Brak! Brak! Brak! Pintu kamar Selin di gebrak-gebrak dengan keras. "Selin bangun! Lo tega sama Juna dan Jeno?!" Panggil seseorang yang berhasil membuat Selin terusik.
Selin yang sedang asik bermimpi tiba-tiba tersentak saat mendengar suara Anet yang melengking. Dengan malas Selin membuka mata dan melihat jam di nakas, matanya membulat sempurna saat melihat jarum jam yang sudah menunjukan pukul satu siang.
Ceklek! Selin membuka pintu dengan tergesa.
"Gila ya, jam segini kamu baru bangun!" Cerca Anet tidak habis pikir.
"Aduh maaf Net gue kelelahan, gimana Juna sama Jeno udah tampil belum?" Jawab Selin histeris.
"Sebentar lagi bagian mereka, ayo cepetan siap-siap!"
Selin langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Hari ini anak kembar kesayangannya ikut lomba Karate, yang bodohnya malah Selin lupakan karena terlalu kelelahan. Beberapa hari yang lalu Selin sibuk membersihkan rumah karena baru pindah lagi ke Jakarta. Setelah perdebatan panjangnya bersama keluarga akhirnya Selin memutuskan untuk kembali tinggal di Jakarta beserta keluarga kecilnya, setelah cukup lama mengasingkan diri ke tanah kelahirannya di Bandung.
"Gimana udah rapih belum?" Tanya Selin saat sudah siap.
"Udah! Udah! Ayo cepetan!" Ucap Anet heboh dan langsung menarik tangan Selin agar cepat masuk ke dalam mobil.
Selin membuka ponselnya untuk mengecek pesan yang dikirimkan si kembar yang baru berumur empat tahun itu. Ternyata dugaannya benar, ponselnya sudah dipenuhi dengan pesan yang dikirimkan mereka.
Jeno : Nda udah bangun belum? Ndaa Jeno sekarang mau tampil masa Nda nggak liat Jeno.
Juna : Bun, jangan dengerin Jeno istirahat aja yang nyenyak. Kita pasti dapat mendali emas walaupun bunda nggak nonton kita.
Jeno : Nda, Jeno pengen di tonton Nda. Hiks.
Juna : Bun, istirahat aja. Rengekan Jeno jangan di anggap toh di sini udah ada Nenek.
Selin terkekeh seorang diri melihat kehebohan dua anaknya yang memiliki kepribadian yang berbeda. Juna yang merupakan anak pertama memiliki kepribadian yang dewasa, dingin, dan perhatian kepada keluarganya walaupun baru berumur empat tahun tapi Juna sudah memiliki pemikiran yang dewasa. Sedangkan Jeno adiknya yang hanya berbeda lima menit dilahirkan, memiliki sikap hangat dan manja seperti anak kecil pada umumnya, tapi siapa sangka di balik tampang kepolosannya dia memiliki rasa peduli yang begitu besar dan tingkat kepekaannya sangat patut diacungi jempol. Untuk kecerdasan mereka berdua sama-sama memiliki IQ yang tinggi, dan Selin sering memanggil mereka berdua dengan sebutan anak Genius.
Semua itu dibuktikan dengan berbagai prestasi yang sudah mereka raih di umur mereka yang baru seumur jagung itu. Hidup Selin yang awalnya hancur berantakan karena kegagalan di masa lalu, langsung berubah menjadi lebih baik berkat kehadiran kedua buah hatinya yang sangat ia sayangi dan cintai lebih dari apa pun.
"Gue turun duluan Net." Ucap Selin kepada Anet sahabatnya yang saat ini berubah menjadi manager Juna dan Jeno anaknya.
Selin berlari dengan tergesa memasuki tempat pertandingan. Tanpa sengaja dia bertabrakan dengan seorang pria yang sama-sama tergesa-gesa. Bruk! Tubuh Selin berbenturan dengan pria yang tidak dikenalinya, tas Selin jatuh dan barang-barangnya berserakan. Tanpa menoleh kepada si penabrak Selin sibuk memungut barang-barangnya yang terjatuh.
"Maaf saya buru-buru," Ucap pria itu dengan tergesa-gesa.
"Tidak apa-apa silahkan lanjutkan perjalanan anda!" Jawab Selin masa bodoh dan sibuk dengan dirinya sendiri.
Pria itu menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat dan terimakasih lalu berlari ke dalam ruangan perlombaan. Selin membeku sejenak saat menyadari suara pria yang baru saja bertabrakan dengannya terasa tidak asing dan begitu familiar. Kepalanya terangkat untuk melihat pria yang sudah berlari itu. Namun, sayangnya yang terlihat hanya punggung tegapnya yang semakin menghilang.
Selin bangun dan cepat-cepat berlari untuk menonton kedua anak tersayangnya. Dari kejauhan Selin melihat Niera ibunya melambaikan tangan ke arah nya.
"Huh, Bu Juna sama Jeno udah tampil belum?" Tanya Selin dengan napas yang terputus-putus karena kelelahan sudah berlari.
"Itu mereka," Jawab Niera sambil menunjuk cucunya yang sedang berjalan masuk ke dalam gelanggang perlombaan.
Selin tersenyum penuh kebanggaan saat melihat kedua anaknya yang sedang melakukan Kata Beregu. Rasa lelah karena berlari langsung menguap begitu saja saat melihat anaknya yang begitu hebat dan berbakat di umur mereka yang masih belia. Tidak terasa air mata keluar dari pelupuk matanya.
Di dalam hati Selin sangat bersyukur karena tuhan sudah berbaik hati menitipkan Juna dan Jeno ke dalam kehidupannya yang begitu hancur dan menyedihkan. Walaupun mereka dibesarkan tanpa kehadiran seorang ayah, tapi mereka masih bisa tumbuh dengan luar biasa dan begitu dewasa. Mereka selalu melindungi Selin dan menyayanginya tanpa bertanya banyak hal tentang asal usul mereka yang belum berani Selin ceritakan.
Melihat Juna dan Jeno memakai baju Karate membuat Selin teringat kepada wajah Ayah mereka yang begitu tergambar jelas dari wajah kedua anaknya. Selin memejamkan kedua matanya untuk mengurangi rasa sesak dihatinya.
"Anak ku," Gumam Selin bangga saat Juna dan Jeno sudah selesai melakukan gerakan mereka dengan sangat sempurna.
"Bundaaaaa!" Tidak lama kemudian sebuah teriakan terdengar oleh Selin.
Selin tersenyum hangat dan membentangkan kedua tangannya kepada anak-anak tersayangnya. Jeno berlari dan langsung berhambur ke pelukan Selin, sedangkan Juna berjalan dengan santai dan ikut memeluk Selin dengan penuh bahagia.
"Nda tadi Eno bagus nggak tampilnya?" Tanya Jeno bangga.
Selin mengecup puncuk kepala Jeno. "Bagus banget nak, kamu memang anak Bunda yang paling berbakat!"
"Oh jadi Juna nggak hebat ya Bun?" Sela Juna sedikit kesal.
"Cie abang mu cemburu," Selin terkekeh dan langsung memeluk Juna.
"Haha abang cemburu!" Ejek Jeno penuh kemenangan.
"Jangan cemburu sayang, pokoknya kalian adalah jagoan-jagoan Bunda yang hebat-hebat. Mau kalian atau kalah juga, Bunda tetap bangga sama kalian."
"Jangan pernah remehkan kamu Bun, Lihat saja aku dan Jeno hari ini akan memenangkan mendali emas."
Ternyata ucapan sombong Juna bukanlah bualan belaka, saat pengumuman pemenang. Juna dan Jeno menjadi peraih mendali Emas cabang kata beregu cilik.
Selin berdiri di pinggir gelanggang dengan penuh kebahagiaan dan kebanggaan. Dari kejauhan Jeno dan Juna berbisik kepada MC untuk memanggil Selin agar datang kepada mereka.
"Kepada Ibunda tercinta dari Jeno dan Juna silahkan untuk bergabung ke atas panggung," Panggil host yang berhasil membuat heboh penonton yang hadir.
"Aku?" Tanya Selin pada dirinya sendiri.
"Ya iyalah kamu, emangnya ibu si kembar siapa lagi Lin Lin!" Ucap Anet gemas sendiri.
Selin menghela napasnya panjang dan mulai memberanikan diri untuk menghampiri kedua anaknya yang akan mendapat penghargaan.
"Waw, ternyata ibu dari si kembar yang begitu luar biasa dan begitu cantik!" Goda pembawa acara yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari si kembar.
"Jangan macan-macam dengan Bunda!" Ucap mereka serempak dan berhasil membuat semua orang yang hadir tertawa bahagia.
"Eh, Jeno jangan seperti itu paman kan hanya bercanda."
Jeno cemberut kesal karena di omeli oleh Bunda tercintanya padahal dia hanya ingin melindungi Bunda tersayangnya.
"Kami panggilkan Bapak Barra Kenzo Julian untuk memberikan mendali emas kepada pemenang kita yang luar biasa ini."
Deg! Senyum di wajah Selin langsung luntur saat mendengar nama seorang pria yang membuatnya tersakiti selama bertahun-tahun di panggil oleh MC. Selin memutar pandangannya dan betapa bodohnya dia saat baru menyadari jika wajah Barra terpasang di mana-mana karena dia merupakan sponsor dari perlombaan karate ini.
"Wah Bunda! Idola ku Barra Kenzo datang!" Ucap Jeno histeris karena dia akan bertemu dengan idola kebanggaannya.
"Berisik!" Gumam Juna jengah.
Barra berjalan dengan semangat untuk menghampiri dua anak kembar yang berhasil menarik perhatiannya. Melihat kedua anak itu dia seperti melihat dirinya sendiri waktu masih kecil. Barra tersenyum penuh bangga dan memakaikan mendali pada mereka berdua.
"Selamat ya nak," Ucap Barra gemas sambil mengacak-acak rambut Juna dan Jeno bangga.
Karena merasa diperhatikan oleh seseorang Barra mengangkat pandangannya kepada Ibu kedua anak itu untuk mengucapkan selamat. "Selamat anda sudah membesarkan anak dengan sangat bai-k." Ucap Barra terhenti saat melihat wajah wanita dihadapannya dengan jelas.
Selin menghela napasnya berat dan menatap Barra dengan tatapan sendu. Dengan berat hati dia membalas uluran tangan Barra dan tersenyum hormat. "Terimakasih," Jawab Selin dengan tangan yang saling berjabat dengan Barra, seorang pria yang sudah membuat hidupnya berantakan tapi sekaligus menitipkan dua anak yang berhasil mengobatinya.
Barra masih membeku di tempat sedangkan Selin sudah turun bersama si kembar. Saat kesadarannya sudah kembali Barra langsung memutar pandangannya untuk menemukan sosok wanita yang begitu dirindukan nya selama ini. Barra berlari dengan putus asa untuk menyusul Selin dan kedua anaknya yang tiba-tiba menghilang dari pandangannya.
Sedangkan dari tempat berbeda Selin memeluk kedua anaknya agar tidak bertemu dengan Barra. "Nda kenapa kita bersembunyi di sini." Tanya Jeno penasaran. Selin hanya diam dan mendekap kedua anaknya dengan air mata yang sudah semakin bercucuran.
"Bunda kenapa menangis? Ada yang jahat sama Bunda. Kasih tahu Juna sekarang juga!" Ucap Juna penuh khawatir pada Selin.
Selin hanya terisak dan semakin mengeratkan pelukannya pada Juna dan Jeno. Tangannya terulur untuk menghapus air mata di wajahnya, "Bunda baik-baik saja nak, Bunda menangis karena bangga sama kalian. Tapi Bunda malu jika harus menangis di hadapan banyak orang jadi Bunda ngumpet di sini deh." Ucap Selin berusaha menutupi kepedihannya.
"Oh gitu ya, aku sayang banget sama Bunda jangan nangis lagi ya Bun." Ujar Juna dengan sedikit tidak percaya.
"Jeno juga sayang sama Ndaa!" Timpal Jeno dan mengeratkan pelukannya.
"Muaach! Muaaach! Bunda juga sayang banget sama kalian." Selin mengecup kedua pipi anaknya.
Tanpa mereka sadari tidak jauh dari mereka Barra sedang mematung dan mendengar percakapan keluarga bahagia itu. Dia seperti kehilangan keberanian bahkan untuk menyapa Selin dan setidaknya melihatnya sekilas untuk obatnya menjalani kehidupan. Tapi mendengar percakapan keluarga kecil itu, Barra menjadi malu sendiri dan tidak ingin mengganggu kehidupan Selin yang sudah berkeluarga kembali dan dikarunia anak-anak yang begitu lucu. Dengan hati yang sesak Barra memutar badannya dan berjalan dengan lesu untuk kembali menjalankan kewajibannya yang belum selesai.
"Ternyata yang kita cari-cari malah sembunyi di sini." Ucap Anet heboh dan langsung menarik si kembar dari Selin yang masih sangat terpukul karena bertemu dengan Barra.
Anet memeluk Selin sebentar dan berbisik. "Tenangkan diri lo, gue mau ngajak anak-anak makan." Ucap Anet yang di balas anggukan oleh Selin.
"Ayo anak-anak kita makan dulu, kasihan Bunda kalian ingin beristirahat sebentar." Ajak Anet tanpa mendapat bantahan dari si kembar.
Setelah Juna dan Jeno pergi untuk makan, Niera Ibunya Selin berjalan menghampiri anaknya dengan tidak tega. Melihat kedatangan Niera Selin langsung berhambur memeluk Niera dengan tangis yang pecah. "Hiks, hiks, hiks."
"Yang sabar nak, kamu pasti kuat untuk melewati ini semua." Ucap Niera penuh penghiburan kepada Selin yang sedang terisak penuh kepedihan.
Selin mengangguk dan mengusap air matanya dan berusaha tersenyum. "Bu, tolong temani si kembar makan. Aku mau masuk ke mobil duluan ya."
"Iya, sana tenangkan dirimu dulu." Ucap Niera berisi perijinan.
"Makasih Bu," Selin tersenyum bahagia karena dia masih mempunyai seorang Ibu yang selalu memahaminya dan memberikan kekuatan.
Setibanya di mobil Selin merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi. Pikirannya melayang mengingat kejadian pertemuan pertamanya dengan Barra saat di bangku kuliah.
[Flashback On!]
Hari sudah semakin sore, Selin berjalan lemas keluar dari kelasnya. Saat ini Dia membutuhkan segelas kopi untuk membuat tubuh dan otaknya fresh kembali.
Klang! Selin masuk ke dalam kafe yang sudah sepi. "Ice Americano satu," Pesannya dan langsung duduk di kursi.
"Pesanan Ice Americano atas nama Selin." Salin langsung beranjak.
Bola mata Selin berbinar saat melihat secangkir kopi yang sudah tersaji. Namun binar matanya tiba-tiba meredup saat dompet di dalam tasnya hilang entah kemana. "Aduh tunggu ya Mbak," Ucap Selin panik.
Selin membuka-buka tasnya dengan panik, jika dompetnya hilang itu adalah sebuah petaka besar untuknya. Dia baru mendapat gajih dan semuanya di simpan di dalam dompet yang hilang. Pandangan Selin semakin berkaca-kaca saat sudah yakin jika dompet yang sangat berharga itu hilang.
"Ini," Ucap seorang sambil memberikan Ice Americano yang tadi Selin pesan.
Pandangan Selin terangkat saat merasakan ada orang yang menghampirinya. "Minum dulu, baru ingat-ingat terakhir kamu melihatnya di mana." Ujar pria itu yang berhasil membuat Selin menjadi tenang.
"Tapi ini belum di bayar kan?" Tanya Selin polos yang berhasil membuat pria itu terkekeh. "Udah sama aku, jadi kamu punya hutangnya sama aku." Jawab pria itu ramah.
"Makasih," Selin mengangguk paham dan menerima secangkir kopi yang tidak gratis itu.
"Duduk dulu, tarik napas dulu. Baru pikirkan terakhir kamu liat dimana." Ucap pria itu yang langsung di angguki oleh Selin.
"Di kelas!" Teriaknya sambil menggebrak meja. "Aduh maaf maaf, aku refleks barusan." Ucap Selin merasa malu dengan dirinya sendiri.
Selin seketika mematung saat melihat pria yang duduk di hadapannya tiba-tiba tersenyum. Pria itu mengulurkan tangannya pada Selin. Sedangkan Selin hanya mematung dan menatap tangan pria itu lekat-lekat. "Aduh maaf kak, aku nggak nyimpen uang sepeser pun. Nanti bayarnya ya, atau ini kartu Mahasiswa ku sebagai jaminan." Ucap Selin heboh.
"Hahahaha," Selin kembali mematung saat melihat tawa pria di hadapannya yang begitu renyah itu. Entah kenapa tiba-tiba jantungnya bergemuruh dengan cepat. "Saya bukan mau minta uang kamu, saya mengulurkan tangan untuk mengajakmu mencari dompet bersama-sama."
"Hehehe, maaf kak. Tapi nggak usah repot-repot aku bisa nyari sendiri ko."
"Pokoknya saya ikut, ayo bangun!" Ajak pria itu yang berhasil membuat Selin lagi-lagi melamun seperti orang bodoh.
"Hmm, baiklah. Kakak pasti butuh banget ya uang itu, sampai-sampai mau di tungguin sekarang. Maaf ya kak," Ucap Selin polos.
"Aduh kamu ini, traktir satu kopi untuk kamu nggak bikin saya jatuh miskin kali. Dengar ya, hari mulai gelap di kampus udah pada sepi, saya nggak tega aja membiarkan kamu lalu lalang seorang diri." Ucap Pria itu berniat menjelaskan perbuatannya agar Selin tidak salah paham.
Selin terkekeh dan menyesali kebodohannya sendiri. Akhirnya Selin beranjak mengikuti pria di hadapannya yang keluar dari kafe. Tik! Tik! Tik! Tiba-tiba hujan turun membasahi bumi.
"Yah hujan!" Ucap Selin merasa kecewa, tangannya terulur untuk menyentuh air hujan yang jatuh. Tiba-tiba tanpa dia sangka sebuah kemeja yang begitu harum menyelimuti kepalanya. "Eh," Gumam Selin sedikit kaget.
Pria di sampingnya hanya tertawa dan selalu bertingkah seenaknya. Selin sudah tidak kuat menahan rasa penasarannya dengan sosok yang sedang berdiri di sampingnya. "Nama Kakak siapa?" Tanya Selin memberanikan diri.
"Tidak usah memanggil ku Kaka, aku merasa tua. Namaku Barra Kenzo Julian. Masa sih kamu nggak kenal sama aku?" Ucapnya sedikit tidak percaya.
Kedua bola mata Selin membulat sempurna dan berusaha mengingat sosok di sampingnya. "Nggak!" Jawabnya pasrah saat otaknya sudah mentok untuk berpikir.
Barra terkekeh gemas seorang diri. "Hahaha, ternyata selama ini aku belum cukup famous ternyata." Baru kali ini ada orang yang tidak mengenali dirinya.
"Eh, tunggu-tunggu. Nama Kakak kaya nggak asing, Barra Barra Barra siapa ya." Gumam Selin masih mengingat-ingat.
Barra terdiam dan memperhatikan wajah Selin yang sedang berpikir keras. "Oh Barra presiden Mahasiswa itu!" Pekik Selin tidak percaya.
Barra tersenyum gemas dan mengangguk untuk membenarkan perkataan gadis dihadapannya. Selin menutup mulutnya tidak percaya, orang yang selama ini dia idolakan sedang membantunya. Tapi bagaimana bisa dia melupakan wajah pria yang selama ini di idam-idamkan nya begitu saja. Mungkin karena wajah Barra berkali-kali lipat lebih tampan, dibanding di foto atau dari kejauhan
Dengan sedikit ragu Selin mengulurkan tangannya. "Perkenalkan nama saya Selin," Ucapnya sedikit ragu. Barra tersenyum lebar dan membalas uluran tangan Selin dengan begitu hangat. "Barra." Jawabnya singkat.
Baik Selin maupun Barra tidak menyangka jika pertemuan sederhana itu akan berdampak begitu besar bagi kehidupan mereka. Ternyata kisah pelik hidup Selin berawal dari pertemuan sederhananya dengan Barra akibat hilangnya sebuah dompet.
******
Gimana Ceritanya seru nggak?
Drrt, drrt, drrr. Getaran ponsel membuyarkan lamunan Selin tentang kejadian menyesakkan di masa lalu. Selin membuka tasnya untuk mengambil ponselnya yang bergetar, salah satu alisnya terangkat penuh keheranan.
"Ini bukan ponsel milik ku." Gumamnya saat melihat ponsel itu dengan seksama. Memang ponselnya sama-sama berwarna hitam, tapi Selin yakin itu bukanlah ponsel miliknya. Tanpa banyak berpikir lagi Selin langsung mengangkat panggilan yang masuk, siapa tahu pemilik ponsel ini yang menelpon.
"Hallo?" Ucap Selin saat sambungan telpon tersambung.
"Hallo maaf mengganggu waktunya. Sepertinya ponsel kita tertukar dengan tidak sengaja. Tadi di depan gedung saat bertabrakan."
"Oh iya iya, pantas saja saya kebingungan kenapa ponsel saya bisa berubah. Kalo gitu dimana Mas nya sekarang? Saya antar kan sekarang juga ponselnya. Tapi ponsel saya juga ada kan?" Tanya Selin memastikan.
Terdengar tawa renyah di sebrang sana. "Tenang ponsel anda aman."
"Baiklah, Sekarang Masnya ada di mana?"
"Saya di dalam gedung tapi sebentar lagi mau keluar, saya tunggu di bawah pohon mangga ya. Anda tahukan pohon mangga sebelah mana?"
"Oh iya saya tahu. Sekarang saya keluar dari mobil." Selin langsung ke luar dari mobil dan bergegas ke arah pohon mangga yang di maksud.
"Oke, saya juga sedang berjalan ke pohon mangga."
"Baju saya warna coklat." Ucap Selin dan langsung duduk di kursi yang tersedia.
"Saya menggunakan Jas Hitam."
"Saya sudah sampai, saya duduk di kursi yang ada di bawah pohon."
"Oh iya-iya saya bergegas sekarang juga."
Selin mengangguk dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Permisi, sepertinya saya sudah berdiri di belakang perempuan baju coklat."
Selin langsung menoleh ke arah belakang untuk melihat pria yang ponselnya tertukar dengannya. Pluk! Ponsel di tangan Selin terjatuh begitu saja saat dia melihat pria yang berada di hadapannya. Selin dan Barra saling bertatapan dengan pemikiran masing-masing. Rasanya waktu terasa terhenti untuk mereka berdua.
Barra menghela napasnya panjang dan memungut ponselnya yang sudah tergeletak di atas tanah. Senyuman terbit di wajah tampan Barra sepertinya tuhan sedang berbaik hati padanya sampai-sampai kejadian langka ini bisa terjadi. Padahal sejak tadi dia sudah tahu kalo pemilik ponsel itu adalah Selin, karena foto Selin dan kedua anaknya terpampang jelas di lock screen. Tapi Barra malah pura-pura tidak tahu dan berusaha mencari kesempatan untuk bisa bertemu lagi dengan Selin.
"Ini ponsel milik anda." Ucap Barra dan memberikan ponsel milik Selin.
Selin mengerjap-ngerjap matanya masih tidak percaya jika orang yang berdiri di hadapannya adalah Barra. Selin tidak habis pikir ribuan orang yang datang ke tempat ini, tapi kenapa dia harus bertukar ponsel dengan Barra seperti tidak ada orang lain saja. Dengan hati yang sedikit sesak Selin mengambil ponselnya. "Terimakasih." Ucap Selin dingin dengan pikiran yang masih melayang.
Melihat raut bingung Selin, Barra sedikit terkekeh. "Sepertinya hari ini kamu sudah mengucapkan dua terimakasih kepada ku." Ujarnya sok akrab.
"Saya permisi," Selin mengabaikan Barra dan berbalik untuk pergi.
Grep, Barra menahan tangan Selin untuk mencegahnya pergi. "Selin, apa kabar?" Tanya Barra dengan harapan Selin akan membalas ucapannya.
Selin menoleh ke arah tangannya yang di genggam oleh Barra. Dengan hati yang bergejolak dia berbalik ke arah Barra lalu menarik tangannya sopan, "Maaf saya banyak urusan, saya permisi." Jawab Selin dengan perasaan yang masih kacau.
Bara memejamkan matanya sejenak dengan perasaan sedikit kecewa. Tapi Barra berusaha memaklumi Selin yang begitu ketus, sepertinya dia pasti belum memaafkannya.
Tak lama dari itu, seorang anak kecil berlarian ke arah Selin dengan bahagia. "Ndaaaaa!" Teriak Jeno sambil merentangkan tangannya ke arah Selin.
Selin terkekeh melihat tingkah anaknya yang sangat menggemaskan, dia menekuk lututnya dan bersiap menerima pelukan dari Jeno. Greb, Jeno memeluk Selin dengan erat.
"Ko Nda nggak nyusul kita sih," Ucap Juna yang baru saja datang dengan tampang sedikit kesal.
Barra tertegun melihat interaksi Selin dengan kedua anaknya, tanpa dia sadari pandangannya sudah berubah berkaca-kaca saat melihat kedua anak Selin. "Ada apa dengan ku?" Gumam Barra di dalam hati.
"Maaf ya, ini Bunda mau nyusul kalian tapi kalian nya nggak sabar sih," Jawab Selin sambil mencuri pandang ke arah Barra yang belum beranjak.
"Wah ada Om Balla!" Teriak Jeno kegirangan dan langsung berlarian ke arah Barra.
"Jeno!" Cegah Selin namun sudah terlambat.
"Eh," Barra membeku di tempat saat tiba-tiba ada anak kecil berdiri di hadapannya dengan pandangan yang begitu berbinar.
"Hallo Om Balla yang terhormat, nama saya Jeno. Saya fans berat Om loh!"
Barra terkekeh melihat tingkah anak kecil dihadapannya yang begitu mengemaskan, kakinya di tekuk untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Jeno. "Hai Jeno, wah kamu beneran fans Om?"
"Selius ! Bahkan dilumah saya punya banyak poster Om dikamar saya, tapi sekarang tinggal sedikit karen Bunda suka ngelarang saya suk...."
Hap! Sebelum Jeno berbicara terlalu melantur, Selin lebih dulu membekap mulut anaknya yang bawel dan terlalu jujur.
"Ahahaha, Aduh maaf ya, Jeno emang gini sikapnya. Jeno ayo kita pulang yah nak?" Ajak Selin dengan sorot mata penuh isyarat.
Jeno menggelengkan kepalanya tegas. "Nggak mau aku mau foto bareng dulu sama Balla!" Ucapnya dengan pandangan yang sudah berkaca-kaca.
Selin memejamkan matanya frustasi. "Om Barra lagi sibuk sayang, ayo kita pulang yah." Bujuknya.
Barra menatap ke arah Selin yang berusaha menjauhkan anaknya dari dirinya. "Nggak papa ko Sel, ayo sini katanya mau foto!" Ucap Barra yang berhasil membuat kedua bola mata Selin membulat sempurna.
"Yeay!!" Pekik Jeno kegirangan.
"Nda tolong fotoin Eno dong, Bang Una ayo ikutan!" Teriak Jeno yang berhasil membuat Selin sakit kepala.
"Haaah," Selin menghela napasnya panjang dan mengangkat ponselnya. Deg! Dia tertegun saat melihat Barra sedang merangkul kedua anaknya dengan hangat, andai saja dulu Barra tidak mengkhianatinya pasti sekarang mereka akan hidup bahagia dengan keluarga yang lengkap.
"Ndaaa! Udah belum? Juna udah gerah!" Protes Juna dengan dahi yang sudah dibasahi keringat.
Selin tersentak dari lamunan sesaknya. "Belum belum, bersiap ya. Satu, dua, tigaa!"
Cekrek!
"Tante Anet!!!" Panggil Jeno saat Anet sedang berjalan ke arah mereka.
Jeno langsung mengambil ponsel di tangan Selin lalu memberikannya kepada Anet. "Ndaa ayo ikutan biar Tante Anet yang fotonya," Ajak Jeno sambil menarik Selin.
Selin memijit pelipisnya pelan bingung dengan situasi yang di luar kendalinya. "Nggak Jeno, lain kali aja ya."
"Ayo dong Nda, Eno mohon," Ucap Jeno dengan pandangan yang berkaca-kaca.
Selin berbisik tepat di telinga Jeno. "Nggak, Bunda marah nih."
"Hik, hik, padahal Eno pengen banget di foto sama Bunda sama Idola Eno, hiks, hiks," Wajah ceria Jeno langsung luntur seketika.
Melihat Jeno yang berubah rewel membuat Selin gelagapan. "Aduh Jeno jangan nangis, iya ayo-ayo!"
"Yeay!" Pekik Jeno penuh kemenangan karena berhasil membujuk Selin dengan tampang menyedihkan nya.
Selin menghela napasnya berat dan beralih menatap Anet, "Net tolong ya" Gumamnya lalu menyusul Jeno.
"Oke santai aja kali," Jawab Anet sambil terkekeh.
Dengan perasaan yang sesak dan senyuman palsu, dengan perlahan Selin berjalan ke arah Juna, Jeno dan Barra. Selin tahu saat ini Barra sedang menatapnya dengan serius, tapi dia seolah-olah mengabaikan kehadiran Barra dan tersenyum ke arah kamera demi kedua anaknya.
"Satu, dua, tiga.."
Cekrek!
Juna yang sedari tadi hanya diam membisu sebenarnya sedang memperhatikan gerak-gerik Selin dan Barra. Juna anak Selin yang pertama mempunyai kegeniusan bidang psikologi, dia bisa menafsirkan perilaku orang lain dengan kegeniusannya. Jadi jangan harap jika kalian bisa membohongi bocah genius yang satu itu. "Sepertinya ada yang tidak beres," Gumam Juna di dalam hati.
"Kita harus mencari kebenaran Bang," Bisik Jeno pada Juna. Mereka mengangguk setuju untuk mencari kebenaran pada hubungan Selin dan Barra.
*****
Hallo Readers Selamat datang di Cerita Juna dan Jeno, Novel baru Author. Jangan lupa vote, like, komen dan share ke temen-temen kalian. Biar semakin banyak yang menikmati karya author yang satu ini.
Jangan lupa juga follow akun author biar lebih akrab.
Ig : @denisa_sahara
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!