Ursila duduk di salah satu bangku kafe sambil sesekali menengok jam tangannya dengan tatapan kesal.
"Maaf La, telat. Habis kuliah tadi sebenarnya langsung jalan ke sini. Tapi kejebak macet", kata bunga dengan wajah memelas.
"Macet apa macet ?", ketus Ursila.
"Ya Tuhan, beneran, tadi kejebak macet", jawab Bunga.
"Maaf ya La", kata Bunga dengan wajah memelas
"Iya iya deh, mana tega juga aku marah lama lama sama kamu", jawab Ursila
Bunga adalah teman dekat Ursila. Dia adalah gadis cantik, ramah dan supel. Saking cantiknya Bunga, bahkan banyak laki laki yang mendekati Ursila hanya untuk minta di comblangin sama Bunga. Bunga adalah anak dari salah satu pengusaha ternama di kota. Walau begitu dia bukanlah gadis yang sombong.
"Eh tadi aku pesan makanan seperti biasa. Tuh cepat makan, entar dingin", suruh Ursila sambil menunjuk ke arah makanan yang sudah dipesannya.
"Ih tau aja deh aku sukanya ini", kata Bunga dengan menunjukkan wajah riangnya.
"Cepat ya makannya, soalnya aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Ada urusan genting", suruh Bunga.
"Urusan apa? Kok serius banget", tanya Bunga.
"Sudah makan sana, entar aku kasih tau", jawab Ursila
Setelah selesai membayar makanan. Mereka langsung masuk ke mobil milik Bunga.
"Emang mau di ajak kemana ?" tanya Bunga.
"Ke toko bunga", jawab Ursila dengan senyum yang terlukis indah di wajahnya.
"Buat siapa ? Pacar ? Hah mana mungkin, jomblo dari lahir gini, mana mungkin punya pacar", kata Bunga dengan memasang muka yang membuat Ursila kesal.
"Kalau bicara suka benar ya," kata Ursila sambil menepuk tangan Bunga.
"Aduh apa nih? Sakit tau", kata Bunga sambil menahan sakitnya.
"Kamu juga sih", kata Ursila.
"Eh La, terkadang aku bingung sama kamu, kamu itu kalau dibilang cantik ya masih taraf cantik, lalu kamu pintar. Tapi kenapa masih jomblo ? atau jangan jangan kamu yang terlalu pilih pilih ?", tanya Bunga.
"Tuh mulai kan pertanyaannya. Huh.. udah jangan bahas itu. Lagi pula aku beli bunga bukan buat pacar. Itu buat Umi sama Abi. kan hari ini ulang tahun pernikahan mereka", jawab Ursila.
"Hah jadi hari ini, ya sudah yuk cepetan beli", ajak Bunga.
Di toko bunga mereka membeli buket mawar merah ditambah dengan kartu ucapan yang ditulis langsung oleh Ursila. Perjalanan pun dilanjutkan ke rumah Ursila menggunakan mobil Bunga. Tiba-tiba handphone Ursila berdering.
"Ya ada pa Mi ?" tanya Ursila.
Sambil terisak umi mengatakan kepada Ursila, "Nak kamu cepat ke rumah sakit. Abi kena serangan jantung".
Bak disambar petir. Tangan Ursila bergetar mendengar apa yang baru dikatakan umi.
Bunga pun langsung putar setir menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Ursila langsung mencari keberadaan umi. Di dapatinya umi duduk termenung di salah satu kursi di depan ruang UGD.
"Umi, bagaimana Abi ? Abi baik baik aja kan ?", tanya Ursila dengan tangan masih memegang buket bunga yang baru dibelinya.
"Nak, Ursila tau kan, segala sesuatu yang Allah beri adalah yang terbaik bagi kita", jawab Umi.
"Ada apa sih Mi ? Ursila gak paham", tanya Ursila.
"Umi tahu Ursila sayang sama abi, tapi Allah jauh lebih sayang dengan abi", jawab Umi.
"Maksud Umi ?", tanya Ursila dengan air mata yang tak dapat dibendung.
"Abi kamu meninggal Nak, abi sudah tenang, Ursila yang tabah ya", jawab Umi
Buket bunga yang dipegang Ursila lantas jatuh.
"Apa? Tidak mungkin", tangis pun pecah.
dan ini adalah hari terberat bagi Ursila dan Umi.
Keesokan harinya, di tempat pemakaman
Ursila mengusap nisan yang bertuliskan nama abi yaitu Muhammad Salim. Tangisannya pun tak berhenti. Begitu pula umi yang sangat sedih atas kepergian suami yang telah menjadi tulang punggung bagi dia dan anak semata wayangnya, Ursila.
"YUk Nak kita pulang", ajak Umi.
"Tidak mau, Ursila mau di sini aja sama abi", tolak Ursila.
"Tidak boleh seperti itu Sayang, Ursila tau kan kita gak boleh bersedih sedih yang terlalu seperti ini, kasian abi", kata Umi menenangkan. Ursila pun mengusap air mata nya yang telah membasahi pipi.
"Ayo Ursila kita pulang! lagipula ini sudah sangat sore, sebentar lagi malam", ajak Umi kembali. Ursila berdiri dan melangkah pergi meninggalkan pemakaman.
*****
Di rumah.
Makan malam kali ini rasanya sangat sunyi. Ursila teringat dengan candaan yang biasanya abi keluarkan ketika kami berkumpul di meja makan. Ursila hanya memandangi nasi dan lauk yang sudah dihidangkan umi di atas piringnya.
"La, dimakan tuh!", kata umi, kalimat umi langsung menghentikan lamunan Ursila.
"Iya Mi", jawab Ursila.
Mereka makan tanpa ada sepatahpun kalimat yang keluar dari mereka.
Setelah menyelesaikan makanannya, Ursila langsung menuju kamar. Kamar yang mungil dan sederhana. Namun di sini Ursila merasa sangat nyaman dan mampu untuk mengeluarkan semua perasaan sedihnya. Karena Ursila tidak tega jika harus menitikkan air mata sekali lagi di depan umi. Karena dia tahu hal itu hanya akan membuat umi jadi lebih sedih.
Di dalam kamar Ursila tidak dapat membendung air matanya. Tumpah sudah air matanya. Dia mengenang setiap hal dan kalimat yang diucapkan oleh abi kepadanya.
"Kenapa abi harus pergi?", tanya Ursila di dalam hati.
2 bulan kemudian.
Sepulang dari kuliah, Ursila menuju kamar untuk bergegas mengganti baju, lalu menghampiri umi di dapur.
"Ada yang bisa dibantu mi", tanya Ursila.
"sudah kamu istirahat aja, lagi pula ini udah mau selesai", jawab umi.
"Ya sudah, eh Mi, buatin teh ya. Ursila haus, mau teh buatan Umi, soalnya teh buatan Umi itu the best", pinta Ursila dengan muka memelas.
"Uh anak umi bisa aja ya kalau ada maunya, iya iya umi buatin, kamu duduk aja tuh depan TV", kata umi.
Di ruang keluarga Umi mengajak Ursila berbicara dan mengutarakan keinginannya untuk bekerja. Karena semenjak kepergian abi, segala macam pengeluaran dan kebutuhan di topang dari uang pensiunan abi yang tidak seberapa banyaknya.
"Memangnya Umi mau kerja apa? dimana?", tanya Ursila.
"Umi berniat ingin menjadi buruh cuci Nak. Karena hanya itu yang dapat Umi lakukan", jawab Umi.
Tak disadari ternyata air mata jatuh membasahi pipi Ursila. Ursila meraih tangan Umi sambil berkata, "Mi, Ursila tau Umi sudah lelah mengurus rumah dan mengurus Ursila, dan rasanya Ursila tidak tega kalau harus lihat Umi harus kerja keras demi memenuhi kebutuhan kita".
"Tapi bagaimana? Kita tidak punya pilihan", kata Umi.
"Umi tidak perlu bekerja, ambil uang jajan bulanan Ursila ya untuk kebutuhan di rumah, dan untuk uang jajan sama bayar kuliah biar Ursila yang tanggung, kebetulan Ursila dapat tawaran kerja di restoran seberang kampus", jawab Ursila untuk menenangkan Umi.
"Lalu bagaimana kuliahmu Nak?" tanya Umi.
"Umi tenang. Kerjanya gak seharian, dari jam 5 sore sampai jam 10 malam. Jadi kuliah Ursila tidak akan terganggu", jawab Ursila.
Walau rasanya berat, kuliah sambil bekerja. Tapi keputusan itu harus diambil oleh Ursila.
"Aku sudah besar, dan sampai kapan aku bergantung pada orang tua? Ini adalah waktu bagiku untuk membuktikan kepada Umi bahwa anaknya ini adalah anak yang mandiri", kata Ursila di dalam hati guna menyemangati dirinya.
Sepulang kuliah sekarang ini Ursila tidak lagi langsung pulang ke rumah. Tapi singgah ke restoran seberang kampus untuk bekerja.
Pada awalnya terasa berat karena cukup melelahkan membagi waktu dan tenaga antara kuliah dan bekerja. Namun setelah beberapa waktu hal itupun sudah biasa Ursila lakukan.
Sudah hampir 6 bulan Ursila bekerja di restoran ini. Di tempat ini Ursila merasa nyaman karena teman teman di sini kocak mampu membuat gelak tawa Ursila setidaknya dapat membuatnya lupa dengan apa yang sedang dijalaninya. Teman temannya di sini bahkan Pak Gunawan tidak mengetahui hal yang sedang dialami Ursila.
Ursila merasa hal itu tidak perlu. Kalau mereka tahu keadaannya maka pasti orang orang akan menatapnya dengan tatapan kasihan. Sedangkan bagi Ursila itu tidak diperlukan, dia yakin bahwa dia mampu berdiri dengan kemampuannya bukan berdasar belas kasih orang lain.
Di tempat ini pula Ursila bertemu dengan seorang pria yang umurnya 3 tahun di atas Ursila, pria berkacamata, badannya tinggi dan memiliki lesung pipi yang manis. Laki-laki itu bernama Gazali atau biasa dipanggil Gaza. Pria itu hampir setiap sore ke sini. Dari memesan makanan berat atau sekedar teh untuk menghilangkan hausnya setelah bekerja. Dan semakin hari Ursila semakin akrab dengan Gaza. Tidak jarang Gaza menyapa dan mengajak Ursila untuk berbicara jika pengunjung tidak banyak.
Ursila merasa nyaman bersama dengan Gaza, dia adalah laki laki pertama yang mampu mengukir senyum di bibir Ursila kembali.
Semenjak kedekatannya itu, Ursila sering senyum senyum sendiri. Entahlah apa yang sudah terjadi pada diri Ursila.
"Apakah ini cinta ?", tanya Ursila
"Ah apa sih La?", Ursila sambil menepuk dahinya.
Tiba tiba Umi mengetuk pintu 3 kali lalu membuka pintu kamar yang tidak di kunci
"Anak Umi kok belum tidur?", tanya Umi.
"Sebentar, ini sebentar lagi selesai, kalau sidah selesai Ursila langsung pergi kok ke pulau mimpi", jawab Ursila.
Umi berjalan mendekati Ursila lalu memeluk anaknya yang sedari tadi duduk di atas kasur sembari memandangi layar laptopnya, dan berkata, "Umi bangga sama kamu La", kata Umi. Ursila tidak menjawab kalimat umi.
"Sudah tidur ya nanti, besok kan kuliah, besok mau dimasakin apa?", tanya Umi
"Nasi goreng ya Mi", jawab Ursila dengan nada memohon.
"Baiklah", jawab umi sembari melangkah keluar kamar lalu menutup pintu kamar anaknya.
Begitulah kehidupan Ursila. Selepas kuliah kalau tidak sempat pulang,maka langsung disambung kerja sampai malam, dan sepulang kerja baru dia dapat mengerjakan tuagsnya kuliahnya. Awalnya memang berat namun kelamaannya juga sudah terbiasa. Terkadang ada rasa iri di hari Ursila melihat teman temannya yang dapat fokus kuliah tanpa harus memikirkan biaya kuliah. Tapi mau bagaimana lagi itulah hidup setiap orang punya cerita masing masing. Kita cukup terima apa yang sudah ditakdirkan Allah SWT dan selalu ikhtiyar dan tawakkal tentang bagaimana hasilnya.
******
selepas kuliah siang ini akan disambung lagi nanti pada pukul 14.00 , belum selesai Ursila membereskan alat tulis yang ada di atas meja. Tiba tiba ponselnya berbunyi dan dilihatnya panggilan dari nomor yang tidak dikenalnya.
"Assalamualaikum, siapa ya ini", tanya Ursila
"Waalaikumussalam ini aku", jawab di balik panggilan itu
Dari suara dan gaya bicaranya Ursila langsung dapat menebak jika yang menghubunginya ini adalah Gaza
"Ada apa Mas?", tanya Ursila
"Kamu di kampus kan?", balik tanya Gaza
kok ini orang tanya balik sih
"Iya, kenapa?", tanya Ursila
"Aku di kantin dekat rektorat nih, kesini, aku malas makan sendirian seperti ini, ingat jangan pakai lama", pinta Gaza mendesak
"Tapi Mas...", jawab Ursila
belum selesai Ursil bicara, Gaza malah menutup ponselnya.
"Huh, ini orang sekehendaknya aja yaa", gumam Ursila di dalam hatinya.
*****
Sesampainya di tempat yang dituju dilihatnya Gaza sedang memandangi layar ponselnya, pria itu menggunakan setelan kemeja hitam dipadu sepatu sport. Penampilannya kali ini jauh lebih santai dari biasa yang Ursila lihat. Tapi mau bagaimanapun yang namanya tampan ya akan tetap tampan.
"Kenapa bisa ke sini?", tanya Ursila sambil meraih kursi di seberang Gaza
"Tadi ada urusan sebentar dengan temanku yang kerja di rektorat kampus ini", jawab Gaza
"Itu pesan aja, tenang aku yang bayarin", tambah Gaza.
Mereka pun makan makanan yang sudah tersedia di atas meja sambil bercanda seperti biasanya. Terlihat Ursila sangat lahap memakan makanannya, maklumlah dia merasa sangat lapar, lagipula ini memang jam makan siang, dan jam mata kuliah nya berakhir nanti sore yang berarti akan langsung disambung kerja di restoran. Tentu hal ini tersebut memerlukan stamina yang kuat.
Entah datang dari mana tiba tiba Bunga langsung duduk di sebelah Ursila.
"Disini ternyata, siapa nih La?", tanya Bunga dengan tatapan mata yang serius.
Dan Ursila tahu betul arti tatapan itu.
"Temanku, dia juga pelanggan setia di restoran tempat ku kerja", jawab Ursila dengan ceoat, dia tidak mau ada kesalahpahaman dari Bunga
"Oh dikira..", kata Bunga.
"Dikira apa?", belum selesai Bunga bicara langsung disambar Ursila.
"Kenalkan Gaza, kamu?", Gaza memperkenalkan diri
"Bunga. Bunga Putri Mahardika", jawab Bunga
"Mahardika. Kamu putri Pak Mahardika", tanya Gaza. Dan hanya dibalas dengan anggukan oleh Bunga.
"Wah, gak tau aku kalau ternyata Pak Mahardika punya anak secantik kamu", puji Gaza terhadap Bunga
"Bisa aja Mas Gaza", balas Bunga
Mendengar kalimat pujian dari Gaza sontak membuat Ursila merakan cemburu. Namun dia masih berusaha untuk bersikap biasa saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!