Di pesisir pantai yang damai, Ben dan Rose berjalan sambil bergandengan tangan. Mereka berdua masih mengenakan pakaian yang sama saat menghadiri pernikahan Victor dan Bella tadi. Bella sudah resmi menjadi kakak iparnya saat ini. Betapa hati Rose begitu senang!
Tapi sekarang, Rose melepas sepatu hak tingginya supaya bisa menikmati bulir pasir dengan telapak kakinya secara langsung. Rasanya nyaman sekali! Lalu dengan setia, pria bertopi koboi itu menenteng sepasang sepatu cantik itu di tangan yang satunya. Mereka berjalan sambil bercengkrama dengan riang.
"Tiba-tiba aku jadi ingat saat pertama kali kau mengajakku ke pantai!" Rose menghentikan laju kakinya lalu diikuti oleh Ben. Ia menunduk mengambil sebuah batang kayu yang basah terkena air laut.
Ben melepaskan tangannya yang menggenggam tangan wanita itu sejak tadi. Ia belum merespon ucapan Rose, namun lelaki itu seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia letakkan sepatu Rose di pasir sambil terus memperhatikan apa yang wanita itu lakukan.
"Ku rasa mulai dari situ aku mulai menyukaimu, Ben! Kau telah menyentuh dasar hatiku yang suram!" kata Rose tanpa melihat ke arah Ben.
Sedangkan tangannya sedang sibuk membuat sebuah tanda hati besar. Kemudian ia menuliskan nama mereka di dalamnya.
"Terima kasih, Ben! Karena kau sudah datang di hidupku! Meskipun pertama kali aku benar-benar takut padamu!" Rose berdiri di hadapannya. Berkata dengan tulus lalu tiba-tiba tertawa ketika mengingat bagaimana pertemuan pertama mereka, beberapa waktu sebelum mereka bertemu kembali. Ia kira ia akan mati karena Ben mencekiknya sangat kuat.
"Rose!" seru Ben tiba-tiba, juga terdengar ragu. Namun wanita itu seakan sedang asyik dengan khayalannya sendiri sehingga tidak mendengar bahwa dia sedang dipanggil.
"Rose!" Dia mengencangkan suaranya. Mungkin terlalu kencang sampai Rose terkejut dan berhenti dari lamunannya.
"Ya!" Wanita itu tersentak kaget.
"Aku sudah memikirkan ini sejak lama!" Mendadak lelaki itu berlutut di hadapannya. Membuat Rose bingung dan kehabisan kata-kata.
Ditatapnya lekat lelaki itu yang entah akan melakukan apa. Rose mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali berusaha mencari tahu. Sebenarnya lelaki ini mau melakukan apa?
"Aku mencintaimu, Rose! Aku yakin kau tahu itu! Tapi hidupku tidak mudah, selalu ada bahaya yang menanti. Dan aku tidak ingin kehilanganmu! Maka dari itu aku ingin menempatkan dirimu untuk selalu berada di sisiku. Maaf, jika aku kedengaran jadi egois!" Ben merogoh saku jasnya untuk mengambil sesuatu.
"Rose, maukah kau menikah denganku? Menjadi istriku dan kita akan menghabiskan hidup kita bersama sampai menua nanti?" Ben membuka kotak kecil yang digenggamnya.
Sebuah cincin berlian bermata satu langsung mengkilap terlihat di mata wanita itu. Dia bersinar di bawah indahnya langit sore. Sungguh godaan yang menyiksa hati nuraninya. Normalnya, setiap wanita pasti sangat bahagia, bukan, mendapatkan hal seperti ini?! Tentu saja Rose juga. Hanya saja...
Rose yang semula tersenyum pun mengubah wajahnya menjadi serius. Ia menghela nafas panjang sebelum melangkah mendekati pria itu. Bagaimana pun juga dia harus menjawab lamaran pria itu, bukan?!
"Maaf, Ben! Aku tidak bisa!" Rose menutup kotak cincin itu dengan mantap. Membuat Ben terbelalak kaget lalu berubah kecewa.
Lelaki itu menundukkan kepalanya, sambil berpikir apa yang salah dengan dirinya. Padahal semua ini sudah sesuai rencana. Tempat yang indah, momen romantis, semua sudah sesuai dengan apa yang dikatakan Relly. Padahal mereka juga saling mencintai. Menurut asistennya itu, kemungkinan besar ia akan diterima. Tapi apa yang salah dengan semua ini sehingga Rose menolaknya?!
Sambil menunduk ia melirik ke samping dengan wajah seram. Ini semua karena ia mendengarkannya. Dan ia ditolak juga tentu karena Relly. Awas saja kau, Relly!
Dalam bayang-bayang, Relly yang bersembunyi di balik pohon pun merasakan krisis. Ia melihat dengan teropong kecil jika bosnya itu dalam mode membunuh melalui tatapannya. Pikir Relly apa yang salah?!
Tapi melihat kotak cincin itu ditutup oleh Nona Rose, ia jadi mengerti situasinya. Dalam hal ini bukan lagi salahnya, ia sudah memberikan saran yang terbaik. Mengenai diterima atau tidak itu bergantung pada mereka sendiri. Tapi ia sangat tahu jika nyawanya terancam sekarang. Ia menurunkan teropongnya sambil bergidik ngeri.
"Bukan karena aku tidak mencintaimu, Ben! Tapi aku ingin menjadi lebih kuat dulu. Kau adalah pria hebat. Makanya aku ingin ketika kita bersanding nanti, aku merasa pantas untuk melakukannya. Tidak untuk saat ini, karena aku masih seorang wanita yang ceroboh dan selalu membuat masalah.
"Aku tahu bahwa tidak ada yang dapat menandingimu, tapi paling tidak, biarkan aku menjadi lebih kuat dan terlihat hebat, sehingga kau tak perlu selalu menjagaku. Mungkin saja aku bisa membantumu nanti!" jelas Rose panjang lebar dengan tatapan yakin.
"Tapi aku tidak membutuhkan hal itu. Aku hanya ingin kau selalu di sisiku. Aku bisa melindungimu, Rose!" seru Ben tidak setuju dengan pendapat kekasihnya itu.
Lagipula ia tidak ingin wanitanya terluka. Biar saja ia yang berdarah-darah, karena setelah itu ada orang yang dapat merawat lukanya.
"Aku tahu, aku mengerti! Tapi tolong hargai keinginanku, ya! Setelah aku menjadi lebih kuat nanti, ayo kita hidup bahagia selamanya!" Rose maju lebih dekat. Menyentuh wajah kekasihnya untuk meyakinkan dan menenangkan melalui tatapan matanya. Senyumnya pun membuat hati Ben luluh.
"Baiklah kalau begitu! Aku sendiri yang akan melatihmu! Aku akan membuatmu kuat secepat mungkin, karena aku sudah tidak sabar untuk menikahimu, Sayang!" Ben ambil tangan Rose untuk ia cium.
"Terima kasih karena telah mengerti aku," ucap Rose tulus seraya tersenyum.
Ben mengangguk. Ia tahu jika suatu hubungan mengenai kompromi dari dua orang. Rose adalah kekasihnya bukan bawahannya yang selalu mengikuti perintahnya. Jadi hanya kepada Rose dia akan berkompromi selama hidupnya ini.
"Kalau begitu hibur aku karena kau sudah menolak lamaranku!" Mendadak lelaki itu pun merajuk.
Lagi-lagi! Rose menggeleng pelan sambil menipiskan bibirnya. Lelaki ini selalu saja merusak suasana. Tapi ia sangat tahu apa yang paling diinginkan lelaki itu. Rose menciumnya. Mengalungkan kedua tangannya, kemudian menikmati indah cinta mereka bersama.
Di balik pohon, Relly kembali mengeluarkan teropongnya. Ia mendesah, sangat lega karena paling tidak bosnya itu tidak bertengkar dengan nonanya.
Tapi ia kemudian membanting teropongnya itu dengan kesal. Sambil berlalu pergi, ia terus mengomel sendiri.
"Lama-lama aku bisa buta!" Dia hentakkan kakinya dengan keras saat meninggalkan tempat persembunyian. Kesal rasanya jika harus selalu melihat adegan mesra itu. Sakit matanya! Sakit!
Adegan ciuman kedua insan itu nampak indah bagai siluet di sore hari. Indah cinta mereka menjadi sempurna dengan latar lautan yang megah dan juga jingganya senja.
Hai,,, hai,,, hai,,,
Ben sama Rose kembali lagi nih,,
Siapa yang udah rindu berat sama babang Ben?
Sama, aku juga 🤭
Keesokan harinya,
“Mama! Mama! Tapi aku ingin ikut mama!” Seorang anak kecil merengek pada seorang wanita muda yang merupakan bibinya. Bervan, ia menggembungkan pipinya yang sudah bulat dan terlihat menjadi semakin menggemaskan.
“Sayang!” Rose berlutut mensejajarkan dirinya dengan keponakannya itu sambil mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang.
“Bervan! Kemarin kau bilang pada Bibi ingin memiliki seorang adik, bukan?” Wanita muda itu berbicara dengan lembut memulai bujukannya.
Di belakang mereka, ada tiga orang pria dewasa yang sudah angkat tangan membujuk anak kecil itu supaya tidak merengek lagi. Ben, Relly dan Baz sekarang berdiri di dekat pintu menjadi penonton dari objek kegagalan mereka tadi. Sekarang mereka penasaran, ingin tahu bagaimana Rose akan berhasil membujuk anak kecil itu.
Mereka bertiga sudah disiksa sejak pagi hari. Segala macam cara sudah mereka lakukan dari mulai membujuk secara halus, hingga membelikan ini dan itu supaya Bervan mau melupakan masalah ibu dan ayahnya yang akan berangkat pergi untuk bulan madu sore ini.
Di kala mereka semua berusaha membujuk anak kecil itu, Bella dan Victor tengah membereskan pakaian dan keperluan yang akan mereka bawa nanti. Untuk urusan Bervan, Rose memang berinisiatif untuk mengambil tanggung jawab bersama yang lainnya. Meskipun di bayang-bayang ketiga pria itu terlihat keberatan.
Mereka semua berusaha memahami situasi Victor dan Bella. Dua insan yang saling mencintai tapi terpisah untuk waktu yang sangat lama pasti memerlukan waktu khusus untuk mereka habiskan berdua saja. Enam tahun mereka berpisah, itu bukanlah waktu yang sebentar.
Lagipula Rose juga sudah tidak sabar untuk menimang keponakan kecil dari mereka berdua. Melihat Bervan versi mini lainnya pasti sangat menyenangkan rasanya.
“Iya!” Bervan mengangguk polos sambil mengusap air matanya yang masih menggenang di pelupuk mata.
Selama ini anak kecil itu tidak pernah berpisah dengan ibunya. Mereka berdua selalu menempel seperti lem. Jadi, ini adalah momen pertama bagi Bervan untuk memiliki jarak dengan induknya itu. Makanya dia sangat sedih. Bahkan Baz yang merupakan pamannya dan sudah tinggal bersama dengannya sejak lahir saja tidak bisa menenangkan anak kecil itu. Jadi saat ini, mereka semua menggantungkan harapan mereka pada Rose.
“Aku ingin memiliki seorang adik! Sama seperti teman-temanku yang lain, mereka banyak yang sudah memiliki adik. Aku ingin sama seperti mereka!” anak kecil itu menambahkan masih dengan wajah cemberutnya.
“Kalau begitu biarkan mama pergi dengan papa. Nanti mama dan papa akan membuatkan adik kecil yang lucu untukmu. Kau mau, kan?” Rose kembali mengusap kepala anak kecil itu sambil memberikan pengertian secara halus. Tak lupa ia sematkan senyum kasihnya yang paling manis untuk keponakan tersayangnya itu.
“Rose!” seru Ben protes. Bisa-bisanya wanita itu mengatakan hal yang tidak semestinya kepada seorang anak kecil. Baz dan Relly mengangguk setuju di sampingnya.
Rose tak berkata untuk menyahuti peringatan itu. Hanya saja ia menoleh dengan cepat sambil menunjukkan tatapan matanya yang menusuk. Tahu apa kalian para lelaki?! Padahal tak satu pun dari mereka yang becus mengurus masalah kecil seperti ini saja. Lihat saja nanti jika dia berhasil!
Lalu ketiga lelaki itu pun dengan cepat menarik ekspresi tidak setuju mereka. Mengapa mereka tiba-tiba merasa Rose sangat menyeramkan barusan?! Ketiga pria itu menipiskan bibir mereka bersamaan. Mereka sadar diri bahwa mereka sudah gagal tadi.
“Mau!” Bervan kembali mengangguk. Bibirnya sudah tidak merengut lagi. Dia memandang bola mata Rose dalam-dalam dengan kepolosan yang dimilikinya.
“Anak pintar! Lagipula mama dan papa tidak akan pergi lama. Dan kau masih memiliki kami di sini. Ada Bibi Rose dan Paman-paman yang lainnya. Nanti kita akan menemanimu bermain setiap hari. Lalu lusa kita akan jalan-jalan ke tempat yang paling ingin kau kunjungi. Bagaimana? Setuju?” Rose membuka pandangan matanya sehingga bola matanya yang bersinar nampak jelas beserta semangatnya ketika menunjukkan hal-hal menarik untuk Bervan.
“Setuju!” Dia mengangguk dengan cepat. Bervan nampak membayangkan hal-hal yang Rose katakan kepadanya barusan.
“Kalau begitu kau sudah tidak keberatan lagi, kan, jika mama dan papa pergi?” Rose mengenai sasaran utamanya ketika anak itu sudah kelihatan gembira. Dia tak lupa untuk tetap mengembangkan senyumnya yang ceria itu.
“Iya, tidak apa-apa! Asalkan mama dan papa membuatkan adik bayi untukku, aku akan jadi anak baik di sini bersama Paman dan Bibi!” Kemudian anak kecil itu mengangguk patuh dan hilang sudah kesedihannya yang tadi.
“Bagus! Ini baru keponakan Bibi yang hebat!” Ia menggosok puncak kepala Bervan sambil tersenyum puas.
Rose menoleh sebentar ke arah pintu untuk menunjukkan keberhasilannya. Dia menang melawan tiga orang pria kekar yang tidak becus membujuk seorang anak kecil saja. Senang rasa hatinya saat ini!
Sayang... begitu kepalanya berputar, semua orang sudah tidak ada di tempat semula. Tak ada satu bayangan pun di ambang pintu, tempat ketiga pria itu berbaris tadi. Yang terdengar malahan suara derap langkah kaki yang sedang menuruni tangga dengan cepat.
Rose kesal! Dia menyipitkan matanya. Mereka kabur ternyata!
Saat ini Bervan memang sengaja dibawa ke kamar Rose di lantai atas. Karena Rose ingin mengalihkan perhatian Bervan juga dari orang tuanya yang sedang berkemas di kamar bawah.
“Baiklah, kalau begitu janji pada Bibi jika kau akan menjadi anak baik selama Mama dan Papa pergi nanti!” Rose memberikan kelingkingnya ke hadapan wajah Bervan.
“Hem... janji!” Sambil mengaitkan kelingkingnya ke jari bibinya itu, Bervan mengangguk dengan penuh keyakinan.
“Ayo turun! Kita bantu mama dan papa berkemas!” Rose berdiri seraya meraih tangan Bervan untuk ia genggam.
“Ayo!” Mereka berdua keluar dari kamar itu sambil bersenandung ceria bersama.
***
Tepat ketika ketiga pria itu mencapai lantai bawah, Bella dan Victor keluar dari kamar mereka. Mereka berdua baru saja selesai menyiapkan semua keperluan mereka. Wajah pasangan pengantin baru itu nampak khawatir karena terakhir kali, yang mereka tahu adalah jika putra mereka belum bisa dibujuk juga.
“Dimana Bervan?” tanya Victor pada mereka bertiga sekaligus.
“Atau kita ajak saja Bervan bersama kita!” Sambil berjalan Bella menyentuh lengan Victor dengan rasa khawatirnya.
Harus ia akui bahwa bukan hanya Bervan saja yang merasa berat untuk berpisah. Bella yang sebagai ibu juga merasa sedih untuk momen pertama kali mereka tak bersama ini.
Maka dari itu ia pikir, jika putranya masih tidak bisa dibujuk juga, lebih baik mereka membawanya saja. Takutnya orang-orang yang ditinggalkan untuk merawat Bervan akan kerepotan saat anak kecil itu mulai rewel nanti.
“Pikirkan saja bulan madu kalian!” Baz berbicara duluan dengan wajah bijaknya.
“Semuanya sudah beres!” Relly ikut mengangguk saat Ben berbicara dengan nada yang sama.
“Bervan sudah berhasil dibujuk? Bukankah anak itu masih tak berhenti merengek tadi?” Bella mengulang dengan perasaan tak percaya.
Dia saling bertukar pandang dengan Victor. Akhirnya mereka merasa lega sebab bisa pergi tanpa terlalu terbebani perasaannya terhadap putra mereka itu.
“Tentu saja! Kami sudah berhasil membujuknya!” timpal Ben langsung dengan gaya congkaknya. Baz dan Relly yang berada di kanan dan kirinya pun ikut melakukan hal yang sama. Keduanya mengangguk dengan dagu yang menukik ke atas.
“Siapa yang sudah berhasil membujuknya?” Lalu terdengar suara lantang dari atas tangga. Sambil menoleh, ketiga pria itu pun langsung berwajah pucat. Mereka bertiga seperti baru saja disiram air dingin.
Ketiga pria itu lalu mulai mengedarkan pandangan mereka masing-masing. Merasa tak sanggup untuk bertatapan langsung dengan Rose.
“Sepertinya aku melupakan sesuatu di mobil!” Baz yang berinisiatif kabur lebih dulu. Dia lalu berjalan ke arah halaman depan.
“Aku juga harus mengambil sesuatu di mobilku!” Masih mempertahankan wajah acuhnya, Ben pun menyusul Baz yang sangat gesit sudah mencapai ambang pintu. Sekali dia melirik ke arah Rose yang masih berada di tangga, lalu kembali berjalan lurus lagi.
“Tuan, tunggu aku!” Merasa ditinggalkan seorang diri, Relly pun segera menyusul bosnya yang sudah kabur duluan. Dia juga harus menyelamatkan diri, bukan!
Hanya saja Bella dan Victor menatap mereka bertiga dengan kebingungan. Pasalnya tiga lelaki kekar itu seperti baru saja melihat setan setelah mendapati Rose datang. Apakah mereka memiliki kesalahan terhadap Rose?! Pikir Bella dan Victor sambil saling memandang kembali.
“Sudah gagal malah mengakui hasil kerja orang lain! Hem... benar-benar tidak gentleman sekali!” gerutu Rose sambil memandang kepergian mereka bertiga dari tangga.
Ketika langit biru mulai merubah warnanya perlahan, hingga semburat jingga menyebar ke seluruh bagiannya, maka saat inilah Bella dan Victor akan berangkat untuk bulan madu mereka. Rencananya mereka hanya akan pergi ke luar kota. Bella yang menginginkan hal ini, tidak ingin dia jauh terlalu lama dari putra kesayangannya itu.
“Bervan janji pada Mama, harus jadi anak baik selama Mama dan papa pergi, ya!” Bella membungkukkan tubuhnya untuk memberikan pengertian kepada putranya dengan nada lembut dan penuh kasih sayang.
Di dalam hatinya, wanita itu sebenarnya masih meragu akan hal ini. Bisakah dia pergi jauh dari putranya itu?! Tapi melihat wajah Bervan yang tidak bersedih sama sekali membuatnya melupakan keraguan hatinya sendiri.
“Aku janji, Mama!” Anak kecil itu mengangguk dengan yakin sekali.
Victor yang berada di sisi Bella pun segera berlutut di hadapan putranya itu. Dia benar-benar merasa bersyukur memiliki anak sepintar ini. Dan lelaki itu juga merasa berterima kasih pada putranya yang sudah mau mengerti bahwa ayahnya ini ingin sekali memiliki momen indah bersama wanita yang dicintainya.
“Anak pintar! Setelah mama dan Papa kembali, Papa janji kita akan jalan-jalan bertiga!” Victor mengusap kepala anaknya dengan lembut.
“Benarkah?! Kalau begitu aku akan memegang ucapan Papa! Paman Baz bilang lelaki itu harus selalu menepati janjinya,” kata anak kecil itu lugu.
Victor dan Bella menatap Baz bersamaan. Dan yang ditatap hanya mengedikkan bahu sambil mengangkat kedua tangannya. Baz sendiri bahkan lupa pernah mengatakan itu kepada keponakannya. Entah kapan itu! Tapi mendengar ucapan Bervan barusan, dia merasa keren dengan dirinya. Ternyata dia pernah memberikan pesan bijak seperti itu kepada keponakannya.
Kedua orang tua Bervan tidak mempermasalahkan hal ini. Toh, Victor memang berniat untuk melakukannya ketika mereka kembali nanti. Dia juga ingin memiliki dan memberikan pengalaman menyenangkan seperti keluarga normal yang lainnya.
Malahan, dia dan Bella menatap putranya itu dengan bangga karena masih mengingat hal baik dari pamannya itu. Begitu pun dengan Rose, Ben dan Relly yang juga memandang Bervan dengan bangga melalui punggungnya.
“Baiklah kalau begitu Mama dan papa pergi dulu, ya! Baik-baik bersama paman dan bibimu!” Bella memeluk Bervan sebelum mereka benar-benar berangkat.
“Jaga dirimu, ya!” Victor bergantian memeluk putranya setelah Bella.
“Aku titip Bervan, ya! Maaf aku menunda waktumu” kata Bella dengan tulus pada Rose sambil memeluknya.
Dia juga tahu cerita mengenai lamaran Ben terhadap adik iparnya itu. Tentang Rose yang ingin menjadi kuat. Dan Ben akan membawanya ke markas untuk melatih Rose dengan tangannya sendiri.
Lelaki itu tidak rela jika Rose harus memiliki banyak kontak fisik dengan orang lain, meskipun itu adalah seorang wanita yang menjadi pelatihnya. Jadi sudah Ben putuskan bahwa Rose akan menjadi kuat di bawah bimbingannya langsung, sambil dia mengurusi masalah di markas sekaligus.
“Jangan terlalu dipikirkan! Urusanku tidak terikat oleh waktu. Tidak ada yang akan menuntutku juga!” jawab Rose santai seraya melepaskan pelukan mereka.
Tapi Bella mengerti betapa tidak sabarnya Ben untuk menunggu adik iparnya ini sampai menjadi kuat. Jadi dia hanya tertawa saja sambil melirik penuh arti pada pria di belakang mereka. Rose yang mengerti pun ikut tertawa bersama. Kemudian dia mendekatkan tubuhnya lagi pada Bella.
“Sebelum dia menyiksaku nanti, maka aku yang akan menyiksanya lebih dulu!” bisiknya pelan lalu melirik ke arah Bervan.
Rose memukul bahu Rose sangat pelan. Adik iparnya ini ada-ada saja! Jadi sebenarnya Rose akan menggunakan Bervan untuk menyiksa para lelaki itu, kan! Bella jadi bisa membaca situasinya. Mereka pun kembali tertawa.
Mereka sudah seperti saudara kandung, tak ada yang disembunyikan dari mereka satu sama lain. Bagi keduanya, sangat senang rasanya memiliki saudari perempuan. Apapun bisa dibagikan, tidak seperti dengan saudara laki-laki. Tidak seru dan lagi sedikit kaku!
“Ayo kita berangkat sekarang agar sampai di sana tidak terlalu malam!” ajak Victor pada istrinya. Ia tidak terlalu ingin tahu urusan para perempuan itu. Fokusnya kini hanya pada momen bulan madunya dengan Bella.
Hanya saja, melihat dua wanita berbisik kemudian tertawa, tiga pria di belakang mereka mulai merasakan firasat buruk. Ketiganya dengan kompak menyipitkan mata.
Mobil yang dinaiki oleh pasangan pengantin baru itu pun melesat pergi meninggalkan halaman rumah. Mereka semua tak bergerak sampai mobil itu menghilang dari pandangan mereka.
“Ayo kita masuk!” ajak Rose dengan riang pada keponakannya. Dia dan Bervan lalu masuk ke dalam sambil menggoyang-goyangkan genggaman tangan mereka.
Ketiga pria itu mengekor di belakang mereka dalam diam. Hanya berwaspada dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Namun tetap saja, ketiga pria itu masuk ke rumah dengan gaya tampan mereka masing-masing bak seorang model.
“Bibi, aku ingin makan gulali yang besaaarr sekali!” Baru saja sampai di ambang pintu, Bervan sudah memberhentikan langkahnya. Anak kecil itu memohon dengan wajah polos yang menggemaskan. Siapa yang tahan untuk menolaknya.
“Benarkah?” Rose nampak berpikir sambil menatap ke atas. Haruskah dia memulai penderitaan mereka sekarang?!
Wanita itu tidak mempertimbangkan permintaan keponakannya sama sekali. Tentu saja dia akan mengabulkannya. Yang jadi pikirannya adalah kapan dia harus memulai penyiksaannya kepada para pria itu.
Kemudian Rose menoleh pada Ben, Relly dan Baz yang sedang berjalan mendekat. Perlahan dia menerbitkan senyum dengan tatapan liciknya.
“Kalau begitu, ayo!” Dengan santainya Rose bergerak ke arah luar kembali.
Melihat senyum ceria Rose berikut tatapannya pada mereka. Ketiga pria itu membalikkan badan bersamaan. Entah sejak kapan mereka menjadi sangat kompak seperti ini. Firasat buruk benar-benar akan datang!
“Kalian mau kemana?!” Rose berhasil menarik pakaian Ben dan Relly di bagian belakang.
“Paman!” Sedangkan Bervan yang menahan Baz dengan tangan mungilnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!