Tiiiinnn!
Bunyi klakson mobil mengagetkan seorang remaja yang bernama Ervino Prayoga. Ia tengah menunggu di depan pos jaga sebelah gerbang sekolahnya.
"Weh... kak Nissa ini kebiasaan ya kalau jemput aku suka ngagetin gitu!" gerutunya kesal.
"Sorry Vin, aku buru-buru banget nih. Ayo kita pulang!" ucap orang di sebelah pengemudi mobil.
"Eh Vin, mana tuh si Jasmine?" tanya pria muda di sebelah Nissa.
Ia masuk kedalam mobil tanpa banyak bicara.
"Jasmine udah di jemput om Evans tadi. Aku gak nyangka deh si Jasmine jadi rebutan cowok di kelasku," kesalnya.
"Memangnya kenapa? kamu cemburu?" goda Nissa.
"Apaan sih kak! aku dan Mimi ( panggilan akrab dari Ervin ) itu kan temen dari kecil. Ibaratnya aku dan dia itu udah kayak saudara sendiri," jelasnya.
Nissa dan Rico hanya tersenyum mendengar perkataan adiknya.
"Kalian berdua mau kemana sih? kenapa bisa berangkat bareng? biasanya gak mau kalau Papa suruh barengan. Lagaknya bilang gini, ah... enggak lah Pa nanti kalau ada yang dekat sama aku malah menjauh karena Mas Rico," ia menirukan ucapan kakaknya.
"Kali ini beda cerita, kami mau pergi ke rumah temannya mas Rico. Dia pinter banget tuh makanya kami mau nanya saran skripsi kami sama dia," jelas Nissa.
"Oh iya, bentar lagi kamu masuk SMA nih! pasti seneng banget deh yang mau masuk sekolah baru," godanya pada adik satu-satunya.
"Iya dong senengnya minta ampun dan aku udah punya rencana kalau udah sekolah SMA aku akan nembak cewek yang aku suka," ia terkekeh.
"Astaga adekku yang manis udah mulai mikir cewek? ujian tuh dipikirin dulu! baru deh mikirin cewek," gerutunya pada adiknya.
"Mas Rico...kapan nih berangkatnya?" tanya Ervin.
Rico hanya terkekeh dan mulai meluncurkan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mereka tertawa lebar karena candaan Rico yang atraktif.
Rumah besar dan mewah sudah tampak dari kejauhan. Ervin turun di depan pagar rumah itu.
"Kami pergi dulu Vin! jangan lupa kasih tau Mama kalau kami pulang malam sebelum makan malam nanti," akhirnya Rico langsung melajukan mobilnya kembali.
"Kapan ya aku bisa belajar menyetir? Papa belum ngijinin sih," ia berjalan menundukkan kepalanya.
Seorang pria paruh baya membuka pintu gerbang untuknya.
"Selamat datang Tuan muda," sapanya ramah.
"Panggil Ervin saja Pak," serunya. Ia merasa risih dengan panggilan orang-orang dirumah ini.
Ia berjalan dengan lunglai ketika ingat keinginannya yang belum bisa terpenuhi. Setelah mengucapkan salam ia masuk kedalam rumah dan memanggil mamanya.
"Mam, aku pulang nih." Serunya, tapi sayangnya tak ada sahutan dan suara apapun.
"Kemana sih mereka? kok rumah mendadak sepi begini?" ia mulai membuka sepatu dan menaruh tas punggungnya diatas sofa.
"Aden sudah pulang?" tanya seorang asisten rumah.
"Kalau disini pasti udah pulang dong Bik," sahutnya malas.
"Kemana sih semua orang? kenapa sepi begini Bik?" tanyanya.
"Tuan sama Nyonya pergi ke acara keluarga di kampung! mungkin sebentar lagi mereka pulang," jelas si asisten.
"Aku laper Bik, mana makan siangku?" wajahnya seperti orang yang sedang kesal.
Ervin memang orang yang tidak sabaran terhadap apapun. Sifatnya ini selalu diungkit oleh Malik dan Elisa sebagai orangtuanya. Mereka menyuruh anaknya itu untuk berusaha lebih sabar dan mau menunggu serta menerima kenyataan.
Dulu ketika masih kecil, ia meminta mainan dan Elisa tidak memberikannya karena jatah mainannya sudah terpenuhi selama sebulan. Tapi karena itu ia mengamuk dan melempar barang-barang yang ada didepannya ketika sampai rumah. Hukuman yang diberikan orangtuanya tak membuat Ervin jera. Sikapnya itu tak jauh beda dengan sekarang walaupun ia sudah remaja dan sebentar lagi menginjak usia dewasa.
"Makan siang sendiri lagi? ah lebih baik aku hidup di asrama saja nanti kalau masuk sekolah SMA," ucapnya pada diri sendiri.
"Ada Bibi yang nemenin kok, tenang ajalah!" seru wanita paruh baya itu. Umurnya tak jauh berbeda dari Elisa. Hanya terpaut 3 tahun lebih tua.
"Emangnya Bibi siapaku?" tanyanya malas.
Ia mengambil piringnya yang sudah berisi makanan dan pindah ke sofa didepan televisi. Ia menghilangkan kebosanan dengan cara makan sambil menonton film.
Selesai makan ia meletakkan piring diatas sofa dan berlalu pergi meninggalkan ruangan itu.
***
Hari sudah sore, ia mandi dan berganti baju setelah puas bermain game online kesukaannya. Bahkan, ia dan teman-temannya sering sekali main bareng dan mengumpulkan skin untuk game onlinenya.
"Dek Vino mana Bik?" tanya seorang remaja perempuan yang umurnya tidak jauh dari Ervin.
"Den Ervin ada di kamarnya Non. Non Jasmine mau minum apa?" tanyanya ramah.
"Buatin aja sirup rasa jeruk Bik!" pintanya.
"Baiklah Non, Bibi kedapur dulu ya!" ia kemudian meninggalkan Jasmine seorang diri.
"Udah sore masih dikamar, apa sih sebenarnya yang dia perbuat?" Mimi mulai melangkah ke kamar Ervin.
'Tok...tok....tok'
Tak ada sahutan dari penghuni kamar itu.
Ia tak sengaja mengecek pintu kamar dan membukanya.
"Ternyata gak dikunci," gumamnya pelan.
Mimi masuk tanpa permisi, ia melihat sekeliling kamar Ervin.
"Sudah berubah semenjak terakhir kali aku kemari," ia terkekeh geli mengingat kenangan bersama Ervin ketika mereka masih sekolah di Taman Kanak-kanak.
Klak....pintu kamar mandi terbuka.
Ervin hanya memakai handuk kecil yang melingkar di pinggang.
"Ngapain kamu kemari?" tanya Ervin kesal.
"Maaf...aku sudah mengetuk pintu tadi. Dan ternyata kamar kamu gak dikunci," gadis itu hanya menyengir tanpa rasa bersalah.
"Sebaiknya kamu keluar dari sini! ini kamar seorang pria," ucapnya sambil memakai baju yang sudah ia siapkan diatas ranjang.
"Aku ada perlu denganmu, aku tunggu diluar ya!" serunya bersemangat.
"Awas...." Ervin mendorong tubuh Jasmine kedalam pelukannya.
Ada pecahan kaca yang masih tersisa dan hampir diinjak oleh gadis itu. Jadi dia mendorongnya, tapi tanpa sengaja ia malah membawa gadis itu dalam pelukannya.
"Maafkan aku! aku tak sengaja!" mereka saling berpandangan lama.
Ervin melepaskan pelukannya dan salah tingkah. Berbeda dengan Mimi yang menyukainya.
"Dek Vino kamu kenapa sih tiba-tiba begitu?" keningnya berkerut. Ada rona merah tersembul dari kedua pipinya.
"Mimi...bisa gak sih kalau jangan panggil aku adek! kita ini hanya beda beberapa minggu saja umurnya. Dan aku bukan adekmu!" ia menepis tangan Mimi yang menempel di pundaknya.
"Non..." panggil sebuah suara.
"Iya Bik, aku datang!" Mimi meninggalkan Ervin sendirian di kamarnya.
Setelah memakai celana pendek dan parfum, ia keluar dari kamarnya untuk menemui Mimi.
"Kenapa kamu kemari? siapa yang mengantarmu kemari?" tanyanya bertubi-tubi.
Mereka duduk berduaan di sofa ruang tamu ditemani setoples cemilan dan minuman.
"Eum...begini lho Dek, eh maksud aku Vino...." ia ragu untuk mengatakannya.
"Katakan saja!"serunya.
"Sebenarnya aku di tembak oleh temanmu!" ia malu untuk mengatakannya.
"Terus..?" tanya Ervin.
"Aku malas dengan temanmu itu. Jadi aku mau kamu menjadi pacar boongan aku!" akhirnya Mimi bisa mengatakannya.
Ervin yang ingin minum jadi memuncratkan minumannya didepan wajah Mimi.
"Kamu gak salah?" tanyanya tak percaya.
Mimi hanya menggeleng kepalanya.
Ia mengusap wajahnya dengan tissue agar terbebas dari air sirup.
"Kalau begitu jawabanku...." ia menggantung ucapannya.
***
Selamat membaca.
Kali ini sekuel Supir untuk Sang Nyonya akan slow update karena belum kontrak 🤭✌️
Dan sepertinya akan ada banyak episode di novel kali ini. Jangan lupa untuk tetap mendukung karya author ya 🥰🥰🥰🙏.
"Kalau aku mau melakukannya apa yang akan kamu berikan padaku?" ia bertanya pada Mimi.
"Emmm, gimana kalau kamu sendiri yang pilih hadiahnya. Nanti aku penuhin permintaan kamu," ia tersenyum lebar. Senyum yang sangat manis sehingga lesung pipinya terlihat jelas. Tapi sayangnya, Ervin hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat.
Ervin memikirkan sesuatu, tersembul sebuah senyuman dari bibirnya. Ia mendekat dan berbisik pada Mimi.
"Apa? kamu bercanda ya Dek? eh Vino. Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya denganmu?" ia ragu akan permintaan Ervin.
"kalau gak mau ya sudah! pergi saja dari sini!" usirnya ketus.
"Tapi..." gadis muda itu tengah berpikir keras. Sebenarnya dia juga ingin melakukannya, akan tetapi mengingat Vino itu sahabat dekat yang disukai dan ia tak mau terpaksa melakukan itu.
"Aku akan melakukannya denganmu," akhirnya ia bersuara.
"Jangan sampai kamu bohong," ia tersenyum licik.
"Mulai besok kita harus bersikap mesra dihadapan teman-teman," serunya.
"Baiklah Mi, besok aku akan bekerjasama sampai hari kelulusan tiba." Ia sangat santai.
"Aku pulang dulu ya! jangan lupa besok aku tunggu di pagar sekolah," ia melangkah keluar rumah.
Ervin hanya mengangguk saja.
"Biiiikk...!" panggilnya.
Seorang wanita paruh baya menghampirinya.
"Pecahan botol parfum kemarin masih ada dikamar aku. Cepat bersihin lagi!" suruhnya pada asisten.
"Ada lagi gak Den?" tanyanya sebelum meninggalkan Tuan mudanya.
"Gak ada, aku mau ke Taman belakang rumah dulu!" ia beranjak dari kursinya dan berjalan menjauh dari asistennya.
Senja sudah hampir menghilangkan diri dari muka bumi. Ervin yang masih termenung di kursi taman hanya bisa tersenyum lebar mengingat hal yang dia bisikin pada Mimi.
"Lihat saja Mimi, aku sudah pasti menang taruhan sama mereka. Untunglah kamu kesini dan memintaku bersandiwara. Jadi aku tidak perlu repot-repot lagi," ia tertawa kencang.
Tap...tap.
Suara langkah kaki yang mendekat kearahnya tak terdengar ditelinganya. Ia menepuk pundak Ervin yang tengah tertawa lebar.
"Kamu kenapa nak? Mama takut kamu kesurupan. Hari sudah mulai gelap, ayo kita masuk!" ia mengusap rambut anaknya penuh kasih.
"Mama kapan datang? kalian selalu saja meninggalkan aku sendirian disini," kesalnya.
"Maaf...tadi ada urusan penting dengan Eyangmu. Mereka kangen banget lho sama kamu sayang," ia melihat wajah anaknya yang kesal.
"Siapa suruh gak pernah kemari?" gerutunya.
"Kok kamu bilang begitu? Eyangkan sudah sepuh, jadi mereka tidak bisa bepergian jauh." Ia mengingatkan anaknya.
"Tapi Ervin masih males mau kesana Mam," ucapnya ragu.
"Memangnya kenapa? Eyangmu sungguh kesepian. Mereka hanya hidup berdua saja dirumah itu. Bude kamu udah pindah sebulan yang lalu," ia bercerita.
"Hah... benarkah? asyikkk dong kalau begitu," ia melompat kegirangan.
"Kalau mereka sudah pergi Mama bisa ajak aku kerumah Eyang," ia sungguh girang.
Elisa tak tahu kenapa anaknya bisa mendadak bersemangat seperti sekarang ini. Tadinya ia sempat murung tapi berbeda dengan sekarang.
'Dia tidak menderita Bipolar disorder seperti artis itu kan?' batinnya bertanya-tanya dan khawatir.
"Ayo Mam kita masuk!" ia menggandeng lengan Mamanya.
Malik sudah menunggu mereka diruang keluarga. Ia menanyakan keberadaan Nissa.
"Mana kakakmu Vin? bukankah tadi menjemputmu sekolah?" ia memandang Ervin.
"Aku pikir kak Nissa pamit sama Papa. Tadi ia pergi kerumah temennya mas Rico," ia berbicara santai dengan papanya.
"Kenapa kamu gak ikut mereka?" tanyanya.
"Males Pa, lagian mereka itu mau belajar kok!" sahutnya.
"Aku pikir kamu masih nempel terus sama kakakmu itu. Inget gak pas kamu kecil kamu selalu ikut Nissa kemanapun," Malik terkekeh menerawang jauh di masa lalu.
"Ervin udah gede Pa, gak mungkin dong nempel sama kakak terus." Gerutunya.
"Ya sudah! bentar lagi Maghrib, kita siap-siap dulu wudhu dan langsung ke Mushola oke!" ajaknya pada anak dan istrinya.
Setelah selesai dengan ibadahnya, mereka dikejutkan oleh kedatangan Nissa yang lusuh. Sementara Rico belum kelihatan batang hidungnya.
Elisa setengah berlari menghampiri anaknya. Ia khawatir terjadi sesuatu padanya.
Kamu kenapa nak? kenapa bisa seperti ini?" tanyanya sambil memperhatikan seluruh badan Nissa.
"Hiks...hiks," ia terisak-isak.
"Kamu kenapa Nissa? apa kamu di...." Malik melotot tak percaya dengan pikirannya sendiri.
Nissa menangis kencang dan memeluk Mamanya.
"Mas Rico ngerjain aku sama temen-temennya Ma! mereka menggotongku dan melemparku ke kali didepan rumah temennya itu," Nissa masih terisak.
Malik dan Elisa bernafas lega karena anaknya tak kenapa-napa.
"Mana Rico sekarang? kenapa dia gak muncul?" Elisa geram.
Orang yang dibicarakan hanya terkekeh mendengar Nissa yang mengadu.
"Kayak anak kecil aja masih ngadu segala," gumamnya pelan.
Ia menunjukkan wajahnya pada Om dan Tante yang selama ini mengasuhnya sejak duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Maaf Nis...aku sengaja lho soalnya kan hari ini hari ultahmu," ia memberikan sebuah pelukan pada adik sepupunya.
"Benarkah? tanggal berapa ini?" Malik dan Elisa saling berpandangan. Mereka malah melupakan hari yang penting untuk Nissa.
"Tapi kan aku penampilannya jadi lecek kayak gini Mas," ia mencubit paha Rico dengan keras.
"Aduh ampun Dek," Rico dan Nissa malah berkejaran dan ia ingin membalas perlakuan sepupunya itu.
"Kalian udah kayak anak kecil deh," Ervin mencemooh mereka dan melangkah ke meja makan.
Malik dan Elisa berbincang dengan suara yang kecil. Mereka berdua merencanakan sesuatu yang spesial untuk Nissa.
"Boleh deh Mas, besok kita langsung berangkat!" ia tersenyum lebar melihat suaminya.
Nissa dan Rico masuk ke kamarnya masing-masing dan bersiap untuk mandi.
Sementara yang lainnya masih makan malam bersama.
Mereka sekeluarga berkumpul dan bercengkrama antara yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, berbeda dengan Ervin yang memilih masuk ke kamarnya. Ia memainkan smartphone ditangannya. Dengan lincah jarinya membalas satu persatu pesan yang masuk.
Senyumnya terkembang sempurna. Pikirannya tertuju pada taruhan yang ia buat bersama teman sekelasnya.
*Flashback
Ada enam orang berkumpul di sebuah bangku. Dua orang duduk sementara yang lainnya mengitari yang duduk. Ervin hanya menuruti kemauan temannya tanpa ia tahu maksud mereka berkumpul.
"Kalian tahu Jasmine? cewek blesteran itu cantik banget ya," ucap temannya.
"Ya tahu dong...dia itu sekelas dengan kami!" ia menunjuk dirinya dan Ervin.
"Enak dong kalian bisa cuci mata liat cewek cantik kayak Jasmine," matanya berbinar-binar.
Mereka hanya terkekeh geli, sementara Ervin tersenyum dengan senyuman yang dipaksakan.
'Syukurlah mereka gak tahu kalau aku dan Jasmine udah temenan dari kecil,' batinnya lega.
"Kenapa kamu Vin? kok aneh gitu sih wajahnya? apa jangan-jangan kamu juga suka sama Jasmine?" ia melotot melihat raut wajah Ervin yang tak bisa diartikan.
"Aku masih normal, jadi pastinya aku suka sama cewek cantik." Sahutnya terpaksa.
Sebuah ide terlintas dibenak salah satu dari mereka. Ia mulai membisiki temannya satu persatu.
Ketika Ervin tau maksudnya, dengan cepat ia menolak.
"Kalian gila banget sih sampe taruhan kayak gitu. Emang kalian mau kalau kalah taruhan kalian dipermalukan?" ia tak percaya dengan usul temannya yang lain.
"Kenapa tidak? apa jangan-jangan kamu memang menyerah dan takut kalah sebelum mencoba?" tanyanya lagi.
"Baiklah kalau aku kalah kalian bisa menambah satu hukuman untukku. Tapi kalau aku menang, kalian harus...." ia tersenyum licik sambil memandang wajah temannya bergantian.
*NB
Nissa: 22 tahun
Rico: 23
Ervin: 15
Jasmine: 15
Zeta: 18 (adik Rico)
Harap bersabar, ada sepuluh bab yang akan memamerkan kehidupan keluarga Ervin remaja.
Kemesraan Malik dan Elisa yang tidak pudar walaupun usia mereka sudah tidak muda lagi.
Jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak berupa like, komen, favorit, rate ⭐ 5 dan vote Mingguan gratis.
Bisa juga memberikan gift berupa mawar, love, kopi atau yang lainnya 🤭.
"Harus apa?" sahut temannya.
"Kalian harus melakukan satu tantangan tambahan dariku!" ia tertawa mengejek.
"Siapa takut... Jasmine pasti mau pacaran sama aku," teman di sampingnya percaya diri.
"Gak mungkin mau kalau sama kamu, dia itu pasti suka sama cowok ganteng kayak aku ini!" satunya menyahut.
"Gak usah berdebat! kita buktikan saja nanti!" mereka berpisah setelah bel masuk kelas berbunyi.
Tantangan yang disepakati hanya berlaku untuk seminggu kedepan.
*Flashback off
"Ha...ha, aku pasti menang dari kalian semua," ia tertawa terbahak-bahak di kamarnya.
Ia pun berbaring dan memejamkan netranya, sebuah senyuman masih terpampang jelas di wajahnya.
Malam telah larut dan semua anggota keluarga sudah masuk kedalam kamar masing-masing. Tapi, disebuah kamar masih nampak lampu menyala dengan terangnya.
"Beneran besok kita mau kasih kejutan buat Nissa? tapi apa kamu bisa bujuk Bapak dan Ibu untuk mau singgah dirumah ini?" tanyanya pada suami disamping.
"Semoga aja mereka mau, Nissa itu kan cucu kesayangan mereka. Lagipula sudah lama Nissa tak mengunjungi Eyangnya," ia tersenyum pada istrinya.
"Sekarang jatahku mana?" Malik mengedipkan sebelah matanya.
"Udah tua masih minta jatah!" ia melempar bantal pada suaminya.
"Masih pengen dapat jatah nih si dedek gemes yank!" ia merayu istrinya.
Mereka berdua saling berpandangan lama dan tersenyum penuh arti. Malam ini mereka habiskan untuk melepaskan gairah yang sudah berkobar di dalam diri.
****
Ervin menunggu kedatangan seseorang, ia duduk di batu bata besar yang tersusun rapi di sebelah pagar sekolah yang masih terbuka. Ada seorang gadis muda keluar dari mobilnya, ia melambaikan tangan pada Ervin.
"Korban sudah di lokasi," ia terkekeh geli melihat Mimi yang datang.
"Siapa yang nganterin? Om Evans sibuk ya?" tanyanya.
"Bukannya nanyain aku malah nanyain Daddy," gerutunya sebal pada Ervin.
"Maaf, aku kangen juga kok sama kamu!" ia tersenyum lebar.
"Kalau gitu kita masuknya barengan aja apa sambil gandengan?" tanya Mimi spontan.
"Kamu gak malu kalau gandengan sama aku? kamu ini cewek cantik lho," ia tak percaya dengan pendengarannya.
Mendengar ucapan Ervin yang menyebutnya cantik, ia merasa malu dan bahagia. Ia tak menyangka bahwa Ervin bisa berkata seperti itu. Ya, walaupun ia memang cantik karena keturunan darah campuran.
"Aku gak malu kok, tapi gandengannya sebentar aja!" ucapnya lagi.
"Baiklah kalau begitu, sinikan tanganmu!" ia meraih tangan Mimi.
Mereka berdua berjalan beriringan dengan bergandengan tangan dan menjadi pusat perhatian.
"Yang bener si Jasmine udah jadian sama Ervin?" mereka berbisik-bisik setelah pasangan itu melewatinya.
"Entahlah aku gak tahu! tapi mereka sampe gandengan tangan segala. Aku pikir memang jadian sih mereka," sahut lainnya.
Sampai dikelasnya Jasmine dan Ervin berpisah karena tempat duduk mereka berjauhan.
Teman-temannya yang mengajak taruhan sungguh teramat kaget karena ia sudah bisa menaklukkan hati Jasmine dan malah sudah berpacaran dengannya.
"Gila kamu Vin, sejak kapan kalian jadian? aku kalah taruhan deh," ia mengutuk dirinya sendiri.
"Sejak semalem," sahutnya santai.
"Yang lain udah pada tau gak tuh?" tanyanya.
"Mungkin mereka udah tahu," ia terkekeh geli melihat reaksi temannya yang kalah taruhan.
Bel masuk berbunyi, mereka pun sudah duduk dengan rapi di bangku masing-masing dan mengeluarkan buku pelajaran yang akan dipelajari hari ini.
***
"Mas, sepertinya kita harus pergi sekarang! mumpung Nissa hari ini kuliah pagi!" sarannya.
"Kalau begitu kamu siap-siap dulu! kita berangkat sekarang juga!" ia pun mengambil kunci mobil yang tergantung.
"Aku ambil tas dulu ya! aku gak mau nelpon Ibu biar jadi kejutan aja untuk mereka," ia tersenyum lebar.
Elisa berjalan masuk kedalam kamarnya. Suaminya hanya tersenyum melihatnya dan bangkit dari tempat duduknya. Ia memanaskan mesin mobil, supir pribadinya menawarkan diri untuk membantunya.
"Biarkan saya saja Bos yang mengantar!" ia menawarkan diri.
"Gak usah Pak! biar Bapak disini saja! kalau Ervin mau keluar Bapak bisa antar dia kemanapun." Sahutnya ramah.
"Tapi bukankah sudah menjadi pekerjaan saya Bos untuk mengantar Anda sekeluarga?" ia malah kebingungan.
"Sekarang biar aku yang menyetir, kami berangkat dulu ya Pak!" ia berpamitan pada supirnya ketika istrinya sudah masuk mobil.
"Hati-hati Bos," ia melambaikan tangannya.
"Baik bener punya Bos seperti itu, beruntung sekali saya!" ia tersenyum lebar.
Perjalanan kali ini tak butuh waktu lama, jalanan tergolong ramai lancar. Dua jam perjalanan barulah mereka sampai pada tempat tujuan.
"Lho, Om Malik kesini lagi?" Zeta tak percaya dengan pandangannya.
"Kenapa Ta?" tanya si Mbah disampingnya.
"Itu lho Mbah, Om Malik datang lagi mengunjungi si Mbah." Ia menunjuk pada mobil Malik yang sudah berada di halaman rumah.
Sumiyati yang sudah sangat sepuh memicingkan netranya, ia ingin memastikan perkataan cucunya.
"Iya, beneran Malik!" ia tersenyum cerah.
Setelah mengucapkan salam dan mencium punggung tangan ibunya yang sudah sepuh, mereka masuk kedalam rumah.
"Bu, Bapak kemana? masih aja mantau ladang ya?" tanyanya.
"Begitulah, Bapakmu kan gak pernah betah di rumah!" sahutnya.
"Kalau begitu panggilin Bapak ya Ta!!?" ia menyuruh keponakannya.
"Tunggu sebentar ya Om," Zeta keluar dari rumah dan mengendarai motor.
"Bu, ibu ikut kami ke kota ya?! kemarin Nissa ultah, akan tetapi kita tidak ingat dan belum bisa memberikannya kado yang spesial." Malik menunduk.
"Kalian sibuk sampai segitunya ya!! ultah anak sendiri malah lupa," rungut ibunya.
"Makanya kami kemari mau mengajak Ibu, Bapak dan Zeta agar menginap dirumah selama beberapa hari." Pintanya.
"Kita tunggu Bapakmu dulu! Ibu sih mau saja pergi karena Ibu sudah lama tidak bertemu Nissa. Kuliah itu sampai menghabiskan waktu ya! selama dua tahun dia tidak pernah kemari," ia sedih karena sudah lama tak bertemu dengan cucunya.
"Sebentar lagi Nissa lulus kuliah kok Bu, mungkin setelah itu barulah ia bermain dengan Eyangnya sampai puas." Elisa yang terdiam akhirnya bersuara.
Sugeng sudah masuk kedalam rumah dan menyapa anak beserta mantunya. Mereka berbincang sebentar dan bersiap-siap untuk ikut anaknya ke kota.
****
Ervin sudah pulang dari sekolahnya, ia tak melihat ada orang lain selain dirinya dan pembantu rumah.
"Selalu gak ada dirumah," ia kesal sampai-sampai membanting pintu kamarnya.
Ia melempar tas sekolahnya ke sembarang arah. Ia mandi dan berganti baju.
Criing.
Sebuah pesan singkat masuk.
"Kebetulan nih, boleh juga deh!" senyum mulai terukir diwajahnya yang tampan.
Ia mengambil smartphone dan menaruh dompet di kantong celananya. Dengan cepat ia masuk kedalam mobil dan menyuruh pak supir untuk pergi ke suatu tempat.
"Buruan Pak!! temen-temenku udah ada di sana," tegasnya.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka sampai disebuah lapangan basket yang besar.
"Vino...aku disini!" Jasmine melambaikan tangannya.
"Belum mulai kan battlenya?" tanya Ervin pada Mimi.
"Sebentar lagi, oh iya...ini temen deketku. Namanya Tania!" ia mengenalkan temannya pada Ervin.
"Kenapa tanganmu mendadak....
*
*
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!