Menikah dan bahagia bersama orang yang benar benar mencintaiku adalah impianku terbesar dalam hidupku. ( Bia )
Menjadi anak tunggal dalam keluarganya menjadikan Bia, gadis yang sudah berusia dua puluh tahun itu harus terjun ke perusahaan. Siapa lagi yang akan mewarisi perusahaan jika bukan dirinya. Apalagi Wijaya, ayah Bia yang saat ini sudah sakit sakitan membuat Bia semakin iba.
Dalam empat tahun terakhir, semenjak Bia mengurus perusahaan sang ayah, banyak kemajuan pesat. Hingga perusahan Wijaya berhasil duduk di peringkat ke-5 besar dalam perusahan terbaik se-Indonesia.
Meski masih muda, Bia sering memenangkan tender. Semakin menggeluti pekerjaan, Bia semakin lupa akan kehidupan pribadinya.
Seluruh waktu hanya ia gunakan untuk bekerja.
Wijaya menatap putri semata wayangnya yang baru saja turun dari tangga untuk menghampirinya.
"Pagi, Pa," sapanya.
Wijaya tersenyum. "Pagi juga. Ayo sarapan," ucap Wijaya.
Tanpa menunggu lama, Bia segera mengambil piring untuk diisi nasi dan lauk.
"Papa gak sarapan?" tanya Bia heran saat Wijaya hanya mengamatinya.
Tersenyum tipis, Wijaya menggeleng.
"Papa belum lapar, Bi," elaknya.
Mendengar jawaban Wijaya, Bia menghentikan sendok di udara lalu menatap Wijaya dengan tajam.
"Apa Papa sakit?" tanya Bia cepat.
Lagi lagi Wijaya hanya menggeleng.
"Papa tidak apa apa. Hanya belum lapar saja. Sudahlah kamu makan yang banyak," ucap Wijaya.
Bia mengangguk menuruti ucapan ayahnya. Namun, Bia yakin saat ini ayahnya sedang menyembunyikan sesuatu darinya.
Setelah selesai, Bia segera berpamitan kepada Wijaya.
Di depan, sopir sudah menunggu.
"Pa, Bia berangkat ya! Kalau ada apa apa segera hubungi Bia!"
Wijaya hanya mengangguk sambil melambaikan tangannya kepada sang anak. Entah mengapa air mata Wijaya menetes setelah kepergian mobil Bia.
"Mari, Tuan." Mbak Lia, asisten rumah tangga menuntun Wijaya masuk kedalam.
"Tuan belum makan?" tanya Mbak Lia.
"Tuan harus makan dan setelah itu minum obat." Dengan telaten Mbak Lia mengambilkan nasi untuk majikannya.
Namun, kali ini Wijaya menolaknya.
"Li, aku lelah bergantung pada obat," lirihnya.
Mbak Lia menatap sang majikan dengan penuh rasa iba.
"Tuan ingin melihat nona Bia berada di atas pelaminan lalu menggendong cucu kan?"
Wijaya hanya mengangguk pasrah. Karena memang itu yang ia harapkan di sisa umurnya.
"Kalau begitu, Tuan semangat. Demi nona Bia," bujuk Mbak Lia.
Dengan patuh, Wijaya mulai menyendokkan makanan kedalam mulutnya.
Sudah setahun ini Wijaya menyembunyikan penyakitnya dari sang anak. Alasannya ia tak ingin membuat Bia semakin terbebani oleh penyakit yang ia derita saat ini. Apalagi tanggung jawab yang ia berikan kepada sang anak sudah sangat berat.
Mobil telah berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit.
Bia berjalan dengan anggun, sambil menjinjing tas bermerek. Semua yang berpapasan dengannya langsung menyapa lalu menundukkan badannya.
"Maaf Bu Dir, pagi ini jadwal meeting di majukan satu jam lebih awal," tutur Nathan, asisten Bia.
"Ada lagi?" tanya Bia.
"Setelah itu, pukul dua siang ada kunjungan dari PT AIA untuk meninjau langsung lokasi."
Bia mengangguk sambil menandatangi kertas yang Nathan berikan.
"Ada lagi?" tanya Bia kembali.
"Sudah itu saja Bu Dir," pungkas Nathan
Nathan pun mengambil kertas yang telah di tanda tangani oleh Bia lalu beranjak pergi.
Meeting berjalan dengan lancar.
Bia membuang nafas beratnya. Beberapa kali ia memijit keningnya.
"Nath, suruh OB buatkan kopi!" titahnya pada Nathan.
"Baik, Bu." Dengan segera Nathan menuruti perintah atasannya.
"Kalau sakit, mending pulang. Biar saya yang mengurus pertemuan nanti."
Segelas kopi susu di sodorkan dihadapan Bia.
Bia segera mengambil lalu menatap Nathan, orang pilihan ayahnya yang di telah dipercayakan sebagai asisten pribadinya.
"Ini pertemuan penting. Aku tidak boleh gagal untuk meyakinkan mereka," ungkap Bia sambil menyesap kopinya.
"Kalau anda sakit siapa yang repot?" keluh Nathan.
Bia menatap tajam kearah Nathan seketika lelaki itu diam membungkam mulut sadar akan ucapannya.
Nathan lupa jika Bia tipe wanita sedikit kaku dan tidak suka bercanda.
Ketukan pintu menjadi alasan Nathan untuk menghindari dan segera menyambar pintu.
"Terimakasih," ucapnya lalu menutup pintu kembali.
"Bu Dir, pesanan anda." Nathan menyodorkan paper bag yang berisi orderan makan siang.
Meski seorang lelaki, Nathan tak kalah cekatan seperti seorang wanita pada umumnya.
Ia telah lama mengabdi kepada keluarga Wijaya. Meski usinya sudah memasuki kepala tiga namun, sampai detik ini belum terbesit dalam hatinya untuk mencari pendamping hidup.
Baginya saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah mengabdi kepada keluarga Wijaya yang telah menyelamatkan hidupnya kala itu.
.
.
.
Tap Like dan komen
Terik panas menyengat kulit. Begitulah yang Bia rasakan saat ini, meski sebuah payung telah melindunginya.
Terlihat satu rombongan menghampiri Bia dan teamnya.
Salah seorang menunduk, memberi hormat kepada Bia.
"Maaf Ibu Direktur, atasan kami tidak bisa hadir karena suatu hal penting," tuturnya
Bia terbelalak mendengar penuturan utusan CEO ternama itu.
"Saya Rafa, asisten pribadi tuan Anyer." Sambungnya lagi.
Dalam hati Bia mengutuk atasan Rafa. Percuma Bia berada di bawah teriknya panas jika tidak bisa bertemu langsung dengan CEO perusahaan nomer 1 se-Indonesia raya.
"Nath, kamu urus!" titahnya pada Nathan.
Dengan anggukan Nathan segera maju ke depan dan membimbing Rafa dan rombongan untuk melihat lokasi.
Sementara Bia memilih kembali kedalam mobil dengan perasan kesal. Memang benar rumor yang beredar, pengusaha yang bernama Adipati Anyer Subrajdo memang sangat sulit untuk bisa bertemu langsung dengannya.
"Dasar, CEO belagu," umpatnya pelan.
Sopir yang duduk di tempat pengemudi sekilas hanya melirik Bosnya yang sedang memaki seseorang.
"Lama banget sih Nathan," gerutu lagi.
"Awas aja kalau gak bisa menyakinkan mereka!"
Duduk, namun pikiran berkelana sambil menggerutu. Itulah kebiasaan Bia.
Dilain sisi, Nathan dan Rafa membahas lahan yang akan di jadikan proyek kerjasama antara perusahaan mereka.
Setelah melalui survei dari beberapa orang yang di bawa oleh Rafa, akhirnya pihak dari Rafa menyetujuinya lahan tersebut.
"Berhubung atasan kami tidak bisa hadir, kami belum bisa mengatakan in dea meski kami merasa sudah sangat cocok. Tapi kami akan berusaha meyakinkan atasan kami," ucap Rafa dengan penuh sopan.
Sedikit kecewa namun, Nathan tetap memperlihatkan senyum indahnya.
"Baiklah saya mengerti. Semoga Tuan Anyer setuju," ucap Nathan penuh harap.
Setelah berjabat tangan, team Rafa dan Nathan pun segera membubarkan diri. Begitu juga dengan Nathan. Ia segera kembali ke mobil yang sudah berada Bia di sana.
Sambil mengipaskan tangannya ke depan wajah. "Huh… Panas banget. Pak nyalain ac dong!" perintahnya pada pak sopir. Dengan patuh sang sopir menyetel ac mobilnya.
Bia sudah tak sabar ingin mendengar kabar dari Nathan.
"Jadi gimana Nath? Setuju kan?"
"Mudah mudahan." ucap Nathan datar.
"Lho kok gitu? Jangan bilang mereka gak mau kerja sama. Aku potong setengah bonus bulanan mu!" ancam Bia.
"Bu Dir yang terhormat, tuan Anyer tidak hadir. Tapi tenang saja team mereka sudah setuju dan akan berusaha menyakinkan tuan Anyer untuk menyetujuinya."
Mendengar ucapan Nathan, wajah Bia sedikit tersenyum. Itu berarti harapannya bekerja sama dengan perusahan paling besar akan terwujud. Ini adalah kabar baik yang harus ia sampaikan kepada ayahnya.
. . .
Berhubung tak ada lagi pekerjaan di kantor, Bia memutuskan untuk pulang cepat. Berharap kabar baik segera ia sampaikan kepada ayahnya.
"Lho kok sepi," batin Bia saat ia memasuki rumah besarnya. Biasanya ia akan melihat ayahnya menonton seputar berita di ruang tengah.
"Mbak Lia…Bik Juminten…," teriak Bia.
"Papa…," teriaknya lagi.
Tak ada yang menyahut. Dan semua nama yang dipanggil tidak terlihat.
Bia segera menuju kamar ayahnya.
Lagi lagi kosong. Mengecek keberadaan penghuni rumah yang nihil akhirnya ia berlari keluar.
"Pak satpam, ini semua orang pada kemana?" tanya Bia tak sabar.
Jendri, satpam penunggu rumahnya langsung segera berdiri lalu membungkuk.
"Maaf nona, saya kurang tahu. Tapi tadi siang Lia dan Bik Jum membawa Tuan pergi." Jendri memberi pengakuan.
Bia semakin mengernyit. "Kok bisa gak tahu sih, Pak? Memangnya bapak gak tanya mau kemana mereka? Gimana sih, Pak." kesal Bia.
"Coba di telepon dulu, Non." Saran Jendri.
Bia segera membetulkan ucapan Jendri.
Ia segera merogoh ponselnya lalu mencari kontak nama sang ayah.
Namun belum juga tersambung, suara klakson mobil meminta di bukakan pintu gerbang membuat Bia segera menghentikan panggilan.
Terlihat mobil Wijaya memasuki halaman rumah. Mbak Lia dan Bik Jum pun mulai turun dari mobil. Sementara sopir segera membukakan pintu untuk Tuannya.
"Papa… Papa dari mana? Bikin panik aja." gerutu Bia di hadapan ketiga orang yang hendak memasuki rumah.
"Maaf Non, tadi Tuan merasa bosan di rumah dan meminta kami mengantarkannya untuk belanja bulanan," jelas Mbak Lia.
"Sudahlah, Bi. Jangan berlebihan! Ayo masuk!" Wijaya segera merangkul Bia meski dengan rasa gemetar dalam tubuhnya.
Bik Jum segera menyimpan barang yang telah mereka beli. Sementara Mbak Lia turut mengantar Wijaya kedalam kamar.
"Non Bia, Tuan belum makan. Saya akan siapkan makan untuk Tuan." ucap Mbak Lia. Bia hanya mengangguk.
Setelah kepergian mbak Lia. Bia menatap Wijaya. "Papa dari mana sih? Gak biasanya Papa pergi bawa Mbak Lia dan Bik Jum?" Cecar Bia.
Wijaya tersenyum. "Papa hanya dari supermarket belanja. Lagian Papa bosan di rumah. Kalau Papa suruh mbak Lia atau Bik Jum, nanti belanjaan gak sesuai dengan keinginan Papa," kilahnya.
Bia menarik nafas beratnya.
"Sudahlah! Kamu pasti capek. Sana mandi terus makan!" Wijaya merasa tak nyaman jika Bia terus menginterogasinya.
"Baiklah. Bia ke kamar dulu ya." Pamit Bia.
Sebelum keluar, Mbak Lia sudah datang kembali ke kamar Wijaya dengan sebuah nampan.
"Bi, maaf Papa tak bisa menemani kamu makan. Papa makan di kamar ya," ucap Wijaya.
Bia hanya mengangguk pelan kemudian berlalu.
Dalam releung hatinya Bia merasa sedikit kecewa dengan sikap ayahnya yang akhir akhir ini susah untuk diajak ngobrol bersama.
"Tuan, seharusnya anda dirawat jika tidak ingin kondisinya semakin buruk." Mbak Lia segera menyiapkan obat obat yang hendak di minum oleh Wijaya.
"Kamu mau Bia mengetahui penyakit saya? Cepat bawa sini obatnya," pinta Wijaya.
Pagi ini Bia ada jadwal meeting di kantor. Dengan langkah tergesa gesa ia menuju meja makan lalu menyambar sepotong roti dan meminum susu yang telah di sediakan untuk dirinya.
"Bi, pelan pelan," tegur Wijaya.
Dengan mulut yang masih penuh Bia tak bisa berkata kata lagi dan itu membuatnya terlihat sangat lucu hingga Wijaya menarik kedua bibirnya untuk tersenyum.
"Bi, kamu nanti bisa pulang cepat kan?" tanya Wijaya.
"Untuk hari ini maaf Pa, Bia gak bisa pulang cepat. Nanti malam Bia ada dinner dengan klain dari Singapura. Tumben Papa nanya aku bisa pulang cepat?" Bia kembali bertanya.
"Ah… Itu Papa hanya ingin ngajak kamu makan di luar. Tapi kalau masih sibuk. Lain waktu saja." Sedikit kecewa, namun Wijaya menyembunyikan.
"Ooo… Gimana kalau lusa setelah Bia menang menggaet target. Sekalian Bia syukuran gitu?" canda Bia.
Wijaya mengernyit atas ucapan Bia. Terkekeh pelan, mengingat prestasi sang anak yang mampu mengembangkan bisnisnya dengan baik. Namun, di relung hatinya terselip rasa penyesalan tidak bisa memberikan kebahagiaan yang utuh setelah kepergian mendiang sang istri.
Wijaya yang sangat mencintai istrinya, bahkan ia rela membesarkan anak semata wayangnya sendiri tanpa ada keinginan mencari ibu untuk Bia kala itu, selalu mengajarkan Bia untuk selalu menjadi wanita tangguh.
Seperti biasa, kedatangan Bia di sambut oleh para karyawannya dengan menundukkan kepala. Tak ada respon daru Bia, wanita itu memilih segera menuju ke lift.
"Maaf Bu, klain kita mengundur pertemuan kita pagi ini. Beliau meminta pertemuan setelah makan siang nanti," adu Nathan saat berada di dalam lift.
Sejenak Bia menahan nafasnya. "What?" Bia terkejut.
"Kok mendadak! Bukannya setelah makan siang ada jadwal pertemuan dengan Tuan Anyer," keluh Bia.
Tak ada yang bisa Nathan lakukan selain diam sambil mengekori Bia menuju ruangannya.
Setelah mendudukkan dirinya di kursi kebesaran, Bia menyandarkan tubuhnya dengan lesu.
"Percuma aku buru buru," gerutunya.
"Nath, coba hubungi pihak PT AIA untuk mengubah jadwal pertemuan hari ini!" titah Bia.
Dengan patuh, Nathan segera menjalankan apa yang diperintahkan oleh atasanya.
. . .
Di lain sisi di sebuah ruang kerja, Anyer sudah sibuk dengan laptopnya. Lelaki berparas tampan dengan tubuh tegap itu adalah seorang pengusaha muda sukses yang telah membawa perusahaannya masuk ke dalam urutan pertama dalam perusahaan terbaik di kota ini selama enam tahun terakhir ini.
"Raf, dimana pertemuan hari ini?" Tanya Anyer memastikan tempatnya.
"Maaf Tuan, sesuai janji pertemuan siang ini di adakan di Caffe Indah," ucap Rafa.
Anyer mengangguk pelan. "Baiklah." Anyer kembali menatap laptopnya.
Namun, saat Rafa hendak beranjak ponsel Rafa berdering.
"Iya. Ada apa?" jawab Rafa cepat.
Rafa melirik atasannya sebelum meninggalkan ruangan Anyer.
Setelah sampai di luar, Rafa memastikan ucapan sang penelepon.
"Sebelumnya saya minta maaf. Mengingat jadwal Tuan saya yang sangat padat dan hanya hari ini beliau ada waktu luang kami tidak bisa mengcancel atau mengundurnya lagi. Sekali lagi saya minta maaf," pungkas Rafa.
"Tapi… Sebelumnya saya atas nama Ibu Bianca ingin menyampaikan permintaan maaf beliau kepada Tuan Anyer. Siang ini beliau tidak bisa hadir. Tapi, tenang saja saya sebagai tangan kanannya akan menggantikan beliau. Tolong sampaikan permintaan maaf ini sebelumnya kepada Tuan Anyer, terimakasih." Tutup Nathan.
Rafa hanya membuang nafas kasarnya setelah Nathan mengakhiri percakapannya.
"Dari siapa?" tanya Anyer saat Rafa kembali ke ruangannya.
"Dari pihak BI grup. Mereka meminta mengundur pertemuan kita hari tapi, saya menolak," terang Rafa.
Anyer terdiam. "Berani sekali mereka ingin mengatur saya," ketus Anyer.
"Tindakanmu sudah bagus." Anyer memberi pujian kepada Rafa.
Siapa yang tak mengenal sosok Anyer. Pengusaha sukses yang mampu menanam saham di berbagai perusahaan dan memiliki hotel di mana mana. Hampir satu kota dipenuhi oleh hotel miliknya.
"Baru kali ini ada orang yang ingin mengundur pertemuan denganku. Apa dia tidak tahu siapa aku?" gumam Anyer sambil membuang nafas kasarnya.
Sementara itu setelah mendengar penjelasan daru Nathan, Bia menjadi bimbang. Ia sadar betul jika kesempatan langka untuk bisa menjalin kerja sama dengan AIA grup tapi, ia juga tak ingin mengecewakan klain penting yang sudah banyak berjasa dalam perusahaannya.
"Sudahlah, Bu. Semua akan aman terkendali. Jangan di pikirkan. Kita jalankan sesuai rencana awal." Hibur Nathan. Lelaki itu terlalu peka akan apa yang sedang Bia pikirkan.
"Kamu benar, Nath. Ya sudah atur dengan baik," ucap Bia.
Setelah kepergian Nathan, Bia kembali berkutat di depan layar laptopnya. Ia berharap Anyer bersedia bekerja sama. Membangun hotel dan resto di atas tanah miliknya. Yang ia ketahui hampir semua hotel milik Anyer selalu menjadi terkenal dan tak pernah sepi penginap.
"Gak sabar pengen liat restoranku menjelit," kekeh Bia.
. . .
Sesuai kesepakatan, Nathan menemui Anyer dan Bia menemui klain yang dari singapura di jam yang sama dan di tempat yang berbeda.
Berbeda dengan Bia yang di sambut dengan ramah, Nathan bak disambut patung berjalan. Diam tanpa ekspresi. Jangan untung tersenyum, melepas kaca mata pun enggan.
Untung saja Rafa tak seperti itu. Meski terlihat dingin namun, Rafa masih mempunyai sifat ramah.
"Jadi bagaimana, Tuan?" tanya Nathan memastikan.
Rafa melirik Anyer yang masih santai menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Terserah," ketusnya.
Kedua lelaki itu sama sama mengernyit mendengar jawaban yang baru saja mereka dengar.
"Kenapa?" Anyer melepas kaca matanya lalu menatap ke arah dua orang yang berada di depannya.
"Asal anda tau, waktu saya sangat terbatas. Saya rela mengosongkan waktu saya hari untuk bisa bertemu langsung dengan petinggi BI grup namun, lihatlah sia sia hasilnya. Membuang waktuku saja," gerutu Anyer.
"Sebelumnya saya atas nama BI grup meminta maaf, Tuan. Ini semua di luar dugaan kami. Sekiranya Tuan memaafkan kesalahan ini." Dengan menunduk, Nathan meminta maaf dengan tulus.
"Sudahlah. Sepertinya saya tidak tertarik lagi bekerja sama dengan orang yang tidak bisa menepati janjinya. Rafa, ayo! Buang buang waktu saja." Tanpa ingin mendengar penjelasan daru Nathan, Anyer berlaku meninggalkan meja tersebut.
"Maaf, saya permisi," pamit Rafa yang segera menyusul Anyer.
Nathan membuang nafas beratnya sambil menggeleng.
Bagaimana cara menjelaskan kepada Bia jika Anyer menolak bekerja sama dengan perusahaannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!