NovelToon NovelToon

Cinta Untuk Rey

Kemarahan papa

Di sini lah Rara, gadis cantik yang masih berseragam SMA tengah duduk di sofa yang berada di ruang tamunya. Rara hanya menundukkan kepalanya, ia sama sekali tidak berani melihat wajah garang papanya. Karna kemarahan papanya sudah terlihat dengan jelas setelah keluar dari ruangan BK.

"Setelah ini, apalagi yang akan kamu perbuat? Apakah ada hal bodoh yang lainnya, yang akan kamu lakukan lebih dari ini untuk mempermalukan Papa?" tanya Papanya dengan menahan amarahnya.

"Maaf Pa," ucap Rara lirih.

"Kamu fikir dengan kamu minta maaf, semuanya bisa kembali seperti semula?" tanya Papanya lagi.

"Rara tau kalau Rara salah Pa. Rara janji gak akan--" Perkataan Rara terhenti, karna Papanya telah lebih dulu memotong ucapannya

"Cukup! Papa tidak ingin mendengar janji palsu mu lagi. Ini sudah lebih dari cukup. Papa akan memindahkan kamu ke Bandung sekarang juga," sergah Papanya.

"Rara gak mau Pa, Rara minta tolong sama Papa. Rara akan melakukan apapun yang Papa mau. Tapi jangan pindahkan Rara ke Bandung ya Pa," ujar Rara dengan wajah memelas. Sehingga membuat Papanya menjadi tidak tega dengannya.

"Berarti mau tidak mau, kamu harus menuruti cara Papa yang kedua. Sekarang kembali ke kamar mu, dan jangan coba-coba berani keluar rumah tanpa izin dari Papa," ucap Papanya sedikit memerintah.

"Baik Pa," ucap Rara pasrah. Ia segera beranjak dari sofa menuju ke kamarnya.

Di kamar Rara

Setelah tiba di kamarnya, Rara menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Ia merutuki kebodohannya hari ini.

"Huft ... gue jadi penasaran sama rencana papa. Ah bodo amat lah, yang penting untuk saat ini gue bisa selamat dari amukan papa.Gue gak bisa membayangkan kalau gue masih stay duduk bareng papa saat ini, bisa mati muda gue karna serangan jantung," gumam Rara bermonolog.

Rara segera bangkit dari tempat tidurnya menuju ke kamar mandi. Ia segera menyambar handuk putih miliknya dan mulai membersihkan diri. Setelah selesai dengan ritual mandinya, Rara berjalan dengan gontai ke arah meja riasnya. Saat Rara menyisir rambutnya, ponsel Rara berdering. Dengan segera ia mengangkat telfon itu.

"Halo Ra! lo di mana? Gue sama Rio udah menunggu lo dari tadi sampe lumutan tau gak. Parah banget lo ngaretnya," seru Tesa dari seberang sana.

"Buset dah! Itu mulut apa kereta api? Gak ada jedanya kalau ngomong. Gue cuma takut aja, urat leher lo putus entar," ledek Rara dengan tawanya

"Sialan! Lo mau gue cepet mati? Dasar teman laknat lo Ra," ucap Tesa kesal.

"Gue bercanda doang, gitu aja baperan. Oh ya, kayaknya gue gak bisa gabung sama kalian deh hari ini. Soalnya kalau gue keluar rumah, bisa habis gue di cincang sama bokap gue," timpal Rara.

"Pasti karna lo berurusan lagi sama guru BK kan?" tanya Tesa dengan gelak tawanya yang masih terdengar jelas dari seberang sana.

"Sialan banget lo! Gue lagi di marahin sama bokap gue, dan sekarang lo malah ketawa bahagia. Teman apaan lo," ujar Rara kesal.

"Lo sih aneh, suka banget cari masalah sama guru BK. Buruan tobat, lo gak kasian sama bokap lo," ucap Tesa menasehati.

"Udah deh, lo gak usah ikutan ceramahin gue segala. Cukup papa gue aja, ok. Lo mau kepala gue botak sebelum waktunya karna beban fikiran?" sahut Rara.

"Bagus dong, ada hiburan baru di sekolah karena lihat kepala lo botak. Eh udah dulu ya, filmnya udah mulai nih. Nanti gue telfon lo lagi," ujar Tesa.

"Okey have fun**," ucap Rara memutuskan telfon.

Baru saja Rara ingin memejamkan matanya, ketukan pintu mengusiknya.

Tok...Tok....

"Argh ... ganggu gue aja," ucap Rara semakin kesal.

"Iya masuk," sahut Rara.

Bi Darsih segera membuka pintu itu dan langsung masuk ke dalam kamar Rara. Karna sebelumnya ia telah di izinkan untuk masuk ke dalam.

"Maaf Non, makan siang sudah siap," ujar Bi Darsih.

"Iya, terimakasih Bi," jawab Rara.

"Baik Non, Bibi permisi ke belakang dulu," ucap Bi Darsih segera meninggalkan kamar Rara. Tak lupa ia menutup kembali pintu kamar Rara.

Rara melangkahkan kakinya menuruni tangga untuk makan siang. Terlihat beberapa makanan lezat tampak menggoda. Rara segera duduk dan memulai makan siangnya.

Setelah makan siang, ia segera kembali ke kamarnya. Rasa bosan menghampirinya saat ini. Ia hanya duduk di kursi yang menghadap langsung ke jendela. Sehingga tampak dengan jelas kolam renang yang luas nan elegan yang dapat memanjakan matanya.

Sudah cukup lama ia duduk di kursi itu. Dan Ia mulai merasa jengah. Rara segera beranjak berdiri dan berjalan ke arah lemari pakaiannya untuk mengambil ponsel miliknya. Tak lama, musik kesukaannya mulai terdengar untuk mengisi keheningan di kamar itu.

Tak berapa lama, deringan telfon mengusiknya kembali. Ia segera mengangkat panggilan yang berasal dari bunyi ponselnya.

"Halo Ra," ucap seseorang dari seberang sana.

"Ngapain lo telfon gue? Bukannya lo lagi nonton bioskop sama Rio," ujar Rara heran.

"Kami gak jadi nonton Ra. Gak asik aja gitu kalau gak ada lo," sahut Tesa jujur.

"Tuh kan, gue bilang juga apa. Kalau gak ada gue memang gak seru. Lo berdua sih ngeyel banget. Masih aja nekat pergi tanpa gue. Kalian berdua itu gak bakal bisa hidup tanpa kehadiran gue," ujar Rara jumawa.

"Dih, gue menyesal ngomong itu barusan. Gue tarik lagi ucapan gue," sungut Tesa kesal.

"Gak bisa. Gue kasih tau ya, ucapan yang udah di lontarkan gak akan bisa di tarik lagi," ujar Rara mulai berlagak sok pintar.

"Kesambet apaan lo. Tumben banget itu ucapan lo rada benar. Biasa juga gak berfaedah banget perkataan lo," timpal Tesa mencibirnya.

"Gue mah dari dulu benar terus. Dasar kalian berdua aja yang gak menyadarinya," sahut Rara masih membela dirinya.

"Iya, suka-suka lo aja deh. Debat sama lo juga gak penting banget. Buang-buang waktu sama energi gue. Percuma nyokab gue capek-capek kasih gue makan, kalau asupan energi gue habis cuman karna debat sama orang yang gak jelas seperti lo," balas Tesa tertawa.

"Sialan lo! Tumben kok sepi banget? Memangnya Rio gak ada di samping lo?" tanya Rara penasaran.

"Kenapa nanyain gue? Lo kangen ya sama gue?" sahut Rio narsis.

"Dih, amit-amit deh kangen sama serbet dapur kayak lo," ejek Rara dengan tawa yang lumayan keras. Hal itu terdengar jelas oleh Rio dan Tesa.

"Parah banget sih lo Ra. Ketawa udah kayak nenek lampir aja. Bisa rusak telinga gue karna dengar suara ketawa lo. Mungkin nenek lampir bakal kalah dari lo Ra," balas Tesa menertawainya.

"Teman laknat lo! Berani-beraninya ngatain gue mirip sama nenek lampir," teriak Rara kesal.

"Tuh kan, apalagi kalau lagi marah begini. Lo bukan hanya mirip Ra, tapi lebih tepatnya seperti saudara kembar," sahut Rio ikut meledeknya. Terdengar suara tawa Tesa seakan ikut menyetujui perkataan Rio barusan.

"Awas lo berdua ya, gue pecat jadi sahabat. Kalau nanti kalian meminta kembali jadi sahabat gue, gue gak akan mau terima kalian lagi pokoknya," ujar Rara mengancam.

"Syukurlah, kita bebas dari nenek lampir ini Rio," ujar Tesa terus meledeknya.

"Iya Sa. Gue juga bersyukur banget. Mulai besok telinga gue gak mendengar teriakan yang mirip seperti toa masjid," ujar Rio menimpali. Hal itu semakin membuat Rara kesal.

"Lo berdua kok jahat banget sama gue. Gue sumpahin jadi batu lo berdua," ujar Rara dramatis.

"Lo makin hari makin eror aja deh Ra. Ini udah tahun 2020, masih percaya aja sama sumpah begituan." Gelak tawa Tesa semakin keras terdengar.

"Suka-suka lo deh."

Tut...

Rara memutuskan telfon itu secara sepihak. Ia sangat kesal terhadap tingkah kedua sahabatnya itu. Ponsel yang ia genggam saat ini, ia hempaskan begitu saja ke tempat tidurnya.

oke guys part ini sampe sini dulu,😊😊😊

Pertemuan

Rara menghentakkan kakinya ke lantai dengan cukup keras. Karena tingkah jahil kedua sahabatnya itu berhasil membuatnya kesal siang ini. Tetapi, Rara di kejutkan dengan suara clackson mobil yang baru saja memasuki halaman rumahnya. Mobil itu seperti tak asing lagi bagi Rara. Mobil itu sangat mirip dengan mobil sahabatnya, Rio. Ia memperhatikan mobil itu secara intens dengan mata coklatnya. Ia takut salah menerka kali ini.

Ternyata dugaannya benar, itu memang mobil Rio. Hal itu di buktikan dengan dua orang manusia turun dari mobil itu. Siapalagi kalau bukan Rio dan Tesa, sahabat akrabnya. Tanpa buang waktu, Rara bergegas menghampiri mereka untuk membalas rasa kesalnya.

Tak butuh waktu lama, Rara sudah berada di teras rumah dan berhadapan langsung dengan mereka saat ini, tentunya tak ketinggalan dengan wajah kesalnya. Rio dan Tesa hanya melihat satu sama lain dan tak lama mereka berdua tertawa bersama. Menurut mereka tingkah Rara memang sangat lucu jika sedang kesal begini.

"Puas lo berdua!" teriak Rara yang sudah tidak bisa membendung rasa kesalnya.

"Yaelah Ra, gitu aja ngambek. Lo itu umur 16 tahun atau bocah yang masih berumur 6 tahun sih." Tesa kembali menertawainya.

"Tesa! Lo itu nyebelin banget sih." Rara segera mencubit di beberapa bagian tubuh Tesa.

"Aduh ... sakit tauk." Tesa meringis kesakitan. Ia tak henti-hentinya mengusap beberapa bagian tubuhnya akibat dari bekas cubitan Rara.

"Rasain! Emang enak?" ujar Rara menjulurkan lidahnya ke arah Tesa.

"Cubitan lo sakit banget tauk."

"Biarin! Biar tau rasa," balas Rara tanpa rasa bersalah.

"Sadis banget sih lo, sama teman sendiri juga," ujar Tesa yang masih kesal.

"Iya maaf, gue kesal banget tadi sama lo. Ini semua 'kan karna ulah lo juga," sahut Rara sedikit membela dirinya.

"Iya gue minta maaf. Gue kan cuma bercanda," timpal Tesa.

"Apaan sih lo berdua. Hal sepele seperti ini aja di ributkan. Eh Ra, lo gak menyuruh kita masuk nih?" sindir Rio secara halus.

"Eh iya gue hampir lupa. Ayo masuk," ujar Rara tertawa cekikikan.

"Benar-benar deh lo, parah banget."

Rara segera mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam rumahnya. Mereka pun duduk di sofa yang berada di ruang tamu. Perdebatan itu ternyata tidak sampai di situ saja. Mereka melanjutkannya kembali di ruang tamu.

"Gue lupa menyuruh kalian untuk masuk. Gue kira tadi kalian orang-orangan sawah," balas Rara masih meledek mereka berdua.

"Bisa ae lu tisu toilet," timpal Rio membalasnya.

"Lah mending gue tisu toilet, nah lo toiletnya," balas Rara tak mau kalah.

"Lo itu ... bentar gue angkat telfon dulu," ujar Rio segera mengangkat telepon yang berdering dari saku bajunya.

"Halo Ma."

"Kamu di mana Nak? Kenapa jam segini belum pulang?"

"Iya, ini juga Rio udah mau pulang."

"Ya sudah, cepat kamu pulang. Antarkan Mama belanja bulanan di Supermarket."

"Iya Ma."

Tut... Tut.. (panggilan terputus)

"Gue mau balik dulu Ra. Nyokab gue udah nelfon gue suruh balik sekarang." Pamit Rio segera beranjak dari tempat duduknya.

"Yaelah, baru juga sebentar. Ya udah deh hati-hati lo," sahut Rara.

"Lo mau balik bareng gue atau naik taksi?" tanya Rio melihat ke arah Tesa.

"Ya balik sama lo lah," jawab Tesa.

"Kalau lo mau balik sama gue, kenapa lo masih diam aja di sini. Ayo buruan! Nyokab gue keburu ngomel entar," seru Rio.

"Ra, gue pulang dulu ya. Besok ketemu lagi di sekolah," ucap Tesa ikut beranjak dari tempat duduknya.

"Hmm ... ya udah deh. Hati-hati lo berdua," ujar Rara.

"Ok," jawab Rio dan Tesa serentak.

Rara mengantarkan mereka berdua sampai di teras rumahnya. Tak lupa dengan lambaian tangan mengiringi kepergian mereka.

Hari berikutnya,

Keesokan paginya, ketukan pintu mengusik Rara yang sedang tidur nyenyak. Ia terpaksa bangun dari mimpi indahnya.

Tok.. Tok.. Tok..

"Siapa sih yang berani membangunkan gue sepagi ini, malah di hari libur lagi!" seru Rara kesal. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya dan segera membuka pintu.

Krett.....

"Gak tau apa kalau ini hari minggu! Ngapain bangunin gue sepagi ini?" Rara tampak sangat kesal terhadap pembantunya.

"Maaf Non, tapi tuan besar menyuruh saya untuk segera membangunkan Non. Tuan besar juga berpesan, agar Non segera menemuinya di bawah," ujar pembantunya seraya menunduk.

Rara tak menjawabnya, ia segera menutup pintu kamarnya dengan cukup keras. Ia sangat kesal pagi ini. Ia memutuskan untuk segera mandi. Rara tidak ingin papanya semakin marah padanya karna menunggu kehadirannya terlalu lama.

Setelah selesai mandi, Rara segera menemui papanya di ruang keluarga. Terlihat seorang pria sedang berbicara sangat serius dengan papanya. Papanya yang melihat kehadiran Rara segera menyuruhnya untuk duduk di sampingnya.

"Duduk." Perintah papanya.

"Ada apa Pa?" tanya Rara penasaran.

"Kenalkan ini Rey, mulai sekarang dia yang akan mengawasi serta menjaga mu selama Papa di Prancis. Dan Rey juga akan tinggal di rumah kita untuk sementara waktu. Papa meminta kamu untuk menuruti semua perintah Rey tanpa membantahnya sama sekali," terang papanya.

"Yang ada, dia yang bakal nurut dan bertekuk lutut sama perintah gue," gumam Rara dalam hati.

"Rara, kenapa kamu diam saja?" Pertanyaan Papanya berhasil membuyarkan lamunannya.

"Baiklah Pa, Rara akan menuruti semua perintahnya dengan sangat baik, bukan begitu Rey?" ucap Rara melirik Rey dengan menaikkan salah satu alisnya.

"Pandai sekali Tikus kecil ini bersandiwara. Sudah sangat jelas dari raut wajahnya seakan tidak suka dengan kehadiran gue. Sepertinya dia akan mempersulit tugas gue untuk kedepannya," gumam Rey dalam hati.

"Tentu saja. Kita akan jadi partner yang baik bukan," balas Rey santai.

"Bukan partner, tapi musuh terbaik dan abadi pastinya," gumam Rara dalam hati.

"Baiklah, Om harap Rara bisa berubah jadi lebih baik lagi dengan bimbingan dari kamu Rey," ucap Papa Rara senang.

"Saya akan melakukannya dengan semaksimal mungkin Om," sahut Rey.

"Baiklah, Om percayakan semuanya sama kamu. Om jadi tenang meninggalkan Rara bersama kamu di sini," ujarnya.

"Maaf Om sebelumnya, Rey sedang ada janji dengan seseorang setelah ini. Kalau begitu, Rey permisi Om." Rey segera berpamitan kepada Papa Rara.

"Baiklah Nak Rey, hati-hati di jalan. Nanti kamu bisa langsung pindah ke rumah Om," timpalnya.

"Baik Om," sahut Rey beranjak dari tempat duduknya.

"Rara, tolong kamu antarkan Rey sampai ke teras rumah," ucap Papanya sembari melihat ke arah Rara yang tetap tidak bergerak pada posisinya.

"Baik Pa," sahut Rara dengan langkah malas.

Di teras rumah.

"Selamat! Lo akan jadi korban gue untuk selanjutnya," ucap Rara sinis.

"Gue harap lo gak salah target kali ini," ucap Rey menohok lalu dengan cepat memasuki mobilnya.

"Sial! Dia gak bisa di anggap remeh ternyata. Lihat saja ke depannya, gue pasti akan menang nantinya," ucap Rara bermonolog.

Siang harinya sekitar pukul 13:00 Wib, Rara mengantar papanya ke Bandara. Papanya akan melanjutkan pekerjaan proyeknya yang sempat tertunda di Prancis.

"Semoga setelah Papa kembali, kamu bisa berubah lebih baik," ujar papanya penuh harap.

"Rara akan berusaha," balas Rara.

"Jaga dirimu baik-baik, jangan sering membuat ulah yang akan membuat Rey bertambah pusing nantinya." Pinta Papanya.

"Iya Pa, Rara mengerti," ujar Rara sembari menganggukkan kepalanya.

"Baiklah, Papa bisa pergi dengan nyaman setelah ini." Pamit Papanya sembari mencium dahi Rara dan memeluknya erat.

"Hati-hati Pa," ucap Rara sembari meneteskan air matanya karna kepergian Papanya.

"Baiklah," jawab Papanya singkat.

Papanya tersenyum ke arahnya dan memasuki pesawat yang akan ia tumpangi.

Setelah mengantar papanya, Rara memutuskan untuk kembali ke rumah dan merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Menurutnya hari ini sangat melelahkan baginya. Terlebih dia harus bertemu dengan Rey yang sama sekali tidak di sukainya.

"Gue harus segera mengatur rencana untuk membuatnya jera. Gue akan buat dia gak betah tinggal di rumah gue. Dan selanjutnya, gue akan terbebas dari peraturan yang bakal mengikat gue. Yaps, pemikiran lo cerdas banget Rara, gak salah kalau gelar otak kancil sebagai sebutan lo," ujar Rara bermonolog.

Menyebalkan

Sore harinya, Rey telah tiba di rumah Rara dengan membawa satu koper besar. Tepat di teras rumah, Rara segera menghadangnya.

"Ngapain lo kesini? Pakai bawa koper segala lagi," ucap Rara sinis.

"Gue rasa lo gak tuli tadi pagi," ucap Rey datar.

"Sialan, lo gak tau siapa gue?" Geram Rara.

"Gue gak tau dan gak mau tau," ucap Rey tetap datar.

"Belagu banget lo jadi orang," balas Rara.

"Lo senang banget ya, ngomongin diri sendiri. Bukannya yang belagu itu lo," ucap Rey dengan senyum devilnya dan berjalan meninggalkan Rara.

"Hey, siapa yang menyuruh lo masuk. Gue gak mengizinkan lo masuk apalagi tinggal di rumah gue," sergah Rara melarangnya.

"Rumah lo? Setau gue ini rumah papa lo dan gue gak harus minta izin sama lo bukan?" tanya Rey datar.

"Tapi kan gue anaknya, jadi gue berhak atas itu," ujar Rara tak mau kalah.

"Maksud lo anak pembuat onar?" balas Rey meninggalkan Rara di teras rumah.

"Brengsek!" teriak Rara mengumpat.

"Lihat aja, gue bakal buat lo menyesal sampai ke ubun-ubun karna udah berani melawan gue," ucap Rara bermonolog.

Tepat pukul 20:00 wib, Rara sudah bersiap untuk pergi bersama temannya. Dengan langkah cepat ia menuruni beberapa anak tangga. Rara segera menghampiri supirnya untuk meminta kunci mobil.

"Mana kunci mobil." Pinta Rara menengadahkan tangannya.

"Maaf Non, semua kunci mobil sudah di tangan tuan Rey," sahut supir itu.

"Ngapain lo kasih sama dia!" bentak Rara.

"Maaf Non, tuan besar yang menyuruh saya untuk menuruti semua perintah tuan Rey tanpa terkecuali," jawab supir itu lagi.

"Bedebah!" teriak Rara kembali mengumpat..

Dengan perasaan penuh kekesalan dan amarah, Rara segera menuju ke kamar Rey. Rara membuka pintu itu dan mendorongnya dengan keras. Rey yang saat itu sedang belajar, sontak terkejut. Ia langsung melihat ke arah pintu lalu kembali fokus ke bukunya setelah melihat Rara di balik pintu.

"Bedebah! Apa maksud lo mengambil semua kunci mobil? Lo mau sok berkuasa, ha?" ucap Rara dengan emosi.

Tetapi Rey tetap fokus ke bukunya tanpa melihat ke wajah Rara.

"Lo tuli ya? Lo gak dengar gue ngomong sama lo barusan," ucap Rara jengkel.

"Lo ngomong sama gue?" tanya Rey seolah tak tau. Tetapi bola matanya tetap fokus ke bukunya tanpa melihat ke arah Rara.

"Sialan! Lo kira gue ngomong sama siapa?" pekik Rara semakin bertambah kesal.

"Gue gak merasa lo manggil nama gue tadi," ucap Rey santai.

"Tapi gue ngomong sama lo barusan," balas Rara semakin geram.

"Lo bukan ngomong sama gue, tapi lo barusan ngomong sama bedebah. Gue gak jawab pertanyaan lo barusan, bukan karna gue tuli. Lo tadi kan memanggil dengan sebutan bedebah, dan itu bukan gue. Lo paham!" tegas Rey.

"Terserah lo. Mana kunci mobilnya? Gue udah telat," ucap Rara masih memasang wajah kesalnya.

"Mulai sekarang lo gak bisa keluar rumah seenak jidat lo. Gue bakal pantau lo terus. Karna mulai sekarang lo adalah tanggung jawab gue," sahut Rey.

"Gue gak suka cara lo," bantah Rara.

"Gue hidup bukan untuk menyenangkan orang lain, termasuk lo!" kata Rey.

"Gak asik lo jadi orang," balas Rara lalu beranjak pergi dan tak lupa ia membanting pintu kamar Rey dengan keras.

"Anak manja itu benar-benar menguras energi dan fikiran gue," ucap Rey bermonolog.

Di kamar Rara.

"Sialan lo Rey! Kenapa lo harus hadir di hidup gue. Kalau kayak gini terus, gue gak bisa bebas lagi kayak dulu," ucap Rara kesal dengan menghentakkan kakinya ke lantai.

"Huft ... ok tenang Ra, lo gak boleh kalah sama dia. Ini perang otak namanya. Lo harus tenang, ok tenang. Tarik nafas lalu keluarkan. Ok, sekarang lo harus fikir gimana caranya untuk menaklukan Rey supaya nurut sama lo.Semangat Rara, lo pasti bisa mengalahkan dia. Cuma Rey doang mah kecil," ucap Rara berusaha menyemangati dirinya.

Rara terus mondar-mandir memikirkan cara agar dia bebas seperti dulu. Tak lupa ia mengusap wajahnya kasar. Rara terus berfikir keras tentang strategi untuk membalas kekesalannya terhadap Rey.

"Aha, gue tau caranya. Gue mogok makan aja. Nah, kalau gue sakit pasti dia yang bakal di marahin sama papa karna gak bisa jagain gue. Dan papa ngusir dia deh dari sini. Lo memang cerdas Ra," ucap Rara senang.

Tak lama, pembantunya datang mengetuk pintu kamar Rara untuk menyuruhnya makan malam tetapi Rara menolaknya.

Pukul 20:30 Wib, Rey menuruni tangga untuk makan malam. Rey segera duduk di sebuah kursi yang berada di ruang makan. Tetapi dia tidak melihat Rara di meja makan. Hanya wanita paruh baya yang terlihat di sana. Wanita itu adalah Bi Darsih, pembantunya. Pembantu itu sibuk meletakkan beberapa jenis makanan di meja makan.

"Apa Rara sudah makan malam Bi?" tanya Rey.

"Maaf Tuan Rey, tadi saya sudah menyuruhnya untuk makan malam, tetapi non Rara menolaknya dengan tegas. Apa saya harus menyuruhnya untuk makan malam sekali lagi?" tanya Bi Darsih.

"Tidak usah, biarkan saja," ujar Rey fokus dengan makan malamnya.

"Baik Tuan, kalau begitu saya permisi," ucap pembantu itu meninggalkan Rey.

"Iya," balas Rey singkat.

"Dia fikir dengan mogok makan bakal berhasil, permainan basi itu masih saja ia lestarikan," ucap Rey dengan senyum devilnya.

Setelah makan malam Rey beranjak ke kamarnya untuk melanjutkan pelajaran yang sempat ia tinggal tadi. Rey sangat fokus mengerjakan beberapa soal yang tertera di buku tugasnya. Rey tipikal orang yang serius dengan hal apapun. Apalagi jika masih berhubungan dengan sekolah dan keluarganya.

Bunyi suara pesan masuk dari ponselnya berhasil mengalihkan perhatiannya. Ia segera membuka pesan itu. Terlihat jelas nama Sesil tertera di kotak masuk.

Rey hanya membacanya tanpa berniat membalas pesan itu. Menurutnya ucapan selamat malam sama sekali tidak penting dan hanya membuang-buang waktu.

Rey kembali fokus pada tugas sekolahnya. Ia mengerjakannya dengan semaksimal mungkin. Rey tidak ingin mengecewakan para guru yang sudah bersedia mengajarinya di sekolah. Ia memutuskan untuk meneliti kembali tugas sekolahnya yang sudah selesai ia kerjakan. Ia tidak mau ada kesalahan sedikit pun. Rey termasuk orang yang profesional. Dia selalu mempersembahkan kinerja terbaiknya. Maka tak heran, hampir semua guru menyukainya. Selain wajahnya yang tampan, kecerdasan pun tak luput dari dirinya. Bisa di katakan, Rey termasuk murid terfavorit di SMA Harapan Bangsa. Hal itu sudah menjadi rahasia umum di sekolahnya. Siapa yang tak kenal dengan Rey. Hampir seluruh siswa yang bersekolah di sana sangat mengenalnya dengan baik.

Gimana guys, keren gak ceritanya??

jangan lupa tinggalin jejak like serta jadikan novel ini favorit untuk mengisi rak buku bacaan kalian semua.

Atau boleh juga kritik dan saran yang bersifat membangun. Terimakasih😊😊

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!