...Diharap untuk membaca 7 episode awal, agar paham dengan alur ceritanya. Untuk visualisasi tokoh ada di bab 154 ya....
...Terima kasih....
Tangan hangat itu melingkar pada bagian pinggul gadis yang sangat menawan itu, mendadak membuat gadis itu terlihat sulit bernapas, karena tertekan oleh tubuh sang pria idaman.
Postur tubuh pria tampan ini yang cukup tinggi, membuatnya semakin kesulitan bernapas. Ditambah lagi, bibirnya yang selalu bisa mencari celah, agar bisa terus mencium bibir
gadis cantik itu.
Sekali lagi, pria itu berhasil mencium bibir gadis itu. Sesekali sang gadis kehilangan kendali atas dirinya, karna permainan dan sentuhan lembut sang pria, yang bisa membuatnya mabuk kepayang.
Entah apa yang gadis itu pikirkan.
Ia merasa dirinya sangat bergairah dibuat sang pria.
Dia memanglah gadis yang nakal. Namun, ia tak pernah merasakan sensasi yang begitu hangat dari seorang pria seperti ini.
Walaupun logikanya menolak, tapi perasaannya merasa nyaman, bila bersama si pria. Ditambah lagi perasaan aneh dalam dirinya yang terus bergejolak, memaksa untuk keluar dari dalam tubuhnya.
Pria itu terus menekan tubuhnya yang saat ini berada di atas tubuh gadis manis itu.
‘Seperti ada yang mengganjal,’ batin gadis malang itu.
Awalnya gadis itu terlihat sangat risih dengannya. Tapi semakin lama, semakin ia tak bisa menahan, dan malah terbawa oleh suasana.
Oh, Tuhan.
Entah apa yang akan terjadi setelah ini.
Gadis itu hanya terus memikirkan, hal yang sudah terlanjur terjadi saat ini.
Pria itu melepaskan ciumannya, dan menatap dalam setiap sisi yang ada pada gadis itu.
Ia kembali melanjutkan aksi panasnya, bersama dengan gadis yang selama ini ia impikan. Sepertinya, sang gadis juga sudah mulai terbiasa dengan permainan panas ini. Ia mulai mengikuti iramanya dan menghentikan perlawanan.
Pada saat yang tidak tepat, pria itu menghentikan aksi panasnya, dan memandang kembali gadis yang ternyata sudah sepenuhnya hilang kesadaran.
“Kenapa berhenti?” tanya sang gadis dengan perasaan kecewa, sambil menikmati sisa sentuhannya.
Pria itu melontarkan senyuman ke arahnya, seperti menatapnya dengan jahil. Dengan penuh kelembutan, sang pria memegang dagu gadis itu, membuat pandangan mereka bertemu dalam satu titik.
“Saya bisa memberi kamu lebih …,” ia mengulum pelan telinga gadis itu, membuatnya kembali merinding, “kalau kamu mau,” lanjutnya.
Gadis itu terlihat menelan salivanya. Seperti sudah tidak peduli apa pun lagi.
Wajah sang pria yang tampan itu, membuatnya semakin mabuk dan larut dalam gelora cinta yang hanya dia saja yang bisa merasakannya.
“Gimana?” tanyanya sang pria.
Gadis manis itu tidak mempedulikan apa pun lagi. Yang dia butuhkan, hanyalah pemuas birahinya saja saat ini.
Ia membaringkan tubuh gadis manis itu, di atas ranjang beralaskan sehelai sprei berwarna putih.
Larut dalam cinta satu malam yang menggairahkan, siapa yang tak mau?
Asalkan pria yang bersamanya itu tampan?
...***...
Seorang gadis manis bernama Arasha, berjalan menuju kelas yang sangat membosankan baginya. Tak ada hal lain yang paling membosankan, daripada harus duduk di bangku paling depan, kemudian mendengarkan dosen berbicara pelajaran, yang sama sekali tidak ia mengerti.
Terpaksa saja dia melakukan ini, demi hak pribadi yang ia miliki saat ini. Mobil, uang, dan segala yang ia miliki, adalah milik ibu dan ayahnya, yang sudah lama meninggalkannya. Semua harta peninggalan dari mereka, kini dikelola oleh kakaknya, yang bernama Arash.
Yah ... nasib anak bungsu memang selalu seperti ini.
Tragis.
Untuk mendapatkan itu semua, mau tidak mau dia harus menuruti perkataan kakaknya, dan tidak boleh sedikit pun bertentangan dengannya.
“Huft ....”
Percayalah, itu sangat menyiksa batinnya.
Namun, Ara berhasil bernegosiasi dengannya. Dengan perjalanan bantah-membantah yang panas, serta diskusi panas yang panjang, alhasil, ia tidak jadi dikirim ke Luar Negri.
Ah.
Yang ada di pikiran gadis manis berumur 18 tahun itu, kala itu hanyalah kebebasan.
Tapi, tak disangka, sebagai gantinya ia masih harus tetap melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas swasta di Ibukota, lalu setelah ia lulus, ia diminta kakaknya untuk membantu mengembangkan perusahaan keluarganya yang hampir jatuh saat ini.
Apa hubungannya dengan Arasha?
Dilihat lagi, Ara masih terlalu belia untuk mengemban tugas itu. Bahkan, ia masih belum mengerti, apa yang harusnya dilakukan untuk menangani beberapa masalah, ketika ada sesuatu yang urgent nantinya.
Baiklah. Lewati saja.
Arasha berjalan menuju kelasnya, yang masih belum ia ketahui itu. Hari pertama saja, sudah membuat kepalanya sakit, karena harus mencari kelas yang tidak ia ketahui keberadaannya.
“Ah ... nyusahin banget, sih!” bentaknya, sembari tetap mencari ruangan yang sesuai dengan kertas yang ia pegang.
“03 ... 02 ....”
Ara menghitung satu per satu kelas dari ujung, hingga akhirnya ia menemukan ruangan yang ia cari.
“01.”
Sesampainya di kelas, Ara duduk di kursi khusus yang sudah direncanakan kakaknya dan juga pihak yayasan. Ia sudah menitipkan Ara kepada yayasan. Jadi, Ara tidak bisa berkutik apapun selama kurang lebih empat tahun ke depan ini.
“Penderitaan, baru saja dimulai,” lirihnya, sembari meletakkan tasnya di atas meja.
“Selesai empat tahun, istirahat napas dulu.” Ara kembali bergumam.
Ya! Paling tidak, ia harus menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan gelar Magister, untuk bisa membantu kakaknya dalam menyanggah perusahaan yang hampir collaps itu. Dengan kata lain, butuh lebih dari empat tahun untuk bisa mendapatkan gelar tersebut.
Suasana kelas saat ini mulai ramai. Satu per satu mahasiswa sudah berdatangan, membuat kacau ruangan ini. Banyak dari mereka yang masih berbincang, bercanda, saling tukar nomor, ada yang melempar kertas ke sana ke mari.
Ya maklum saja, mereka baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Masa di mana mereka menghadapi puber, masa paling indah untuk mengenang cinta pertama.
Beruntung mereka sudah melewati tujuh hari orientasi di kampus ini. Masa-masa yang seram, bagi para mahasiswa baru.
Arasha hanya duduk sambil mencorat-coret buku catatannya saja. Tak ada yang bisa ia lakukan selain itu. Karena, tidak ada siapa pun yang mau berteman dengannya.
Ara sengaja memasang tampang jutek kepada mereka, agar ia terhindar dari status sosial yang dapat merugikannya kelak.
“Pesawatnya meluncur!” teriak seseorang sembari melempar pesawat kertas, yang sepertinya adalah hasil kreasinya sendiri.
“Pluk ....”
Pesawat kertas itu, tak sengaja mengenai mata seseorang, yang berada di belakang Ara.
“Ahh ...,” jeritnya sembari memegangi matanya yang terkena ujung pesawat kertas tersebut, membuat banyak orang berusaha untuk mendekatinya.
“Fla, loe gak apa-apa?” tanya mereka.
Mereka amat simpatik dengan gadis yang disebut bernama Fla.
Tunggu, siapa itu Fla?
Ah.
Tidak penting juga bagiku, pikir Ara.
“Haha kena ya? Sorry deh, gue gak sengaja sih,” ucap laki-laki itu dengan nada yang sedikit menyeleneh.
Banyak orang yang tak terima dengan sikap dan perlakuannya.
“Wey loe gak harusnya begitu, Bro!” teriak lantang orang yang membela Fla tadi.
“Loe mau apa?” nyelenehnya kembali.
“Apa loe? Loe pikir, gue takut sama loe?” tantangnya balik pada orang aneh itu.
“Siapa takut!”
Terjadi adu mulut antara dua laki-laki itu. Seseorang diketahui bernama Ray dan satunya lagi, bernama Rafael.
Sempat ada baku hantam antara keduanya. Namun, Ara sama sekali tidak tertarik dengan mereka semua. Ia hanya asyik dengan buku catatannya saja. Karena gadget-nya harus diserahkan kepada yayasan pada saat jam pembelajaran dimulai.
Mereka memulai aksi baku hantam di hadapan teman-teman sekelas lainnya. Saat salah satunya hendak memukul satu lainnya, seseorang datang dan menghadang tinjuan mautnya itu.
Apaan, sih? Seperti di film-film saja! Pikir Ara.
“Wah ... siapa tuh?” Salah satu mahasiswa menyeletuk demikian, membuat mahasiswa yang lain ikut melihat ke arah orang tersebut.
“Iya, gila keren banget.”
“Ganteng lagi.”
“Udah punya cewek belom, ya?”
“Ah, jadi melted gue!”
Sorak banyak wanita yang meleleh, karena aksi heroiknya yang agak telat, alias pahlawan kesiangan gitu deh.
‘Itu tuh geli banget, sumpah!’ batin Ara yang agak kesal melihat reaksi dari mereka yang terlalu berlebihan.
“Ada apa ini?” tanyanya dengan nada yang dingin.
Spontan para gadis di kelas ini, kecuali Arasha, meleleh seketika.
Mereka pun menyudahi pertengkaran tadi dan segera merapikan kemeja mereka yang berantakan, akibat ulah mereka sendiri.
“Tanya aja sama orang gak tau diri itu!” jawab Ray sinis, sembari menunjuk ke arah Rafa.
Rafa yang terlihat tak senang dengan sikapnya Ray, kemudian menarik kerah kemeja Ray, namun dihalangi oleh teman-teman yang lain.
“Eh, woy santai!”
“Iya bro santai!”
“Jangan asal baku hantam aja!”
“Pake aba-aba, bro!”
“Cukup!” pekik orang misterius tersebut.
Mereka sontak memandang wajah orang itu dengan penuh rasa heran.
“Kalian, ikut saya ke kantor Kaprodi,” tegasnya, kemudian segera keluar diikuti dengan Ray dan Rafa.
‘Sebenernya ini kampus apa SMA sih? Banyak bocah di sini’batin Ara lagi, yang mulai merasa risih dengan apa yang terjadi.
Mengapa mereka terlibat dalam masalah besar karena hal sepele seperti itu?
‘Gue sih gak mau! Buang-buang waktu gue aja!’
Ya! Sesuatu yang sama sekali tidak ada manfaatnya dalam hidup. Tidak bisa menghasilkan uang sedikit pun, malah mengeluarkan uang untuk biaya pengobatan, misalnya.
Dasar orang-orang idiot.
Arasha melihat gadis malang tadi, yang nampak seperti orang yang kesakitan. Lama-lama, Ara merasa menjadi iba dengannya.
“Loe gak papa?” tanya Ara kepadanya.
Ia hanya merasa kasihan dengan gadis malang itu. Jadi, dengan refleks, ia menanyakan saja keadaannya. Tapi, bukan berarti dia peduli dengannya.
Tidak sama sekali.
“Gue gak papa kok.”
Singkat, padat, jelas sekali jawaban yang ia lontarkan.
Arasha hanya membalasnya dengan anggukan kecil.
Ya, setidaknya tidak terjadi apa pun padanya, itu saja ... sudah membuat Ara merasa lega.
Tak lama kemudian, orang misterius itu pun datang kembali ke dalam kelas. Semua orang melihatnya dengan tatapan takut.
Respon Ara? Biasa saja sih.
Ia berdiri di hadapan semua mahasiswa, dengan lantang. Ara memandanginya dengan saksama.
‘Yaa paling enggak mukanya boleh lah, ya,’ batin Ara berkata demikian, karena ia sudah sangat terusik dengan sikapnya.
Apalagi kalau diingat kejadian tadi, membuat pandangannya menjadi pegal.
“Brrr ....” Arasha mendadak merinding.
Pandangan pria itu melihat ke seluruh sudut ruangan ini. Satu per satu ia pandangi secara bergantian. Tak terkecuali Ara.
Saat pandangannya berhenti pada Ara, Ara memandangnya kembali dengan pandangan yang datar. Ia hampir tidak mempedulikan keberadaan dosen itu.
Ara melipat kedua lengannya di hadapannya. Terlihat balasan yang tidak enak dipandang dari dosen itu. Ara lebih membuat dirinya tidak enak dipandang di hadapan pria itu.
“Ada masalah sama saya?” tanyanya dengan nada yang sangat dingin.
Kali ini, Ara benar-benar kepincut dengan pria tersebut. Entah kenapa, ada suara tak menentu di dalam hatinya. Entah apa itu yang jelas, Ara sangat tidak menyukainya.
Logika dan perasaannya diuji di sini. Perasaannya mengatakan, “anjay, keren sih!” tapi logikanya mengatakan “apaan si?! BASI tau gak!”
“Gak ada tuh,” jawab Ara dengan nada yang serupa dengannya.
Jelas ada wajah tidak senang yang sedang ia lontarkan kepada Ara. Ara tidak mempedulikannya, dan malah mengeluarkan MP-4 yang ia miliki.
Ara memakai headphone dan memutar lagu dengan sound yang lumayan keras. Pria itu masih memelototi Ara dengan tatapan mematikan. Ia kemudian mengeluarkan handphone-nya dan mulai menelepon seseorang.
“Halo ....”
“..........”
“Bisa ke ruang kelas 01TPLP001 sekarang pak?”
“.........................”
“Oke, maaf mengganggu.”
“...........................”
Ara terlihat tidak mempedulikannya sama sekali.
Ia mendekat ke arah telinga Ara dan berdiri di sebelah kirinya, “kamu lolos kali ini,” ucapnya secara tiba–tiba.
Ara merasa, ada yang aneh dari yang pria itu ucapkan tadi. Mengapa dia bersikap demikian? Padahal Ara sama sekali tidak mengenalnya.
‘Siapa dia? Anak baru di sini? Atau kakak senior?’ batin Ara merasa jengkel.
Ah ... sudahlah.
Pria itu pun pergi dari hadapan Ara, dan menuju ke meja untuk dosen.
Semua mata terkejut, tak terkecuali Ara.
Ia melipat kedua tangannya, sambil menekuk sebelah kakinya.
‘Ya Tuhan!’ batin Ara terkejut.
“Deg ....”
Ternyata, dia adalah dosen di kampus ini, pikir Ara.
Baru mulai kuliah saja, sudah ada masalah semacam ini.
“Maaf teman-teman semua. Di awal pertemuan kita, semua jadi seperti ini akibat ulah kawan kalian. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini,” ucapnya.
Semua mata tertuju padanya. Mungkin mereka tidak menyangka, bahwa manusia aneh semuda itu adalah dosen di universitas ini.
“Perkenalkan, nama saya Morgan. Walaupun beberapa dari kalian mungkin hampir seumuran dengan saya, tapi tolong hargai saya sebagai dosen di sini,” jelasnya.
Ara menyeleneh ketika mendengar omong kosongnya kali ini.
“Dasar gila hormat,” cetus Ara lirih.
Pria bernama Morgan itu, menoleh ke arah Ara, yang masih dengan tatapan dingin.
“Emm kamu ...,” tunjuk Morgan ke arah gadis manis ini.
Ara terkejut bukan main. Apakah Morgan akan mempermalukan Ara di hadapan teman–temannya?
“Tolong bantu saya membawa buku ke ruang dosen,” pinta Morgan.
Ara hanya diam tak mempedulikan ucapannya.
‘Apa–apaan dia. Nyuruh gue begitu, emangnya dia gak punya tangan apa?’ batin Ara yang mulai bergejolak.
Dengan sangat terpaksa, Ara maju ke depan dan membantu Morgan membawa buku yang lumayan banyak dan tebal.
“Jam kali ini disudahi dulu. Sekali lagi, mohon maaf atas ketidaknyamanannya,” Ucap Morgan.
Ara dan Morgan keluar meninggalkan kelas.
Sepanjang jalan menuju ruang dosen, Ara terus-menerus dibuat kesal oleh Morgan.
“Loe itu ya! Gak bisa, apa kelewat pinter, sih?” sinis Ara.
Morgan melirik ke arah Arasha.
Gayanya memang sudah di-setting untuk kaku seperti itu mungkin, ya? Pikir Ara.
"Hmpphh!"
Kesal sekali Ara dibuatnya.
“Sudah. Kamu tinggal ikutin kemauan saya saja,” tukas Morgan.
“Tapi loe bisa liat gak sih? Gua itu cewek, masa disuruh ngangkat beginian! Harusnya loe itu nyuruh yang lain!” bentak Ara, “lagian ... loe ngapain sih bawa gue ke sini? Ini kan bukan ruang dosen,” sambungnya, yang masih bingung dengan keadaan sekitar.
“Tset ....”
Ucapannya terpotong, karena Morgan tiba-tiba saja menarik pinggulnya untuk masuk ke ruangan yang ada di sudut paling kanan kampus.
Tubuhnya dipojokkan oleh Morgan. Tidak ada cukup ruang yang bisa membuatnya bergerak. Ara seakan terkunci dengannya.
“Apaan, nih?” tanya Ara sinis.
Ia berpikir, bagaimana caranya agar ia bisa lepas dari tubuh Morgan yang sudah menguncinya itu?
“Ah.”
“Bruk ....”
Ara sengaja menjatuhkan seluruh buku yang ia bawa, dengan harapan, bisa keluar dari Morgan yang mengunci tubuhnya itu.
Namun ternyata, itu hanya usaha yang sia–sia. Morgan semakin merapatkan ruang yang ada.
“Hah?” lirih Ara, yang merasa sangat takut.
Ara terkejut dan takut, saat Morgan mulai menatapnya dengan tatapan dingin.
“Apa sih yang loe mau?” tanya Ara dengan sedikit mengumpulkan keberaniannya.
Morgan terlihat tidak mempedulikan ucapannya.
Ara takut sekali, kalau saja Morgan menyakitinya karena sikapnya yang tidak baik sebelumnya.
Ara menelan salivanya sendiri. Lama-kelamaan, sedikit demi sedikit, Morgan mendekatkan wajahnya ke arah Arasha, dan berhenti tepat 5-cm di hadapannya.
“Kamu gak bisa lolos lagi sekarang.”
“Deg ....”
Hati Ara sangat tidak menentu kali ini.
Ia tidak mengerti dengan maksud dari ucapan Morgan yang baru saja ia katakan. Sepertinya, itu ada sangkut-pautnya dengan ucapan Morgan tadi, saat mereka berada di kelas.
“Apa maksudnya? Loe mau nyakitin gue, hah?” tanya Ara sinis, “nih tampol aja gue!” sambungnya, menantang Morgan.
Morgan terlihat mengambil jeda, dengan tidak menjawab ucapan Arasha. Tatapannya terlihat sangat marah. Mata Ara menangkap, Morgan yang melayangkan kepalan tangan ke arahnya.
Spontan, Ara langsung menutup matanya, karena khawatir dengan apa yang akan Morgan lakukan padanya.
“Bruk ....”
“Aws ...,” rintihnya lirih.
Ara membuka matanya dan menoleh ke arah Morgan.
Terlihat Morgan yang sedang memukul dinding yang berada di belakangnya, membuat ia sedikit khawatir dengan keadaan Morgan saat ini.
“Apa–apan sih loe? Kok nyakitin diri loe sendiri, sih?” pekik Ara khawatir, kemudian melihat ke arah tangan Morgan.
Ara menggenggam tangan kanan Morgan yang terluka, akibat sikapnya yang aneh itu. Tangan Morgan saat ini, sudah mulai mengeluarkan cairan kental. Ara agak khawatir dengan keadaan Morgan.
‘Halus,’ batin Ara sembari merasakan tangan Morgan, yang begitu halus seperti tangan wanita.
Ara tersadar dari lamunannya, dan segera mengeluarkan plester dari dalam sakunya, kemudian memakaikannya pada luka yang ada di tangan Morgan.
“Untung gue masih ada sisa satu di kantong,” ucap Ara yang masih dalam keadaan memasangkannya.
Rambut Ara menjuntai, menghalangi pandangan Morgan terhadapnya. Morgan pun langsung mengambil sikap untuk membenarkan rambutnya, membuat Ara terkejut.
Mendadak, pandangan mereka pun bertemu pada satu titik. Terjadi kesunyian di sini. Ara tak sengaja menatap Morgan, yang ternyata juga sedang menatap ke arahnya.
Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Tiba - tiba saja, Ara sangat mempedulikannya.
“Kamu ...,” ucap Morgan menggantung, yang membuat Ara menjadi penasaran.
‘Kenapa sih, dia selalu mengucapkan kata yang berulang-ulang, dengan nada yang berulang-ulang pula?’ batin Ara kesal.
Ah.
‘Gue benci dengan rasa penasaran ini.’
Morgan menatapnya dengan tatapan aneh, karena ia tidak tahu bagaimana caranya bersikap kepada anak kecil yang ia lihat ini.
“Kamu ....”
“Kamu ....”
'Kamu masih mengingat saya, tidak?' batin Morgan, yang tidak bisa mengatakan itu pada Ara.
Ara yang kesal, hanya bisa memandangi Morgan dengan tatapan datar.
“Kamu, kamu! Loe gagap, apa gak bisa ngomong?” pekik Ara sinis, karena melihat respon yang tidak enak dipandang dari Morgan.
“Sebenernya mau loe apa sih? Sumpah gue gak ngerti ya mau loe--”
“Cupppss ....”
Ucap Ara terpotong, karena Morgan yang tiba-tiba saja mengecup keningnya.
'Saya rindu kamu, Arasha,' batin Morgan yang kelepasan bersikap seperti itu pada orang yang sangat ia rindukan itu.
Entah sudah berapa lama Morgan tidak bertemu lagi dengannya. Tapi sepertinya, Ara sudah lupa dengan sosok Morgan dalam hidupnya.
Ara membelalak ke arahnya, entah apa yang Morgan pikirkan.
Kenapa tiba-tiba saja Morgan mengecup keningku? Pikir Ara.
‘Gawat! Apa muka gue sekarang, berubah jadi merah?’ batin Ara malu, yang berpikir kalau sampai benar wajahnya berubah menjadi merah tomat.
Kepala Ara mulai berat, dan tubuhnya mendadak merinding, menjadi dingin.
“Dengan sikap kamu saat di kelas tadi, saya gak pernah bisa benci sama kamu,” ucap Morgan dengan aneh.
Lagi-lagi Ara membelalak ke arahnya.
‘Apa maksudnya coba?’ batin Ara.
Ara sama sekali tidak mengerti dengan keadaan ini.
“Apa si mau loe?” tanya Ara dengan geram.
Morgan tersenyum pada Ara. Ara tahu, itu adalah senyuman palsu.
“Nanti juga kamu tahu,” gumam Morgan, seraya tersenyum.
Morgan langsung meninggalkan Arasha di sana, tanpa mengucap sepatah kata pun.
Sungguh aneh!
“Kenapa sih? Apa yang salah dari gue? Apa yang dia pengen dari gue sih? Kenal aja engga, malah begitu!” ucap Ara mendengus kesal.
Ara melihat semua buku yang berhamburan di lantai. Ia kemudian merapikannya, dan bergegas menuju ruang dosen untuk meletakkannya di sana.
Sesampainya di sana, Ara segera mencari ruang dosen yang dianggapnya idiot itu. Di sana, terlihat seseorang yang sedang sibuk memainkan laptopnya.
Tanpa pikir panjang, ia pun langsung mendekatinya.
“Permisi, Pak,” sapa Arasha dengan ramah.
Ia tersadar dan menoleh ke arah Arasha, lalu kemudian tersenyum, seraya membalas senyuman Ara.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan sangat ramah.
‘Gila, manis banget senyumannya,’ batin Ara yang dibuat melting olehnya, ‘apa semua dosen di sini, ganteng dan muda? Morgan ganteng, bapak ini juga ganteng,’ sambungnya, yang masih memikirkan hal yang tidak-tidak.
Ara tersadar dari pikirannya yang agak aneh tentang Morgan.
‘Kenapa gue malah mikirin gantengnya, sih?’
‘Eh tapi dia gila hormat juga gak, kayak si idiot itu?’ batinnya yang sebelah menyahut karena masih keheranan.
Dosen itu melihat wajah Ara dengan penuh rasa heran.
“Emm ... hey?” pekiknya, membuat Ara tersadar dari lamunannya.
Ara merasa sangat malu dengannya.
Ara merapikan rambutnya dengan sangat tergesa. Dosen itu yang melihat sikap aneh Ara, hanya tertawa kecil.
“Menurut ilmu psikologi, orang yang merapikan rambut di depan orang lain secara terang-terangan, itu tandanya dia suka kepada orang tersebut,” gumamnya menjelaskan, seperti sedang mengajak Ara bercanda.
Jantungnya terpacu, karena mendengar pernyataan aneh dari pria asing ini.
“Apa sih? Aku biasa aja tuh,” jawabku dengan nada yang salah tingkah.
Ia menertawakan Ara dengan sangat renyah.
“Gak, bercanda kok ...” lirihnya, Ara hanya terdiam, “eh tapi serius, lho,” lanjutnya, membuat Ara merasa keheranan.
“Kok bapak bisa tau?” tanyaku.
Lagi - lagi ia tertawa kecil.
“Saya kan ... dosen psikolog,” jawabnya dengan nada angkuh, membuat Ara menyipitkan mata ke arahnya.
Ara sangat tidak suka dengan nada bicaranya itu. Ara hanya menyeringai dan melontarkan tawa paksa.
“Ada apa ini?” tanya seseorang dengan tiba-tiba.
Ara menoleh ke arah sumber suara.
‘Yah dia lagi,’ batin Ara yang merasa kesal.
Morgan yang baru datang, langsung mendekati Ara dan dosen itu.
“Emm maaf Pak Morgan, saya cuma lagi bercanda sama salah satu mahasiswi baru di sini,” jawabnya.
Terlihat tatapan yang tidak senang dari seorang Morgan. Dosen itu terlihat sedang memperhatikan Morgan.
“Mmm ... sepertinya, Pak Morgan ini tidak senang ya dengan hal ini? Saya mohon maaf apabila menyinggung dan lancang,” ucapnya.
Morgan terlihat tak menghiraukan itu. Ia langsung menoleh ke arah Arasha, dengan tetap pada sikapnya yang dingin.
“Meja saya tuh di sana,” gumam tegas Morgan, sembari menunjuk ke arah ruangannya.
Ara mengerenyitkan dahinya.
“Ya mana gue--” Ara seketika menghentikan ucapannya, karena melihat ke arah dosen itu, kemudian melihat kembali ke arah Morgan.
“Ya mana saya tahu kalau ruangan Pak Morgan di sana? Saya mahasiswa baru di sini,” tegas Ara balik.
Morgan mendecak, sembari menggelengkan kecil kepalanya.
“Nih bukunya!” ucap Ara kesal.
Ara memberikan semua buku yang ia bawa kepada Morgan.
“Lain kali, jangan suruh saya untuk ngangkat buku lagi ya pak,” ucap Ara kepada Morgan, kemudian dengan segera ia meninggalkan mereka dan segera menuju ke ruang kelasnya.
Ara berjalan menyusuri koridor, dengan perasaan yang kesal.
“Apa-apaan dia? Bisa-bisanya dia nyium gue, trus bersikap seolah-olah kalau dia tuh pacar gue, yang kalau gue bercanda sama orang lain, trus dia marah? Gue ini jomblo, dan gue free! Gue gak suka dikekang kayak gitu!” Ara sangat kesal dan geram dengan kelakuan Morgan yang menjijikan itu.
“AWASS BOLA!!” teriak seseorang dengan sangat keras.
‘Ah, bola?’ batin Ara yang lambat dalam berpikir.
Tanpa berpikir panjang lagi, Ara menunduk dan melindungi kepalanya dengan kedua tangannya.
“Bruk ....”
Terdengar suara benda jatuh yang seperti sedang menabrak sesuatu.
“Hey ....” pekik seseorang yang menghampiri Ara.
Ia merangkul tubuh Ara yang lemas, karena kehilangan tenaga.
‘Apa-apaan ini? Seperti ini aja, gue gak bisa rasain tubuh gue lagi. Masa sih, gue beneran jantungan?’ batin Ara.
“Gak apa-apa, udah gak ada kok yang bisa nyakitin loe,” gumam seseorang yang melindungi Ara, membuatnya sedikit tenang.
Ara pun bangkit, dan melepaskan tangannya dari wajahnya.
“Yang tadi i-itu apa?” Ara bertanya, masih dengan nada yang gugup.
Ara pasti sangat terkejut dengan hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba. Pria itu terlihat melontarkan senyum ke arah Arasha.
“Udah gak ada lagi yang bisa nyakitin loe kok. Itu tadi bola basket, hampir kena kepala loe,” jelasnya, tapi Ara hanya mengangguk kecil.
“Makasih.”
“Iya sama-sama.” jawabnya.
Ara melihat pundaknya yang masih pria itu pegang. Sikapnya itu membuat pria asing itu tersadar dan melepaskan rangkulannya.
Ara terlihat mendadak menjadi salah tingkah.
Untuk ketiga kalinya, Ara melihat ada pangeran di universitas ini. Entah mengapa keberuntungan berpihak pada Ara hari ini. Walaupun, seimbang dengan kesialan yang ia alami.
Suasana menjadi sangat canggung di sini.
“Oh sorry, gue gak sengaja,” ucapnya yang berusaha mencairkan suasana.
Ara menyeringai dan mengangguk kecil padanya.
“Okey. Gue pamit dulu ya,” ucap Ara, yang sepertinya tak dihiraukan olehnya.
“Bisma,” gumamnya, sambil menyodorkan tangan ke arah Arasha.
Ara melihat ke arah tangan kecilnya itu.
Lucu.
Seperti tangan wanita.
Ara pun menjabat tangannya.
“Tset ....”
Morgan yang baru saja datang, tiba-tiba saja menyambar tangan Bisma dengan cepat.
“Morgan,” ucapnya berkata demikian.
Ara sangat kesal. Kenapa Morgan selalu saja muncul di saat yang tidak tepat?
Ara sedang beruntung bertemu dengan beberapa pria tampan pada hari ini. Tapi kenapa selalu ada Morgan?
Apa Morgan sengaja membuntuti **a**ku? Aku sama sekali tidak mengerti apa maunya, pikir Ara.
“Loe lagi aja,” gumam Ara dengan nada malas.
Morgan melepaskan tangannya itu dari tangan Bisma.
“Makasih ya, sudah nolongin PACAR saya.” Tukas Morgan, dengan menekankan kata pacar.
Bisma terkekeh renyah mendengar ucapannya itu.
“Hah? Pacar?” kaget Ara.
Morgan tersenyum manis kepada Ara, tentunya hanya di depan Bisma.
Ara terus-menerus mendumel di belakang Morgan. Kenapa Morgan menyebut Ara sebagai pacarnya?
Hey!
Mereka baru saja bertemu, tidak lebih dari tiga jam yang lalu.
Apa secepat itu?
Ara belum tahu, siapa Morgan sebenarnya, dan Morgan dengan entengnya mengatakan kalau Ara adalah pacarnya?
“Huft ....”
Sudahlah.
“Oh, dia itu pacar loe yaa? Okey deh,” ucap Bisma dengan singkat, kemudian, Bisma melangkah maju bersampingan dengan Morgan, dan berhenti tepat di sebelah Morgan.
“Jaga baik-baik cewek loe ...,” lirih Bisma, sembari tersenyum licik.
Morgan masih dengan sikapnya yang dingin dan datar, tidak menunjukan ekspresi apa pun.
Sebenarnya Morgan itu manusia atau robot, sih? Tak ada sedikit pun ekspresi di wajahnya, pikir Ara.
Hanya datar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!