Brakk!!!!
"Yang benar saja, masak Anda minta saya bekerjasama dengan lulusan SMA, nama baik saya dicoreng seperti ini, lagipula daya tau pemuda seperti apa orang di hadapan saya ini" seorang lelaki berwajah seram renah meluapkan kekesalannya di depan banyak orang di ruang rapat pagi itu.
Orang - orang di sekelilingnya hanya menunduk terdiam. Tampaknya lelaki itu memang memiliki jabatan tinggi hingga tak satupun ada yang membantah atay memotong pembicaraannya.
" Saya tau dia sudah lama, saya heran bagaimana perusahaan sebesar ini menerima dia, apalagi memberikan peran penting di perusahaan. Apa Anda semua tidak tahu pemuda seperti apa dia? Dia adalah pemuda tidak tahu sopan santun, pemuda kurang ajar, penipu"
Lelaki itu memandang sekeliling lalu meneruskan bentakannya
" Jika di perusahaan ini masih ada pemuda itu, saya akan memutuskan kerjasama dengan perusahaan ini"
Seketika semua wajah terangkat lengkap dengan ekspresi terkejutnya. Lalu lelaki itu keluar dari ruangan disertai beberapa orang anak buahnya, diikuti oleh beberapa orang lainnya. Dan mulailah riuh bergema di ruangan itu. Mereka menatap wajah pemuda yang dibicarakan itu dengqn berbagai macam ekspresi. Ada yang bingung, ada yang memandang kasihan dan ada pula yang memandang dengan penuh curiga.
Hampir tiga jam berlalu, semua karyawan telah kembali ke pos masing - masing. Lukman, pemuda yang menjadi sorotan itu, sudah berada di ruang atasannya. Wajahnya tenang, karena ini bukan kali pertama Dia mengalami hal serupa. Dia tahu pasti penyebab semua ini. Dan tahu pasti apa yang akan menjadi akibatnya.
"Man, sebenarnya ada masalah apa sih dengan Pak Handi? Kamu kenal sama beliau sebelumnya nya?" Tanya Mbak Dini, Manager yang mempromosikannya di bagian managemen.
Lukman mengangguk. Raut wajahnya masih tenang.
"Lha trus? Kenapa dia bisa segitu marahnya ke kamu?"
Lukman diam. Ia enggan menjelaskan masalahnya. Menurutnya orang lain tidak perlu tahu lebih dalam. Terlebih ada perasaan seseorang yang harus Ia jaga.
Mbak Dini menghela nafas, antara kesal dan kasiha. Kasihan akan nasib Lukman yang menerima cercaan di depan umum, juga kesal karena Lukman tak mau buka mulut tentang penyebab semua ini.
Krek...
Pintu dibuka, masuklah Pak Rudi, atasan Mbak Dini.
"Man, aku nggak bisa berbuat banyak. Perusahaan ini memiliki ikatan yang kuat dengan Pak Handi. Selama ini perusahaan beliau memberikan andil yang cukup besar untuk perusahaan ini"
Begitu kata Pak Rudi sambil menyerahkan amplop cokelat pada Lukman. Sudah dapat diterka. Lukman dipecat atas permintaan Pak Handi. Lukman tersenyum kecut. Sangat lucu baginya. Begitu bencinya Pak Handi sampai tak segan melakukan ini padanya.
"Pak, apa gak bisa dipertimbangkan lagi, Lukman salah satu karyawan terbaik kita pak, kalo nggak mana mungkin disetujui naik jabatan" kilah Mbak Dini
Pak Rudi menggeleng pelan.
" Di dalam sudah terjadi perdebatan sengit. Bahkan pimpinan pun meminta keringanan pada beliau"
Begitulah. Kali ketiga dialaminya saat Lukman berjuang keras untuk hidup. Promosi jabatan didapatkannya bukan dengan mudah, bukan karena koneksi bukan pula rasa kasihan. Semua murni karena potensi. Sebelum - sebelumnya juga demikian. Di saat Lukman mulai naik, Pak Handi menurunkannya melalui kekuasaan yang dimiliki. Pengaruhnya begitu luas untuk perusahaan - perusahaan di sekelilingnya. Termasuk yang kini memberhentikanya.
Lukman keluar ruangan dengan datar, semua mata tengah memperhatikannya namun ia tak peduli. Pikirannya berkecamuk. Namun ia berusaha tenang. Dia melangkah mendekati para atasan yang selama hampir setahun ini menjadi keluarga keduanya. Ia torehkan senyum terbaiknya lalu pergi.
***
"Man....Man..!" Suara perempuan memanggil dari balik pintu disertai ketukan ringan.
Lukman tahu betul suara itu. Ia segera membuka pintu rumah kosnya. Berdiri di depannya seorang perempuan muda seumurannya berambut lurus di bawah bahu. Tangannya menenteng kotak bekal.
"Kamu dipecat ya?" Perempuan itu langsung menyerbu Lukman dengan pertanyaan inti.
Lukman mengangguk.
"Untuk kesekian kalinya Man?" Heran bercampur marah tertoreh dalam nadanya.
"Duduk dulu Lan" Ajak Lukman.
Mereka kemudian duduk berdampingan di teras rumah kos.
"Siapa sih sebenarnya orang itu? Kenapa sebegitu bencinya sama kamu? " Wulan, nama perempuan itu, masih terus menyerbu Lukman dengan pertanyaan - pertanyaannya.
" Sudahlah Lan, aku sudah kebal kok. Dipecat, ya cari lagi. Masih banyak kok perusahaan yang mau nerima aku. Yakin deh" Lukman menghibur diri.
"Ya gak bisa gitu dong Man, untuk kesekian kalinya kamu dipecat tanpa ada kejelasan dimana kesalahan kamu. Siapa sih orangnya? Aku sumpahin dia....."
"Sssst......." Lukman menempelkan jarinya pada bibir Wulan
" Jangan nyumpahin orang, ikhlas aja, ini cuma tantangan, dengan ini aku bisa lebih kuat, lebih tegar lebih siap lindungin orang yang aku sayang" Kata Lukman menenangkan.
Ucapan Lukman membuat Wulan tersipu. Ia tertunduk. Perempuan itu mengagumi sosok lelaki di depannya yang telah menjalin hubungan dengannya lebih dari Tujuh tahun.
Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mereka mengerti satu sama lain. Sejak kelas dua SMA sampai kini Wulan hampir memperoleh gelar Master, mereka melewati berbagai lika - liku hidup. Tujuh tahun waktu yang cukup untuk berumah tangga. Bukannya tak mau, tetapi masih ada yang harus dikejar untuk menikmati kehidupan rumah tangga yang tentram. Restu orang tua.
Lukman anak yatim piatu. Itulah yang kerap kali menjadi alasan utama keluarga Wulan.
" Oh ya, aku mau pulang kampung dulu untuk sementara waktu" kata Lukman memecah keheningan
"Kenapa?"
"Yaa aku pengen ke makam Bapak Ibuku, aku pengen nenangin diri dulu"
" Kapan berangkat?"
" Hari ini, ini sudah siap - siap"
" Kok mendadak sih Man?"
" Aku gantiin tiketnya temen kebetulan sedaerah. Daripada nunggu seminggu lagi."
" Oh ya udah, aku anterin ya?"
" Emang kamu bawa mobil?"
" Oh iya aku tadi ngegrab."
Lukman tersenyum.
"Sudahlah, aku sudah pesan grab bentar lagi datang. Kamu pulang, fokus Tesis kamu "
Wulan mengangguk.
"Itu bekal bukan buat aku?"Lukman melirik kotak bekal ditangan Wulan.
"Oh iya, nih buat bekal di jalan"
Mereka saling menetap sebelum kemudian berpisah.
***
Kediri mulai senja. Sinar merah memancar di ufuk barat tepat di atas gunung wilis. Burung emprit beterbangan di atas persawahan. Para petani mulai kembali menuju kediaman masing - masing. Perempuan - perempuan pencari kayu menggendong seikat kayu hingga tubuhnya membungkuk. Beberapa diantaranya menganggukkan kepala pada Lukman. Rupanya masih ada yang ingat wajah Lukman.
"Loh Man, kok nggak bilang - bilang kalau mau balik" seorang perempuan ibu - ibu datang dari selatan menenteng tas menjalin.
"Assalamualaikum Bulik" sapa Lukman yang sedari tadi duduk di teras rumah sambil mencium tangan Buliknya.
"Sama siapa?" Tanya Bulik.
"Sendirian Bulik"
"Nggak ngajak konco?"
"Mboten"
Bulik membukakan pintu lalu mereka masuk ke dalam.
Rumah itu adalah peninggalan almarhum orang tua Lukman. Selama Lukman belum menikah, rumah itu ditempati Buliknya bersama suami yang kemudian menjadi wali Lukman. Beliaulah yang selama ini mengurus Lukman sepeninggal kedua orang tuanya.
"Untung kamu pulang Man, Paklikmu ada yang mau diomongin" kata Bulik sambil menyuguhkan secangkir teh panas.
Sesaat sebelum adzan maghrib Paklik tiba di rumah. Segera Lukman mencium tangan Pakliknya. Wajahnya sumringah melihat kehadiran Lukman yang sepertinya telah lama dinantikannya.
Selepas sholat maghrib Lukman menemui Pakliknya di teras. Dua cangkir kopi hitam telah tersedia di meja berikut gorengan yang masih hangat. Bulik memang ahli dalam membuat cemilan.
" Begini Le....kamu masih ingat Pak Haji Saman ?" Tanya Paklik sembari menyeruput kopi hitamnya.
Lukman mengangguk.
"Anak ragilnya, siapa itu... Wardah....sudah tamat sekolahnya di Mesir"
Paklik mencicipi gorengan buatan Bulik. Lalu melanjutkan.
" Nah, Pak Haji menghendaki yaaa mengenalkan dulu lah sama kamu Le...."
Deg. Lukman kaget dengan apa yang baru saja didengarnya. Untuk apa? Apa maksudnya?
" Ya... Pak Haji maunya Wardah itu dapat tetangga sini saja yang sopan yang baik yang penurut sehingga bisa diajak sama - sama ngurusi mushola begitu, lha Pak Haji milih kamu" terang Paklik.
Sesak dada Lukman. Untuk kesekian kalinya seseorang menawari jodoh. Dan selalu saja dadanya sesak. Mengapa semua tidak mengerti bahwa hati Lukman sudah terisi. Namun hingga kini Lukman belum berani menceritakan pilihan hatinya pada keluarganya. Ada ketakutan mendalam pada diri Lukman. Ia khawatir jika dicegah atau tidak direstui. Bagaimanapun Bulik dan suami adalah walinya kini. Mereka yang dipasrahi untuk menjaganya.
***
Dua hari di Kediri, jauh dari bisingnya kota, jauh dari asap yang mengepul, jauh dari ramainya hiruk pikuk kota. Sungguh berbeda. Di kota jam enam pagi sudah panas, tetapi di kampung ini masih dingin, cocok jika ditemani dengan secangkir teh panas dan tahu goreng, seperti yang saat ini tersedia di samping Lukman.
"Paklikmu sudah berangkat?" Tanya Bulik dari balik pintu
"Sampun Bulik" Jawab Lukman.
Bulik kemidian duduk di samping Lukman.
"Memang Paklik mau kemana Bulik?" Lukman balik bertanya.
"Nyambangi Nurul sama adek adeknya" jawab Bulik.
Bulik memiliki tiga anak. Ketiganya perempuan dan ketiganya berada di pesantren. Jarak lahir yang hanya dua tahun membuat mereka seperti kembar tiga.
"Kelas berapa sekarang Nurul Bulik?" Tanya Lukman sambil menyeruput teh hangatnya.
" Nurul sudah kelas tiga aliyah, Fatma kelas 1 aliyah terus Fitri kelas 2 MTs"
Suasana hening sejenak
"Le....Bulik mau tanya serius. Kamu jawab yang jujur yo?" Tanya Bulik.
Lukman mengangguk.
"Kamu di Surabaya sudah punya pandangan belum? Sing jujur"
Lukman hanya tersenyum.
"Kalau kamu sudah punya pacar, cobalah dikenalin sama Bulik. Biar Bulik lihat cocok ndak buat kamu. Ingat Le, menikah itu bukan hanya dua orang tapi dua keluarga"
Bulik mencicipi tahu goreng,. Lalu meneruskan.
"Seperti yang dipesankan almarhum Bapakmu, cari istri yang solihah, yg ngerti agama, dari keluarga islam kentel"
Dada Lukman kembali panas. Inilah mengapa Lukman belum pernah menceritakan perihal Wulan pada keluarganya. Apakah Bulik akan merestui Wulan yang berasal dari keluarga sosialita, orang kota nan kaya raya. Apalagi jika mereka tahu orang tua Wulan belum memberi isyarat lampu hijau hingga sekarang.
Pukul 02.00 WIB.
Burung hantu menyuarakan jati dirinya di belaang rumah. Warga sesa biasa menyebutnya manuk uwuk karena bunyinya nya wuk .wuk...
Lukman memandang genting di atap yang terlihat jelas berajajar rapi di atas sana. Rata - rata rumah di kampung tidak dipasang plafon. Mereka tidak suka memberikan ruang pada para tikus untuk bertempat dan membuat gaduh ditengah malam.
Wardah. Bagaimana wajahnya sekarang? Apakah masih imut seperti dulu? Lukman membayangkan jaman dahulu saat mereka masih SD. Wardah adalah adik kelasnya yang kalem, manja dan menggemaskan. Dulu saat masih kecil mereka sering bermain bersama. Dan wardah sering menangis karena dijahilin anak laki - laki.
Lukman tertawa mengingat saat masa kecilnya, Wardah belajar naik sepeda cowok. Sepedanya dipinjam teman, ia akhirnya mencoba menaiki aepeda cowok yang di bagian tengah ada penghalang. Karena tak biasa, wardah teejatuh dan menangis. Lukman yang kala itu menolongnya. Ditolong oleh Lukman bukannya berhenti menangis ia malah marah-marah pada Lukman tanpa tahu sebabnya. Belakangan temannya menceritakan kalau sebenarnya Wardah malu ditolong Lukman. Temannya bolang Wardah memang suka Lukman dari dulu.
Tapi itu kan dulu, pikir Lukman. Masak iya dia masih suka Lukman selang sepuluh tahun ini. Atau jangan - jangan dia yang meminta Abahnya untuk menjodohkannya dengan Lukman?
Wardah. Siapa yang tak suka Wardah, putri Kyai meski hanya Kyai desa, lulusan Mesir, cantik, pintar, apakah berlian seindah itu akan dia lepaskan?
Tapi Wulan? Tujuh tahun bertahan akankah dilepaskan karena datang berlian yang indah ini? Entahlah, hatinya mulai bimbang. Dulu setiap dia ditawari jodoh, dia selalu bisa menolak. Namun kali ini, ia tidak ingin terburu menolak. Entah mengapa.
Wardah. Kenapa datang disaat begini. Kenapa disaat Wulan telah hadir lebih dulu. Kini ia berada di kampung masa lalu.
***
"Bagaimana Surabaya? Betah?" Pak Haji Saman, ayahanda Wardah bertanya dengan senyumnya.
Lukman duduk menunduk sebagai tanda hormat pada lelaki tua di depannya itu.
" Alhamdulillah, dibetah - betahin Pak Haji" jawab Lukman dengan senyum pula.
Petang ini sehabis maghrib, Paklik mengajak Lukman sowan ke rumah Pak Haji Saman. Lebih tepatnya memenuhi undangan Pak Haji. Tujuannya tentu saja menpertemukan Lukman dengan Wardah. Lukman menurut saja. Jujur saja ia juga ingin melihat bagaimana wajah Wardah yang sekarang. Bukannya bosan dengan Wulan, tetapi jika ternyata Wardah lebih pas untuk dinikahi, kenapa tidak.
Beberapa menit kemudian ditengah perbincangan ringan, muncullah seorang gadis berkerudung biru membawa nampang berisi tiga cangkir teh panas dan beberapa toples cemilan. Itulah Wardah.
Pertama yang dilihat Lukman adalah lentik jarinya dan putih kulit tangannya. Pandangannya perlahan berjalan keatas. Dilihat bibirnya merah merona tapi itu bukan lipstik. Mata Lukman menuju ke atas lagi. Bulu mata yang lentik. Wajahnya masih imut seperti dulu tetapi saat ini lebih cantik karena pasti Wardah sudah pandai berdandan.
Tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Berdesir hati Lukman. Segera Lukman menunduk saat menyadari Wardah tersipu malu. Sepuluh tahun tak bertemu, gadis itu masih imut dan menggemaskan. Senyum yang sama. Tatapan mata yang sama. Dia gadis yang sama sepuluh tahun lalu.
"Bapakmu dulu murid kesayangan Mbahkungnya Wardah. Rajin, sopan cocok gitu lo sama Mbahkung" kata Pak Haji Saman.
Lukman manggut manggut, ia sudah sering mendengar cerita itu.
"Lha dulu Bapakmu dapat istri Ibumu itu juga dijodohkan sama Mbahkungnya Wardah" lanjut Pak Haji.
Lukman paham ke arah mana pembicaraan dibawa.
"Sudah sejak lama tak tunggu pulangmu Le... Paklikmu sudah menyampaikan pesanku kan Le?"
"Sampun Pak Haji" jawab Lukman.
"Bagaimana? Sudahkan dipikirkan?"
" Maaf Pak Haji, tapi Pak Haji tentu melihat kondisi saya, apakah saya layak untuk Mbak Wardah" pelan - pelan Lukman berbicara.
" Saya tahu betul nasabmu, karaktermu, masalah bekal ngurus mushola bisa tak gembleng, kamu sudah punya modal selama masih Tsanawiyah dulu" jelas Pak Haji.
Lukman menunduk. Ia tahu porsinya dan keluarganya. Mana sanggup dia menolak keinginan orang yang berpengaruh dalam kehidupan keluarganya.
Lukman menunduk dalam. Lukman ingat Bapaknya. Ingat Ibunya. Ingat semuanya.
***
Wardah Maulida, putri sulung Pak Haji Saman, sesepuh Desa Randu Kuning. Gadis itu sempat menjadi bunga desa saat Tsanawiyah dulu. Banyak putra Kyai dan konglomerat mempersuntingnya padahal dia masih Tsanawiyah.
Saat kecil mereka sering digojloki cewekan (pacaran). Dan tiap kali digojlokin begitu Wardah pasti menangis.
Berdasarkan cerita Pak Haji tadi, setelah lulus Madrasah Aliyah, Wardah menjalani program Hafisz Qur'an di pesantren selama satu tahun. Setelah hafal 10 juz ia dikirim ke Mesir dengan beasiswa penuh. Kini ia telah lulus S1 dari universitas di Mesir.
Bagaimana dengan Lukman?
Saat kelas dua MTs Ibunya wafat karena sakit demam berdarah. Selang beberapa bulan Bapaknya terkena stroke dan wafat empat bulan kemudian.
Dalam kondisi demikian tidak ada pilihan lain bagi Lukman selain ikut panti asuhan. Waktu itu kebetulan ada guru di MTs tempatnya bersekolah menawarkan bantuan beasiswa dari suatu panti asuhan di Surabaya. Paklik dan Bulik yang menjadi pengganti orangtuanya menyetujui. Dibawalah lukman ke Surabaya untuk disekolahkan dan dibimbing masa depannya. Disitulah Lukman bertemu dengan Wulan saat kelas dua SMA.
Lulus SMA Lukman memilih keluar dari panti untuk mencari pengalaman. Mula - mula ia mengikuti kursus komputer, lalu belajar tentang elektro hingga masuk pabrik.
Jika melihat riwayat Lukman dan Wardah sepertinya jauh berbeda. Orientasi masa depan, perjalanan hidup dan pilihan hidup yang jauh berbeda. Bagaimana bisa Pak Haji Saman memilihnya menjadi menantu. Tak salah lagi pasti Wardah yang memintanya.
Betapa girangnya Bulik ketika tahu Pak Haji Saman melamar Lukman untuk dijadikan menantu. Betapa tidak, menjadi menantu orang terhormat dan disegani tentu sanggup mengangkat derajat keluarga. Disamping itu kehidupan Lukman akan terjamin. Sawah dan ladang yang luas milik Pak Haji cukup untuk dikategorikan tuan tanah. Dengan demikian tuntaslah tugas Bulik mengurus keponakannya itu.
***
Tujuh hari di kampung halaman, Lukman semakin betah. Udara dan keguyubrukunanannya warga menjadi pemicu utama. Pernah ia bermimoi untuk menghabiskan masa tuanya di kampung ini. Kampung yang penuh denga keramahtamahan,penuh dengan bahan pangan yang alami, penuh dengan suasana religi yang kental.
Sore hari Lukman menyempatkan firi bermain bola di lapangan desa bersama teman -teman masa kecilnya yang sebagian sudah menikah. Sambil mengenang masa lalu mereka mengejar dan menyepak bola di depannya. Gelak canda tawa turut menyertai setiap langkah kaki mereka. Seolah telah berpuluh-puluh tahun mereka tak bertemu. Padahal setiap hari raya Lukman pasti pulang.
Keringat mengucur di pipi dan dada. Sudah cukup sore bahkan hampir senja. Permainan usai. Dalam perjalanan pulang Lukman mampir ke warung kecil di pojok jalan tikungan untuk membeli sebotol air mineral.
"Kembaliannya Mas..." Kata ibu penjual warung memberikan beberpa lembar uang kembalian.
"Buk, teh celup satu kotak, gulanya setengah kilo ya buk" suara perempuan baru datang. Suara yang familiar.
Benar saja. Perempuan yang pernah menjadi kembang desa itu kini berada dihadapannya. Wardah.
Wardah belum tahu siapa orang disampingnya hingga kemudian ia menoleh ke arah Lukman. Wardah srdikit terkejut lalu menundukkan pandangan. Lukman tersenyum memberi anggukan sebagai sapaan.
Selesai menerima barang yabg dibelinya, Wardah menganggukkan kepala lalu segera pergi. Tak ingin kehilangan momen, Lukman pun mengejar.
"Mbak ..sebentar Mbak, Mbak Wardah, saya boleh bicara sebentar saja?" Kata Lukman.
Wardah pun berhenti.
"Ada apa Mas?"
Kini mereka berhadapan.
" Anu Mbak, yang dibicarakan Pak Haji waktu itu, Mbak Wardah sudah tahu?" Tanya Lukman.
Wardah mengangguk pelan.
" Bagaimana menurut Mbak, eh maaf maksud saya, Mbak Wardah menerima atau bagaimana Mbak"
"Ehm....saya ikut saja apa kata Abah" jawab Wardah.
"Mbak Wardah apa sudah tahu kondisi saya sekarang? Saya hanya karyawan pabrik Mbak, tamatan SMA, saya tidak kuliah. Saya... Paklik saya pasti sudah banyak cerita Mbak"
Wardah tersenyum. Terpapar jelas di raut wajahnya betapa ia bahagia bertemu Lukman. Semakin kuatlah dugaan bahwa perjodohan ini adalah atas permintaan Wardah
Fix. Semua menyetujui. Tinggal keputusan Lukman secara pribadi. Berbeda sekali dengan hubungannya dan Wulan. Seolah semua pintu tertutup untuknya.
Apakah ini tanda jodoh? Hatinya memberontak, mengamuk, bertengkar dengan dirinya sendiri. Dalam hatinya masih tertancap dalam nama Wulan. Tapi Wardah tak kalah baiknya tak kalah cantik dan cerdasnya. Jalan menuju Wardah jauh lebih mudah ketimbang Wulan.
Tetapi perjalanan tujuh tahun bukanlah hal yang mudah untuk dihapus begitu saja. Terlalu indah. Terlalu dalam menancap di relung hati.
Hampir pukul dua belas malam. Lukman masih terjaga. Pikirannya menerawang jauh. Kedua lengannya dilipat sehingga menjadi bantal di kepalanya. Sesekali ia menengok jendela. Melihat bintang yang tersebar di atas sana. Seolah mereka memihta jawaban atas pertanyaan yang sulit ditentukan.
Tit..tit...
Hapenya bergetar. Sebuah sms masuk
"Kamu baik-baik saja kan?"
Sms dari Wulan. Lukman baru sadar semenjak di kampung ia tidak menyalakan data seluler. Ia oun segera menyalan data seluler di hapenya. Ratusan pesan WhatsApp masuk. 54 chat dan 43 panggilan suara tak terjawab dari Wulan.
Lukman membaca satu persatu
Sudah sampai Man?
*Hati - hati jaga kesehatan
Gimana Kediri? Betah*?
Chat yang terakhir berbunyi
Maaf kalau aku salah, tolong jelaskan jangan diam begini. Kamu kenapa? Are you okay?
Oh Wulan. Selama beberapa hari Lukman berpaling darinya dan mulai beralih pada perempuan lain. Kini Wulan datang lagi dan membuyarkan semuanya. Pesonanya tidak bisa hilang begitu saja. Lukman tidak bisa membohongi perasaannya.
"Aku besok pulang. Jemput di terminal Bungurasih ya" jawab Lukman di WA.
***
Terminal Bungurasih.
Lukman berjalan santai sambil mencari perempuan yang membuatnya kembali ke kota. Hingga melepas berlian indah dikampungnya.
Masih terngiang ungkapan kemarahan Paklik dan Bulik saat tadi siang Lukman pamitan pulang.
"Kamu ini dikasih enak kok mbulet saja" kata Paklik.
" Kamu nggak sungkan sama Pak Haji? " Tanya Bulik.
"Saya sudah sowan kesana Bulik. Insyaallah beliau memahami" jawab Lukman.
Memang benar. Pagi hari sebelum pamitan pulang, Lukman menyempatkan diri ke rumah Pak haji.
"Saya merasa kurang pantas juga kurang mampu untuk mengampu mushola ini. Saya belum siap Pak Haji. Tidak tahu suatu saat nanti. Tetapi untuk saat ini saya masih sangat kurang layak Pak Haji"
Begitulah yang dikatakan Lukman pada Pak Haji Saman.
Seorang perempuan berambut lurus sebahu memakai blazer warna putih dan celana capri abu - abu. Tampak Ia sedang menengok kesana kemari mencari seseorang.
"Hay" sapa Lukman begitu berada tepat di belakangnya.
Perempuan itu berbalik.
"Man!!" Perempuan itu tidak bisa menutupi kebahagiaannya.
Perempuan itu adalah Wulan. Lukman menggenggam erat tangan Wulan.
" Waduh kenapa mendadak romantis gini. Kamu gak habis nonton drama Korea kan?" Tanya Wulan.
Lukman menggeleng.
"Gak pa pa, kangen aja" jawab Lukman sembari tetap menggenggam erat tangan kekasihnya.
Lalu mereka berjalan menyusuri lorong - lorong dan para penumpang yang menunggu angkutan. Mereka berjalan dengan mantab dan tegap. Lukman yang baru saja menghilangkan Wulan di hatinya, ia sadar ia belum bisa melakukannya. Wulan terlalu kuat mengisi relung hatinya. Terlalu bersih untuk disalahkan. Terlalu baik untuk ditinggalkan. Terlalu tidak adil untuk diduakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!