan ia sudah kalah sebelum berperang. Ia tak mampu jika harus bersaing dengan sahabat sendiri.
Arkan tidak melupakan kata-katanya kepada Faris tadi sore di sekolah, ia ingat betul apa yang dibisikkan ke telinga Faris. Namun, itu hanya bentuk ancaman agar Faris tidak lagi sombong dengan hubungannya dan Silva. Mana mungkin Arkan merusak kebahagiaan mereka. Bagaimanapun, Faris adalah sahabatnya sejak kecil. Sementara Silva adalah cinta pertamanya, gadis yang sangat ia cintai. Arkan pasti akan merasa sangat jahat jika ia merusak hubungan mereka.
Tertawa miris, Arkan menertawakan nasibnya yang entah kenapa sangat tidak bagus. Disaat para remaja seusianya merasakan indahnya jatuh cinta, ia malah harus memendam perasaan cintanya dan setiap hari harus menahan rasa cemburu saat melihat adegan mesra Faris dan Silva. Disaat remaja yang lain merasakan kebebasan berekspresi, bergaul dengan siapa saja, ia justru harus bergelut dengan laporan-laporan keuangan dan berkas-berkas lainnya yang harus ia pelajari sebelum lulus SMA. Karena setelah lulus nanti, Arkan harus menggantikan sang papa memimpin perusahaan.
Jika bisa menolak, ia akan menolak rencana papanya. Memimpin perusahaan besar itu tak mudah. Perlu ilmu dan pengalaman yang tidak sedikit. Namun, ia tidak ingin melihat kedua orang tuanya kecewa. Arkan adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga. Jadi, papa dan mamanya pasti menaruh harapan besar padanya. Maka, sebisa mungkin Arkan akan menuruti semua keinginan mereka, meski harus mengorbankan kebahagiaannya.
Punggung Arkan menegak saat melihat gadis itu keluar dari kamarnya menuju balkon. Berdiri dengan ponsel di telinga, gadis itu nampak ceria dengan senyum lebar. Indah, selalu kata itu yang terlintas di pikirannya saat memandang wajah gadis itu. Hanya memandang dari jauh saja ia sudah sangat senang. Memastikan gadis pujaannya baik-baik saja dan selalu bahagia sudah lebih dari cukup baginya. Meski sang pujaan tak dapat menjadi miliknya, ia akan tetap senang jika sang gadis bahagia.
Senyumnya makin lebar saat sang gadis mengerling. Nampak jengah dengan lawan bicara yang masih enggan menyudahi percakapan.
Cukup lama Arkan berada di sana, hingga gadis yang menjadi objek pandangannya kembali memasuki kamar dan menutup pintu balkon.
"Silva, suatu saat lo tau perasaan gue, tolong jangan pernah minta gue berhenti. Karena sampai kapanpun, lo akan tetap punya tempat tersendiri di hati gue," bisik Arkan seakan angin malam bisa menyampaikan bisikannya melalui celah jendela.
***
"Enggak!" pekik Faris yang terbangun dari tidur.
Dengan napas tersengal dan wajah berkeringat, nampaknya Faris baru saja mimpi buruk. Ia masih mencoba mengatur napas yang tersengal. Faris telah dibuat tidak tenang oleh Arkan karena sesuatu yang dibisikkan padanya tadi sore saat di lapangan indoor sekolah.
Perkataan Arkan dan segala kejadian yang mungkin akan terjadi karena ulah Arkan kembali memenuhi pikiran Faris membuatnya semakin gelisah. Ia takut terjadi hal buruk pada gadisnya.
Flashback on
Arkan membisikkan sesuatu ke telinga Faris. Sesuatu yang membuatnya tak bisa tidur dengan tenang karena khawatir akan benar-benar dilakukan oleh Arkan.
"Gue juga bisa mesra-mesraan sama cewek. Maksud gue, cewek lo. Inget, gue bakal ambil yang seharusnya jadi milik gue! Silva itu harusnya jadi milik gue. So, siap-siap aja buat kehilangan dia," bisik Arkan dengan penuh penekanan.
Flashback off
"Ck, Arkan sialan!" erangnya sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.
Satu yang pasti saat ini ada di pikirannya, yaitu, menghubungi Silva untuk menanyakan bagaimana keadaannya. Segera diraihnya ponsel di atas nakas lalu membuat panggilan meski waktu masih menunjukkan pukul satu dini hari. Faris menunggu cukup lama karena Silva pasti sedang sangat terlelap saat ini.
Hingga suara serak Silva menyambutnya. "Halo? Kenapa, Bunny? Ada apa malem-malem telfon? Gak bisa tidur, ya?"
Faris tersenyum mendengar pertanyaan dan suara serak khas bangun tidur kekasihnya. Ia selalu senang mendengarnya, karena terdengar menenangkan dan juga agak... hot?
"Halo, Honey! Iya nih, aku kangen suara kamu. Udah lama kan, kita gak telfonan sampe tidur?" jawab Faris dengan senyum lebar nan manis tercipta di wajahnya yang semula dipenuhi gurat kekhawatiran.
"Hmm, iya. Maaf, ya, kemarin-kemarin kan aku harus fokus belajar buat olimpiade," ucap Silva dengan mengucek sebelah matanya.
"Gak masalah, kok, honey-ku, cintaku, manisku, sayangku, it's okay. Aku tau kamu harus mempersiapkan banyak hal supaya bisa menangin olimpiadenya. Dan, gak sia-sia, kan, perjuangan kamu? Kamu berhasil bawa pulang piala paling besar! Pokoknya aku bangga banget sama kamu!" ungkap Faris panjang lebar.
Terdengar kekehan ringan di seberang sana. "Iya, iya, thanks a lot, bunny-ku, sayangku, ksatriaku, pahlawanku! Aku juga sayang banget sama kamu, love you," bisik Silva di akhir kalimatnya membuat hati Faris seakan meleleh tanpa bisa dicegah.
Saking bahagianya, Faris sampai menggigit selimut untuk menahan pekikan gemas. Sungguh, ia sangat sangat mencintai gadisnya.
"Honey? Halo, Honey?" sapanya karena tak lagi mendengar suara Silva.
"Udah tidur lagi, ya?" tanyanya melihat panggilan masih tersambung. Disusul suara dengkuran halus yang pasti milik gadisnya.
Senyum Faris mengembang. Ia jadi tidak terlalu khawatir sekarang, karena ia bisa memantau keadaan Silva dari sini. Ia tidak akan memutuskan sambungan telepon mereka sampai pagi untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada Silva.
***
Pagi menjelang, Faris terbangun mengucek kedua matanya. Ia melihat ponselnya yang masih digenggam, saat itulah ia baru sadar bahwa ia telah tertidur. Padahal, semalam ia berjanji untuk tidak tidur agar bisa menjaga Silva. Lalu, sekarang bagaimana keadaan gadisnya, ya?
Baru saja Faris akan menghidupkan ponselnya, wajah Silva sudah memenuhi layar benda pipih itu. Ternyata gadisnya sudah bangun dan sekarang meminta panggilan video. Dengan senyum mengembang lebar, Faris segera menerimanya. Nampaklah wajah Silva yang khas baru bangun tidur.
"Wow! So sexy," ujar Faris sambil mengedipkan sebelah mata.
Hal itu membuat Silva memukul layar ponselnya menggunakan bantal sambil berteriak, "Ih, mesum!"
Faris terkekeh geli melihat tingkah Silva. "Eh, eh, udah dong, Honey. Nanti hapenya rusak, gimana?"
"Biarin! Kalo hapeku rusak, kamu yang harus ganti!" pekik Silva menyudahi aksi pemukulannya dan sekarang memasang wajah jutek untuk Faris.
"Loh, kok aku? Kan kamu yang mukulin," tolak Faris mengerutkan keningnya.
"Kan kamu yang salah! Kamu mesum, aku gak suka! Pokoknya kalo mesum lagi, aku gak mau ketemu kamu lagi!" rajuk Silva mencuramkan kedua alisnya dengan bibir mengerucut.
"Iya deh, iya. Aku minta maaf, aku janji gak bakal mesum lagi," ucap Faris dengan puppy eyes-nya.
Silva terlihat menghela napas lalu memasang senyumnya. "Oke, permintaan maaf diterima!"
"Duh, gemes banget, sih! Jadi pengen unyel-unyel pipi kamu. Aku main ke rumah, ya?"
"Ngapain?" tanya Silva memiringkan kepala.
"Ya mainlah, aku udah lama gak main di rumah kamu, cuddle berdua, makan berdua, berenang berdua, olahraga berdua..." ungkap Faris dengan alis naik turun dan seringai lebar.
"Dasar mesum!! Gak usah ke sini!" pekik Silva lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak.
"Loh, kok? Honey? Kok ngambek? Emang salah olahraga berdua?" tanya Faris kepada dirinya sendiri.
"Yah... Salah paham lagi, deh," desah Faris menjatuhkan tubuhnya menjadi telentang di kasur lalu menutup wajahnya dengan bantal.
Sementara Silva sedang menggerutu kesal. Bibirnya maju dengan terus mengomel. "Kenapa sih, Faris tuh mesum banget pikirannya?" pekik Silva mendongak frustasi.
"Jadi curiga deh, gue," sambungnya mengerutkan kening.
Berpikir sejenak sebelum kembali memekik, "Tapi gue udah terlanjur sayang! Gimana dong?!"
Silva menjatuhkan tubuhnya menjadi telentang di kasur dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Silva sangat menjaga privasinya dari orang yang tidak terlalu dekat. Pun juga dengan dirinya. Silva sangat menjaga kehormatannya agar tidak dipandang rendah oleh kaum laki-laki. Maka, sejak pertama kali pacaran, Silva sudah sangat hati-hati memilih pacar. Ia tahu kalau salah memilih pacar, resikonya bisa jadi kehormatannya terenggut. Ia tidak ingin jika itu sampai terjadi padanya.
Faris pun harus melewati seleksi dan tes terlebih dahulu untuk bisa menjalin hubungan dengan Silva. Tidak tes yang terang-terangan, hanya menurut pengamatan Silva saja tentang sifat dan perilaku Faris sebelum dan setelah mereka pacaran. Terbukti, Faris sangat menjaga dan menghormati privasi apalagi kehormatannya. Bahkan, Silva melihat bahwa Faris termasuk tipe lelaki yang sangat peduli pada kaum wanita. Maka, tak ada alasan lagi bagi Silva untuk menolak Faris.
Namun, berbeda dengan akhir-akhir ini. Faris justru nampak seperti om-om pedofil setiap sedang bersama Silva. Hal itulah yang membuat Silva galau. Sebenarnya ada apa dengan Faris?
...Bersambung......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!