Seorang gadis berjalan disepanjang lorong koridor sebuah pusat perbelanjaan di kota Bandung. Sekedar melihat-lihat sambil menunggu seseorang datang. Pusat perbelanjaan ini cukup besar dan terkenal. Konsep taman yang ditawarkan membuat banyak orang yang datang untuk bisa menikmati langit malam di tengah pepohonan dan taman yang indah. Toko-toko yang menyediakan pakaian, elektronik, mainan, dan kebutuhan rumah tangga ada di bagian gedung utama, sedangkan kafe-kafe, tempat makan keluarga, dan kios-kios snack dibiarkan berjejer dengan rapi di bagian pinggir taman. Ada yang terletak di lantai dasar dan ada yg berada di daerah skywalk yang menambah kesan mewah.
Tap tap tap.
Suara langkah seseorang yang sepertinya sedang terburu-buru terdengar dari arah belakang. Azka, gadis itu, berusaha untuk menoleh melihat siapa yang berjalan, siapa tahu seseorang yang sedang ditunggunya telah datang dan sekarang sedang menghampirinya. Saat Ia berbalik,
Bruukkkk
“Aww..” Azka sontak berteriak sambil meringis, karena ternyata orang itu tanpa sadar menabraknya
sampai ia terjungkal dan jatuh terduduk.
“Eh, maaf. Saya ga sengaja, tadi lagi lihat handphone, soalnya saya buru-bu...”
Belum sempat pemuda itu menyelesaikan kalimatnya, ia terkejut saat Azka mendongakkan
kepala ke arahnya. Azka seperti mengenali suara itu.
“Kak Rasya?” sebut Azka lirih, namun masih dapat didengar olehnya. Seketika Azka dan Rasya terdiam, ada perasaan kaku dan dingin yang menjalar di sekitar mereka.
Azka pun bangun, tidak mau menunggu Rasya mengulurkan tangan untuk membantu, karena itu mungkin tidak akan pernah terjadi. Lihatlah, ia saja masih mematung saat Azka sudah berhasil bangkit dari jatuhnya.
“Maaf ya, D- Ka.” Ucapannya terbata, sepertinya Rasya hampir refleks memanggil Azka dengan sebutan ‘Dek’, seperti panggilannya dulu kepada Azka.
“Ah, iya.. gapapa. Ga sakit kok. Lagian Kak Rasya gak sengaja,”
“Gak nyangka bisa ketemu di sini. Lagi liburan ya Kak?” lanjutnya mencoba berbasa basi.
Rasya mengangguk. Dia masih saja canggung, padahal Azka sudah berusaha mencairkan suasana. Azka bersikap seolah tidak mengingat kenangan mereka dulu yang sedari tadi sebenarnya sudah berputar di benaknya seperti roll film yg sedang diputar.
“Eh, iya.. katanya Kak Rasya buru-buru kan? silahkan Kak, maaf jadi bikin lama disini. Hehe,” katanya melanjutkan.
Rasya diam, tapi kemudian dia berjalan melewati gadis itu. Azka memerhatikannya, sejenak ada rasa sedih dan bersalah. Entah karena apa, mungkin ia sedih, karena setelah 2 tahun tidak berkomunikasi, dan sudah kurang lebih 3 tahun tidak bertemu, ternyata Rasya masih bersikap seperti itu. Apakah ia se sakit itu? :’(
Belum lima langkah Rasya berjalan Melewatinya, tiba-tiba ia berbalik.
“Seneng bisa ketemu kamu, Azka.”
Azka tersenyum, tapi ia tak bisa-tak mau- menanggapinya. Lalu Rasya berlalu begitu saja.
Azka memerhatikan punggungnya, sampai akhirnya tak terlihat setelah ia berbelok ke arah pintu keluar menuju Ke tempat mobil-mobil taksi Berjajar.
----□----
-Tahun 2008-
Namanya Aureli Nur Azkania, biasa dipanggil Azka. Biasa juga dipanggil Dek Azka, karena badannya yang kecil mungil. Sebenarnya tidak terlalu kecil, karena Azka punya tinggi badan 157cm, dengan berat sebesar 39,5kg. Terlihat kurus dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Kakak-kakak pramuka saat SMP memanggilnya dengan sebutan Unyil. Sekarang Azka duduk di bangku SMA kelas X.
Sejak SMP, Azka belum pernah berpacaran. Kenapa ya? Karena Azka masih mengharapkan Agil. Yah Walaupun harus menunggu sejak kelas satu SMP dan masih belum bersambut sampai saat ini. Padahal mereka cukup dekat, setidaknya Azka dekat
dengan sahabatnya, Rasya.
Namanya Adi Rasya Syaputra. Anak ketiga dari 3 bersaudara. Sahabat karib tak terpisahkan dengan Agil. Mereka selalu satu kelas sejak kelas 7. Kak Rasya, Begitu Azka memanggilnya. Entah karena mereka sudah terjebak friendzone lalu jadi kakak-adik zone sejak kelas 8 SMP. Azka merasa nyaman dekat dengannya. Meskipun kedekatan mereka hanya berlangsung via chat di aplikasi yang ada di ponsel. Mereka tidak pernah berbicara secara langsung. Sejak kelas 8, Rasya digosipkan menyimpan ketertarikan pada Azka. Sedangkan ia tahu, Azka menyukai sahabatnya. Hubungan yang rumit ya. Namun demikian, seiring berjalan waktu hubungan mereka mulai menunjukkan jalan terang.
Bersama Rasya, dan juga sahabatnya Azka melalui segala konflik dan drama yang menerpanya selama SMA.
Hari ini Azka sudah siap berangkat sekolah dari pagi-pagi sekali. Karena ini hari senin, Azka diminta untuk menjadi protokol upacara di sekolah. Kegiatan ini sudah Azka geluti sejak SD. Mungkin karena papanya terbiasa jadi MC, sehingga mungkin bakatnya menurun kepada Azka.
“Ma, Ade berangkat dulu ya..” kata Azka sambil memasang sepatu pantofel wanita ke kakinya yang putih sambil berdiri. Azka mematut diri di kaca jendela rumah, memastikan bahwa ia sudah siap untuk berangkat sekolah.
“Gak sarapan dulu De?”
“Enggak ah Ma, nanti di sekolah aja pas istirahat pertama. Suka sakit perut kalo sarapan dulu.”
“Oh, yaudah. Hati-hati..”
“Iya Ma,” Azka mengambil tangan mama untuk ia cium, meminta restu dan doa semoga sekolahnya hari ini berjalan lancar.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..” jawab mama. mama masuk kembali ke rumah, sedangkan Azka berjalan menuju gang depan rumahnya untuk menyetop angkot menuju ke sekolah.
Sesekali Azka memainkan ponsel untuk melihat apakah ada pesan masuk ke ponselnya. Ternyata ada satu pesan masuk, yang dikirimkan sejak pukul 05.00 tadi pagi.
“Gilaa, subuh-subuh amat ngirim SMS,” batinnya. Ia gerakkan jemarinya untuk membuka pesan yang masuk ke benda berbentuk persegi panjang itu.
- Rasya-
Udah bangun belum? Hari ini berangkat jam berapa ke sekolah?
Azka mengetik sesuatu untuk menjawab pertanyaan Rasya melalui pesan singkat itu.
-Azka-
Ini udah berangkat kok Kak, soalnya disuruh jadi protokol. Hehe.
Azka memasukkan ponsel itu ke saku baju sebelah kiri dan melanjutkan berjalan hingga ke depan gang. Azka menunggu angkot yang lewat. Ia memilih angkot yang tidak terlalu penuh, karena ia sedikit tidak suka berdesak-desakkan. Apalagi mau ke sekolah. Bisa-bisa sudah keringetan duluan sebelum sampe ke sekolah. Sesampainya di sekolah, sudah terlihat dua orang guru yang menunggu bersama satu orang satpam di depan gerbang sekolah. Karena hari ini hari Senin, jadi siswa-siswa diharapkan bisa datang lebih awal dari biasanya. Azka menyalimi kedua guru itu, mengucapkan salam dan sedikit tersenyum. Senyuman itu di balas oleh guru-gurunya. Sedangkan saat ia melewati bang Odin, si satpam sekolah, Azka menyapanya dengan riang seperti biasanya.
“ Hei Bang, jaga gerbang yang bener ya hari ini, hehe.”
“Eh, si Azka, udah cantik aja pagi-pagi.”
“Iya dong, mau jadi petugas upacara, jadi harus cantik,” jawabnya sambil cengengesan.
“Gak jadi petugas juga harus cantik dong,”
“Emang biasanya aku ga cantik bang?” Azka mencebik mulutnya tanda kesal.
“Ya enggak, gitu aja kesel si eneng.”
“Hehehe, yaudah Bang, Azka ke dalem dulu, mau siap-siap upacara.”
“Siap!” jawab bang Odin sambil meletakkan tangannya di dahi seperti orang yang sedang hormat.
Azka tertawa, lalu melanjutkan berjalan ke ruang kelas yang tidak jauh dari gerbang sekolah. Kelas X.1, kelas X.2, kelas X.3. Ia sampai di kelas yang masih terlihat sepi, cuma ada beberapa temannya yang memang terkenal selalu datang pagi karena rumah mereka yang sangat jauh.
“Azka, selamat pagi.” Sapa Aya.
“Selamat pagi Ya, udah dateng aja. Oiya hari ini ada PR kimia ya dari Pak Su?”
“Iya, kamu udah?”
“Udah, eh iya aku ke lapangan duluan yah, mau siap-siap jd petugas nih.”
“Yoi.” Azka pun berjalan menuju lapangan sambil menunduk, melihat ponsel yang tidak berbunyi itu. Melewati ruang kantor dan ruang guru lalu berjalan ke lapangan berumput tempat biasa mereka memainkan voli. Sampai di ujung masjid dan menanjak ke arah lapangan upacara, tiba-tiba..
“Jalan jangan pake ujung kepala Neng.” Ucap seseorang sambil mengambil ponsel dari tangannya.
“Eh, “
“Hape nya diambil abis upacara aja ya, biar jalannya bener dan gak kesandung”
“Iiiih, kembaliin hape nya. Sini,” kata Azka sewot.
Rasya melambai-lambaikan ponsel itu di tangannya sambil terus melanjutkan jalannya menuju ruang kelas. Azka mencoba mengejar langkah Rasya yang baru saja mengambil ponsel dari tangannya berjalan menuju kelas X.4.
“Kak, ih, aku mau jadi petugas upacara… cepetan siniin…” katanya kesal, karena harus berjalan balik arah menuju deretan ruang kelas mereka.
“Ambil aja kalo bisa, lagian jalan tuh liat ke depan, bukan liat ke hape.” Kata Rasya acuh sambil terus jalan menuju belokan antara lapangan sepak bola dan ruang guru. Azka terlihat berlari ke arah Rasya dan..
Depppp
“Astaghfirullah,” kata Azka kaget karena ia sudah berjarak sangat dekat dengan Agil. Rupanya Agil sedang berjalan mau berbelok ke arah ruang guru saat Azka pun mau berbelok ke arah ruang kelas. Lama mereka terdiam sambil saling tatap. Jarak antara mereka hanya beberapa senti, bahkan ujung-ujung sepatu mereka saling beradu.
Deg deg deg- ‘ini jantung kenapa sih, ga bisa diajak kompromi banget’ Gumam Azka. Seketika ada gelenyar hangat yang merayap ke wajahnya, menandakan wajah yang putih itu sudah memerah karena malu. Azka langsung memalingkan wajahnya salah tingkah saat sadar mereka dari tadi hanya saling tatap. Mata Agil yang tajam memandang wajah Azka dalam. ‘duuuh ini pasti merah banget deh, ya allah.. kenapa harus tabrakan gini sih' batin Azka.
“Muka nya kenapa merah gitu?” tiba-tiba Agil berbicara,
“Eng.. enggak kok, ini nih, abis dari atas harus balik ke bawah lagi, jadi merah mukanya. gara-gara itu tuh,” Azka berkata sedikit gelagapan sambil menunjuk Ke arah Rasya. Rasya hanya cengengesan saat ditunjuk olehnya. Agil menoleh ke arah Rasya, ‘saat yang bagus untuk kabur dari situasi ini’ pikir Azka cepat.
Azka langsung kabur menuju lapangan upacara. Melupakan ponselnya yang masih dipegang oleh Rasya. Sedangkan Rasya yang menyaksikan itu, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan berjalan ke arah kelas. Sambil memendam rasa sesak yang entah itu perasaan apa. Agil mengurungkan niatnya jalan ke lapangan upacara. Ia memilih menjemput Rasya dan pergi ke lapangan upacara bersama.
---
Rasya berjalan menuju ruang kelas dari parkiran motor di bagian atas. Ia telah sampai, lalu membuka ponselnya dan melihat ada balasan dari Azka.
-Azka-
Ini udah berangkat kok kak, soalnya disuruh jadi protokol. Hehe.
Rasya tersenyum, ‘pasti dia udah sampe,’ batinnya senang. Rasya lihat di sepanjang lapangan upacara, hanya kakak-kelas dari pengurus OSIS yang sudah bersiap-siap. Ia sapu penglihatannya pada setiap orang di sana,
“Belum ke atas dia, pasti masih di kelas.” Rasya melanjutkan berjalan, belum lama kemudian ia melihatnya.
“Baru juga dicariin, udah nongol aja. Jodoh kali ya,” Ia bergumam sambil tersenyum sendiri. Azka terlihat berjalan khusyuk sambil menatap layar ponselnya. Padahal Rasya belum membalas pesannya tadi pagi. ‘Dia ngeliat apaan sih, sampe ga ngeliat ke depan, jalan tuh.’ Rasya berjalan perlahan menuju Azka yang masih fokus pada layar datar ponsel di tangannya. Heppp ditariknya benda pipih itu,
“Jalan jangan pake ujung kepala neng.” Ucap Rasya sambil mengambil ponsel dari tangan Azka.
“Eh,“ Azka terkesiap dan menyadari Rasya ada di hadapannya, lalu Ia bergegas menjauh,
“Hape nya diambil abis upacara aja ya, biar jalannya bener dan gak kesandung” katanya, diikuti oleh mata Azka yang melebar menunjukkan keterkejutan.
“Iiiih, kembaliin hape nya. Sini,” kata Azka sewot, Rasya melambai-lambaikan ponsel itu di tangannya sambil terus melanjutkan jalan menuju ruang kelas. ‘Paling dia ngejer, dia kan gabisa jauh dari hape ini’. begitu pikirnya. Dan benar saja, Azka mencoba mengejar langkah Rasya yang berjalan menuju kelas X.4.
“Kak, ih, aku mau jadi petugas upacara… cepetan siniin…” katanya kesal, karena harus berjalan balik arah menuju deretan ruang kelas mereka.
“Ambil aja kalo bisa, lagian jalan tuh liat ke depan, bukan liat ke hape.” Kata Rasya acuh sambil tersenyum dan terus jalan menuju belokan antara lapangan sepak bola dan ruang guru. Ia bertemu Agil, lalu menyapa nya sekilas,
“Gue ke atas duluan Sya, mau jadi petugas Doa,” kata Agil yang kemudian dijawab dengan anggukan sambil terus memainkan ponsel Azka di tangannya.
Depppp
“Astaghfirullah,” teriakan Azka terdengar, sepertinya dia terkejut.
Rasya memalingkan wajahnya. Terlihat Azka sudah berjarak sangat dekat dengan Agil. Rupanya Agil sedang berjalan mau berbelok ke arah ruang guru saat Azka pun mau berbelok ke arah ruang kelas karena mengejar Rasya. Lama mereka terdiam sambil saling tatap. Jarak antara mereka hanya beberapa senti, bahkan ujung-ujung sepatu mereka saling beradu.
“Menang banyak Lo Gil, “
“Kenapa ga pernah sadar sih, kalo Azka suka sama Lo.” Rutuknya kesal dan memilih melanjutkan jalan menuju kelas X.4.
Disisi lain,
“Lagian ngapain Gue ga bergerak tetep di depan si Agil, bikin deg-deg an aja”. Rutuk Azka pada diri sendiri. sambil berjalan terus ke arah lapangan upacara untuk ikut bersiap bersama kakak kelas dari pengurus OSIS
---
Rasya memilih melanjutkan tugas yang belum selesai karena tadi sengaja berangkat lebih pagi untuk menemui Azka.
“Sya,” Sapa Agil mengagetkan.
“Apa, Gil..” Rasya masih fokus ke buku tugas, melanjutkan PR yang belum sempat selesai ia kerjakan di rumah.
“Bukannya mau ke atas tadi, jd petugas baca doa kan Lo?” lanjutnya,
“Hemmm,” jawab Agil sedikit malas,
“Itu hape kenapa ada sama lo?” Agil melanjutkan ketika melihat ada ponsel Azka di atas meja mereka. Rasya menoleh mengikuti arah telunjuk Agil yang menuju ke ponsel Azka.
“Oh, ini.. hape si Azka tadi gue ambil. Abis jalan liat ke hape mulu. Bisi kesandung.”
“Segitu perhatiannya Lo sm si Azka.” Rasya hanya tersenyum.
“Kenapa gak tembak aja sih Sya?” lanjut Agil masih sambil berdiri di depan meja mereka.
“Mati dong.” Rasya bercanda.
“Serius Gue Sya.”
“Gue masih nunggu dia cape, kalo dia udh cape nunggu orang yang ga peka-peka sama dia itu, baru nanti gue dateng buat ngapus harapan kosongnya.”
“Beeuuuuh, gaya Lo! Emang siapa sih?” Agil sepertinya jadi penasaran, karena dia tahu, bahwa Rasya sering dijadikan tempat Azka curhat, dan Rasya enggan menceritakannya ke Agil.
“Heem,, ada deh.” Rasya sedikit salah tingkah. ‘Bisa-bisa nya Lo nanya siapa Gil, Azka tuh suka sama Lo dari jaman SMP kali.’ Batinnya kesal.
“Dih, main rahasia-rahasiaan. Yaudah ayok ke lapangan yok, udah beres kan?” ajak Agil sambil berjalan ke arah pintu kelas.
“Tungguin woy, dikit lagi ini.. bentar-bentar.” Ia segera membereskan alat tulisnya lalu ditumpuk menjadi satu di atas buku tugas dan kemudian berjalan ke arah Agil yang sudah menjauh dari pintu kelas.
“Ka, Nad, tungguin sih,” ucap Ocha menyusul Azka dan Nadia yang sudah berjalan menjauh menuju kantin.
“Cepetan Cha, laper inih, dari pagi belum makan Gue Cha.” jawab Azka sambil terus berjalan tergesa-gesa menuju kantin.
“Tuh Risa sama Iren udah di sana, ayok samperin.” Sambung Nadia sambil menunjuk dua teman mereka yang sudah asik duduk sambil mengunyah bakwan (kalo di Bandung namanya Bala-Bala).
“Yaudah sana aja kalian, gue nyusul. Cape kejer kalian, jalannya cepet amat!” saut Ocha masih sewot.
Azka mendudukkan pantatnya dan menyandarkan punggungnya ke kursi yang ada di samping Risa.
“Sa, udah lama?” Tanya Azka, disusul dengan duduknya Nadia di sebelah Iren dan kemudian Ocha yang duduk diantara Nadia dan Risa.
“Mayan, abis pelajaran siapa sih, lama amat keluar nya?” tanya Farisa yang biasa dipanggil Risa.
“Pak Su,” jawab Azka sambil mengambil bakwan dan mencelupkannya ke dalam cuka. Bakwan pakde emang paling top. Azka mengambil 4 potong ke dalam piringnya, karena ia sudah sangat lapar sebab sejak tadi pagi tidak sempat sarapan.
“Whoh whoh whoh, laper apa doyan neng?” serobot Achin, teman sekelas mereka yang baru masuk bersama teman-teman satu genknya.
“Hehe, laper Chin, Gue..”
“Abis konser tadi dia Chin, konser di upacara.” Saut Iren usil diikuti tawa dari teman-teman Azka dan teman-teman Achin. Achin dan genknya pun bergegas menempati deretan bangku di sisi lain kantin.
“Ren, Mas Alfan mana?” tanya Azka sambil mengunyah bakwan.
“Di kelas, males kantin katanya. Fabel mana? Ita kok ga keliatan ya?” saut Iren sambil bertanya beruntun.
“Fabel sama Doni dkk. tuh di kantin belakang.” Jawab Nadia.
“Ita paling sama Aja dan Liun.” Jawab Azka sambil terus mengunyah bakwan.
Ita memang berbeda kelas dengan mereka, Azka, Ocha, Nadia, dan Fabel berada di kelas X.3, Icha, Iren, dan Alfan di X. 4, sedangkan Ita di kelas X.7. jadi Ita lebih sering bermain dengan teman sekelasnya dibanding bersama mereka ketika di sekolah.
“Ka, Tuh ada si Agil sama Rasya.” Tunjuk Nadia.
Azka yang baru sadar, ponselnya masih dipegang Rasya sejak kejadian tadi pagi segera menghentikan aktivitasnya. Bayangan tadi pagi seketika teringat kembali. Azka menggelengkan kepala dan kemudian menengok ke arah yang ditunjuk Nadia.
“Gue ke kak Rasya dulu, mau ambil hape.”
“Ke Kak Rasya apa ke Siapa Ka?” jawab Ocha sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Ke Kak Rasya beneran, hape gue diambil sama dia tadi pagi.” jawab Azka menyudahi minum sambil bangkit dari duduk. Ocha memang tahu, dia satu-satunya yang tahu kalau Azka suka sama Agil sejak SMP. Selain Ocha, yang tahu masalah ini adalah Suci, dan dia tidak bersekolah di sini.
“Emang sejak kapan Azka sedeket itu sama Rasya? Sampe hapenya diambil?” tanya Nadia bingung, yang dijawab dengan gedikan bahu teman-temannya.
Tidak ada yang menyadari kalau Ocha tadi menggoda Azka, syukurlah.. jadi tidak ada yang tahu kalau sebenernya Azka suka kepada Agil, sahabat Rasya.
“Kak, hape aku mana?” kata Azka menghampiri Rasya yang sedang memilih menu di kantin.
“Mau diambil sekarang? Ga nanti pas pulang aja?” jawab Rasya.
“Enggak ah, sekarang aja, nanti gabisa chat.” Ucapnya asal.
“Chat sama siapa sih Ka? Segitu kelas Lo sampingan sama Rasya Ka.” Kini giliran Agil yang menjawab.
“Serah Gue dong, weee” jawab Azka, ‘ya ampuuun ngomong gitu doang gue deg deg an. Sial.’ Batin Azka yang sadar jantungnya bertalu berdegub-degub lebih cepat dari biasanya saat mendengar jawaban Agil. Entah karena jawaban Agil, atau karena Agil sangat dekat dengannya, mengingatkan kejadian tadi pagi yang masih berputar di kepala. Ck.
Agil lalu duduk di sebuah meja dengan dua bangku, satu bangku lainnya pasti akan diisi oleh Rasya. Siapa lagi? Mereka kan dua sejoli.
“Yaudah ini,” kata Rasya sambil merogoh saku celananya mengambil benda persegi yang Azka kenali sebagai ponselnya, lalu menyerahkan ponsel itu kepadanya.
Tiba-tiba..
“Cie cie,, udah tuker-tukeran hape aja ini Azka sama si Rasya.” Kata Ipit (nama asli nya Fitri) yang tiba-tiba datang sambil menyenggol lengan Azka sampai ia terhuyung.
“Gila, ampir jatoh gue Pit.” Sahut nya, “bukan tukeran, ini hape diambil ni orang tadi pagi, jadi mau gue ambil dong.”
“Masa iyaaaa?” kata Ipit sambil kembali ke rombongan genknya bersama Achin.
“Yaudah aku ke situ dulu ya kak. Bye.”
“Iya.” jawab Rasya singkat dan kembali memesan menu karena tadi terjeda oleh kehadiran Azka yang tiba-tiba.
--
“Ka, kenapa Lo gak sama si Rasya aja sih Ka?”
“Atau Lo masih bingung nentuin mau sama Agil atau sama Rasya?” sambung Nadia mengikuti Iren.
“Eh apaan?” saut Azka sewot tapi dibuat seolah santai.
“Iya, kan dari kelas 2 SMP gue taunya Agil sama Rasya sama-sama suka sama Lo,” kata Nadia.
Seketika lamunannya bergerak ke dua tahun silam.
2006, di kelas 2C.
“Eh, siapa yang lo bilang beg*k?” sahut Nadia marah.
“Ya lo lah!” kata Rasya tak kalah kesal.
“Dasar porno, sukanya ngintipin orang!” Sembur Nadia.
“Dih, siapa yang lo bilang suka ngintip? Kalopun gue mau ngintip, bukan lo yang Gue intip.”
“Dih, siapa juga yang mau!”
“Dasar gendut!” ejek Rasya yang diikuti tawa Agil yang membahana.
“Udah ih, apaan sih berantem mulu kalian tuh,” ucap Azka melerai Nadia dan Rasya.
“Tuh Sya, kata Azka juga udaah.” goda Agil pada Rasya yang tiba-tiba diam tapi tak suka.
“Diem Lo Gil! Sana sana sama Azka pergi jauh-jauh.” Ucap Rasya.
“Lah kenapa jadi gue?” kata Agil.
“Bilang aja Giiil, suka sama Azka maah” cela Rasya lagi.
“Dih, kok jadi kalian yang berantem sih, udah Ka, Nad, sini duduk.” ucap Suci melerai sambil menarik tangan Azka dan Nadia ke bangku mereka.
“Sono-sono gendut.” Ucap Rasya lagi merasa tidak puas mengejek Nadia.
“Siapa yang gendut?” Bu Endah tiba-tiba datang memasuki kelas dari arah pintu. Sambil membawa peralatan matematika seperti penggaris kayu, buku-buku, dan spidol.
“Itu Bu, masa Ibu gak liat?” Jawab Rasya.
“Sudah-sudah. Ayo kita mulai. Potong Bu Endah ketika Nadia baru saja hendak membalas ejekan Rasya.
Pembelajaran pun dilakukan dengan tenang pada awalnya, sampai ketika Agil meminjam Tipe X pada Azka yang duduk di belakangnya. Azka duduk bersama Anne di baris nomor dua, di depan mereka ada Agil dan Rasya (dua sejoli yang tak terpisahkan), sedangkan Nadia duduk bersama Suci di belakang Dea dan Hafis pada lajur yang berbeda. Sedangkan Vani duduk bersama Denti di meja depan pada lajur kedua dari pintu kelas.
“Ka, pinjem tipe X doong,” kata Agil sambil menoleh ke belakang. Azka hanya menyerahkan tipe X -nya ke arah Agil sambil terus menuliskan jawaban dari soal yang diberikan Bu Endah.
“Ka, makasih yaa!” kata Agil lagi.
“Gil, diem sih, ga konsen Gue. ngomong mulu Lo mah,” sergah Rasya ketika mendengar kembali ucapan Agil kepada Azka.
“Cemburu aja Lo mah Sya,” kata Agil kemudian.
“Agil, Rasya, sedang apa kalian? Dari tadi mengobrol terus, kerjakan nomor 1 dan 2 di depan!” Kata Bu Endah tiba-tiba yang disambut dengan tatapan terkejut Agil dan Rasya.
Mereka pun maju meraih spidol yang diacungkan Bu Endah kepada mereka, sambil menuju papan tulis untuk menulis jawaban soal nomor 1 dan 2. Agil dan Rasya memang cowok-cowok yang suka mengejek dan berulah, tapi mereka tidak nakal, justru cenderung pintar, terutama di mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.
“Sukurin, makanya jangan sewot, ngegoda mulu sih,” seru Nadia dari bangkunya.
“Dih, sewot amat si ndut. Mau juga di godain?” kata Rasya dari depan kelas.
“Najis, Azka aja tuh, dia mah ga sewot direbutin kalian berdua juga!” saut Nadia.
Azka membelalakkan matanya tanda kesal. Azka lempar pensilnya ke arah Nadia yang ada di sebelah lajur tempat duduknya.
“Hei, sudah-sudah, teruskan menjawab.” Kata Bu Endah menyudahi pertengkaran Nadia dan Rasya.
“Jadi, yang disebut Rasya gendut itu, Nadia?” tanya Bu Endah lagi memecah keheningan. Lalu disusul jawaban iya dari anak satu kelas dengan riuhnya.
“Apa jangan-jangan Rasya suka sama Nadia ya?” lanjut Bu Endah lagi, kelas semakin gaduh akan pertanyaan Bu Endah.
Bu Endah memang guru yang asik diajak ngobrol. Padahal usianya tidak bisa dibilang muda. Tapi beliau sangat santai, meskipun demikian, siswa-siswa sangat menghormatinya.
“Enak aja Bu, Najis Bu suka sama dia mah!” kemudian suara Rasya mendominasi riuh sorak sorai di kelas.
“Iya lah, yang Lo suka kan si Azka!” cerocos Nadia, yang mendapat tatapan tajam dari Azka. Ah, Nadia selalu saja menyebutkan itu.
“Nadia, ssst ih. Apa-apaan sih,” jawab Azka mulai tak suka jadi kambing hitam dari perdebatan mereka.
“Mana Azka?” Azka malu, wajahnya memerah ditanyakan seperti itu oleh Bu Endah, Ia hanya tersenyum terpaksa, lalu dengan mendengus kasar melanjutkan menulis jawaban soal berikutnya.
“Sabar ya Ka.” kata Anne mencoba menenangkan sambil mengusap sekilas pundak Azka.
Kembali ke kantin Pak De,
“Emang iya? Bukannya Agil suka sama temen SMP kita itu yah, siapa namanya? Dinda.” ucap Risa lirih agar Agil tak mendengar.
“Iya, gue denger malah dia mau nembak Dinda,” kata Iren kemudian, sama lirihnya dengan suara Risa.
“Beneran?” kata Ocha kemudian, sambil menepuk-nepuk pundak Azka seperti mengatakan ‘sabar yah’.
“Heem,, gatau sih ya, tapi kan mereka jauhan, emang kuat LDR-an?” kata Risa lagi.
“Au ah gelap!” kata Nadia sembari bangkit dari duduknya, “ yuk ke kelas, udah mau bel masuk.”
Mereka pun bangkit dari duduk, menuju kelas mereka masing-masing yang bersebelahan di deretan kelas sepuluh. Sesaat Azka menengok ke belakang ke arah bangku dimana Agil tadi duduk. Namun yang menangkap matanya justru Rasya, ia pun tersenyum untuk menyembunyikan keterkejutan. ‘mau liat Agil, malah ke gap sama kak Rasya’ Pikirnya sambil memutar bola mata dan berbalik menyusul teman-temannya yang sudah berjalan menjauh.
#Selamat Membaca, semoga suka.
Like ya,
Next jangan? hihihihi
:)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!