Humaira Azzahra yang biasa dipanggil Ira adalah seorang gadis yang cantik dan ramah. Ia juga sudah mempunyai pekerjaan yang mapan.
Begitu tamat kuliah, ia mencoba tes masuk PNS dan Alhamdulillah lulus. Ia diterima bekerja sebagai PNS di kantor Bupati.
Dalam hal berkarir, Ira tergolong sukses. Tapi dalam hal percintaan, Ira masih kalah saing dengan teman-temannya yang seusia dengannya.
Memasuki usia kepala tiga, Ira belum mempunyai kekasih sebagai pasangan hidupnya.
Orang tuanya sudah beberapa kali menjodohkannya, tapi tidak satu pun yang singgah di hatinya.
Mungkin karena Ira masih belum move on dari kekasihnya sewaktu kuliah, sehingga belum bisa membuka hatinya untuk orang lain.
Winda yang merupakan teman kerja Ira, berusaha mendekatkan Ira dengan Dodi. Kebetulan Dodi naksir berat pada Ira. Akhirnya Ira menerima Dodi sebagai kekasihnya dan merencanakan menikah dua bulan kedepan. Ira berharap dapat mencintai Dodi setelah menikah nantinya.
Saat pulang kerja, Ira dikejutkan dengan suara anak kecil yang bernama Shahira Pratama dan biasa dipanggil Isha. Ternyata Isha adalah tetangga baru Ira. Isha adalah gadis kecil yang cantik, imut dan lincah.
Suatu pagi Ira dikenalkan dengan papanya yang bernama Andika Pratama. Pertemuan pertama Ira dengan Andika membuat jantung Ira berdetak kencang. Ira telah jatuh cinta pada pandangan pertamanya dengan ayah Isha.
Semakin hari hubungan Ira dan Isha semakin dekat, apalagi Isha kurang kasih sayang dari seorang ibu karena kedua orang tuanya telah berpisah sejak Isha masih bayi.
Bagaimanakah kelanjutan hubungan mereka? Siapakah nantinya yang akan menjadi pendamping hidup Ira, Dodi atau Andika?
......*****......
Jam kerja telah berakhir, tetapi aku masih asik di depan komputer menyelesaikan pekerjaanku.
Untuk menghilangkan rasa jenuh, kuhidupkan musik di hpku. Kubuka yotube mp3 lagu Rossa. Rossa adalah penyanyi idolaku. Sambil mendengarkan musik, aku pun nyelesaikan pekerjaanku yang hampir selesai.
Sudah menjadi kebiasaan bagiku kalau pulang kerja selalu lama-lama. Beda dengan teman lainnya, yang selalu buru-buru kalau jam kerja berakhir. Semuanya ingin cepat pulang untuk ketemu dengan keluarganya terutama anak-anak mereka. Sedangkan aku, yang kujumpai hanya ayah dan bunda.
Terkadang ada juga perasaan sedih dan minder dengan teman-teman yang sudah berkeluarga, tapi aku yakin dan percaya pada takdir Allah. Aku yakin suatu saat nanti pasti aku dipertemukan dengan jodohku, yang penting aku tidak pernah bosan untuk selalu berdoa.
Saat ini aku belum ketemu dengan jodohku, tapi aku yakin suatu saat nanti aku akan ketemu dengan jodohku yaitu lelaki yang baik, sayang dan bertanggung jawab, Aamiin...
"Ra, kamu belum pulang juga?"
Aku tersontak keget mendengar suara Yuyun yang membuyarkan lamunanku.
"Eh....iya Yun, sebentar lagi."
Kulihat Yuyun sudah berkemas-kemas hendak pulang.
"Makanya jangan melamun saja. Nanti gak selesai kerjanya karena kebanyakan melamun."
Aku hanya tersenyum melihat ke arahnya.
Kemudian Yuyun berjalan mendekati aku sambil melirik ke komputer yang ada dihadapanku.
"Kamu ngerjakan apa? Kok kayaknya serius banget sih?" Yuyun langsung melihat pekerjaanku di komputer.
"Aku lagi ngerjakan laporan bulanan." Ucapku masih asik menggerakkan kursor yang ada di hadapanku.
"Oh....aku pikir ngerjakan apa."
"Kamu sudah mau pulang?"
"Iya Ra, maklumlah punya anak kecil selalu repot. Aku duluan ya Ra?" Setelah memegang pundakku, Yuyun pun berlalu pergi.
"Ok, hati-hati ya?" Sambil kulirik kepergian Yuyun.
Kembali mataku tertuju pada komputer yang ada di hadapanku.
"Belum pulang Ra?" Sapa mas Zulham yang lewat di samping meja kerjaku.
Ternyata mas Zulham juga baru hendak pulang.
Aku pun menoleh ke arah datangnya suara. "Belum mas, sebentar lagi."
Kulihat mas Zulham sudah membawa tas ranselnya hendak pulang.
"Duluan ya Ra... ?"
"Iya mas, hati-hati ya?"
Satu demi satu pegawai mulai pada pulang. Tinggal aku sendiri yang masih berada di ruang kantor.
Tidak lama kemudian, pekerjaanku selesai. Kuluruskan kakiku yang terasa pegal dan kugerakkan pinggangku ke kanan dan ke kiri. Terdengar bunyi gemeretak dari pinggangku yang kugerakkan tadi.
Kemudian kugerakkan juga leherku ke kanan dan ke kiri sambil berputar. Setelah terdengar bunyi gemeretak dari leherku, hatiku pun merasa puas.
Kubereskan meja kerjaku. Kertas-kertas yang berserakan segera kurapikan dengan kumasukkan ke map dan kemudian kusimpan di dalam laci meja kerjaku.
Setelah beres semuanya, kuraih tas sandang yang ada di meja. Aku pun berdiri dan jalan keluar. Tiba-tiba aku teringat bahwa lampu di ruang kerja belum dimatikan. Kucari tempat saklar dan langsung kupadamkan lampu di ruang itu.
Kemudian kulangkahkan kakiku keluar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Aku berjalan melewati lorong yang sunyi dan seram. Kebetulan semua pegawai sudah pulang dan semua ruangan sudah pada gelap. Hanya lampu yang ada di lorong ruangan yang dihidupkan.
Saat tiba di depan kantor, aku disambut oleh pak satpam yang bernama pak Dani dengan senyum khasnya. Kumis pak Dani yang lebat membuat wajahnya kelihatan sangat seram dan ditakuti banyak orang, kecuali kalau tersenyum baru kelihatan ramahnya.
"Baru pulang mbak Ira?"
"Iya mas, kerjaan saya baru kelar. Saya duluan ya mas?"
"Iya mbak, hati-hati."
Aku pun berjalan dengan santainya menuju area parkiran. Di parkiran hanya tinggal beberapa sepeda motor yang ada. Selebihnya sudah dibawa pulang oleh pemiliknya.
Kulihat sepeda motor kesayanganku Beat warna putih. Kuambil helm yang ada di bagasi dan aku pun segera naik sepeda motorku keluar kantor bupati menuju ke jalan W.R. Supratman. Dengan kecepatan 40 km/jam aku pun pulang ke rumah.
*****
Begitu sampai di halaman rumah, terdengar seperti ada suara ramai dari ruang tamu. Kumasukkan sepeda motorku ke garasi dan aku pun masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum...."
"Walaikumsalam...." Terdengar jawaban dari dalam ruang tamu. Ada suara bunda, dan ada terdengar suara anak kecil.
Seperti biasa, bunda menyambutku dengan senyuman dan aku langsung dicium bunda. Mungkin karena aku anak tunggal, bunda selalu memanjakan aku. Setiap pergi dan pulang kerja, bunda selalu menciumku.
Kulihat ada seorang gadis kecil yang cantik, imut dan lincah duduk di kursi tamu.
"Sayang, kenalkan ini Shahira anaknya mas Andika tetangga baru kita." Bunda memperkenalkan gadis kecil yang cantik dan imut yang sekarang ada dihadapanku.
Tanpa diperintah, gadis kecil itu langsung berjalan mendekati aku dan mengulurkan tangannya. Kemudian aku pun berjongkok dan menyambut uluran tangannya.
"Siapa namanya sayang?" Kutatap gadis kecil yang ada di hadapanku tanpa kedip.
"Namaku Shahira Pratama, biasa dipanggil Isha tante. Nama tante siapa?"
Shahira memegang tanganku erat sambil menyebutkan namanya. Kelihatan sekali kalau Shahira anak yang pintar dan lincah.
"Nama tante, Humaira Azzahra sayang. Biasa dipanggil Ira."
Setelah aku menyebutkan namaku, Shahira pun menarik kembali tangannya sambil tersenyum ceriah.
"Aduh,catiknya.....," tanganku memegang lembut kepala Isha.
"Tante juga cantik." Isha menjawab tidak mau kalah.
"Kamu cantik pasti seperti mama kamu."
Aku hanya menebak saja, karena biasanya anak cewek cantik karena mamanya juga cantik.
"Isha gak tau tante, mama Isha cantik apa enggak, karena Isha belum pernah ketemu mama."
Aku sangat terkejut mendengar jawaban polos gadis kecil ini. Aku jadi merasa bersalah telah ngomong seperti itu.
"Maafkan tante ya atas omongan tante barusan?"
"Gak apa-apa kok tante."
Kemudian gadis kecil yang bernama Isha itu kembali duduk di kursi tamu dengan sangat sopan. Aku hanya bisa tersenyum sendiri melihatnya.
Ternyata Isha selain cantik juga cerdas. Dia juga sangat sopan dan santun walaupun hanya mendapat didikan dari seorang ayah yang merupakan single parent.
"Tante mau mandi dulu ya sayang?"
"Iya tante."
Setelah aku pamit dengan Isha, aku pun berjalan ke kamarku.
Sampai kamar, kuletakkan tas sandangku di meja belajar dan aku pun langsung masuk ke kamar mandi.
Lebih kurang lima belas menit, aku pun keluar dari kamar dan menjumpai Isha yang sedang nonton TV dengan bunda di ruang tengah.
Kuhampiri Isha yang sedang makan keripik pisang buatan bunda.
"Isha bisa makan keripik pisangnya?" Tanyaku penasaran karena kulihat gigi depannya tidak ada.
"Bisa tante, Isha kan sudah gadis," ucapnya sambil asik makan kripik.
"Isha kan masih anak-anak, masih suka nangis," ucapku sambil becanda.
"Gak ah, ...kata papa Isha sudah besar dan sudah gadis."
"Papa pernah ngomong seperti itu?" Tanyaku lagi.
"Kalau Isha nangis, papa selalu bilang gini tante. Anak papa sudah gadis, jadi jangan nangis ya. Kata papa seperti itu tante." Ucap Isha memperagakan omongan papanya.
Aku dan bunda yang mendengar ocehan Isha spontan tertawa.
"Eyang sama tante kok tertawa sih. Apa tante gak percaya omongan Isha?" Ucap Isha sambil cemberut.
"Tante sama eyang percaya kok, hanya geli saja lihat Isha ngomong sambil ngunyah keripik." Ucapku bohong.
Aku takut Isha tersinggung karena ditertawai dan nantinya pasti akan nangis.
"He...eh..." Isha pun mengerucutkan bibirnya.
"Gigi Isha apa sudah tumbuh semua?"
"Sudah tante. Coba tante lihat ini." Isha langsung menunjukkan giginya yang putih bersih.
"Oh iya, gigi Isha bersih ya."
Anak kecil paling senang kalau dipuji seperti itu.
"Isha kan selalu sikat gigi tante."
"Kapan saja Isha sikat gigi?"
"Bangun tidur, kalau mau mandi dan kalau mau tidur. Kata papa kalau kita gak rajin nyikat gigi kita, nanti ulat giginya keluar tante."
"Pantaslah gigi Isha bersih."
"Tante juga selalu sikat gigi?"
"Iya, tante juga rajin sikat gigi."
"Kalau eyang, rajin sikat gigi juga?" Tanya Isha pada bunda.
Isha pun mendekati bunda untuk melihat gigi bunda.
"Iya sama, eyang rajin nyikat gigi juga. Lihat ini, gigi eyang putihkan?" Ucap bunda tidak mau kalah dan memperlihatkan giginya.
"Tapi gigi Isha yang dibagian depan kok gak ada?" Tanyaku lagi.
"Oh yang ini....semalam itu gigi Isha sudah dicabut bu dokter karena sudah goyang." Ishapun menunjuk ke arah giginya yang ompong.
"Siapa yang bawa Isha ke dokter?" Tanya bunda.
"Isha pergi sama oma, eyang."
"Waktu dicabut Isha nangis apa enggak?" Tanyaku sambil tersenyum.
Kulihat Isha gak menjawab, tapi agak malu. Mungkin dia nangis makanya malu untuk terus terang.
"Tante.... Isha sudah siap makan keripiknya. Isha mau cuci tangan Isha."
Isha pun jalan mendekati aku dan ngajak ke dapur.
"Mari biar tante antar ke dapur."
Kemudian aku mengangkat tubuh mungil Isha dan memcuci tangannya di wastafel tempat mencuci piring.
Setelah selesai, kuberikan tissue. Ternyata Isha memang anak yang mandiri.
Begitu tangannya dibersihkan dengan tissue, kulihat matanya melirik kesana-kemari. Dicarinya keranjang sampah untuk membuang tissue bekas.
Begitu ditemukan keranjang sampah, langsung dibuangnya tissue yang sudah digunakan ke dalam keranjang sampah itu.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. Anak sekecil itu sudah tau menjaga kebersihan.
"Isha...nek Ijah sudah menjemput nih."
Terdengar suara bunda dari ruang TV memanggil Isha. Ternyata nek Ijah pembantu Isha sudah menjemput Isha.
Kutarik tangan Isha dengan lembut dan membawanya ke ruang TV untuk ketemu nek Ijah.
"Isha, sudah dijemput nenek itu."
Kulihat nek Ijah sudah berdiri di ruang TV
"Duduk dulu nek?" Ucap bunda menawari nek Ijah untuk duduk.
"Terima kasih bu. Saya hanya mau menjemput Isha karena sudah mau magrib."
"Isha nanti saja pulangnya nek!" Ucap Isha pada nek Ijah.
"Nanti papa marah loh."
Isha pun mendekati aku dan merengek gak mau pulang.
"Isha pulang dulu. Besok main lagi kemari. Isha kan sudah gadis, jadi gak boleh merajuk."
Setelah kubujuk, akhirnya Isha pun mau pulang dengan nek Ijah.
*****
Kalau hari libur, aku, ayah dan bunda selalu pergi joging jam enam pagi. Tapi karena aku kecapean, pagi ini aku gak ikut ayah dan bunda. Pagi ini badanku terasa pegal semua, sehingga aku hanya tiduran di tempat tidur saja dan malas untuk bangun. Padahal waktu subuh tadi aku sudah terbangun saat mendengar kumandang adzan subuh di mesjid.
Mungkin karena semalam aku bersama teman kantor pergi piknik ke Prapat. Disana aku dan teman-teman mandi di Danau Toba. Airnya sangat sejuk dan bersih. Siapa saja yang melihatnya pasti akan tertarik untuk ikut mandi, begitu juga dengan aku.
Awalnya gak ada niat di hatiku untuk mandi, tapi melihat teman lainnya mandi, aku pun tertarik dan kemudian ikut mandi.
Setelah puas menikmati keindahan Danau Toba, kami pun pulang ke rumah.
Saat akan pulang, kulihat jam di tangan kiriku ternyata sudah menunjukkan pukul enam sore.
Sampai di rumah sekitar jam sembilan malam.
Badanku terasa pegal semua dan perutku terasa mual.
Mungkin karena kelamaan mandi di danau, aku masuk angin. Bunda dengan setia menggosok badanku sampai punggung dengan freshcare.
Kemudian aku dibuatkan bunda teh manis panas, katanya biar badanku lebih enak. Aku mengikut saja apa kata bunda, apalagi saat bunda memaksa aku untuk makan nasi.
Padahal perutku sangat mual tapi karena bunda maksa, kumasukkan juga nasi ke dalam mulutku sesuap demi sesuap sampai habis hampir setengah piring.
Setelah badanku agak mendingan, aku pun masuk ke kamar merebahkan tubuhku di tempat tidur. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat dan perasaan ngantuk mulai menguasai diriku. Dalam hitungan menit, aku pun tertidur lelap sampai pagi.
*****
"Tok,tok....Ira, kamu ikut joging gak?"
Terdengar suara bunda mengetuk pintu kamarku.
Dengan masih sempoyongan, aku pun berjalan membuka pintu untuk bunda. Kulihat bunda sudah berdiri di depan pintu kamarku.
"Gak Bun, lain kali saja. Ira masih capek."
"Apa kamu masih masuk angin?" Terdengar suara bunda penuh khawatir.
"Gak kok Bun. Ira masih capek saja, jadi masih mau istirahat dulu."
"Apa kamu sudah sholat subuh?" Bunda memegang pundakku sambil melihat kewajahku yang masih lemas.
"Ira lagi datang bulan subuh tadi, Bun."
"Oh....ya sudah, istirahat sana, bunda sama ayah pergi dulu ya?"
Setelah bunda pergi, aku kembali ke tempat tidur merebahkan tubuhku.
Masih terbayang dalam ingatanku, betapa indahnya Danau Toba. Sejauh mata memandang, yang terlihat hijaunya pepohonan dan birunya air danau. Kapan aku kesana lagi ya, batinku dalam hati.
*****
Tidak lama kemudian, ayah dan bunda pulang sambil membawa bungkusan yang berisi nasi lemak dan lontong sayur kesukaanku.
Sudah menjadi kebiasaan bunda, pulang joging langsung belanja ke pasar dan beli sarapan untuk kami bertiga. Ayah kesukaannya nasi lemak, sedangkan aku dan bunda sukanya lontong sayur mbak Sri.
Selesai sarapan, aku membantu bunda membereskan meja makan. Piring dan gelas yang berserakan di meja segera kucuci semua. Sedangkan bunda membereskan keranjang belanjaan yang dibawanya dari pasar.
Setelah meja makan bersih dan rapi, aku menghampiri bunda yang sedang memasukkan belanjaan ke dalam kulkas.
"Bun.... Ira bereskan bunga di halaman depan ya?"
"Apa kamu sudah gak capek?"
"Sudah hilang kok capeknya Bun."
"Ya sudah sana, tapi jangan lama-lama karena kamu belum sehat betul." Kata bunda lagi
Aku pun melangkah ke halaman depan melewati ayah yang sedang asik membaca koran di teras depan.
Aku dan bunda memang suka merawat bunga. Sehingga gak heran, setiap tetangga yang lewat di depan rumahku selalu memuji kalau bunga-bungaku katanya cantik. Di komplek perumahan bunda, halaman bundalah yang paling banyak bunganya dan cantik-cantik.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara Shahira memanggilku.
"Tante Ira....tante lagi nanam bunga ya?"
Aku pun menoleh ke arah datangnya suara. Kulihat Isha lagi jalan dengan seorang pria dan membawa bungkusan dalam plastik.
"Eh Isha, ...iya sayang, tante lagi beres bunga. Isha dari mana?"
Kulihat Isha sangat ceria sambil megang tangan pria itu.
Apakah pria itu papa Isha, batinku dalam hati. Badannya yang atletis dengan kumis yang tipis dan rambut sedikit bergelombang menambah ketampanannya. Aku jadi salah tingkah sendiri dibuatnya. Maklumlah ketemu pria ganteng.
Kemudian Isha berlari mendekati aku yang masih terbengong.
"Tante....kenalkan, ini papa Isha yang semalam Isha ceritain."
Papa Isha yang masih berdiri di dekat tembok halaman rumahku langsung berjalan mendekati aku.
Karena papanya Isha tersenyum, akupun gantian membalas senyumnya. Kulihat senyumnya sangat manis sekali. Ternyata papa Isha keren juga.
Kulihat tatapan matanya sangat tajam sampai menembus jantungku.
Dasar lelaki dimana saja sama. Semuanya mata keranjang.
Kemudian papa Isha mengulurkan tangannya.
"Kenalkan saya Dika papanya Isha."
"Maaf mas, tangan saya kotor barusan megang tanah." Ucapku sambil mengangkat kedua tanganku mohon maaf.
Papa Isha hanya tersenyum.
"Sudah sayang ....ayo kita sarapan. Ajak tantenya ikut sarapan." Ucap papa Isha pada Isha.
"Tante, sarapan yo ke rumah Isha."
Tangan Isha menarik tanganku. Aku pun kemudian jongkok di depannya.
"Maaf sayang, tante baru saja sarapan. Lain kali saja ya," bujukku pada Isha.
Kulihat Isha agak kecewa karena aku tidak mau diajak sarapan. Papanya tau kalau putrinya kecewa, sehingga ditariknya tangan Isha dengan lembut.
"Lain kali kalau tante belum sarapan, pasti mau sarapan sama kita sayang," hibur papanya.
Isha pun segera melangkah mendekati papanya sambil cemberut.
"Kami sarapan dulu ya tante." Ucap papa Isha sambil menggandeng putrinya.
"Da Isha...." Akupun melambaikan tangaku ke Isha. Kulihat Isha mulai tersenyum kembali.
Kemudian Isha dan papanya berlalu pergi meninggalkan aku yang sedang mencabuti rumput yang ada di pot-pot bunga.
Tiba-tiba bunda datang dan berdiri di sampingku.
"Tadi bunda dengar sepertinya ada suara Isha."
"Oh iya Bun. Tadi Isha habis pulang beli sarapan sama papanya lewat sini. Terus mau ngajak Ira ikut sarapan. Tapi Ira kan baru selesai sarapan. Jadi Isha agak kecewa. Tapi syukurnya papa Isha dapat membujuknya, sehingga Isha tidak jadi ngambek."
Aku menjelaskan sambil tersenyum sendiri.
"Oh gitu.... kalau cerita oma Isha, Isha kalau sudah ngambek susah dibujuk. Namanya juga anak-anak, suka ngambek." Ucap bunda tersenyum sendiri.
"Oh ya Bun, Ira mau nanya loh. Mamanya Isha sebenarnya masih hidup atau sudah meninggal?" Aku sedikit kepo.
"Yang Bunda dengar dari oma Isha, mamanya Isha masih hidup. Saat Isha berumur setahun, mamanya pergi dengan laki-laki lain dan meninggalkan Isha yang baru belajar jalan."
Kasihan kali nasib Isha yang kehilangan kasih sayang seorang ibu. Kok tega sih mamanya ninggalkan darah dagingnya demi laki-laki lain, batinku tidak habis pikir.
"Makanya kalau lihat Isha, Bunda ingat kamu sewaktu kecil dulu, mentel tapi cingeng."
"Ah Bunda, suka ngeledek. Tapi Ira cantik seperti Isha kan Bun?"
"Sama cantiknya, sama juga cerewetnya," canda bunda.
"Tapi kenapa papa Isha belum menikah lagi ya Bun?"
"Kalau cerita oma Isha, papanya Isha masih trauma untuk menikah lagi. Kalau pun menikah lagi, harus yang benar-benar sayang sama Isha, kalau bisa yang dipilih Isha sendiri."
"Aduh, dramatis kali ya Bun."
"Kamu itulah, suka ngeledek juga." Spontan bunda mencubit pinggangku.
"Aaw....sakit Bun." Aku pun menyengir kesakitan, sedangkan bunda tersenyum sambil berlalu pergi.
*****
Selesai membereskan bunga-bunga di halaman, aku bergegas berjalan ke teras untuk istirahat dan minum jus jeruk yang telah dibuat bunda.
Tiba-tiba aku tersentak kaget mendengar suara Isha dari teras rumahnya.
"Tante....Isha main ke rumah tante ya?"
"Iya sayang. Sinilah, tante lagi minum jus jeruk. Kamu mau gak?" Ucapku sambil menunjukkan gelas yang berisi jus jeruk.
Kemudian kudengar Isha merengek pada papanya untuk diantar ke rumahku. Saat itu kulihat papa Isha sedang duduk di ruang tamu sehingga suara Isha kedengaran sampai ke halaman rumahku.
Tidak lama kemudian, kulihat Isha dengan digandeng papanya keluar rumah.
"Tante.....!" Panggil Isha dengan suara yang keras saat keluar dari pintu rumahnya.
Aku pun melambaikan tanganku ke arahnya sambil tersenyum.
Isha dan papanya menuju rumahku melalui gerbang depan. Setelah sampai teras, Isha pun melepaskan pegangannya.
"Jangan nakal kalau main di rumah tante ya?" Seperti atasan memberikan perintah pada bawahannya. Isha hanya mengangguk pelan.
"Isha gak nakal kok mas. Aku senang kalau Isha main kesini." Aku pun menyakinkan mas Dika kalau putrinya gak akan nakal.
"Maaf ya mbak kalau sudah merepotkan."
"Papa jangan panggil tante mbak, tapi panggil saja tante Ira." Ucap Isha dengan polosnya.
Aku dan mas Dika spontan tertawa.
"Baiklah tuan putri." Mas Dika pun tersipu malu dan mencubit pipi anaknya.
"Tante Ira, titip Isha ya?" Ucap mas Dika sambil tersenyum.
"Iya mas." Jawabku tersenyum juga.
Begitu papanya pergi, Isha kemudian menarik tanganku dan ngajak masuk. Kami pun main di ruang tengah sambil nonton TV.
Bosan nonton TV, Isha pun membuka majalah yang ada di bawah bopet TV. Lembar demi lembar dibukanya majalah tersebut sambil nunjukkan gambar-gambar yang ada di majalah itu.
"Tante....coba lihat ini tante." Isha memperlihatkan gambar di majalah sambil tertawa geli.
Saat kulihat, ternyata gambar yang diperlihatkan Isha adalah gambar seekor monyet yang lagi menggendong anaknya.
"Isha mau digendong monyet?"
"Enggak tante!"
"Kenapa gak mau?"
"Isha takut tante, hiii....." Isha kegelian mendengar ucapannya.
Melihat Isha tertawa geli, aku pun ikut tertawa juga.
Setelah puas bermain, Isha pun pamit minta pulang.
"Isha mau pulang ya tante?" Ucap Isha sambil menyalam tanganku.
"Sebentar ya, biar tante antar."
"Isha bisa kok pulang sendiri tante."
Isha kemudian jalan menuju pintu samping.
"Isha....., biar tante antar!"
Aku pun cepat-cepat menggandeng tangannya dan membawanya pulang.
Sampai di teras rumahnya, kulihat papa Isha lagi sibuk membuka-buka berkas yang ada di meja tamu.
Saat melihat kedatangan kami, dia pun segera keluar dan menghampiri kami yang sedang berdiri di teras.
"Tante masuk ya." Ucap Isha sambil menarik tanganku.
"Lain kali ya sayang?"
"Gak masuk dulu Ra?" Tanya papa Isha.
"Gak mas, terima kasih. Tante pulang dulu ya sayang?"
"Da tante...." Ucap Isha sambil melambaikan tangannya.
Aku pun melambaikankan tanganku sambil senyum pada Isha dan papanya.
Kemudian Isha digandeng papanya langsung masuk rumah.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!