NovelToon NovelToon

RASHN

Bab #1

...ALOHA👻?!! d.angelonico di sini!...

...Sebelumnya, salam kenal kepada para pembaca sekalian👋😊😄. Dan terimakasih buanyakkk kepada kalian yang sudah tertarik untuk mampir🥰....

...Juga, mohon sekali kepada para pembaca untuk meninggalkan LIKE, KOMENTAR, dan FAVORIT kalian jika ’suka’ dengan karya ini🥺....

...Jangan lupa RATE BINTANG ⭐⭐⭐⭐⭐ nya, ya😆! Plus, thxxx lagi buat yang dengan dermawan kasih HADIAH dan Vote😭🤧😘....

...😉😁Mampir juga ke karya author yang lain, yaa; HTTP 404 dan The (Not) Gorgeous Anna....

...Oke. Selamat Membaca!!!...

...~•|👍🏻❤ 💬🐣|•~...

____________________________

Nyanyian memilukan menggema di tanah paling damai di bumi. Bangsa Sëraphyn baru saja kehilangan penerus sekaligus pemimpin dan penjaga terakhir masa depan bumi, Pangeran ke-27, Liu Rain.

Tubuhnya yang masih belia, disemayamkan rapi dalam peti besar berbahan dasar rodium dan iridium.

Campuran emas, perak dan berbagai bebatuan mineral seperti poudretteite, benitoite, ruby, sapphire, red beryl, hingga mutiara, berkelip-kelip indah memenuhi sekeliling peti.

“Chairetismós!”

Semua mengangkat tangan memberi hormat. Trompet ketiga dibunyikan, tanda prosesi pemakaman telah selesai. Satu-persatu hadirin berjalan keluar dari ruangan dengan kubah tinggi, berukiran potret ratusan dewa-dewi kuno di atas kaca langit-langit bagian dalam kubah.

Bangunan kini menjadi sangat lengang, hanya tersisa empat orang yang masih berdiri di depan makam si pangeran. Seorang pria tua berjanggut putih panjang, dengan simbol naga di kanan-kiri jubahnya terlihat sedang mendengarkan ucapan dua orang di depannya.

Satu pria botak dengan kepang rambut bawah yang sebelumnya ikut berbicara, tiba-tiba duduk bersimpuh. Kedua tangannya mengangkat pedang berwarna emas yang sejak tadi hanya digenggamnya dengan tinggi-tinggi. Kepalanya menunduk hormat setelah berseru kepada sang pria tua.

“Apa kau yakin dengan perkataanmu, Vir?”

Wanita bermata biru dan mengenakan jubah dengan simbol naga, serupa si pria tua menatap cemas. Air mukanya terlihat lebih lelah dari hari sebelumnya. Jemarinya yang mulai keriput, kini juga semakin jelas menampilkan bentuk tulang dan saraf-saraf di bawah kulitnya.

“Lalu di mana dia sekarang?” Si wanita akhirnya buka suara.

Satu pria lain yang menemani pria yang dipanggil Vir ikut bersimpuh. Tidak menghiraukan rasa sakit dari luka-luka di seluruh tubuh, termasuk robekan panjang di salah satu pahanya yang belum sedikit pun kering. Sebab, benar-benar baru saja dijahit dan dibebat kemarin malam, langsung oleh dokter spesialis dari Yolstråt.

“Kami belum tahu pasti keberadaan tepatnya. Tapi dalam perjalanan hamba kembali, sekelompok pedagang giok dari Lìondre berbicara tentang seorang anak muda bernama Rashn. Ia senang berkelana dan sering terlibat perkelahian dengan orang-orang yang dia temui, tidak peduli ras ataupun kedudukannya, dia tetap akan melawan.”

“Lalu apa hubungannya dengan Sëraphyn, Dhruv?”

Si pria tua mengernyit bingung, terlihat masih sangat ragu dengan penjelasan yang keluar dari bibir pria yang dipanggil Dhruv itu.

“Rashn mempunyai dua warna mata yang berbeda, mata kanannya berwarna hazel dan kirinya biru safir. Sebagian orang yang pernah berkelahi dengannya juga mengatakan, jika Rashn sangat marah, kedua matanya terkadang berubah secerah kilau emas dan perak.”

Vir menatap penuh harap, kesepuluh jemari si wanita saling meremas satu sama lain. Rasa cemasnya semakin bertambah setelah mendengar penjelasan Vir.

“Rashn, dari mana asalnya?” Si pria tua bertanya dengan dingin. Vir dan Dhruv yang ditanya hanya saling bertukar pandang, tampak sangat gugup untuk sekadar menyebutkan satu kata.

“Achyls, Yang Mulia.”

Pria tua yang dipanggil Yang Mulia seketika tertegun. Pemimpin sekaligus ayah dari penerus bangsa Sëraphyn yang baru saja dimakamkan itu, menatap wanita di sebelahnya dengan tatapan yang tidak dapat dideskripsikan.

Si wanita tiba-tiba menghela nafas berat. Jemari kurusnya menarik cepat genggaman pedang di atas kepala Vir. Namun, pria yang dipanggil Yang Mulia, serta merta dengan lembut merebut bilah pedang dari jemari si wanita yang terlihat semakin basah dan dingin.

“Aku bersumpah atas darah seluruh bangsa Sëraphyn. Kalian berdua, Vir dan Dhruv akan memimpin pencarian, bersama dengan sepuluh pemuda terbaik dari AoifBrëe untuk segera menemukan dan membawa kembali Rashn hidup-hidup ke tanah suci Sëraphyn.”

Darah menetes dari ujung pedang. Vir dan Dhruv menatap penuh hormat dua sosok mulia yang masih sanggup berdiri gagah, walaupun kulit di kedua sudut mata dan kulit-kulit yang melapisi seluruh tubuh mereka berdua sudah lama mengeriput dan tentu, dengan setiap helai rambut yang juga sudah lama memutih.

Tapi, meski begitu, lebih dari empat puluh tahun telah berlalu dan keduanya belum pernah sekalipun gagal untuk memberi harapan dan kehidupan baru demi masa depan bangsanya, Sëraphyn.

“Panjang umur Yang Mulia Raja dan Ratu!”

...⚔⚔⚔...

“Ah, orang tua itu memang benar-benar sudah tidak waras!”

Aku berjalan mendaki perbukitan. Luka di sudut bibirku pagi ini benar-benar membuat mood-ku tambah buruk. Aku meringis sesekali, sedikit kesal juga dengan tingkah bibi Marcy yang ikut campur dan malah membantu pria dengan rupa macam tikus mol itu kabur, bahkan tanpa sedikit pun luka gores.

“Rashn, lihat apa yang kutemukan.”

Seorang pria berambut hijau lumut melambai cepat ke arahku. Satu pria lain dengan rambut hitam legam panjang menunjuk-nunjuk sesuatu di bawah. Tepatnya, pada jalan setapak yang berjarak kurang lebih delapan meter dari atas tempat kami berdiri.

“Oh, bangsawan rupanya.”

Aku tersenyum antusias. Api di dalam dadaku ikut berkobar-kobar hebat. Neelix, si pria rambut hijau mulai berjalan hati-hati menuruni bukit, diikuti pria lainnya, Horam, yang sudah siap dengan sebuah busur di genggamannya.

Tiga orang pria penunggang kuda tiba-tiba berhenti. Tak lama, sebuah kereta kuda di belakang mereka juga ikut berhenti.

Aku, Neelix dan Horam saling lirik-melirik, kami bertiga tersenyum girang melihat seseorang berpakaian merah darah, dengan badge elang berwarna perak di dada bagian kirinya melangkah keluar dari kereta.

“Apa mereka belum datang?”

Salah satu pria penunggang kuda dengan jubah hitam, dengan kerah berbulu seperti bulu burung gagak beranjak turun dan langsung membungkuk hormat ketika sampai di hadapan pria bangsawan itu.

“Hm, baiklah. Kita akan menunggu sebentar.”

Belum sampai satu menit setelah si pria dengan badge elang selesai berbicara. Bunyi kasar tapak kuda yang bertubrukan dengan tanah dari arah depan mereka, membuat langkahku, Horam dan Neelix kembali terhenti. Netra kami menunggu penasaran ke arah tempat si bangsawan berdiri.

Tidak lama, suara ringkikan kuda diiringi kepakkan kaget burung-burung dari dahan pohon di belakang kami, membuat Neelix hampir saja tergelincir ke bawah. Beruntung, Horam dengan sigap langsung menahan kedua lengannya.

Sementara aku, yang sebelumnya sempat ikut tersihir dengan pemandangan seorang pria berambut perak sebahu, dengan wajah tertutup topeng hitam, mengenakan kostum perang yang juga serba hitam dan badge kepala singa emas yang tersemat sempurna menjepit sudut kiri jubah berwarna marunnya, langsung tersentak, kemudian buru-buru membantu Horam menarik Neelix yang badannya jauh dua kali lebih berat dari kami berdua untuk segera kembali ke atas.

“Ingram Jakoobäh!”

Sosok yang dipanggil Ingram itu turun menghampiri si bangsawan. Jemarinya menarik keluar sebuah gulungan besar surat, dengan plakat singa di bagian tengah tali pengikat yang sebelumnya bersembunyi di dalam jubah marunnya itu.

“Apa Dhruv yang memintamu?”

Si bangsawan langsung membuka di tempat—surat yang baru saja diberikan oleh pria bernama Ingram itu. Alisnya semakin mengernyit seiring bagian akhir surat. Ia lalu menghela nafas ragu. Bibirnya seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.

“Dhruv, Vir dan aku diperintahkan khusus oleh Yang Mulia Zelîg, begitu pun anda, Duke Oakley, untuk ikut menjalankan kembali tugas sebagai seorang ksatria Sëraphyn.”

Aku terkejut mendengar nama tanah paling indah dan damai di bumi, Sëraphyn, disebut. Sebelah tanganku yang memegang lengan Neelix hampir saja terlepas. Horam menatap cemas rombongan di bawah. Aku pun yang melihatnya ikut berkeringat dingin.

“Rashn, cepat tarik aku.”

Neelix berbicara agak berbisik. Raut mukanya kelihatan sangat ketakutan. Aku dan Horam lalu berusaha dengan sekuat tenaga, cepat-cepat menarik lengan Neelix.

Aku mundur beberapa langkah. Seekor ular kobra dengan simbol tiga kelopak emas di kepalanya tiba-tiba muncul dari balik tumpukan dedaunan dan ranting pohon yang sudah kering. Ia bergerak sangat cepat dan tanpa kuduga-duga, meloncat dan melilit pergelangan kaki kananku yang hanya ditutupi sepatu boots yang sudah usang dan jebol sana-sini.

KRAK!

“SIAPA DI SANA?!”

.

.

Bersambung...

Bab #2

Ular yang melilit kakiku serta merta kabur setelah mendengar teriakan mengintimidasi dari salah satu pria penunggang kuda, yang berada paling dekat dengan posisi kami. Aku entah kekuatan dari mana, berhasil menarik Neelix ke atas.

“Tidak ada waktu, cepat!”

Aku berseru pelan. Menarik kedua sekawanku untuk cepat-cepat berlari meninggalkan tempat persembunyian. Sementara beberapa meter tepat di belakang kami, irama benturan kasar ladam dengan tanah dari para penunggang kuda terdengar semakin mencekam.

Aku menoleh ke belakang. Jarak antara Horam dan aku tidak terlalu mengkhawatirkan, tetapi Neelix, ia benar-benar tertinggal sangat jauh dari kami.

Neelix sepertinya sadar sedang diperhatikan. Ia tersenyum, berusaha keras mempercepat gerakannya menyusul Horam dan aku.

Dari jarakku sekarang, sekitar lima belas sampai dua puluh meter. Tampak samar-samar sebuah kubah menara berwarna biru kusam dengan arsitektur neogotik, menyembul di antara kumpulan kabut putih.

“Sedikit lagi.”

Aku bergumam lirih. Peluh mengucur deras dari setiap sudut tubuhku. Semakin lama pandanganku semakin tidak jelas. Butiran asin keringat yang melimpah lebak menyelusup beringas melewati bulu-bulu mataku.

TAK!

Sebuah anak panah dengan tubuh mengilap, yang kutebak kemungkinan besar berbahan dasar logam, karbon atau obsidian, merobek dalam salah satu batang pepohonan Ara.

Bulu berwarna biru dengan garis-garis emas, membuat Neelix, Horam dan aku berlari merunduk. Takut, kalau-kalau ada anak panah lain yang melesak dari langit.

Bunyi hantaman tapak kaki kuda dengan tanah terdengar semakin dekat. Kerikil-kerikil yang bersembunyi di balik timbunan pasir, ikut terpacul timbul ke permukaan. Aku menatap lekat miniatur bangunan bernuansa kelabu yang hanya tersisa beberapa meter lagi di depanku.

‘Tinggal sedikit lagi.’

“Rashn!”

Horam berteriak lirih memanggil namaku. Aku berhenti sejenak, menatap gusar kondisi Horam dan Neelix yang terlihat sudah sangat-sangat kelelahan. Melihat keduanya aku baru sadar, sendi-sendi di seluruh tubuhku juga sudah lama mati rasa.

Aktivitas terbenam tuan matahari membuat langit di atas kami yang sudah suram karena rerimbunan pohon, semakin bertambah tiga kali lebih gelap dan muram dibanding ketika masih siang.

Aku menatap pasrah ke arah langit kemerahan di timur dan tanpa sengaja, potret jembatan gantung setengah rusak yang hanya berjarak empat lima langkah dari tempatku berdiri, tiba-tiba membuatku merasa seolah-olah dewi Fortuna sedang mencurahkan sedikit kebaikannya kepada kami—si anak-anak malang.

“Horam! Neelix!”

Aku berseru cepat menghampiri keduanya. Air muka mereka nyaris benar-benar tiga ratus enam puluh derajat angkat tangan, alias pasrah.

“Kalian lihat jembatan itu?”

“Ya, terlihat rusak parah dan rapuh.”

“Kau benar. Tetapi sebelumnya, kalian ingat perkebunan salak milik Nyonya Amber?” Horam mengangguk cepat dan Neelix ikut mengangguk setelah melirik Horam. Aku menarik nafas dalam-dalam.

“Kalau aku tidak keliru, sekilas dari balik pagar paling belakang perkebunan salak Nyonya Amber ada sebuah besi panjang yang sudah sangat berkarat. Neelix, kau suatu kali pernah bertanya padanya tentang si besi karat itu dan dia menjawab kurang lebih seperti ini ‘Ah, besi itu adalah bagian dari jembatan gantung, dekat dengan jalur perbatasan hutan kita.’ Jadi, setelah lama kupikir-pikir. Mungkin kita bisa mencoba memotong jalan dengan melewati jembatan itu, tentunya dengan sangat berhati-hati.”

Aku berucap panjang lebar. Horam menatapku gugup dan Neelix tidak bereaksi apa pun. Mungkin lebih tepatnya, ia sama sekali tidak menangkap penjelasan kilatku barusan.

Sedangkan di belakang kami, suara tapak kuda dua ratus persen terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Namun kami masih beruntung, belum ada tanda-tanda kemunculan mereka — tuan-tuan penunggang kuda — di belokan hutan.

“Baiklah, Rashn. Apa pun yang terjadi kami percaya padamu.”

Horam menepuk kedua pundakku pelan. Aku tersenyum haru. Neelix ikut berseru girang, segera melangkah memimpin jalan menuruni tanah tinggi. Hanya butuh beberapa langkah, di hadapan kami sudah tersuguh jembatan yang terlihat betul-betul usang.

“Aku akan jalan duluan.”

Baru satu langkah, suara krak panjang membuat jantungku hampir copot. Percikan debu dan kayu melayang jatuh ditelan gumpalan kabut. Samar-samar aku melirik keadaan di balik kabut.

‘Sesuatu berwarna biru.’

Aku meneguk ludah susah payah. Kemungkinan terburuk yang sekarang membayangi pikiranku, adalah sebuah laut biru yang super besar, dalam, gelap dan mungkin sekali dipenuhi makhluk-makhluk air mengerikan, seperti Kraken si cumi-cumi raksasa atau mungkin, monster hiu raksasa, Megalodon.

“Rashn..?”

Aku menengok ke belakang. Horam dan Neelix terlihat sangat khawatir. Tapi, bukan Rashn namanya, jika takut dengan sesuatu yang bahkan belum pernah dilihat dengan mata kepalanya sendiri.

KRIET!

Aku melangkah untuk yang kedua kalinya. Lalu ketiga, kemudian Horam dan Neelix mulai mengikuti dengan sangat waswas dari belakang.

Udara kian dingin seiring dengan langkah kami yang semakin mendekati ujung jembatan. Neelix sudah melewati setengah jalan dan aku hanya butuh beberapa langkah lagi sebelum mencapai permukaan tanah.

‘Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, lima langkah, tujuh langkah, sembilan lang...’

TAK!

.

.

Bersambung...

Bab #3

Hanya tersisa dua langkah lagi. Tetapi di depanku, sebuah anak panah kembali melesat memecah bagian luar batang pohon yang memang sudah tua dan pecah-pecah.

Aku amat tersentak. Namun, bukan karena anak panah yang tertancap mengerikan tepat di hadapanku, melainkan karena rebas darah segar yang menetes satu-satu dari luka gores di pipi sebelah kananku dan tidak butuh lama, bagi cairan merah berbau metalik itu untuk kemudian terjun.

Sebagian menciumi masygul papan kayu nibung, beberapa senti dari ujung alas kaki setengah rongsokku berpijak dan sebagian lainnya tenggelam, menembus kerumunan kabut gelap di bawah eksistensi kami bertiga.

“Ngghhh... “

Tubuhku mendadak menegang. Rasa nyeri berdentum-dentum disambut tusukan tajam layaknya gemuruh petir, menjalari brutal dari mulai tulang hidung, rongga mata, pelipis, kepala sebelah kanan dan kiri, hingga urat-urat saraf di sekeliling leherku pun ikut sesak.

Begitu menyesakkan, seolah tengah dicekik keji di antara pilinan serat-serat kasar tali tambang manila; milik orang-orang perkapalan Laut Timur.

“Euungghhh..!”

Lenguhan panjang lagi-lagi terlontar mulus dari kedua bibirku. Kilatan cahaya didahului bintik-bintik hitam dan sensasi panas bergelombang seperti tengah dicungkil-cungkil menggunakan besi panas pada kedua bola mata, perlahan menjadikan penglihatan setengah kaburku kian berat, lalu berputar-putar seiring keras kepalaku yang memaksa untuk tetap menajamkan pandangan.

“Rashn?!” Jemari dingin Horam menahan sigap bobot tubuhku yang agaknya tidak lagi stabil berdiri.

“Apa kau baik-baik saja? Kau berdarah?!”

“A-aku...”

“R-Rashn! K-kedua matamu..!” Seruan gemetar Neelix menjadikan cengkeraman Horam refleks mengendur.

“A-apa yang terjadi..”

Samar-samar Neelix tampak tengah mengerutkan kening lebarnya tebal. Tidak tahu apa karena memang penglihatanku yang sedang bermasalah atau entahlah. Neelix kelihatan begitu gugup. Buliran-buliran gemuk peluh sebesar biji jagung berlomba-lomba meluncur dari kedua pelipisnya.

“T-tidak apa-apa, Rashn. H-hanya saja, ehm.. kedua bola matamu berwarna tidak seperti biasanya... I-itu, mereka terlihat keemasan a-atau mungkin, perak? Ugh, y-yang jelas mereka berkilau.”

Tidak jelas apa yang baru saja diucapkan Horam. Pelukan meski gugup, namun hangat tanpa aba-abanya seolah telah lebih dulu menyihirku dan perasaan menyesakkan di setiap inci tubuhku pun mendadak sirna, bersamaan dengan ritme nafas putus-putusku yang perlahan kemudian menormal seperti sedia kala.

“T-tidak apa-apa, Rashn.” Tepukan pelan Horam dan langkah cepat Neelix di belakang membuat pikiranku kembali jernih.

“A-aku baik-baik saja.” Aku berucap lirih dan dengan gerakan pelan, melepas dekapan gamang Horam.

“B-benarkah?”

Aku tersenyum simpul, lalu sebisa mungkin mendahului cepat melewati jembatan. Sementara Neelix di belakang, serta merta ikut mempercepat langkah pendeknya dan Horam yang memang hanya butuh beberapa pijakan lagi, akhirnya kembali melanjutkan pergerakannya dan tidak sampai satu menit, kami semua sudah berkumpul dengan selamat di luar jembatan.

“Ehm, Rashn..?”

Horam dan Neelix yang sempat menatapku ragu-ragu, kemudian dengan agak tidak enak hati berjalan memasuki hutan, sesaat setelah aku mengangguk dan mengibas-ngibas tidak sabaran telapak tangan kananku.

“Aku akan segera menyusul.”

Aku menghela nafas sebentar, sembari dengan lamat-lamat menatap ke seberang jembatan. Seseorang tampak berdiri di sana, menunggangi kuda.

Aku pun semakin memicing untuk memperjelas penglihatan. Namun, kabut yang terlalu tebal dan langit yang sudah berganti malam, membuatku terpaksa hanya dapat melihat siluet hitam kelabunya.

“Rashn!”

Neelix berteriak lumayan kencang memanggilku. Aku berbalik. Posisi anak panah tadi menancap tidak terlalu tinggi di batang pohon. Cepat-cepat aku mencabutnya dan langsung berlari menyusul Horam dan Neelix masuk ke dalam hutan, yang juga beruntung sekali, karena perkiraanku kali ini tepat dan tidak cukup jauh, sebuah pagar kayu yang aku jamin adalah milik perkebunan salak Nyonya Amber membuat kami bertiga kembali bernafas lega.

Tanpa babibu kami pun meloncat melewati pagar dan kembali menuju destinasi favorit kami, rumah Bibi Marcy.

...⚔⚔⚔...

“Apa kalian berhasil menangkapnya?”

Duke Oakley menghela nafasnya pasrah, melihat para penunggang kudanya juga Ingram, tidak berhasil menangkap sosok yang sempat menguping dan mungkin, ikut serta menyaksikan dengan sangat jelas pembicaraan mereka.

“Baiklah, kalian silakan pergi lebih dulu. Aku akan naik kuda saja.”

Para penunggang kuda dan yang lainnya berjalan pergi meninggalkan Duke Oakley dan Ingram. Suasana menjadi sangat sepi. Hanya terdengar suara embusan angin, nyanyian burung hantu dan tapak dua kuda yang berjalan lambat; keluar menyusuri jalan perbukitan.

“Duke Oakley. Apa kau tahu apa yang ada di balik bukit ini?”

Ingram akhirnya buka suara. Duke Oakley berpikir sejenak. Netranya menatap suram langit malam yang tanpa taburan bintang maupun bulan, hanya kabut dingin menyesakkan yang tersisa.

“Bukit? Desa? Hm, kalau aku tidak salah di balik bukit ini ada sebuah permukiman kecil, atau kota kecil, entahlah. Tapi, dulu sekali, aku pernah mendengar Yang Mulia Zelîg menyebut sebuah negeri yang terletak di balik bukit, tertutup rapat dengan kabut dan benar-benar hampir seperti terisolasi atau mungkin mengisolasikan dirinya sendiri dari dunia.”

“Negeri apa itu?”

Duke Oakley tiba-tiba menghentikan pergerakan kudanya. Kedua bola matanya ikut terbelalak. Ingram yang melihat sontak menghentikan kudanya. Ia lalu menatap bingung penunggang kuda di sebelahnya.

“Duke?”

“Itu, Achyls.”

Ingram ikut terbelalak. Misi mereka bahkan belum dimulai, tetapi dewi kemenangan telah lebih dulu meniup trompetnya.

.

.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!