Hola readersku,🤭 aku datang lagi nih😁 kali ini aku bawa kisah roman picisan buat kalian, biar berasa muda gitu😅Happy reading ya guys, i hope you'll enjoy it😘
💕💕💕💕💕💕💕💕
Di sebuah taman terlihat seorang gadis berambut panjang tengah duduk sendirian di atas bangku di dekat kolam buatan. Gadis itu bernama Melodi. Nama yang indah, sayangnya tidak seindah kenyataan hidup yang telah dilalui gadis 18 tahun itu.
Panggilan Gadis Cupu dan Aneh sudah disematkan pada Melodi sejak dia menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Kenapa? Melodi berpenampilan jauh dari kata modis atau kekinian seperti anak-anak gadis seusianya. Kemeja kebesaran dan kacamata bulat. Dua hal yang tidak bisa lepas dari diri Melodi. Ditambah lagi kondisi Melodi yang kerap terserang panic attack. Menjadikan salah satu alasan kenapa orang lain enggan mendekatinya.
Namun, seperti apa pun perlakuan yang dia terima, tidak merubah pendirian Melodi sebab dia punya alasan dibalik semua itu.
Hari telah menuju sore. Namun, cahaya mentari masih bersinar cerah, menyusup melalui celah-celah dedaunan dari pohon-pohon yang tumbuh subur di taman itu. Semilir angin sepoi-sepoi menyibak surai hitam milik Melodi juga menyapu wajahnya lembut. Sesekali tangannya tergerak merapikan anak rambutnya yang diterbangkan angin nakal. Sejurus kemudian, kembali fokus pada pensil dan buku gambarnya.
Melodi menyukai seni, terutama lukisan. Dia hobi menggambar sejak kecil, dan di taman inilah dia menghabiskan waktunya untuk menuangkan hobinya itu.
Selain karena tempatnya dekat dengan rumah susun yang menjadi tempat tinggalnya, taman itu jauh dari kebisingan. Dia merasa mendapatkan ketenangan dan kenyamanan di sana. Tak jarang bila cicitan burung selalu datang menyapanya, seolah ingin menyatakan pada Melodi kalau dirinya tidak sendirian di sana.
Tangan Melodi yang memegang pensil dengan lihai bergerak di atas buku gambar yang dia letakkan di atas pangkuannya. Sesekali sudut-sudut bibirnya terangkat ketika melirik ke arah burung yang menjadi obyek gambarnya.
"Cantik," gumam Melodi. Entah kata itu dia tujukan pada hasil gambarnya, atau pada burung yang menjadi obyek gambarnya.
Beberapa detik berikutnya, Melodi membuka lembar baru lagi dan bersiap untuk menggambar lagi ketika sepasang manik coklat miliknya tanpa sengaja menangkap bayangan seekor kupu-kupu. Kupu-kupu hinggap di atas bunga mawar merah yang tumbuh tidak jauh dari tempatnya duduk.
"Ehem, maaf mengganggu Anda, Nona. Apakah Nona tau di mana tempat ini?"
Suara bariton seorang pemuda membuyarkan konsentrasi Melodi yang sontak menghentikan kegiatannya menggambar.
Angin berhembus perlahan, mengantarkan aroma parfum yang berhasil menusuk hidung Melodi. Tubuh Melodi bergetar. Wajahnya berubah pias dengan bibir yang terkatup rapat. Melodi mengenal aroma parfum itu. Sangat mengenalnya. Dia yakin, aroma itu berasal dari pria yang tengah berdiri santai di hadapannya.
"Arrrgghhh sakittt ... lepaskan aku! Kumohon, lepaskan aku!"
Entah dari mana datangnya, suara aneh itu tiba-tiba terngiang begitu saja di telinga Melodi. Semua terasa bergerak secara slow motion dan waktu seakan berjalan sangat lambat.
Dengan menahan napas, ekor matanya melirik secarik kertas yang disodorkan pemuda tadi padanya.
Happy Medical Center
"Aku ingin menjemput kakakku. Aku sudah berkeliling sekitaran tempat ini berulang kali tetapi tidak menemukannya. Apa kau ...." Ucapan pemuda itu terhenti. Dengan kedua alis yang saling bertaut dan hati bertanya-tanya dia menerima selembar buku gambar yang diserahkan Melodi untuknya. Pemuda itu memandangi kertas dengan coretan membentuk denah rumah sakit yang tadi dia tanyakan pada Melodi.
"Owh, berarti tempatnya ada di sebelah sana. Baiklah, terima kasih banyak, Nona." Pemuda itu tersenyum manis dan tanpa sadar menepuk bahu Melodi yang hanya menunduk kaku sedari tadi.
Dalam sepersekian detik tubuh Melodi menjadi tegang bagaikan tersengat aliran listrik. Tubuhnya yang kaku mulai gemetar. Tangan kanannya menggenggam erat pensil dan buku gambar miliknya, sedangkan tangan kirinya mencengkram kuat kerah kemejanya. Sepasang manik coklat itu tampak gelisah bersamaan dengan bulir keringat dingin yang bermunculan di dahinya.
"Oh ya, namaku, Ben. Kalau boleh tau namamu siapa?" Pemuda itu dengan ramah mengulurkan tangannya, tetapi tidak direspon oleh Melodi. Melodi masih menunduk kaku, mengintip pergerakan Ben melalui ekor matanya.
Merasa tidak mendapat respon, dengan tersenyum tipis Ben menarik tangannya kembali. "Ah, maaf kalau aku lancang. Tadinya aku hanya ingin berterima ka ...."
Ben tidak jadi melanjutkan ucapannya karena Melodi lebih dulu bangkit dari duduknya. Meninggalkan tempat itu begitu saja. Melewati tubuh Ben dengan wajah yang masih menunduk kaku dan tanpa bicara sepatah kata apa pun pada Ben.
Ben menekuk kedua alisnya, menatap kepergian Melodi dengan terheran-heran. "Gadis yang aneh," gumamnya.
...****************...
Sementara itu, Melodi semakin mempercepat langkahnya meninggalkan taman tadi. Dia selalu ketakutan jika berdekatan dengan pria asing, apalagi hanya berdua dan di tempat yang sepi. Meski napasnya sudah tersengal, Melodi tetap mengayunkan langkahnya secepat mungkin. Saat ini dia hanya ingin cepat sampai di rumahnya, itu saja.
Tanpa disadari Melodi sudah sampai di kontrakannya. Rumah susun yang terletak tidak jauh dari taman tadi. Dengan cepat dia mengambil kunci rumah dari dalam tasnya untuk segera membuka pintu.
Melodi menyandarkan punggungnya di pintu setelah menutupnya kembali dan menguncinya. Raut ketakutan terpancar jelas di wajahnya. Dia memejamkan mata, berusaha meredam debaran jantung dan nyeri di dada. Tenggorokannya terasa tidak mampu menyalurkan udara dengan baik. Melodi tidak bisa bergerak, bahkan merasa kesulitan untuk sekedar bernapas.
"Aarrhhhh sakiittt ... lepaskan aku! Kumohon, lepaskan aku!"
Samar-samar rintihan dan teriakan itu terngiang kembali di telinga Melodi. Dia menjadi bertambah gusar.
"Tidaakkk!" Melodi menjerit. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Butiran bening terlihat mengalir dari sela-sela jari tangannya tanpa mampu dia cegah. Tubuhnya kini merosot hingga terduduk lemah di lantai.
"Tidak! Jangan lakukan itu lagi," teriaknya histeris. Melodi mulai sesegukan. Mata sayunya terlihat kosong. Dia menjambak rambutnya frustasi dengan bahu yang berguncang hebat di saat butiran bening semakin mengucur deras dari kedua kelopak matanya.
"Kenapa? Kenapa kejadian buruk itu tidak bisa lenyap dari ingatanku? Kenapa?" Melodi semakin berteriak histeris. Dia memukul-mukul kepalanya sendiri sebelum akhirnya menangkup kembali wajahnya dan kembali bertumpu pada kedua lututnya.
Lama Melodi tenggelam dengan rasa frustasinya. Dia begitu larut dalam kesedihannya hingga bahunya pun masih terlihat berguncang ketika terdengar suara ketukan dari luar pintu rumahnya.
"Mel, Mel apa kamu ada di dalam?" Suara wanita paruh baya menyadarkan Melodi. Sontak Melodi mengangkat wajahnya. Merasa mengenali suara itu, segera dia berdiri untuk membukakan pintu.
"Ibu!" Melodi segera memeluk wanita paruh baya yang ternyata adalah ibunya.
"Ada apa, Mel? Apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu histeris lagi?" Dengan wajah sendu ibunya mengusap surai hitam milik Melodi. Hatinya seakan teriris melihat keadaan putrinya yang sangat berantakan. Rambut yang acak-acakan serta wajahnya yang pucat.
Melodi memeluk erat ibunya. "Dia datang lagi, Bu."
...****************...
Dia? Siapa yah kira-kira? 🤔🤔🤔
Sebelum lanjut yuk intip dulu visualnya Melodi sama Ben🤭
Melodi,
Ben,
Gimana2 masih mau lanjut? Jangan lupa tinggalin jejak kalian ya guys🤭
Thanks of all n see u next chapter 😘😘😘
Jangan lupa mampir juga yuk guys ke kisah komedi romantis antara mama Diana dan papa Reyhan. Diana yang tegar harus bersanding dengan Reyhan, pria dingin dan arogan. Kepoin yuk😁
...****************...
"Dia datang lagi, Bu." Melodi terisak di bahu ibunya.
Ibunya mendorong bahunya pelan. "Dia?" Dahi wanita paruh baya itu nampak berkerut.
"Iya Bu, aku ... aku bertemu dengannya tadi di taman." Melodi tampak semakin gugup. "Aku takut Bu," cicitnya.
Ibunya menghela napas panjang lalu membimbing Melodi masuk ke dalam rumah. Hatinya selalu terluka setiap mendapati keadaan Melodi yang kacau seperti sekarang. Ya, dia sadar, apa yang terjadi pada Melodi saat ini adalah kesalahannya. Salahnya yang tidak berpikir panjang saat mengambil keputusan dulu.
Melodi dan ibunya duduk di kursi yang terletak di tengah-tengah ruangan. "Tenanglah Mel, ibu sudah di sini." Ibunya mengusap bahu Melodi dengan lembut, mencoba untuk menenangkan putri semata wayangnya itu.
"Apa kau sudah makan?" sambung ibunya begitu napas Melodi terdengar teratur. Bahunya pun sudah tidak berguncang seperti tadi.
Melodi menjawab ibunya hanya dengan menggeleng.
"Baiklah, ibu akan siapkan makanan untukmu." Sudah bangkit dari duduknya saat tangan Melodi menarik tangannya.
"Aku ikut ya, Bu?"
"Baiklah, ayo!" Ibunya tersenyum dan menggandeng tangan Melodi menuju dapur.
"Bagaimana persiapan kuliahmu? Apa masih ada yang kurang?" tanya ibunya tanpa menghentikan kegiatannya memotong sayur.
"Sudah beres semua Bu, besok sudah mulai OKK (Orientasi Kehidupan Kampus)."
Melodi duduk di meja makan memperhatikan ibunya yang tengah sibuk memasak untuk mereka. Sudah lima tahun lebih mereka menyewa rumah rusun ini. Di rumah rusun ini dia hanya hidup berdua dengan ibunya. Melodi baru lulus SMA dan akan memulai kuliahnya besok, sedangkan Ibunya bekerja di sebuah toko kue yang terletak di ujung jalan dari tempat tinggal mereka. Sementara, Ayahnya sudah tiada sejak dia berumur 7 tahun.
Semua berjalan baik-baik saja sampai pada lima tahun setelah kepergian ayahnya, ibunya memutuskan menikah lagi dengan seorang duda yang sebenarnya adalah majikan tempat ibunya bekerja dulu. Namun, pernikahan kedua ibunya tidak berlangsung lama dan menyisakan trauma mendalam untuk Melodi. Menjadi penyebab dari panic attack dan mental illness yang diderita Melodi sampai saat ini.
"Arrghhh, sakit ... lepaskan aku! Kumohon, lepaskan aku!"
"Tidaakkk!" Melodi bangkit dari tidurnya. Kedua pupil matanya melebar. Dengan napas terengah-engah, Melodi menyeka keringat dingin yang sudah membasahi dahinya dengan punggung tangannya.
"Kapan aku bisa terbebas dari mimpi buruk ini?"
...****************...
"Sedang apa, Ben?"
Ben yang sedang duduk di meja belajarnya menoleh ke arah Rangga yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya. "Oh, ini Kak, lagi bikin susunan acara untuk OKK maba (mahasiswa baru) besok."
Rangga melangkah memasuki kamar Ben lalu mendudukkan dirinya di atas ranjang yang terletak di sebelah meja belajar Ben. "Cih, yang jadi ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa)," goda Rangga.
"Presiden Mahasiswa, Kak," sahut Ben bangga.
"Hm, iya tau. Berarti besok sudah mulai OKK? Udah mulai sibuk dong."
"Ya begitulah Kak," jawab Ben, "kakak gimana, kapan jadi berangkat ke Bali?"
"Entahlah, mungkin bulan depan. Masih menunggu Om Davin," jawab Rangga lemah.
"Kenapa bukan Kakak sendiri yang menyusul kakak ipar ke sana? Bukankah Kakak sudah tau di mana kakak ipar berada?"
"Tidak semudah itu Ben, kakak iparmu meninggalkanku dalam keadaan emosi. Jika aku langsung ke sana menemuinya, sudah pasti dia tidak akan mau bertemu denganku. Kemungkinan dia malah pergi lebih jauh lagi."
"Tapi ini sudah lima tahun berlalu, Kak. Apa Kakak tidak merindukan kakak ipar?"
"Tentu saja Ben, tentu saja aku sangat merindukannya. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar." Mata Rangga menerawang jauh, mengingat waktu lima tahun yang sudah dia lewati tanpa Cinta di sisinya.
"Aku harap Kakak berhasil membawa kakak ipar pulang dan kita bisa berkumpul lagi seperti dulu."
Rangga menghela napas berat, lalu bangkit dari duduknya. "Terima kasih adikku. Terus bagaimana denganmu, bagaimana hubunganmu dengan gadismu itu?"
Wajah Ben seketika berubah setelah mendengar ucapan Rangga. "Masih sama Kak," jawabnya malas.
"Sama gimana?" Rangga terlihat penasaran.
"Ya, cuma video call aja. Memang apa lagi yang bisa diharapkan dari hubungan long distant." Ben melengos kesal.
"Hei, jangan patah semangat begitu. Anggap aja ini ujian cinta kalian. Dulu aku dan Cinta sempat berpisah dua tahun bahkan tanpa saling memberi kabar." Rangga tersenyum kecut mengingat kenangannya saat itu.
"Udah pernah pisah dua tahun dan sekarang berpisah lagi, lima tahun pula. Hobi banget pisah," ujar Ben setengah meledek.
Namun, Rangga menanggapi candaan Ben dengan tersenyum tipis. "Jadikan apa yang aku alami ini sebagai pembelajaran untukmu agar kedepannya kamu tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang aku lakukan pada Cinta." Menepuk pundak Ben pelan.
"Karena itu aku masih bertahan dengannya, Kak."
"Bagus," puji Rangga, "eh, gambar siapa ini? Bagus sekali." Rangga meraih kertas gambar di meja Ben.
"Oh, itu milik gadis aneh yang kemarin aku ceritakan itu Kak, yang kasih tau alamat klinik tempat aku jemput Kakak kemarin."
"Gadis aneh?" Dengan masih memegang kertas gambar, Rangga melirik Ben. Pria itu terlihat menautkan kedua alisnya.
"Iya, gadis aneh." Tatapan Ben menerawang mengingat pertemuan singkatnya dengan Melodi.
...****************...
Buat yang bingung othor jelasin di sini ya, jadi kisah Ben ini dimulai dengan setting waktunya sebelum Rangga berangkat ke Bali untuk bertemu Cinta. Alurnya mundur sedikit di sini.
Gimana sudah paham, 'kan? Semoga paham,🤭
Hari ini cukup dulu ya, jangan lupa tinggalkan jejak kalian. Aku tunggu.
Thanks all n see u next chapter😘😘😘
"Selamat datang dan sukses untuk para mahasiswa baru," seru Dekan yang menjadi kalimat penutup untuk penyambutan dan pengenalan sistem akademik kepada para maba (mahasiswa baru).
Selanjutnya sambutan dilanjutkan oleh Manajer Kemahasiswaan.
"Saya harap selama kalian menempuh pendidikan di fakultas ini, kalian mampu mengukir prestasi baik di bidang akademik maupun non akademik," pesan Manajer Kemahasiswaan sebagai penutup sambutannya. Kemudian, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.
Setelah rangkaian acara penyambutan dan pengarahan untuk maba selesai, acara selanjutnya diambil alih oleh pihak BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang menjelaskan tentang kegiatan OKK maba atau yang lebih dikenal dengan ospek fakultas.
Melodi yang tengah berdiri diantara barisan maba hanya diam mendengarkan apa yang disampaikan tadi. Sampai akhirnya pandangannya tertuju pada salah seorang pemuda yang mengenakan jas almamater dari fakultas itu dan bertugas untuk mengisi acara selanjutnya.
"Ben," gumam Melodi pelan. Ya, Ben. Melodi mengingatnya, bahkan namanya juga. Pemuda yang berdiri dengan gagah itu adalah Ben, pemuda yang kemarin sore bertemu dengannya.
"Apakah dia ketua BEM di sini?" bisik salah seorang maba perempuan yang berdiri di sebelah Melodi.
"Waahhhh, ketua BEM fakultas ini ternyata sangat tampan," imbuh gadis di sebelahnya yang tersenyum gemas.
Melodi yang mendengar bisik-bisik mereka hanya bisa menggigit bibir bawahnya sembari sesekali membenarkan posisi kacamatanya.
"Saya ingatkan kembali kepada semua maba yang menjadi peserta OKK, di sini kami memiliki standar kelulusan. Salah satu tolak ukurnya adalah pemenuhan presensi," ucap Ben dengan tegas dan lantang.
"Jadi, diharapkan selama kalian mengikuti kegiatan OKK di sini utamakan kedisiplinan dan kehadiran kalian. Karena dari sini juga akan ditentukan prosentase kehadiran kalian. Jika prosentase kalian tidak memenuhi batas minimal ...." Ben menjeda ucapannya lalu menyunggingkan sudut bibirnya. "Dengan terpaksa kami nyatakan kalian tidak lulus."
Suasana seketika berubah tegang. Semua mata kini tertuju pada Ben. Tidak ada yang berani bersuara ataupun sekedar berbisik.
"Konsekuensinya adalah, kalian tidak bisa aktif mengikuti kegiatan keorganisasian mahasiswa yang ada di fakultas ini. Kecuali, kalian dinyatakan lulus setelah mengulang OKK fakultas tahun depan."
...****************...
"Hm, dinikmati sajalah semua ini," ucap Tika salah seorang maba yang duduk di sebelah Melodi. Dia adalah teman satu sekolah Melodi sewaktu SMA, dan sekarang mereka tengah menikmati makan siang bersama di kantin kampus.
Tengah hari bolong kegiatan pengenalan kampus baru berakhir. Awalnya Melodi ingin langsung pulang tetapi, Tika memintanya untuk menemaninya makan siang.
"Ya harus dinikmati Tik, masa-masa OKK ini 'kan terjadi sekali seumur hidup. Suatu hari nanti pasti akan menjadi kenangan yang mengesankan." Melodi tersenyum penuh arti.
"By the way, kau lihat tidak ketua BEM tadi? Dia cakep banget ya, denger-denger nih, dia itu adalah The Most Wanted para mahasiswi di fakultas ini." Tika terlihat tersenyum gemas. Sementara Melodi tampak gugup, dia segera memalingkan wajahnya setelah membenarkan posisi kacamatanya.
"Kau kenapa, Mel? Kok kayak ketakutan gitu baru aku menyinggung ketua BEM kita. Apa kau mengenalnya? Atau, kau terlibat masalah dengannya?" selidik Tika. Dia menaruh kembali sendok makannya saat melihat raut tak biasa di wajah Melodi.
"Ah, tidak apa Tik, aku hanya merasa lelah. Sebaiknya cepat habiskan makananmu dan kita segera pulang. Bukankah kita harus menyiapkan keperluan untuk OKK besok," ujar Melodi panjang lebar untuk menutupi rasa gugup dan kecurigaan Tika.
"Hm, benar juga ya. Hah! Aku hampir saja melupakan tugas yang itu. Bagaimana kalau sepulang dari sini kita berbelanja untuk keperluan OKK besok?" ajak Tika dengan wajah penuh harap.
"Tapi Tik ...."
"Udah, gak usah tapi-tapian. Ayolah Mel, mumpung aku bawa mobil, dari pada kamu berjalan kaki mencari semua itu."
Mau tidak mau, Melodi akhirnya mengangguk. "Baiklah Tik, makasih."
"Nah, gitu dong." Tika melakukan suapan terakhir. Setelah membayar makanannya, dia mengajak Melodi untuk meninggalkan tempat itu.
"Kira-kira kita ke mana dulu ya?" gumam Tika saat mereka berjalan bersama melewati lorong kampus.
"Kita mulai ... aawwww!" Melodi memegang bahu kirinya yang bertabrakan dengan seseorang.
"Aduh maaf-maaf, aku tidak sengaja." Suara pemuda itu membuat Melodi segera mengangkat wajahnya. Dia melirik Tika terlebih dulu yang sedari tadi menarik ujung lengan kemejanya.
"Mel, dia ...." Menunjuk pemuda yang bertabrakan dengan Melodi barusan.
Melodi mengikuti arah telunjuk Tika, manik coklat itu bertemu dengan manik legam milik Ben. Dalam sepersekian detik, tubuh Melodi kembali menegang. Wajahnya seketika berubah pias.
"Hai, kamu yang ...."
"Tik, aku duluan." Melodi bergegas pergi tanpa memberi kesempatan Ben untuk melanjutkan kalimatnya.
"Eh, Mel, tungguin aku! Melodi!" teriak Tika yang terpaksa ikut meninggalkan Ben untuk menyusul Melodi. Padahal tadinya dia senang sekali bisa bertemu Ben dalam jarak sedekat itu.
"Dasar Melodi aneh, disapa cowok seganteng itu malah kabur. Gak doyan cogan apa dia itu," omel Tika sembari mempercepat langkahnya agar bisa menyusul Melodi.
"Melodi? Nama yang indah," gumam Ben. Dia memandang kepergian kedua gadis itu dengan senyum dikulum.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!