Roberto menautkan satu-persatu kancing kemejanya. Sementara netranya tak lepas dari tubuh molek Veronica. Geliat lembut dari tubuh Veronica melukis senyum tipis dibibirnya. Senyum yang jarang terlihat dari seorang Roberto.
"Sudah mau pergi tuan?" Vero mengangkat sebagian tubuhnya yang terbalut selimut. Menatap pria dewasa itu dengan mata menyipit. Bayangan sentuhan lelaki itu masih terasa melekat ditubuhnya hangat dan nikmat. Roberto tak menyahut dia melangkah mendekat lalu duduk di tepi ranjang. Mencium puncak kepala gadis sembilan belas tahun itu dengan lembut.
"Aku harus pulang pagi ini, kau jangan coba kabur lagi! atau aku memberi hukuman lebih berat dari kemarin!" Ancam Roberto seraya meremas dagu runcing Vero.
"Tuan tau, aku candu sentuhan. Aku tidak jamin mampu bertahan terlalu lama tanpa sentuhan tuan," ujar Vero sembari menarik tubuhnya membelakangi Roberto.
Dengan gerakan kasar Roberto meraih tubuh Vero menghadapkan kembali kearahnya.
"Jangan menentangku Ve!" Sentak Roberto meradang. Di perlakukan begitu bukannya marah Vero malah tertawa pelan. Meraih wajah lelaki itu dengan lembut lalu membenamkan bibir merahnya pada bibir Roberto. Hanya sekilas sebab pria itu dengan cepat menarik tubuhnya. Sentuhan itu bisa membuatnya lupa pulang, dia tak kan terkecoh.
"Aku janji, akan menemui mu secepatnya," ucap Roberto. Menatap sejenak tubuh molek wanita nya lalu beranjak pergi meninggalkan Veronica.
Rober menghentikan langkah kakinya di depan bodyguard yang berjaga di depan pintu kamar Veronica, memberi intruksi pada orangnya sebelum dia benar-benar meninggalkan Vila ini.
"Jaga dia, aku tak ingin dia kabur lagi!"
"Baik tuan," ujar lelaki tinggi tegap di samping Roberto.
Roberto dan sekretarisnya meninggalkan Vila dengan mobil mewahnya.
"Nyonya tadi malam menghubungiku tuan, bertanya keberadaan tuan."
Roberto menatap sekilas sekretaris pribadinya yang berada di jok depan lalu membuang tatapannya keluar jendela.
"Kau jawab apa?"
"Tuan sudah pulang, tapi ada masalah yang harus di selesaikan di kota B, dan terpaksa bermalam disana." Jelas Leo.
Roberto menganguk pelan. Dia baru pulang melakukan perjalanan bisnis keluar negri. Bukannya langsung pulang kerumah dia malah menemui Veronica di Vila miliknya. Gadis yang dia tebus di club malam, sudah dua bulan ini menjadi pemuas keinginannya di atas ranjang.
"Sebaiknya tuan menyalahkan ponsel tuan kembali, nyonya pasti sangat khawatir saat ini."
Roberto tak merespon ucapan Leo, dia sibuk menatap layar laptopnya.
Mobil mewah Roberto berhenti di halaman rumah mewah bergaya klasik. Rumah yang sangan luas dan megah. Di setiap sudut rumah terlihat beberapa penjaga yang siaga.
Roberto baru saja menginjakkan kakinya menapaki halaman rumahnya.Dari dalam rumah terdengar Seruan putri semata wayangnya.
"Daddy!" Serunya sembari berhambur memeluk Robert. Sementara di belakangnya seorang wanita yang sangat cantik dan elegan menatap Roberto tak berkedip.
"Kamelia kau bertambah berat sekarang." Ujar Roberto pada gadis kecil yang berada dalam gendongannya.
"Benarkah?" ujar Kamelia tak percaya sementara manik beningnya menatap Roberto berbinar bahagia.
"Tentu sayang," Roberto kembali men cium puncak kepala putrinya.
Roberto beralih pada Elea wanita yang menemaninya sepuluh tahun menyandang setatus sebagai nyonya Roberto.
"Kau terlihat pucat sayang, apa kau rutin meminum obatmu?" Tanya Robert dengan ekspri dan suara datar,suara yang berbeda saat dia berbicara dengan Vero.
"Sudah mas," jawam Elea sembari meraih tangan suaminya lalu menciumnya.
"Kamel, pergilah dengan bibik. Biar papa mu biaristrahat sebentar." Kamelia memgangguk paham, tak menunggu di perintah dua kali gadis mungil itu mengikuti langkah bibik pengasuh meninggalka mama dan papanya.
Elea membuka satu persatu kancing kemeja Roberto, hatinya berdesir saat aroma vanila menyeruak masuk ke indra menciuman Elea. Ini bukan milik Roberto jelas-jelas parfum ini milik wanita.
"Kau menghubungi Leo semalam?" Tanya Roberto datar. Netranya menatap wajah Elea yang sedang melucuti pakaiannya satu persatu.
"Maaf mas, Kamel terus merengek mencarimu. Bibik dan aku berusaha menenagkan, tapi kamel begitu keras kepala." Jelas Elea sembari membalas tatapan suaminya.
"Lain kali, jangan merepotkan Leo saat tidak ada kabar dariku." jelas Roberto sembari membelai kepala Elea.
"Iya aku paham mas." Sahut Elea patuh.
"Aku mandi dulu."
Elea mengangguk pelan. menatap punggung Roberto yang menghilang dibalik pintu kamar mandi. Perlahan Elea mengangakat kemeja Roberto yang ada dalam genggamannya, sejajar dengan wajahnya lalu memastikan dengan indra penciumannya bahwa wangi vanila berasal dari tubuh Roberto. Dan ternyata benar.
Elea memejamkan matanya sesaat, lalu meletakkan pakaian kotor Roberto pada tempatnya.
Nyeri menjalari relung hatinya. Kenyataan dia tak bisa melayani suaminya sejak tiga tahun lalu membuatnya terpaksa bungkam. Baginya asalkan Roberto masih mengutamakan dia dan Kamel itu masih membuatnya tenang. Dan sejauh ini Roberto masih melakukan hal itu.
Hubungannya dengan Roberto bukanlah berdasarkan cinta, Roberto menikahinya atas dasar balas budi pada papanya. Tapi dia sungguh menyintai Roberto dari awal, dia rela menerima segala sikap dingin suaminya karena sepenggal rasa cintanya untuk Roberto.
***
Veronica mengigil di balik selimut, rasa ini datang lagi. Sejak meninggalkan club malam Mami Nada, Veronica selalu mengalami hal semacam ini. Dia seperti berkeinginan pada sesuatu, keinginan yang begitu kuat dan dahsat pada sesuatu itu membuatnya kehilangan akal sehat dan kendali atas dirinya.
Di saat saat seperti ini dia merindukan mami Nada. Biasanya mami akan memberinya sebutir pil yang akan meredam segala rasa inginnya dan menggantinya dengan perasaan tenang.
"Roberto kau sangat kejam! aku butuh sentuhanmu tapi kau malah tak disisiku, peluk aku agar aku tenang." Gumam Veronika di antara separuh kesadarannya.
Tubuhnya semakin terasa panas, seperti sedang bira hi, dan harus segera di salurkan. Saat ini dia berada dititik paling kritis, akal sehatnya tak berpungsi dengan benar, nalarnya tak bekerja sempurna yang ada di benaknya saat ini meredam rasa ingin yang berlebihan.
Dengan langkah terhuyung Veronica melangkah tertatih masuk kedalam kamar mandi. Dengan jari gemetar dia memutar keran mengisi bathtub hingga penuh lalu membenamkan seluruh tunuhnya di sana.
Sementara di luar pintu kamar, pelayan terlihat panik. Berulang kali memanggil Veronica tapi tak ada respon. Dia khawatir Vero melarikan diri lagi seperti beberapa waktu lalu.
"Ada apa?" Tanya bodyguard pada pelayan wanita yang terlihat panik.
"Nona Vero tidak menjawab panggilanku, aku takut.."
"Awas!"
Brak!!!
Pintu kamar Vero terbuka paksa beberapa pelayan bergegas memeriksa seluruh isi kamar.
"Nona!" Pekik pelayan wanita saat mendapati tubuh Vero terbenam di dalam bathtub.
"Angkat! tuan tak mengijinkan aku menyentuhnya!" Seru bodyguard itu panik bukan kepalang, mereka kecolongan lagi.
***
Roberto memeluk tubuh Elea dengan mata terpejam, setelah menemani kamel bermain kini dia tengah melepas rindu pada Elea. Hanya pelukan dan kecupan hangat yang bisa dia berikan, lebih dari itu akan menyiksa Elea.
"Mas aku rindu bisa menghabiskan waktu di luar besama, bukankah sudah lama kita tidak melakukannya," ucap Elea di tengah pelukan hangat Roberto.
"Kau benar, apa kau mau aku membawa mu keluar Elea?"
"Kalau mas punya waktu." Bisik Elea pelan.
"Baiklah besok kita jalan keluar." jawab Roberto tanpa ekspresi.
Elea tak perduli tentang ekspresi suaminya. Asalkan bisa menghabiskan waktu berdua itu lebih dari cukup.
"Mas ponselmu berdering," ujar Elea. Ponsel Roberto berdering nyaring sebanyak dua kali.
Dia sangat tidak suka di ganggu saat sedang istrahat, kalau sampai ada yang berani menelponnya itu pertanda sangat urgent.
(Ada apa?!)
(Tuan nona Vero membenamkan tubuhnya di bathtub, sampai sekarang belum sadarkan diri)
Tubuh Roberto membeku, jemarinya mengepal kuat, menonjolkan urat-urat di jemari kokohnya.
(Malam ini aku akan kesana, sebelum itu kau tangani dia.) Titah Roberto dengan suara beratnya.
(Baik tuan)
Roberto bergegas masuk ke walk in closet berganti baju lalu melangkah pergi.
"Mas ada apa?" Tanya Elea panik.
"Aku keluar kota malam ini sayang, tidak tau kapan bisa pulang, setelah di sana aku akan kabari kamu." jelas Roberto dengan wajah menegang. Elea hanya bisa mengangguk pelan. Ekspresi marah dan khawatir suaminya membuatnya tak berani banyak bicara apalagi bertanya.
Elea hanya bisa melambai pada sosok suaminya yang sudah menghilang dalam gelap, berharap masalahnya segera teratasi dan segera kembali lagi di sisinya yang masih begitu rindu.
Happy reading.
Perjalanan yang biasanya terasa singkat kini terasa sebaliknya. Roberto berulang kali berdecak kesal saat harus memperlambat laju mobilnya karena jalanan yang lumayan ramai.
Setelah sampai di ujung kota barulah mobil bisa melaju dengan kecepatan tinggi. Di perjalanan berulang kali Roberto menelpon Andi orang kepercayaannya yang menangani Vero.
Dengan langkah tergesa Roberto masuk Vila miliknya, menuju lantai atas tempat dimana Vero di rawat.
Dia tertegun di samping tubuh Vero yang terbaring lemah. Marah sedih bercampur jadi satu di dadanya.
"Apa yang terjadi?!" Tanya Roberto pada Andi, wajahnya menegang. Tubuh pucat Vero membuat jantungnya serasa berhenti berdetak saat ini.
"Nona Vero tak menjawab panggilan pelayan saat makan malam tuan, karena curiga kami mendobrak pintunya tuan." Jelas Andi dengan perasaan takut. Sudah dua kali ini dia kecolongan.
"Keluarlah," ucap Roberto lirih sembari melangkah mendekati Vero. Memeluk tubuh mungil yang terasa dingin sedingin es.
Sudah beberapa jam tapi vero belum juga sadarkan diri. Apa yang ada di pikaran gadis ini hingga berulang kali melakukan tindakan bodoh.
Sudah bagus dia menebusnya dari mami jadi tak harus melayani banyak pria. Tapi tindakan bodohnya berkata lain. Seakan dia begitu tersiksa hingga ingin mati.
"Sayang, aku sudah samapai. Aku tidak pulang malam ini jangan menungguku," Ujar Robert di saluran telpon dengan suara pelan. sedang netranya mengawasi tubuh yang bergeming di atas tempat tidur.
"Tidak apa mas, hati-hati disana. Jaga hatimu untukku," ucap Elea dengan suara sendu.
"Hemm." sahut Robert dengan gumaman. Lalu memutus panggilan. Kalimat terakhir istrinya sungguh mengena di hati Robert. Dia menatap sosok Vero dengan seksama dari tempatnya berdiri sekarang. Saat ini benarkah dia masih menjaga hati hanya untuk istrinya.
Dua bulan ini dia terbuai oleh tubuh dan sikap gadis belia yang lebih cocok memanggilnya paman. Tapi segala gestur gadis itu begitu dewasa. Awalnya dia membawa Vero di kehidupannya hanya sebagai pemuas hasratnya. Hasrat yang tak mampu dia lampiaskan pada Elea. Lama-kelamaan perasaan berkembang lebih jauh. walau dia beusaha mengingkari sekuat tenaga buktinya hatinya goyah juga.
"Tuan..." rintih Vero sembari berusaha membuka matanya perlahan.
"Kau sudah sadar ve?" Vero mengangguk pelan.
"Gadis keras kepala! cepat pulih, aku tidak bisa menghukum orang sakit," ujar Roberto sembari memeluk tubuh mungil itu erat.
Vero menengadah menatap wajah tegas dan garang itu dengan senyum di sudut bibirnya. Lalu bersembunyi di balik dada bidang yang begitu hangat dan menenangkan.
Hati Robert menghangat, entah mengapa sentuhan Vero berdampak pada perasaan hatinya, banyak wanita yang menjadi pelampiasan hasratnya, tapi tak pernah menyentuh sampai relung hatinya terdalam.
"Tuan tak ingin meminta jatahmu?" Tanya Vero dengan berbisik pelan. Robert terkekeh, dia membelai rambut hitam legam Vero dengan lembut, lalu mengecup lembut.
"Kalau aku benar ingin apa kau mampu? Kau tau segila apa aku di ranjang, di pelukanmu hasrat itu tak terbendung dan aku tak yakin mampu mengendalikannya."
Vero mendesah kecewa, tapi tubuhnya semakin erat menempel pada Robert.
"Hey gadis kecil, apa hastarmu sebesar itu? tubuh lemah begini masih juga mengiginkannya!" sentak Robert sembari menjewer telinga Vero.
"Apa tidak bisa bermain pelan-pelan saja?" Bisik Vero menengadah, memperlihatkan wajah memelas. Dia benar-benar ingin. Robert menggeleng tegas. Membuat Vero mendecak putus asa.
Robert tau hasrat itu timbul karena obat yang selalu di berikan Mami saat di Club, agar Vero tanpa sungkan melayani semua pelanggan.
"Malam ini kau harus mamapu menahannya. Aku tak mau bercinta dengan wanita penyakitan begini." Tegas Robert sembari meraih jemari Vero yang sedang mengerayangi tubuh kekarnya, membawanya dalam dekapan.
"Pelit!" Dengus Vero kesal.
"Buat dirimu sembuh, kau akan dapat jatahmu di atas ranjan. Dan jangan memohon menghentikan kegilaanku. Tak kan kupenuhi." gumam Roberto, sementara tangannya sibuk menahan gerakan liar Vero yang sedang berhasrat.
"Aku maunya sekarang! atau beri aku pil itu, please!" Desah Vero dengan mata berkabut sayu.
"Tidak ada pil kalau aku ada di sisimu. Belajarlah melawan hasratmu yang tak wajar ini," ujar Robert sembari terus mengendalikan gerakan liar Vero. Andai gadis ini tidak dalam keadaan sakit, Robert tak kan sungkan mengimbangi keliaran Vero.
De sah, Vero melemah di sertai napas yang memburu. Tenaganya sudah mulai habis,hasratnya juga sudah mulai terkikis habis. Matanya juga mulai terpejam, dan mulai tertidur pulas.
Perlahan Robert melepas dekapannya, meletakkan tubuh Vero di atas tempat tidur, lalu menyelimuti tubuh mungil itu dengan selimut tebal.
Robert menatap layar laptopnya sembari memijit keningnya dengan ujung jarinya. Sudah satu jam lebih dia berkutat dengan laptopnya. Dia terpaksa bekerja dari rumah karena Vero. Gadis ini pasti nanti akan menerima hukuman darinya.
Dia baru beranjak dari meja kerjanya saat kantuk dan lelah tak tertahankan lagi. Dengan gerakan lembut dan hati-hati Robert dia mulai naik ketempat tidur. Mendekap erat tubuh mungil Vero yang bersembunyi di balik selimut tebal, lalu terlelap.
Vero mengedipkan matanya berulang kali. Memindai wajah pria dewasa di sampingnya. Karena dia yang tak tau diri pria ini banyak berkorban waktu. Ini bukan maunya, dia juga tersiksa saat rasa itu datang, dia tak berdaya di bawah pengaruhnya.
Vero mendesah pelan, selama dua bulan tak mengkosumsi berbagai obat membuat Vero bisa berpikir jernih. Hanya bila datang hasratnya yang tak terkendali dia hilang akal. Entah mengapa perlakuan pria dewasa ini sedikit banyak membutnya memiliki rasa, debar-debar halus selalu timbul saat berada di sampingnya seperti ini. Tapi dia sadar apa statusnya di samping pria ini cuma pemuas ***** belaka tak lebih.
Perlahan Vero beranjak bangkit dari tempat tidur berjalan menuju balkon. Netranya menatap takjub cahaya bintang yang memenuhi ruang angkasa. Selama berada di sini Vero baru bisa menikmati bintang. Saat berada di tangan mami dia bahkan tak pernah tau waktu siang ataupun malam. Sepanjang hari di kurung dalam ruangan, keluar saat akan melayani tamu.
Vero mendesah pelan saat sepasang tangan kokoh menyentuh tubuhnya.
"Sudah sembuh?" Tanya Robert sembari men cium ceruk dileher jenjang Vero, sementara jemarinya menyusup di balik gaun transparan milik Vero.
"Hmmm." Hanya gumaman yang keluar dari mulut Vero, sentuhan Robert memancing hasratnya.
"Kalau begitu aku bisa ambil jatahku?" Bisik Robert sembari menggigit ujung telinganya pelan.
Lidah yang menempel pada telinga dan hembusan napas yang hangat membuat Vero menggila. Sentuhan sensitif pada titik itu sungguh menimbulkan kenikmatan tersendiri.
Tak puas melakukannya di balkon, Robert membopong tubuh mungil itu masuk kekamar. Diatas ranjang keduanya saling bertukar kenikmatan, saling memuaskan dan kali ini Vero lebih dominan. Dia yang memimpin permainan dan Robert cukup puas hanya sebagai penikmat, menerima segala sentuhan ero tis Vero yang melambungkan angan bira hinya.
De sah dan rintih terdengar memenuhi kamar di pagi buta ini, hingga keduanya terkulai tak berdaya bermandi keringat. Serelah saling melakukan pelepasan.
"Kau sudah baikan, aku akan pulang setelah sarapan. Jangan banyak tingkah lagi! kau tau aku tidak punya banyak kesabaran." Bisik Robert sembari mengusap wajah penuh keringat itu dengan lembut.
"Maaf merepotkanmu tuan."
"Hemm"
Setelah sarapan Robert berpamitan kembali ke kota ,ada banyak pekerjaan yang sedang menunggunya saat ini. Dan Vero kembali kesepian di Villa yang jauh dari keramaian.
Happy reading.
Vero berlari-lari kecil menyusuri jalan setapak di tengah taman yang berada di belakang vila. Sudah dua bulan dia tinggal di sini jadi budak Robert. Baru pagi ini dia keluar vila menikmati segarnya udara pingiran kota yang jauh dari polusi udara.
Vila milik Robert memiliki pekarangan yang sangat luas, dikelilingi tembok yang menjulang tinggi. Vila ini hanya memiliki dua akses jalan keluar yaitu pintu utama dan pintu belakang.
Udara sejuk pagi tadi berubah menjadi sedikit lebih hangat. Matahari sudah mulai memperlihatkan pesonanya di balik awan jingga. Menakjubkan, entah kapan terakhir kali dia melihat matahari terbit di alam terbuka.
Semenjak pamannya menjualnya pada mami Nada, dia tak pernah melihat dunia luar. Dia hidup seperti vampir yang gentayangan dimalam hari mencari mangsa dan tidur disiang hari mengumpulkan tenaga.
Selama dua bulan disini, pikiran jernihnya mulai kembali lagi sedikit-demi sedikit. Dia kembali memiliki hati, setelah sebelumnya hatinya benar-benar mati.
Kecanduannya juga hanya sesekali datang. Mungkin karena tak lagi meminum obat yang sering dia konsumsi.
Tubuh molek Vero yang terbaring di atas kursi taman membuat pengawalnya tertegun di tempatnya. Siluet tubuhnya yang terbentuk dàri cahaya keemasan sinar matahari, membuat pengawal Vero harus menelan salivanya dengan kasar.
"Menatapku seperti itu, apa tidak takut dengan tuan Robert?" Tanya Vero dengan mata terpejam. Pengawal itu tersentak kaget lalau menundukkan kepalanya cepat.
"Maaf nona."
"Hhhmm, baiklah. Ngomong-ngomong siapa nama mu?" Tanya Vero sembari membuka matanya dan perlahan beranjak duduk dari posisi tidurnya.
"Aku jaka Nona."
"Kepala pengawal siapa namanya?" Tanya Vero lagi.
"Dia tuan Adrian Nona."
"Hhhmm baiklah. Terimakasih jaka."
"Sama-sama Nona. Nona sebaiknya keruang makan. Sarapan Nona sudah di siapkan oleh pelayan."
"Hmm." Sahut Vero sembari beranjak bangkit, saat melewati Jaka mata Vero melirik sekilas, ada senyum di bibir tipisnya.
'Pengawal Robert tampan juga' batinya sembari berlalu pergi.
Langkah Vero berhenti di ruang makan yang cukup luas. Di tengah ruang ada meja makan yang cukup panjang, bisa menampung dua puluh orang sekaligus di meja ini. Robert sepertinya pecinta benda-benda klasik. Dari Vila hingga benda di dalamnya semua bernuansa klasik.
"Nona, silahkan sarapan. Sebelum hidangannya jadi dingin."
Vero yang masih berdiri menatap meja makan beralih menatap Susi kepala pelayan di Vila ini.
"Susi ambil piring kosong satu lagi." Titah Vero sembari menarik satu kursi lalu duduk di sana.
"Baik Nona."
Susi mengambil piring kosong lalu menyerahkannya pada Vero.
"Duduklah, temani aku makan. Hidangan sebanyak ini mana bisa aku habiskan sendiri." Titah Vero tanpa melihat reaksi Susi yang membulatkan matanya kaget.
"Maaf Nona, saya tidak berani. Tuan Robert akan menghukum saya karena ini." Tolak Susi dengan hati-hati.
"Kenapa?"
"Kami cuma pelayan Nona."
Vero tertawa sinis, dengan mata lentiknya Vero menatap susi dalam.
"Kau tidak tau aku juga pelayan disini? Bahkan kedudukanmu lebih baik disini. Sementara aku cuma sebagai pelayan naf su tuan Robert," ucap Vero dengan senyum getir.
Susi kembali menatap Vero dengan mata membulat. Tubuhnya terlihat gemetar ketakutan.
"Nona jangan bicara begitu, kalau di dengar tuan Nona bisa kena masalah."
Vero mendesah, hidupnya memang bersanding dengan masalah. Entah punya hutang apa keluarganya dimasa lalu, hingga Vero yang menanggung deritanya.
"Tidak apa, kalau tuan Robert marah aku tidak akan melibatkanmu," ucap Vero sembari mengerakkan tangannya memberi isyarat agar Susi menemaninya sarapan.
"B-baik Nona," ucap Susi gugup sembari menarik kursi di depannya lalu duduk disana. Dan mulai ikut sarapan bersama Vero.
"Sudah berapa banyak tuan Robert membawa pela cur sepertiku ke-Vila ini?"
Uhuk!
Uhuk!
Susi menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Sementara netranya menatap Vero dengan bergetar.
"Susi pelan-pelan kalau makan," ucap Vero sembari menyodorkan selembar tisu pada Susi.
"Maaf Nona." Pertanyaan Vero yang terlalu terus terang membuat Susi kaget dan tersedak.
"Ya, tapi kau belum menjawab pertanyaanku barusan." Mata lentik Vero menatap penuh wajah Susi yang lumayan cantik, walau umur Susi lebih tua dari Vero tapi Vero tak ingin memanggil kakak atau mbak pada Susi.
"Tidak penah tuan membawa wanita ke Vila ini. Bahkan nyonya juga tidak pernah di bawa kesini. Tuan selalu sendiri di Vila ini." Jelas Susi sembari tertunduk takut. Disini tidak boleh banyak omong, apa lagi menyangkut masalah pribadi Robert.
"Begitu." Gumam Vero.
Dari Ara samping tampak Jaka menghampiri Vero, lalu menyerahkan ponsel padanya. Ternyata panggilan dari Robert.
"Pagi tuan," sapa Vero melalui sambungan telpon.
"Pagi. Sedang bahas apa dengan Susi?" Tanya Robert dengan suara beratnya.Lelaki ini memang tak melewatkan apapun yang dinlakukan Vero di Vila ini.
"Tentu saja membahas tuan rumah. Tapi sayang mulut mereka terlalu rapat terkunci." Sahut Vero dengan senyum.
"Ada angin apa menelponku pagi-pagi. Biasanya tak pernah mengabari aku saat di sana," imbuh Vero.
"Kau milikku terserah aku mau melakukan apa, jangan protes!" Ujar Robert dingin.
"Tuan benar, aku cuma gun dikmu," jawab Vero dengan tawa pelan. Sementara Susi yang berada di depannya terlihat gemetar ketakutan.
"Vero! aku menghubungimu bukan ingin bertengkar denganmu. Sudahlah, ingat jangan bertingkah saat aku tidak ada," ujar Robert lalu memutus panggilannya. Vero memang selalu seenaknya saat bicara pada Robert, sering dihukum tapi tak pernah membuat Vero jera. Pengaruh obat membuatnya tak takut pada apapun.
"Aku kekamar dulu Susi."
"Baiklah Nona." Susi menatap Vero dengan mengelengkan kepalanya. Vero benar-benar tak tau takut. Padahal semenjak dua bulan disini, entah sudah berapa kali Vero kena hukuman dari Robert. Yang paling parah saat dia melarikan diri dari Vila, tuan mengurungnya diruang bawah tanah menyambuknya setiap hari.
Vero melangkah kekamarnya di lantai dua. Sementara di belakangannya ada Adrian yang mengikuti langkahnya sampai di pintu kamar.
Vero menghentikan langkahnya di ambang pintu berbalik menghadap Adrian.
"Kau Adrian kan?" Adrian mengangguk acuh.
"Selesai mandi, bisakah kau membawaku menikmati keindahan pantai?" Tanya Vero dengan tatapan memohon.
"Tuan tidak akan mengijinkan." Jawab Adrian datar.
"Aku bosan melihat wajahmu tiap hari, aku ingin melihat pantai sesekali." Desah Vero sembari melangkah masuk kedalam kamar dan menutup pintu dengan kasar.
Adrian menghela napas berat, gadis sembilan belas tahun ini sungguh susah di atur. Beruntung tuan begitu menyukainya.
(Tuan, Nona Vero merengek ingin melihat pantai.) Begitulah bunyi pesan Adrian pada Robert.
(Biarkan dia pergi, aku juga ingin lihat. Apakah dia masih ada niat melarikan diri lagi.) Balas Robert.
(Baiklah tuan)
Adrian mengetuk pintu kamar Vero. Sudah cukup lama seharusnya Vero sudah selesai mandi sedari tadi.
Ceklek!
Pintu kamar terbuka setengahnya, di balik pintu Vero keluar dengan tubuh hanya terbalut handuk. Yang hanya mampu menutup sebagian tubuhnya. Pemandangan indah itu membuat Adrian terpaku di tempatnya.
"Ada apa?" Tanya Vero sembari mengerjap beberapa kali.
"Tuan mengijinkan Nona pergi melihat pantai."
Vero melihat Adrian dengan mata berbinar bahagia, dia seakan sudah mencium aroma pantai di kamarnya.
"Kau memang bisa diandalkan," ujar Vero dengan kerling manja, lalu menutup pintu kamarnya rapat.
Adrian membeku di tempatnya. Lama -lama mengawal Vero, dia bisa mati di tangan Robert karena khilaf.
Tubuh gemulai Vero belarian di pantai, tingkahnya seperti bocah kecil yang baru mendapat kembang gula kesukaannya.
Sementara Adrian mengawasinya dari jauh. Dia tak punya nyali mendekat. Tubuh molek terbalut baju pantai yang sangat tipis itu bisa membuatnya lupa bahwa Vero adalah milik tuannya.
Happy reading.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!