...Bagian 1: Apakah Kamu Juga Merasa Asing?...
Setiap manusia terlahir dengan sambutan yang sama. Yaitu, haru serta bahagia. Sedangkan, sebagian manusia hidup dalam lingkup kesedihan yang berbeda. Lantas kehidupan seperti apa yang sedang ia jalani saat ini? Saat senyum indahnya tidak lagi nampak dan saat air matanya engan mengalir lagi.
Almahyra Azzahra. Gadis manis berkulit langsat dengan gamis hitam hingga kerudung senada itu, menengadah ke langit. Alma pernah mendengar bahwa awan-awan akan terbentuk seperti apa yang tengah ia pikirkan.
"Ayah dan Ibu ... itu yang sedang aku pikirkan," kata Alma dengan sedikit tertawa. Jelas itu adalah hal yang sangat mustahil untuk terbentuk di awan-awan.
Sekali lagi, Alma ingin menegaskan bahwasanya kehidupan manusia itu berbeda-beda. Menjadi yatim piatu adalah bagian dari perbedaan Alma dengan yang lain. Maksud Alma, perbedaan dalam hal memiliki seseorang yang menyertai kehidupannya. Alma tidak pernah mengatakan bahwa ia selalu sendiri, faktanya masih banyak orang-orang yang baik berada disekitarnya. Namun bagi Alma, tentu ini sangatlah berbeda dan Alma tetap merasa asing di antara yang lain.
"Nggak pa-pa kalau orang-orang ngerasa aku ini agak sombong. Toh faktanya, aku emang sulit menyesuaikan diri," monolog Alma.
Kling!
Notifikasi dari gawai Alma tentu itu bukan dari Whatsh*pp, Inst*gram atau yang lainnya. Melainkan dari aplikasi baca tulisnya.
@Izza
Kak Alma, jadi update hari ini?
Alma tersenyum, setelah membaca pesan singkat pembacanya. Bagi Alma mereka adalah bagian dari seseorang yang menyertai kehidupannya. Seketika Alma meng-klik tombol publikasi untuk menepati janji kepada para penikmat karyanya. Terkadang hal sesederhana ini mampu membuat manusia bahagia. Walaupun hanya sekadar virtual.
"Alma!" seru seorang gadis sebaya Alma.
Alma seketika mengalihkan pandangan ke arah suara. "Mardiyah?"
Gadis bernama Mardiyah itu mendekat. Tangan Mardiyah menenteng dua rantang berisi empat baris. "Ini," kata Mardiyah dengan menyerahkan rantang itu kepada Alma .
"Disuruh nganter lagi?" tanya Alma.
"Nggak mau?" tanya Mardiyah sekenanya.
Alma terkekeh. Bagaimana bisa Mardiyah menyimpulkan bahwa Alma tidak mau di saat ia hanya ingin memperjelas apalagi yang ditugaskan atau yang perlu ia kerjakan. Apakah ucapan Alma terkesan akan menolak sebuah tugas?
Alma mengambil alih rantang di tangan Mardiyah. "Oke," kata Alma dan berlalu pergi langsung.
Alma menghela napas panjang. Berjalan menyusuri jalan yang penuh dengan pepohonan hijau. "Ngapain juga kesel, kan ini emang tugas seorang Alma," gumam Alma.
...°°°...
Alma memasuki pelataran pondok pesantren. Tempat dimana orang-orang menimbah ilmu serta pastinya, tempat dimana orang-orang berlomba-lomba dalam kebaikan. Suasana disini sangat mengambarkan ketenangan, terlepas pondok ini berada di desa, tetap saja bagi Alma tempat ini terasa nyaman. "Assalamualaikum," salam Alma saat berada di pintu utama Ummi Salamah.
Merasa tidak ada balasan. Alma berucapan lagi, "Assalamualaikum."
Alma menunduk sebentar, melihat jam tangan yang ia kenakan pukul 11.12 WIB. Alma merasa tidak mungkin Ummi Salamah pergi, biasanya menuju waktu dzuhur mungkin Ummi Salamah memasak di dapur. Sekali lagi Alma ingin mencoba, "Assalamualaikum Ummi."
Dari arah ruangan dalam keluarlah seorang laki-laki berperawakan tinggi, hitam manis dengan baju koko maroon serta sarung hitam. Lelaki itu menatap Alma sekilas, kemudian menunduk dan menyerahkan secarik kertas kepada Alma. "Ummi sedang tidak ada di rumah. Ada keperluan apa?" tulis lelaki, itu.
Alma segera menyerahkan ke-dua rantang berisi makanan kepada lelaki itu. "Ini, dari Umma Sarah panti asuhan," kata Alma. Setelah rantang itu diterima, Alma secepatnya pergi. Tanpa menatap dan tanpa berucap apa-apa.
Dalam perjalanan pulang ke panti asuhan, Alma merenung. Jelas ini tentang lelaki itu. Sungguh tidak biasanya Alma memeduli orang-orang yang tidak berkepetingan dalam kehidupannya. Tetapi, Alma rasa ini sedikit berbeda.
"Ternyata, salah Alma," gumam Alma.
Alma berpikir kehidupannya sudah bisa dikatakan menderita. Namun ternyata, Alma salah. Setiap hal yang terjadi di dunia ini adalah cobaan. Lelaki itu ... cobaan hidup macam apa yang sedang ia jalani? Apakah lelaki itu juga merasa asing berada di antara yang lain? Apakah ia juga merasa berbeda? Suatu hal yang Alma ketahui bahwa kekurangan dan kelebihan manusia adalah dua hal yang tidak bisa di pisahkan.
Jika Alma ataupun lelaki itu tidak sempurna. Tentunya itu adalah suatu kewajaran. Bukankah memang sudah seharusnya dalam kehidupan ini manusia saling berhubungan? Entah untuk jangka waktu yang lama ataupun sekejap. Maka Alma ataupun lelaki itu akan dengan ke-ikhlasan, menyiapkan bahu serta melapangkan dadanya untuk menerima segala keluh dan kesah kehidupan dari orang-orang yang akan membersamainya kelak.
''Sudah dikirim?'' tanya Umma Sarah. Karena terlalu lama merenung Alma tidak menyangka bahwa telah sampai di depan pintu panti asuhan.
''Ah, i-iya sudah Umma,'' balas Alma dengan sedikit menunduk.
Umma Sarah tersenyum. Kemudian memasuki panti asuhan, jelas Alma pun ikut membuntit beliau. ''Tadi siapa yang nerima?'' tanya Umma Sarah.
Alma menatap Umma Sarah yang ternyata sudah duduk di kursi kayu tempat bersantai anak asuhan. ''Laki-laki, Umma,'' balas Alma.
''Pasti anaknya Kak Salamah,'' kata Umma Sarah.
Alma yang merasa bahwa mungkin sudah tidak diperlukan lagi memutuskan untuk pamit. ''Umma, Alma mau pamit ke kamar,'' izin Alma.
Umma Sarah mengiyakan perkataan Alma. Namun sebelum Alma memutar balikan badannya. Umma Sarah berkata, ''Kamu mau tahu namanya?"
"Jafar Irfanudin Azmi," lanjut Umma Sarah.
Alma sudah meloloskan niat untuk berbalik, merasa tidak mengerti maksud Umma Sarah memberi tahu nama lelaki, itu. Haruskah Alma tahu? Pentingkah untuk Alma? Bahkan Alma berniat untuk menjawab tidak. Tetapi Umma Sarah semakin memperjelas siapa lelaki itu.
"Dan, dia ... tunawicara,'' lanjut Umma Sarah, lagi.
Umma Sarah mengakhiri percakapannya dengan Alma. Pada akhirnya pun Umma Sarah yang meninggalkan ruangan ini, sedangkan Alma mematung di tempat.
Jafar Irfanudin Azmi, apakah kamu juga merasa asing atau justru kamu sengaja di asing kan?
...Bagian 2: Seseorang Yang Tidak Sempurna...
"Denger-denger anaknya Ummi Salamah pulang ke pondok lagi lho, Mbak," kata Salsa perempuan berkerudung navy bergo, itu.
Mardiyah yang tadinya fokus memotong wortel mengalihkan pandangnya ke Salsa. "A-anu Mas sopo namanya? lupa aku," lanjut Salsa.
"Jafar," kata Alma pelan. Namun ternyata masih terdengar oleh Mardiyah dan juga Salsa.
"Umma Sarah bilang, namanya Jafar," lanjut Alma. Tentunya untuk memperjelas segala hal. Alma tidak ingin di tanya-tanya dengan alasan apapun. Walau faktanya Alma sudah bertemu dengan Jafar.
"Oh," balas Mardiyah dan juga Salsa secara bersamaan.
Pagi ini adalah pagi terburuknya. Alma merasa mereka berdua memang sangat menyebalkan dan bagi mereka berdua, Alma adalah orang yang sangat sombong. Hubungan hidup macam apa ini? Alma sendiri tidak memiliki dasar untuk membenci mereka, Alma hanya sulit beradaptasi. Sedangkan mereka menyimpulkan bahwa Alma ada orang yang tidak ingin bersosialisasi.
"Aku denger katanya sekarang Mas Jafar ndak bisa bicara yo, Mbak?" tanya Salsa.
Mardiyah menggeleng. Kemudian membalas, "Rumor itu, Sal."
Cepat-cepat Salsa menggeleng. "Ndak, Mbak. Iku bener, tukang bersih-bersih rumahnya Ummi Salamah lho bilang, kalau mau minta apa-apa pasti Mas Jafar iku nulis pakai kertas."
Alma menghela napas pelan. Selesai sudah tugasnya memotong kentang dan keputusan Alma adalah meninggalkan dapur yang membuat telingannya panas. "Permisi," pamit Alma.
Suatu hal yang terkadang sulit Alma pahami adalah kebiasaan manusia yang membicarakan kekurangan sesamanya. Di mana letak kesalahan seseorang hingga sampai hati di gunjing sana-sini, tidak segan pula di hina secara langsung atau sekadar bicara sembunyi-sembunyi.
Mungkinkah kekurangan serta keburukan sesamanya adalah hal yang menarik? Hingga lidah terkadang tidak sanggup untuk menahan, bahkan mata tidak segan pula untuk menilai. Alma rasa yang menyebabkan kebencian serta terciptanya rasa sakit adalah cara manusia yang salah dalam memperlakukan sesamanya.
Kling!
Lock-sreen menunjukan notifikasi dari sosial media pesan.
@Asyifanf
Kak Alma, gimana kabarnya?
Syifa kangen wkwk
Eh, inget syifa nggak?
Dahi Alma mengerut, sekilas matanya melihat kedepan tertuju pada kursi kayu taman. Pilihannya adalah duduk di sana serta mencoba mengingat-ingat siapa kah teman virtualnya yang sedikit terlupakan.
"Asyifa Nadira Fitri!"
Akhirnya Alma ingat, Syifa adalah teman virtualnya jalur kepenulisan berujung kepada kenyataan. Bahkan sempat bertemu di panti asuhan lama sebelum kepindahan Alma ke panti asuhan baru. Dan yang jelas itu yang membuat Alma harus beradaptasi lagi.
Kling!
@Asyifanf
Simpan nomorku ya, Kak
Hubungi lewat sini aja
0831********
Alma memilih menyimpan nomor Syifa dan mengirim pesan text bahwa Alma akan segera menghubunginya serta Alma sangat merindukannya.
"Assalamualaikum, Alma." terdengar suara lembut khas dari Umma Sarah.
Alma mengalihkan pandangnya kepada Umma Sarah dan dengan tersenyum Alma membalas, "Waalaikumussalam, Umma."
"Alma sibuk nggak?" tanya Umma Sarah.
Alma menggeleng. "Enggak, Umma. Tadi udah selesai juga motong-motongin kentang."
"Kalau gitu bisa ikut, Umma?" tanya Umma Sarah.
Alma jelas menyetujui. Lagi pula Umma Sarah---selaku pengurus panti asuhan ini adalah orang yang sangat baik. Dan juga, ini bagian dari tugas Alma. Barang kali Umma Sarah ingin ke pasar, jelas yang membawa belanjaannya adalah Alma.
...°°°...
Pesantren?
Ini sedikit aneh, tidak biasanya Umma Sarah ke pesantren. Kecuali, ada kajian atau undangan acara penting dari Ummi Salamah. Ah, mungkin saja Alma tidak tahu kalau ada pertemuan penting antara panti asuhan dan pesantren ini.
"Alma kenapa? Kok diam aja, Nak?" tanya Ummi Salamah.
Alma menggeleng serta tersenyum kikuk. "Nggak pa-pa Ummi, a-assalamualaikum."
Ummi Salamah tersenyum ke arah Alma. Kemudian menatap Umma Sarah dan berkata, "Jadi kamu sudah bilang ke Alma, Sar?"
Umma Sarah membalas, "Belum sepenuhnya, Kak Sal."
Kalau di dengar-dengar Ummi Salamah dan Umma Sarah memang sengaja saling memanggil mengunakan nama langsung. Karena fakta mengatakan, bahwa keduanya adalah adik dan kakak. Dan lucunya, Alma barusaja mengetahui kebenaran itu. Tetapi setelah dipikir-pikir lagi pula, Alma di sini juga baru seminggu.
"Bilang apa, Umma?" tanya Alma yang jelas sedang sangat membutuhkan jawaban dari Umma Sarah.
Umma Sarah meminta Ummi Salamah yang menjelaskan. Sebenarnya, Alma sudah merasa aneh, semenjak mengetahui fakta persaudaran keduanya. Dan sekarang ... apa yang ingin Umma Sarah dan Ummi Salamah katakan padanya?
"Apa kamu ... siap untuk menikah?" tanya Ummi Salamah.
"A-aku?" tanya Alma lagi untuk memastikan apa yang ia dengar tadi.
Ummi Salamah mengangguk. "Iya. Kamu siap?"
Alma merasa pertanyaan ini tidak pantas untuk dipertanyakan. Maksud Alma, Ummi Salamah bukan lah walinya, wali Alma adalah Umma Sarah. Bahkan terhadap Umma Sarah pun Alma tidak seterbuka itu perihal pernikahan--atau sekadar, menyukai seorang laki-laki. Karena bagi Alma, hal semacam itu baiknya dibicarakan saat Alma sudah benar-benar siap.
Alma menggeleng. "Belum, Ummi."
"Kenapa?" tanya Ummi Salamah.
Setiap penolakan membutuhkan alasan untuk penyelesainya. Alma memiliki satu alasan mengapa bagi dirinya menikah belumlah pantas ia jalanan. Tetapi alasan itu sangat-sangat sensitif untuk ia bahas. "Ada sesuatu hal dalam diri Alma yang membuat Alma belum siap menjalani kehidupan ber- rumah tangga," balas Alma.
"Suatu hal? Memangnya apa?" tanya Umma Sarah tiba-tiba.
Alma tersenyum simpul, sedikit menunduk. "Hal yang mungkin ... sulit untuk diterima seseorang," lirih Alma.
"Alma, ada apa? Ada yang nggak Umma tahu tentang kamu?" tanya Umma Sarah, lagi. Kali ini Umma Sarah berdiri dan kembali duduk di samping Alma bahkan tidak segan menyentuh tangan Alma. Selayaknya, seorang Ibu.
Banyak, Umma.
"Ada, Umma. Tapi Alma belum mau cerita," balas Alma.
Sesungguhnya membagi duka dengan yang lain akan sangat meringankan beban pikiran. Namun bagi Alma, duka yang di milikinya tidak sepantasnya orang lain tahu, apalagi sampai berujung mengasihinya. Alma tidak ingin itu terjadi.
"Nggak pa-pa. Tapi kalau kamu sudah bener-bener siap untuk cerita, temui Umma langsung," kata Umma Sarah.
Alma mengangguk.
Aku rasa, aku nggak akan pernah siap berbagi kisah hidupku dengan orang lain.
...°°°...
Kendatipun kehidupan Alma bergantung kepada panti asuhan. Alma tidak akan pernah mau berakhir hidup semenyedihkan ini. Seusai meninggalnya kedua orang tua Alma, ia kesulitan untuk bersosialisasi---lebih memilih menyendiri. Bahkan telah berusia dua puluh dua tahun tidak terlintas dalam pikiran Alma untuk menikah, atau sekadar saja menyukai seseorang.
Dalam pikirannya adalah bagaimana caranya hidup dengan baik tanpa menyusahkan orang lain. Karena dengan di tampungnya Alma di dalam panti asuhan ini---ia merasa telah menyusahkan orang lain. Bahkan ia merasa bahwa kehidupannya terkekang. Terutama jikalau sudah mengenai pemindahan tempat singgah. Maksud Alma, ia selalu tidak menyukai saat panti asuhan memutuskan memindahkannya ke sana dan ke mari. Sungguh bagi Alma merepotkan, karena lagi lagi ia harus beradaptasi dengan tempat baru dan jelas orang baru juga.
"Alma, boleh Umma tanya?" tetiba saja Umma Sarah berucap. Saat ini Alma dan Umma Sarah sedang berada di kendaraan umum--bus kota untuk menuju ke pemakaman kedua orang tuanya atas perintah Umma Sarah.
Alma menengok ke samping di mana tempat Umma Sarah duduk. Alma tersenyum simpul dan mengangguk, seperti sudah bisa menebak bahwa Umma Sarah akan terus bertanya semenjak kejadian di rumah Ummi Salamah di mana Alma memilih untuk tidak menceritakan apa yang telah dia alami.
"Boleh," balas Alma.
Umma Sarah mengangguk setelah mendapat izin untuk bertanya. Tangan kiri Umma Sarah melepas tas yang di gantung pada lengannya, kemudian menaruh di antara dirinya dan Alma.
"Alma,"
"Iya, Umma?"
Umma Salamah menghela napas sejenak kemudian berkata, "Apa menurut kamu seseorang yang memiliki kekurangan nggak pantas sama sekali bersanding dengan orang yang sempurna?"
"Pantas," jawab Alma.
Umma Salamah tersenyum mendengar jawaban yang keluar dari bibir Alma dengan secepat itu. "Kenapa kamu bisa bilang pantas?" tanya Umma Salamah.
"Karena mereka sama-sama manusia."
Umma Sarah membenarkan apa yang telah Alma katakan. Memang sama-sama manusia. Tetapi manusia selalu mencari yang sepadan dengan diri sendiri tidaklah segan menolak bila merasa bahwa yang dilihat menurut pandangan tidak sesuai dengan kriteria.
"Tapi terkadang seseorang sulit menerima kekurangan orang lain, Alma," kata Umma Sarah.
Alma mengangguk. "Maka dari itu Umma, semua tergantung kepada orangnya, bersedia menerima atau justru malahan nggak mau sama sekali."
Umma Sarah mengangguk. Dia sudah mengetahui bahwa Alma akan menjawab seperti itu. Di alihkan pandangannya ke arah jalan dan mengetahui bahwa persimpangan telah dekat.
"Alma tombolnya," kata Umma Sarah.
Karena Alma duduk di dekat jendela. Dia bersiap untuk menekan tombol sesuai perintah Umma Sarah tadi. Menunggu sekitar tiga puluh detik Alma menekan tombol merah di atasnya.
"Iya, Umma," jawab Alma.
Bus telah berhenti. Segera Umma Sarah keluar dan Alma menyerahkan dua tiket setor sampah kepada sopir lalu bergegas turun dengan berseru "Makasih, Pak!"
"Nggak ada yang ketinggalan kan, Umma?" tanya Alma.
"Enggak ada. Ayo!" kata Umma Sarah lalu menggandeng tangan kiri Alma untuk berjalan menuju tepat pemakaman yang jaraknya lumayan jauh.
Kling!
Gawai milik Umma Sarah berdering. Alma menarik Umma Sarah pelan untuk segera menepi saat mengecek gawainya. "Kak Salamah?" gumam Umma Sarah.
"Kenapa, Umma?" tanya Alma.
Umma Sarah menggeleng. Meletakkan kembali gawainya pada tas hitam itu. "Bukan apa-apa. Ayo jalan lagi," kata Umma Sarah.
"Umma mau tanya lagi tentang yang tadi boleh?" lanjut Umma Sarah.
Alma terdiam sejenak. Sebenarnya Alma tidak benar-benar memahami maksud Umma Sarah bertanya mengenai kekurangan seseorang dan belum lagi tiba-tiba saja Umma Sarah ingin mengunjungi makam kedua orang tuanya.
"Boleh?" tanya Umma Sarah, lagi.
"Boleh. Lagian juga masih jauh, kita bisa ngobrol-ngobrol dulu Umma," balas Alma.
Jeda tiga detik Umma Sarah berkata, "Kalau kamu ... apa bersedia menerima kekurangan orang lain?"
Note:
Bus yang digunakan Umma Sarah dan Alma adalah bus kota---semacam bus kota Surabaya tayo yang membayar mengunakan sampah plastik (botol) dan akan di beri tiket setor sampah untuk naik bus lagi.
Setiap garis miring/italic adalah suara hati Alma.
...Bagian 3 : Sulit Percaya...
"Kalau kamu ... apa bersedia menerima kekurangan orang lain?"
Sejenak Alma berpikir, bagaimana bisa ia bersikap sombong sampai-sampai tidak mau menerima kekurangan orang lain. Sedangkan dirinya sendiri tidak bisa memastikan apakah orang lain juga akan menerima kekurangannya atau tidak. Karena Alma pun tidak bisa mengendalikan takdir yang sudah semestinya terjadi.
"Bersedia," jawab Alma.
"Alasannya?" tanya Umma Sarah, lagi.
Karena aku juga memiliki kekurangan.
Alma sedikit terkekeh. Kemudian menatap Umma Sarah sekilas lalu kembali menatap lurus kedepan dan berkata, "Ini konteksnya menerima kekurangan pasangan hidupkan, Umma?"
Umma Sarah mengangguk. "Yah ... bisa dibilang begitu."
"Jadi alasannya?" lanjut Umma Sarah.
"Kalau ini tentang pasangan. Alasannya cuma satu, karena Alma mencintainya, Umma," jawab Alma.
Mencintainya? Memangnya siapa? Bahkan sampai saat ini pun aku tidak benar-benar bisa mencintai seseorang.
Langkah kaki Alma melambat di alihkan pandangannya pada jalan menuju pemakaman yang terbilang cukup sepi hanya ada beberapa kendaraan roda dua yang melintas. Bahkan tidak ada anak-anak yang bermain-main di jalanan ini---yang masih termasuk perkampungan penduduk di kota.
"Dari sini sudah kelihatan belum tempat pemakamannya, Nak?" tanya Umma Sarah.
Alma mengangkat tangan kanannya dan jari telunjuknya menunjuk sebuah pohon besar hijau yang tumbuh begitu lebat tertutupi oleh tembok putih lusuh. "Itu pohon jambu sudah kelihatan, Umma. Sebentar lagi sampai kok," ujar Alma.
Berjalan sekitar dua menit Alma dan Umma Sarah telah sampai di depan pemakaman. Dan untuk ketiga kalinya setelah lima tahun berlalu Alma akhirnya kembali memijak tanah ini, telah lama ia berhenti mengunjungi tempat peristirahatan Ayah dan Ibunya karena pihak panti asuhan selalu memindahkannya ke lain tempat yang berjarak begitu jauh dari pemakaman ini.
"Ehm ... Umma," panggil Alma lirih.
Umma Sarah menatap Alma sekilas. Kemudian beralih kembali menatap kedua nisan yang tertulis dengan nama: Mustofa bin Nur Hadi dan Anggraini binti Abdul Aziz.
"Ini pemakaman kedua orang tua kamu?" tanya Umma Sarah.
Alma mengangguk. Di susul dengan kedua lututnya yang turun menyentuh tanah---Alma tidak berjongkok dia lebih memilih menumpuh kakinya di atas tanah. Entah mengapa tiba-tiba saja kedua matanya memanas, genangan air telah memenuhi pelupuk matanya. "Ayah, Ibu, Alma datang," ucap Alma.
"Dan kali ini ... putri Ayah dan Ibu datangnya nggak sendirian lagi," lanjut Alma dengan mendongak sekilas menatap Umma Sarah dengan memberi sedikit senyumannya.
Umma Sarah menyusul dengan berjongkok di samping Alma. Di sentuhnya pipi Alma dengan tangan sebelah kirinya. Air mata Alma telah jatuh kesakitan bertahun-tahun yang telah ia pendam dengan sendirinya tumpah ruah dan Umma Sarah mengusap wajah Alma dengan perlahan menghapus setiap jejak kesedihan anak asuhnya, itu. "Almahyra adalah nama yang sangat indah," ucap Umma Sarah saat menatap nisan Anggraini.
"Anggraini, kamu telah melahirkan seseorang putri yang begitu cantik dan anggun," lanjut Umma Sarah.
Bibi Maryam pernah bilang kalau Alma mirip Ibu. Apa benar, Bu yang dikatakan Bibi Maryam?
Alma menghela napas panjang. Di usapnya dengan cepat air mata yang masih tersisa di pipinya dan tangan kiri Alma menyusul untuk membenarkan kerudung paris syar'i-nya yang terasa tidak nyaman karena terkena embusan angin sore. Kemudian Alma menyentuh tangan kanan Umma Sarah dan menggegamnya. "Umma Sarah nama beliau, Bu, Yah. Dan beliau yang menjadi wali Alma di panti asuhan baru," ujar Alma.
"Terima kasih karena telah melahirkan Almahyra. Saya akan menjaga amanah baru yang telah Bibi Maryam berikan, dan percaya lah Anggraini saya akan benar-benar menjaga putri semata wayang kalian," ucap Umma Sarah.
Alma mencabuti rumput-rumput liar di sekitar pemakaman kedua orang tuanya. Mulai dari samping kiri, kanan, depan dan belakang---di rasa sudah bersih oleh Alma kemudian dia menatap Umma Sarah. "Kita berdo'a Umma?" tanya Alma.
Umma Sarah mengangguk---keduanya telah menengadahkan tangan berdo'a. Setelah beberapa menit berlalu di akhir lah do'a itu oleh Umma Sarah. Tangan Alma sigap mengambil bunga yang telah dia beli seusai dari pesantren---di keluarkan nya bungkus hitam berisi bunga dan segera menaburkan secara bergantian dengan Umma Sarah.
"Umma terima kasih sudah mengajakku ber-ziarah ke makam Ayah dan Ibu. Dan maaf Umma harus repot-repot jalan jauh," ucap Alma.
Umma Sarah tertawa pelan. "Umma yang ngajak. Jadi kenapa Umma harus ngerasa repot?"
"Sudah. Ayo pulang! Keburu magrib," lanjut Umma Sarah.
...🌺...
Cahaya orange mulai menghiasai langit-langit ufuk barat. Sinar yang redup tidak menyilaukan mata itu, seakan-akan melukiskan sebuah ketenangan bagi yang memandangnya. Perlahan-lahan langit orange semakin menghilang terganti oleh langit yang mengelap.
Alma tidak mengikuti ibadah salat magrib. Karena seusai mandi ternyata ia mendapatkan haid pertama bulan ini. Tetapi Alma tetap keluar dengan berpakaian lengkap: gamis hitam, kerudung maroon bergo syar'i dan tidak lupa kaos kaki hitam. Berjalanlah Alma ke beberapa kamar adik-adik panti asuhannya.
Alma berdiri di ambang pintu saat melihat kedua adik kecil yang bersebelahan kamar dengannya tidak kunjung keluar. Kemudian Alma berucap dengan menyandarkan kepalanya di pintu. "Kirana sama Inayah nggak ke mushola?"
Kirana dan Inayah menggeleng.
"Kenapa?"
Kirana mendongak menatap Alma dengan cemas. Sedangkan Inayah diam duduk di tepi ranjang dengan menunduk memilin jari-jari tangannya. "Kak Alma itu ... Inayah lagi sakit," ucap Kirana.
"Sakit?" Mendengar itu Alma benar-benar merasa khawatir secepatnya dia menghampiri Inayah. Dan berkata, "Mana yang sakit?"
Inayah menggeleng. Tidak mau berucap apa-apa.
"Kirana, Inayah kenapa?" tanya Alma.
"Sakit, Kak Alma," jawab Kirana.
Alma menghela napas pelan. Di hampirilah Kirana di usap dengan perlahan salah satu pipi tembam Kirana. Dengan senyum simpul Alma menatap Kirana. "Iya. Kakak tau kalau Inayah sakit. Jadi Kakak mau tanya di mana sakitnya? Apa Inayah habis jatuh? Atau kenapa?" ujar Alma pelan.
Kirana berjalan menghampiri Inayah. Dan jari telunjuk kanan milik Kirana mencolek lengan kiri Inayah yang barangkali akan membuat Inayah berbicara kepada Alma. "Kamu sana bilang ke Kak Alma, Nay," lirih Kirana.
"I-itu Kak itu aku berdarah," ucap Inayah dengan menunduk dalam.
Alma menghampiri Inayah lagi, ia bersimpuh di telitinya setiap wajah dan tubuh Inayah. Di mulai dari menyikap kerudung paris untuk melihat leher Inayah, menyikap rok panjang yang di pakai Inayah untuk melihat keadaan lutut serta kaki bagian lainnya. Dan yang terakhir baju lengan panjang Inayah di lepih dengan perlahan lantas di lihatnya lengan serta siku Inayah dalam keadaan baik-baik saja.
"Nggak ada yang berdarah ini. Kalian bohongin Kakak ya?" ucap Alma dengan nada tegasnya.
Kirana menyahut tiba-tiba, "Kirana nggak bohong, Kak!"
"Terus yang berdarah mana?"
"Itu aku, Kak," Suara itu terdengar dari Inayah bukan Kirana.
Lagi lagi Alma menghela napas pelan lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Waktu magrib sebentar lagi berakhir sungguh tidak akan ada habisnya jika Alma terus menerus meladeni Kirana dan Inayah. "Kakak lagi nggak mau main-main sama kalian. Kalau kalian nggak sholat kalian bakalan di hukum sama Umma Sarah," ucap Alma.
"Kirana mau sholat, Kak!" seru Kirana.
Mendengar ucapan Kirana Inayah tetap bergeming.
"Kamu mau di hukum, Inayah?" tanya Alma.
Inayah menggeleng. "Tapi Kak. Itu aku berdarah Kak. Aku sakit apa ya?"
"Itu apa Inayah? Bicara yang jelas!"
Lagi lagi Inayah menunduk. Jeda lima detik kemudian Inayah berkata, "Yang buat pipis. Itunya berdarah."
Astaghfirullah, ternyata haid? Inayah sudah haid?
Alma berjalan mendekati Kirana dan berucap, "Bilang ke Kak Salsa, Inayah hari ini absen. Kamu langsung ke mushola, ya?"
Kirana mengangguk paham. Segeralah Kirana berlari menuju mushola. Sedangkan Alma menyuruh Inayah untuk tetap duduk di tempatnya, dan Alma bergegas kembali ke kamar untuk mengambil beberapa pembalut untuk Inayah. Setelah di rasanya cukup segara kembali Alma ke kamar Kirana dan Inayah.
"Sakit nggak?" tanya Alma.
Inayah menggeleng.
Alma menyerahkan satu pembal*t pada Inayah, merasa mungkin Inayah akan kesulitan Alma berjalan ke arah lemari baju Inayah dan mengambil satu cel*na dal*m. Kemudian kembali ke tepi ranjang diletakkannya cel*na dal*m itu di sana. "Lihat ini, Kak Alma contohin," ucap Alma.
"Ini perekatnya di buka dulu, terus di tempel di sini. Kalau udah kamu tinggal pakai kayak biasanya. Kamu ngerti?" tanya Alma, lagi.
Inayah mengangguk paham.
"Inget-inget perekatnya di tempel, bukan yang ada perekatnya yang kamu pakai," ucap Alma.
Inayah mengangguk. "I-iya, Kak."
Usai sudah Alma mengajari Inayah cara menggunakan pembalut dengan benar. Anak perempuan berusia sebelas tahun telah menjadi seorang gadis. Alma jadi mengingat-ingat haid pertamanya saat ia baru memasuki Sekolah Menengah Pertama, dan sama seperti Inayah reaksinya dulu. Alma sempat berpikir apakah ia terkena penyakit? Padahal ia tidak pernah melakukan yang bukan-bukan. Sungguh ingatan dulu sangat melengkat di pikiran Alma. Saat pertama kali Anggraini mengajarinya do'a sesudah haid dan larang-larang apa saja yang tidak boleh di lakukan.
"Alma!" seru Mardiyah.
Alma mencari di mana suara itu berasal, di alihkan pandangannya kepada Mardiyah yang ternyata berjalan dari sudut taman yang menanjak jelas membuat Mardiyah sedikit tertutupi oleh pepohonan jambu. "Kenapa Inayah nggak sholat?" tanya Mardiyah setelah tepat di depan Alma.
"Inayah dapat haid pertamanya," jelas Alma.
Mardiyah hanya membalas dengan ber-oh ria saja. Setelahnya memilih pergi meninggalkan Alma sendirian lagi. Bagi Alma ini sudah menjadi hal yang biasa untuk dirinya, di karena baru dua minggu ia di sini. Mardiyah, Salsa dan lainnya mungkin belum terlalu mengenalnya---tetapi entah mengapa Alma merasa bahwa perempuan-perempuan sebayanya di Panti Asuhan ini sangat canggung padanya.
"Kakak Alma!" seru Kirana.
Tercetak jelas senyum simpul di wajah Alma saat Kirana menghampirinya. "Sudah selesai sholat?"
Kirana mengangguk. "Sudah. Inayah mana, Kak?"
"Barusan tidur."
Mata Kirana terbelalak. Terpikirkan oleh Kirana bagaimana Inayah bisa tidur sebelum salat isya? Kemudian Kirana bertanya, "Kan belum sholat isya. Kok Inayah tidur?"
"Mungkin sekitar 5 hari Inayah bakalan absen sholatnya," ucap Alma.
"Kenapa?"
Alma berdiri menghampiri Kirana di usap pelan kepala Kirana yang tertutup oleh kerudung. "Inayah sudah haid jadi nggak boleh sholat, puasa, dan beberapa larangan lainnya," jelas Alma.
"Jadi, kalau haid nggak boleh puasa? Nggak boleh sholat? Nggak boleh apa lagi, Kak?"
Alma tertawa kecil. Kirana adalah anak kecil sudah pasti begitu banyak hal yang ingin ia ketahui. "Lebih jelasnya besok kalau habis sholat tanya Umma Sarah langsung, ya?"
Kirana mengangguk. "Eh! Kirana lupa, Kak!"
"Lupa apa?"
"Kakak di panggil sama Umma Sarah di kantor. Nggak tahu suruh apa Kirana lupa, kalau nggak salah inget Kak Alma di suruh bikinin teh dulu sama Umma Sarah, terus di anter ke kantor. Soalnya tadi Kirana lihat ada tamu, dan tamunya itu dua laki-laki sama perempuan, terus--"
"Bernapas, Kirana," ucap Alma dengan tertawa kecil.
Sengaja memang Alma memotong ucapan Kirana, karena sampai lima menit pun adik kecil itu tidak akan berhenti berbicara dan terus mengingat-ingat setiap hal yang di ucapkan Umma Sarah serta apa yang di lihatnya tadi.
"Kak Alma sudah paham. Jadi sekarang, Kakak mau ke kantor Umma Sarah. Kamu temenin Inayah, kalau ada apa-apa kasih tau Kakak, ya?" ujar Alma.
Alma segera ke dapur dan menyajikan dua cangkir teh serta camilan ringan untuk tetamu Umma Sarah. Dan segeralah Alma menuju ke kantor yang jaraknya hanya satu asrama dari dapur. Saat sampai di ambang pintu Alma dengan sedikit menunduk mengucap salam, "Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Saat mendongak tatapan Alma langsung tertuju pada lelaki hitam manis dengan setelan kemeja hitam dan sarung abu-abu hitam tengah duduk di samping Ummi Salamah dan sekilas saja menatap Alma.
Dia ... Jafar?
"Alma," ucap Ummi Salamah dengan senyuman yang merekah semenjak Alma berdiri di ambang pintu.
Alma membalasnya dengan senyum simpul. Tatapan Alma tertuju pada meja kayu yang berselimut kain putih dengan sedikit menundukkan badannya ia meletakkan teh dan camilan itu perlahan-lahan. "Silakan, Ummi Salamah."
Kemudian tatapan Alma beralih pada Umma Sarah. "Umma Sarah ... memanggilku?" tanya Alma.
Umma Sarah mengangguk. "Kamu duduk sebentar, ya?" Tetiba saja Umma Sarah menyentuh tangan Alma di tariknya pelan agar Alma menyusul duduk di samping kursi kayu kosong itu.
Posisi duduk berseberangan ini membuat Alma memandang begitu jelas lelaki itu---Jafar. Lelaki yang baru di lihatnya satu hari kemari itu siapa yang menyangkah bahwa Alma akan melihatnya lagi dengan jarak yang lumayan dekat.
"Umma mau menyampaikan sebuah amanah dari Bibi Maryam," ucap Umma Sarah.
Amanah dari Bibi Maryam?
"Amanah apa?" tanya Alma.
Umma Sarah menatap Umma Salamah lalu beralih menatap Alma, lagi. Rasa-rasanya Umma Sarah sulit sekali menyampaikan sesuatu. Jeda lima detik akhirnya Umma Sarah berkata, "Ini tentang pernikahanmu."
"Lalu?" Ucapan itu yang keluar dari bibir Alma. Ia merasa benar-benar tidak peduli tentang pernikahan. Karena untuk sekadar saja menyukai seseorang laki-laki Alma selalu berpikir berkali-kali. Lantas untuk pernikahan? Jelas ribuan kali Alma berpikir untuk mengambil keputusan.
"Lalu?" Umma Sarah membeo.
Alma mengangguk. "Alma sudah bilang waktu di rumah Ummi Salamah, kalau Alma belum siap untuk menjalani hubungan pernikahan."
"Tapi ini amanah langsung dari Ibumu, Nak," sahut Ummi Salamah.
Sekejap saja Alma beralih pandang kepada Ummi Salamah. Ini memang sebuah amanah. Tetapi menurut Alma hal semacam pernikahan tidak layak untuk di percepat bagi seseorang yang belum mampu mengemban amanah. "Alma akan menikah. Tapi nggak sekarang," jawab Alma.
"Lagi pula Alma belum menemukan laki-laki yang pantas," lanjut Alma.
Umma Sarah merasa tiba-tiba saja Alma berubah acuh saat membahas pernikahan. Setiap amanah haruslah dijalani dengan sebaik-baiknya, dan bagaimana pun caranya Umma Sarah akan berusaha membujuk. "Sudah ada," ucap Umma Sarah.
"Jafar," sahut Ummi Salamah.
Kemudian di susul oleh ucapan Umma Sarah, "Dia laki-laki yang di amanahkan Ibumu untuk menikahimu."
Sekalipun dia bisu, sulit bagiku percaya bahwa dia bisa menerima kekurangan orang lain.
Karena sebagaimanapun kamu tetap manusia, Jafar. Setiap manusia ingin memiliki pasangan yang sempurna.
"Tapi, dia bisu Umma." Untuk pertama kalinya. Alma merasa bahwa dirinya telah benar-benar menjadi manusia yang tidak memiliki nurani.
"Alma nggak mau punya suami bisu," lanjut Alma.
Note:
Perlahan-lahan dalam seiring berjalannya waktu akan segera terungkap apa yang begitu banyak Alma rahasiakan.
Pasti bingung kan? Di atas mengatakan bahwa Alma bersedia menerima kekurangan orang lain. Tetapi tiba-tiba saja Alma mengatakan perkataan yang begitu kejam kepada seorang Jafar untuk sekadar menolaknya saja.
Dan lagi, di dialog saya ada mengunakan kata yang tidak baku dan di narasi saya mengunakan kata baku, insya Allah ya (dan kasih tahu kalau menemukan yang tidak baku, ya di narasi?)
Oh iya, ini denah asrama yang Alma tinggali
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!