NovelToon NovelToon

Alana

Bab 1: Murid Laki-Laki

Ana mendengkus kesal saat angkot tak kunjung lewat. Jam sudah pukul setengah tujuh dan pintu gerbang sekolah pasti sudah tutup. Sebenarnya dia tidak takut telat, hanya saja, menunggu angkot membuatnya bosan.

Lalu tak lama Ana melihat angkot biru dengan stiker kucing yang sangat Ana hapal. Itu angkot Bang Didit, yang kalau jalan udah kayak bekicot. "Bang, cepetan gih. Udah telat nih!" teriak Ana yang hasilnya sama saja. Angkot Bang Didik tetap berjalan dengan kecepatan tertingginya.

"Lama banget sih Bang kalau jalan," ucap Ana sambil menutup pintu angkot.

"Aduh mbak Ana kalau nutup jangan kencang-kencang. Angkot Abang ini udah tua," ucap Bang Didit dengan wajah cemasnya.

"Maaf Bang. Ayo bang cepet, udah telat ini."

"Siap. Bang Didit selalu pakai kecepatan tertinggi kok," ucap Bang Didit lalu menjalankan angkotnya.

Ana menghela napas, percuma saja, angkot Bang Didit tidak akan pernah bisa menjadi seperti cheetah.

~·~

"Kamu itu Ana, selalu telat. Gemes Ibu lihatnya. Apalagi kaos kakimu itu. Kan Ibu sudah belikan kaos kaki sekolah buat kamu. Kenapa gak dipakai?" tanya Bu Eka, guru kesayangan Ana di SMA Bangsa 5.

Bu Eka adalah salah satu guru BK di SMA Bangsa 5. Beliau terkenal galak dan kejam saat memberikan hukuman. Tapi, menurut Ana, Bu Eka adalah guru tersabar. Semarah-marahnya Bu Eka, beliau tidak pernah menjewer apalagi memukul muridnya. Hukuman terberat yang pernah Ana dapatkan adalah menghapal 15 surat pendek. Itu juga karena Ana yang ketahuan bolos pelajaran agama saat tanggal 15.

"Hilang Bu," jawab Ana sambil menatap wajah Bu Eka. Jika murid lain akan menundukkan kepala saat dimarahi, lain halnya dengan Ana. Sebab yang ia tahu, jika seseorang berbicara denganmu, maka tatap wajah orang itu.

"Ibu sudah belikan kamu kaos kaki 5 kali dan jawabanmu selalu hilang. Lama-lama kamu yang hilang," ucap Bu Eka sambil berkacak pinggang.

Ana terkekeh pelan, "nanti Ibu kangen Ana."

"Jangan ketawa, hormat bendera sampai istirahat!" perintah Bu Eka dengan suara keras yang sontak membuat Ana mengikuti perintahnya.

Bu Eka menggeser tubuhnya ke kanan hingga berdiri didepan murid lelaki yang sepertinya belum pernah ia lihat. "Kamu anak baru?"

"Iya, Bu."

Bu Eka geleng-geleng kepala, "masih anak baru udah telat. Hormat bendera sampai istirahat. Awas aja kalau kalian kabur dari hukuman Ibu."

Ana menghela napas setelah kepergian Bu Eka. Kemudian dirinya melirik murid laki-laki disebelahnya. "Kita disuruh hormat bendera, jadi matanya harus lihat ke bendera, bukan lihat ke saya."

"Darimana dia tahu?" ucap Ana pelan sambil kembali menatap bendera.

"Dari jendela kelas yang lurus sama tiang bendera." Ana menatap lurus ke depan dan benar saja, dirinya dan murid laki-laki disebelahnya terlihat di jendela kelas X.

"Tandanya lo juga gak natap bendera dong?"

"Iya. Kalau boleh tahu nama kamu siapa?" tanya murid laki-laki itu sambil menjulurkan tangannya.

"Kita disuruh hormat bukan disuruh jabat tangan," kata Ana membuat murid laki-laki itu kembali hormat.

"Bilang aja kalau saya gak boleh tahu nama kamu," kata murid laki-laki itu.

"Kalau gitu saya aja yang ngasih tahu nama saya ke kamu. Nama saya Alan," tambahnya.

Ana melepas tangannya, lalu berdiri menghadap murid laki-laki yang katanya memiliki nama Alan. "Inget yah, gue gak perduli nama lo Alan, Alen, Alin, Alun, atau Alon. Jadi lo jangan sok kenal sama gue," kata Ana lalu melenggang pergi.

~·~

"Mas Joko, kopi satu!"

Laki-laki yang sedang asyik bermain Mobile Legends mendongakkan kepalanya saat mendengar namanya dipanggil. "Bentar, masih main!" teriak Mas Joko sambil kembali menatap layar handphonenya.

"Jangan lama-lama, Mas!"

"Iya!"

"Suka banget teriak-teriak. Ini masih area sekolah." Ana sedikit terkejut, walau ia masih ingat itu suara murid laki-laki tadi.

Alan tersenyum lalu duduk pada bangku di seberang Ana. Ditaruhnya tas kuning diatas meja. "Saya ngikutin kamu cuma mau ngembalikan tas, jadi jangan geer."

Kedua alis Ana menyatu tanda heran. Siapa juga yang geer?

"Ini mbak Ana kopinya," ucap Mas Joko sambil menaruh secangkir kopi diatas meja.

Ana tersenyum kepada Mas Joko. "Iya, kapan-kapan kalau mbak Ana punya uang aja," kata Mas Joko lalu melenggang pergi.

"Pagi-pagi kok udah minum kopi?" tanya Alan saat Ana mulai menyeruput kopinya. Ana melirik, tanpa menjawab pertanyaan yang Alan lontarkan untuknya.

"Saya pergi dulu. Jangan minum kopi lagi, Ana," ucap Alan lalu melangkah pergi.

Ana masih diam melihati kepergian Alan. Gelas kopi masih ada di depan bibirnya. Terasa ada yang aneh saat murid laki-laki bernama Alan itu berada di dekatnya.

~·~

Bab 2: Ajakan

Bel tanda akhir pembelajaran sudah berbunyi 10 menit yang lalu. Tetapi gadis bernama Ana itu masih setia berada di kelas. Gadis itu tidak sedang mengerjakan tugas atau piket kelas. Dirinya sedang tidur.

Sejak jam pelajaran ke-9, Ana sudah tertidur. Untung saja saat itu yang mengajar adalah Pak Gofur. Guru sejarah yang kalau di kelas cerita apa saja. Mulai dari dirinya, istrinya, anaknya, sampai mantannya saat masih SD kelas 5.

Mata Ana mulai terbuka. Gadis itu mendapati kelasnya yang kosong. "Punya teman serasa gak punya teman," ucapnya kesal karena tidak ada yang membangunkannya. Ana memang tidak terlalu dekat dengan teman sekelasnya. Kebanyakan, teman Ana adalah Kakak kelas 12 yang mayoritas laki-laki.

Sambil menggendong tasnya, Ana melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah. Jam segini keadaan sekolah masih cukup ramai akan siswa dan siswi yang mengikuti kegiatan sekolah.

"Ana!"

Mendengar namanya dipanggil Ana membalikkan badan. Terlihat Bayu—kakak kelas sedang berlari menuju dirinya.

"Ada apa Mas?" tanya Ana setelah akhirnya Bayu berdiri didepannya.

"Nanti malam, kalau gue ajak lo main. Mau gak?" tanya Bayu sambil tetap tersenyum. Bisa dibilang Bayu adalah Kakak kelas tertampan di SMA BANGSA 5 yang sukses buat beberapa adik kelasnya jatuh cinta. Tapi Ana tidak.

"Maaf, Mas. Aku gak bisa," jawab Ana dengan wajah lesunya. Sore ini, gadis itu sangat lelah. Entah karena apa.

"Ini ajakan gue yang ke 30 kalinya dan lo selalu nolak. Apa perlu gue datang ke rumah lo? Biar sekalian izin sama orangtua lo," ucap Bayu yang seketika membuat Ana teringat akan keluarganya yang ia sendiri tidak tahu dimana.

"Gak perlu. Aku memang gak bisa, Mas. Mending Mas Bayu ajak cewek lain yang tanpa Mas ajak dia mau," kata Ana masih dengan wajah lesunya, "aku pulang dulu, Mas."

Melihat kepergian Ana, Bayu hanya bisa diam dan mencoba dilain waktu.

~·~

"Ana. Nungguin apa lo?"

Pertanyaan itu membuat Ana tersadar dari lamunannya. Terlihat Sakti—kakak kelasnya sedang duduk di atas sepeda satria di pinggir jalan dekat halte. "Nunggu angkot."

"Bareng gue aja. Gue udah gak punya pacar kok. Jadi lo gak perlu takut di labrak."

"Manusia kayak lo mungkin sih gak punya pacar. Tapi gebetan pasti banyak. Gue gak mau cari mati."

Sakti tertawa mendengar ucapan Ana. Meskipun yang diucapkan Ana memang 100% benar. "Entar lo nyesel?"

"Gak akan. Pergi cari gebetan sana, gue gak mau jadi gebetan lo," kata Ana yang sebenarnya malas menanggapi kedatangan kakak kelasnya itu.

Untuk kedua kalinya Sakti tertawa. Dirinya memang pernah mencoba mendekati Ana agar menjadi kekasihnya. Tapi sayang seribu sayang, Ana sulit untuk didekati.

Setelah kepergian Sakti, Ana bisa kembali melamun lagi. Memikirkan kedua orangtuanya yang ia tidak tahu siapa orangtuanya. Jujur, Ana rindu. Tapi, Ana juga benci kepada kedua orangtuanya yang tidak pernah memikirkannya.

"Belum pulang? Nungguin siapa?"

Ana menoleh dan mendapati murid laki-laki yang katanya bernama Alan duduk di sebelahnya. "Abang angkot," jawab Ana dengan ekspresi cueknya. Berharap murid laki-laki bernama Alan itu cepat-cepat pergi.

"Kalau gitu saya mau jadi abang angkot. Kedatangannya selalu dinanti."

Gombalan Alan itu tidak berpengaruh terhadap Ana. Gadis itu hanya diam memandangi jalan. "Saya tidak salah orang. Benar, kamu gadis yang saya cari."

Sontak Ana menatap wajah Alan. Kemudian gadis itu tertawa dengan kencangnya. "Saya suka lihat kamu ketawa. Makin cantik."

Ana mencoba untuk berhenti tertawa, "lo tuh ngomong apaan sih? Lo yakin gue gadis yang lo cari? Emang gue cantik?"

"Saya bilang kalau kamu adalah gadis yang saya cari. Saya yakin dengan pilihan saya dan saya tidak mungkin salah pilih. Iya kamu cantik, apalagi saat kamu tertawa seperti tadi," jawab Alan dengan senyum manis yang hanya ia berikan kepada Ana.

"Terserah lo mau ngomong apa. Itu hak lo," kata Ana sambil mengecek apakah sudah ada tanda angkot akan lewat. Tapi nyatanya nihil. Tidak terlihat juga angkot berwarna biru dari arah kanan. Ana berharap dirinya dapat cepat terbebas dari murid laki-laki bernama Alan.

"Kalau saya antar pulang mau tidak? Hujan akan turun dan  sepertinya menunggu angkot akan lama," kata Alan dan Ana menggeleng. Tidak, Ana tidak ingin menerima ajakan itu. Dia saja ingin cepat-cepat bebas dari manusia bernama Alan. Tidak mungkin jika dia menerima ajakan tersebut. Jika iya, maka ia tidak akan bisa terlepas dari manusia bernama Alan.

"Gak, mending nunggu angkot."

"Lebih cepat sampai jika kamu naik sepeda saya daripada naik angkot."

"Sepeda butut itu?" tanya Ana menunjuk sepeda butut yang terparkir di depan halte.

"Memang sudah lama, tapi dia masih kuat. Saya jamin, sekali kamu naik sepeda itu, kamu akan memintanya lagi."

"Sayangnya itu tidak mungkin," ucap Ana sambil bangkit dari duduknya.

"Kamu mau kemana? Hujan akan turun."

"Gue mau pulang, lo gak usah sok peduli sama gue. Dan maaf gak bisa nerima ajakan lo," kata Ana sambil berjalan pergi menjauh dari manusia bernama Alan yang sungguh sangat menggangu hidupnya.

"Saya yakin lain kali kamu akan menerima ajakan saya."

~·~

Bab 3: Maafkan Saya

Ana, ini saya belikan obat buat kamu. Gara-gara saya tidak mengantarmu pulang, kamu jadi sakit. Diminum yah.

Maafkan saya.

Ana terdiam melihat stiky notes berwarna kuning yang tertempel di atas obat penurun panas yang dibawah obat tersebut terdapat bekel. Ana mendudukkan dirinya. Dibuka bekel tersebut dan terdapat nasi goreng dengan telur mata sapi. Aroma harum membuat Ana ingin memakannya. Tetapi, ia ingin tahu siapa yang memberikan ini semua.

Dari yang Ana tahu, satu-satunya manusia yang berbicara menggunakan bahasa saya- kamu dengan dirinya adalah...."Alan?"

Sebuah senyum tipis terukir diwajah Ana. Tanpa banyak berpikir lagi, Ana melahap nasi goreng tersebut. Perutnya sudah berbunyi sejak ia duduk di angkot Bang Didit.

~·~

Sungguh, Ana merasa bosan. Dia bingung apa yang harus ia lakukan. Diketuk-ketuk meja kantin pelan. Mencari sesuatu yang mungkin membuatnya semangat.

Ana merasa capek menjalani hidupnya yang tidak bisa ia jelaskan. Jujur, Ana ingin bisa menikmati hidup layaknya orang-orang disekitarnya. Dimana mereka bisa berbincang sambil bersenda gurau bersama keluarga. Namun sayang seribu sayang, Ana tidak memiliki keluarga.

"Ana, kenapa ngelamun?"

Pertanyaan yang Alan lontarkan tidak digubris oleh Ana. Gadis itu dengar, tapi pura-pura tidak dengar. Alan menempelkan telapak tangan kanannya pada kening Ana. "Kamu masih sakit Ana?"

"Gue gak sakit," ucap Ana sambil melepaskan tangan Alan dari keningnya.

"Lebih baik kamu pulang. Biar saya yang antar kamu," kata Alan tapi Ana menggeleng pelan.

"Ana, jangan buat saya merasa bersalah yang kedua kalinya gara-gara saya sudah buat kamu sakit."

"Gue gak nyalahin lo. Jadi lo gak perlu merasa bersalah."

"Tidak, saya yang salah Ana. Coba saja kemarin saya tidak membiarkan mu pulang sendiri, kamu tidak akan sakit Ana."

Ana bangkit dari duduknya lalu melangkah keluar dari area kantin. Kepalanya sedang pusing dan tidak ingin diganggu oleh siapa-siapa. Jalan Ana mulai tidak seimbang. Pandangannya mulai buram, hingga semuanya menjadi gelap.

~·~

"Ana?" panggil Gadis saat melihat mata Ana yang mulai membuka.

Dengan perlahan, mata berlensa hitam pekat itu membuka. Pertama yang Ana dengar dan lihat adalah suara dan keberadaan Gadis. Saat merasa penglihatannya sudah jelas, Ana mendudukkan dirinya.

"Dis, kepala gue pusing," ucap Ana pelan sambil memegangi kepalanya.

"Tadi lo pingsan An, gue udah bilang kan kalau jangan sekolah dulu," kata Gadis sambil mengambil segelas air putih dan obat penurun panas, "minum obatnya."

Diambilnya segelas air putih dan obat tersebut. "Pasti pahit."

"Diminum An. Biar lo sembuh."

"Tapi ini..."

"Air putihnya udah dicampur sama gula, jadi rasa pahitnya cuma sebentar."

Dengan terpaksa Ana meminum obat tersebut. Benar, rasa pahitnya hanya sebentar. "Siapa yang bawa gue pulang?"

"Gue gak tahu namanya, dia ngantar lo dan bilang ke gue, kalau gue harus pastiin lo gak telat makan dan minum obat."

"Dia sudah pulang?"

"Dua jam yang lalu, An."

"Gue mau istirahat Dis," ucap Ana. Gadis mengangguk lalu pergi ke kasurnya yang dimana masih satu kamar dengan Ana.

Dibaringkan tubuhnya ke kanan. Memandang tembok putih yang selalu tahu jika dia sering menangis ditengah sepinya malam hari. Ana penasaran, siapa yang sudah membantunya. Dia hanya ingin berterima kasih dan meminta maaf karena sudah merepotkan.

~·~

Makan malam telah berakhir. Satu persatu penghuni Panti masuk ke dalam kamar masing-masing. Tetapi Ana masih duduk di bangku. Nasi yang awalnya masih mengeluarkan asap panas, kini sudah dingin karena hanya di diamkan oleh Ana. Gadis itu hanya memutar-mutarkan sendok. Sementara pikirannya sedang memikirkan siapa gerangan yang menolongnya.

Yang membuat Ana heran. Ternyata masih ada murid SMA Bangsa 5 yang mau menolongnya. Dulu saat masih duduk dikelas 10, dirinya pernah pingsan saat jam pelajaran olahraga. Saat itu Pak Jamil—guru olahraga—sedang tidak masuk. Beliau menitipkan agar anak-anak berlari mengililingi kompleks sekitar SMA Bangsa 5. Sialnya Ana tidak kuat saat kembali ke sekolah dan dia pingsan dijalan. Paling membuat Ana sedih, teman-temannya tidak ada yang menolongnya. Untungnya, tidak lama ia sadar dan melihat teman-temannya hanya mengerubunginya.

"Anak ini selalu melamun," ucap Bu Sukmi—Ibu Panti—yang sangat dekat dengan Ana. Beliau lah yang merawat Ana sejak kecil hingga sekarang. Sebab itu, Ana menganggap Bu Sukmi seperti ibunya sendiri.

"Tuhkan, masih ngelamun," kata Bu Sukmi sambil mencubit pipi Ana.

"Tidak melamun, Bu."

"Kamu masih sakit, Ana. Kamu harus banyak-banyak makan."

"Tidak nafsu makan, Bu. Ana mau tidur saja."

Bu Sukmi mengangguk. Beliau sangat tahu jika Ana sangat susah dibujuk. Ibu separuh baya itu pun melangkah pergi meninggalkan Ana. Lalu tiba-tiba Gadis berlari mendekatinya. "Apaan sih lo, udah malam, tidur sana!"

"Gue cuma mau bilang, ada cowok nelpon lo."

"Ha?"

"Cepetan, kasihan dia nunggu."

Terpaksa, Ana bangkit menuju ruang tengah panti. Ditaruhnya telpon rumah itu ditelinga. "Halo, ini siapa ya?"

"Alan." Seketika Ana jadi salah tingkah. Untuk pertama kalinya Ana ditelpon oleh seorang cowok, malam-malam juga. Dia jadi bingung harus bicara apa.

"Ana sudah makan?"

"Belum."

"Kenapa?"

"Gak nafsu makan. Lo ngapain telpon malam-malam? Dapat nomer Panti dari siapa?"

"Cuma mau pastiin Ana sudah makan dan minum obat. Alan dapat dari Bu Sukmi."

Ana jadi bingung. Bagaimana bisa Alan bertemu dengan Bu Sukmi. Jadi pusing sendiri memikirkannya.

"Ana, maafkan saya, gara-gara saya Ana jadi sakit. Alan cuma minta Ana segera makan, jangan lupa minum obat. Biar obatnya tidak terasa pahit, airnya dikasih gula," ucap Alan dan Ana menyimak, "yasudah, Alan tutup. Maaf sudah mengganggu."

Sambungan terputus. Ana masih diam sambil memegangi gagang telpon yang sedari tadi tertempel ditelinganya. Lalu sebuah kalimat terucap tanpa menimbulkan suara.

Terima kasih, Alan.

~·~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!