NovelToon NovelToon

Memori Maret

PROLOG

Malam itu, bulan bersinar terang namun perlahan awan datang menutupinya. Seakan tidak mengijinkan untuk meneranginya dalam kegelapan. Mar mempercepat langkahnya. Pikirannya terus terbayang akan sosok itu, sosok yang setiap saat muncul dihadapannya, warna bola matanya coklat, bentuk wajah tegas, terkadang bibir itu membentuk senyuman hangat. Kehadirannya selalu mendapat perhatian orang.

Beberapa barang yang berada di tangannya terlepas dari genggamannya. Barangnya terjatuh ke lantai sehingga menimbulkan suara yang kini pasang mata melihat ke . Dan tangan itu perlahan terulur padanya, hari itu bujkan lagi pertemuan pertamanya.

Para gadis bersama dengan orang tua membentuk kerumunan, seseorang diantaranya antusias membahas sosok yang memang saat itu tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan atas. Dari balik kain yang menggantung, ia diam-diam mendengarnya.

Semuanya berlalu dengan cepat, sampai pada hari yang di nanti oleh kebanyakan orang. Mereka dengan bersemangat membawa putri-putri mereka, memperebutkan hati sosok yang dipuja-puja. Setelah puas mengintip dari kejauhan, ia berbalik ke belakang dan ketidaksengajaan itu mempertemukannya dengan seseorang. Sorot matanya terpaku pada warna bola mata dihadapannya, lalu beralih ke bibirnya. Bibir itu bergerak-gerak seperti sedang merangkai kata per kata, ia kemudian mengangkat kepalanya, kembali memandang mata itu hingga sebuah suara menyadarkannya, " Dimana kamu menemukannya?? "

Ia mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang sebenarnya dimaksudkan pria itu.

Tangan pria itu mengarah ke atas kepalanya, " Benda itu, maksudku jepit itu.. dimana kamu menemukannya?? "

Pertemuannya dengan pria itu telah berlalu, hingga sampai saat ini ia tidak tau siapa identitas pria itu.

Hari berlalu begitu cepat, tidak begitu banyak yang diingatnya seperti kapan terakhir kali ia bercanda bersama dengan keluarganya, menjahili adiknya. Ia tersenyum senang membayangkannya. Selangkah lagi sampai didepan rumah, ia menghentikan langkahnya. Sorot matanya kosong, tampilan yang terpampang jelas dimatanya, wajah-wajah itu diam tak bergerak di atas tongkat yang tertancap di halaman depan rumah. Ia jatuh terduduk lemas di tanah, matanya berkaca-kaca. Masih tidak percaya melihat orang-orang yang selama ini dikenalnya berada di atas sana, wajah berlumuran darah, sorot matanya nampak kesakitan, dan bibir yang kaku itu kini hanya menyisakan kenangan.

Ia menjerit dalam hati, merasa sangat menyesal tidak bisa melakukan apapun. Tubuhnya membungkuk memberi penghormatan sekaligus salam perpisahan untuk yang terakhir kalinya. Ia memejamkan matanya sambil berdoa mimpi buruk ini akan segera selesai, kini apa lagi yang bisa diharapkan, tidak ada apapun disini.

Ia menangis sekencang-kencangnya, mengeluarkan segala emosinya yang tidak bisa lagi diungkapkan lewat kata-kata. Ia memegang dadanya yang semakin sakit, segala hal di hari itu sangat menyakitkan. Kedua matanya terbuka, ia menguatkan sanggahan tangannya untuk berdiri, tapi sesuatu mengalihkan perhatiannya. Matanya terpaku pada sepasang kaki didepannya. Ia menengadahkan kepala, sorot mata tajam dan warna bola mata se-biru lautan itu menatapnya intens.

Dia membungkuk, mensejajarkan tubuhnya dengannya sambil berbisik,

" Satu pertanyaan untukmu, apa sekarang kamu memilihku? "

Jantungnya semakin berdegup kencang, nafasnya pun tersengal-sengal, ia memperlambat langkahnya, sekarang tubuhnya sudah tidak ada tenaga lagi untuk berlari. Salah satu kakinya tersandung ranting membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Ia meringis kesakitan, dari arah belakangnya seseorang berteriak kencang, " Kamu dimana?? "

Ia menutup mulutnya, menahan perihnya luka goresan yang berada di kakinya. Tangannya mendadak gemetaran.

" Aku tau kamu akan memilihku " suara itu semakin mendekat.

Kalimat itu terasa seperti pernah didengarnya, entah dimana ia mendengar kalimat itu seperti suaranya terdengar sama. Tiba-tiba rambutnya ditarik ke belakang, pria itu terkekeh,

" Hehehe.. Aku menemukanmu. "

Suatu hari

Setiap pagi Mar bersama dengan ayahnya pergi berbelanja ke pasar, kemudian sepulang dari belanja ibunya memasak dan berikutnya mereka makan bersama. Setelah itu dia bersiap-siap pergi menuju ke kedai Bunga. Tiba-tiba seseorang merangkulnya dari belakang, Mar langsung menoleh.

Andrew diam-diam menatap matanya lalu berkata. "Mau Aku temani? " tawarnya.

"Boleh. Ohh ya kak, hari ini Aku ada janji sama temanku." ucapnya sambil memakai jaket lalu mengambil tasnya di kursi. "Apa aku boleh keluar?"

"Hari ini tapi jam berapa kamu mau keluar?"

"Sepertinya nanti malam,"

"Pergi kemana?"

"Rencananya mau pergi ke toko buku," Setelah mengambil tongkat, Mar membuka pintu lalu melenggang keluar dari rumah. Selesai memakai sepatu, Andrew segera keluar dan mengunci pintu rumah sebelum kemudian menyusul Mar.

Andrew tersadar, dia berkata "Wah.. kelihatannya hari ini Aku kurang beruntung. Oke tidak apa-apa, ayo berangkat bersama." Mar tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

Mar merasa ada yang aneh dengan kakaknya, ia bertanya, "Apa ada masalah? kakak bisa mengatakannya langsung padaku."

"Darimana kamu dapat kalung ini?" Andrew menaruh kalung itu di telapak tangannya.

"Dari temanku." Mar meraba kalung itu sambil tersenyum, ia berkata "Aku merasa tidak pantas mendapatkan kalung ini, dia berkata kalung ini peninggalan seseorang yang dicintainya, karena wajahku mengingatkannya pada sosok itu jadi dia memberikannya padaku. Tapi tetap saja Aku tidak pantas memiliki ini, jadi akan Aku kembalikan padanya."

...🌬️🌬️🌬️🌬️🌬️...

Sesampai di kafe Bunga, ia disambut oleh temannya yang bernama Ana. Pagi ini Ana membantunya menyiapkan peralatan makanan, gelas-gelas, membersihkan meja dan mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan nanti.

Suara bel pintu berbunyi, Mar menyambutnya didepan dengan senyuman hangat, " Selamat datang, silahkan masuk dan selamat menikmati hidangan yang tersedia disini. "

"Terima kasih." pelanggan itu mendekatinya lalu berkata "Bisakah Anda mengantar Saya ke meja Saya?"

"Dengan senang hati, Saya akan mengantar Anda. Maaf sebelumnya apa Anda sudah melakukan reservasi?" tanyanya.

"Hei! berhentilah menggodanya, kamu tidak bisa melihat ya? wanita itu..." bisik salah seorang diantara pelanggan itu, Mar mendengarnya.

Beberapa pelanggan yang baru datang ke kafe, tidak sedikit dari mereka membicarakannya, mungkin mereka merasa iba, kasihan padanya dan terkadang ada juga yang merendahkannya. Mar tidak begitu mempermasalahkannya sampai saat ini, meski disaat dirinya memikirkannya itu hanya membuatnya merasa tidak percaya diri.

Ana terkejut kemudian dia melihat Mar yang terlihat cukup gugup untuk mengantar pelanggan ke meja. Ana segera mendekati mereka, dia menyenggol bahunya "Aku saja yang mengantarnya Mar," bisiknya.

Ana menyapa dengan ramah. "Halo selamat datang di kedai kami, adakah yang bisa Saya bantu?"

Pria tadi kembali bersuara, kali ini nada suaranya terdengar mengesalkan. "Saya ingin Nona ini mengantar Saya ke meja Saya," Tangan pria itu mencengkeram lengannya. Cengkeramannya kemudian mengendur setelah ada gesekan ringan menyentuh kulitnya, Mar merasa kehadiran di belakangnya.

Ana membalas dengan sopan. "Mohon maaf, Saya yang akan mengantar Bapak."

"Bolehkah Anda saja Nona?" Pelanggan ini melihat Mar yang masih menundukkan wajahnya.

Mar mengangguk, berkata. "Baik Pak. Mari Saya antar ke meja."

"Silahkan duduk."

Mar semakin merasa ada yang aneh, tapi dia tetap menuruti kemauan pelanggannya. Ana melihatnya dari kejauhan, dia mengawasi tingkah laku pelanggannya yang terlihat mencurigakan.

"Mar, sudah lama sekali ayah tidak melihatmu. Ayah sangat merindukanmu, maukah kamu tinggal bersama ayah? " kata pria ini yang tidak lain adalah ayahnya Mar. Mar mulai mencerna perkataan orang asing yang mengaku sebagai ayah kandungnya, dia menjawab pertanyaannya dengan tenang.

"Saya belum pernah bertemu dengan ayah kandung saya sebelumnya, tapi bagaimana seharusnya saya berharap, bahkan setelah saya dibuang begitu saja olehnya, apakah selayaknya saya bersedia bertemu dengannya terlebih lagi tinggal bersamanya?"

Pria mengaku ayahnya berhasil menusukkan pisau ke luka yang sudah lama tertutup kini menjadi terbuka lebar lagi. Hatinya berdarah, namun sebisa mungkin Mar meneguhkan dirinya. "Atau saya lebih baik menolaknya karena dia sebagai orang tua yang tidak memiliki moral membuang anak kecil yang tidak memiliki dosa. Bagaimana jika itu terjadi pada diri anda? apakah anda bisa memberikannya kesempatan, bahkan harapan padanya?"

Mar mengepalkan tangan menahan jeritan jiwanya. Air matanya terlanjur menumpuk di kantong mata yang siap meluncur deras kapan saja. Untuk apa ia menangis? Apa gunanya menangisi orang seperti dia?

Pria yang mengaku sebagai ayahnya memandanginya. "Saya merasa sangat bersalah saya menyesal, tak seharusnya saya memberikan anda kepada orang asing. Saat itu saya tidak tau apakah keluarga kecil kita bisa bertahan hidup, terlebih setelah ibu anda melahirkan anda, buruknya saya tidak tau bagaimana cara memberi makanan yang sehat untuk anda dan juga untuk ibu anda," dia melihat Mar, kemudian berkata "Saat itu saya berpikir bagaimana anda dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika anda bersama dengan saya, dan akhirnya saya tidak punya pilihan lain selain menitipkan anda pada orang lain."

"Bagaimana dengan ibuku? saya bertanya-tanya jika anda benar ayah saya, anda pasti tau dimana ibu saya," Mar menghela nafas panjang sebelum ia kembali bertanya "Apakah anda berpikir anda pantas mendapat pengampunan dari saya?"

"Lagipula saya gadis buta sekarang, jadi saya pikir anda tidak perlu lagi menganggap saya sebagai anak anda."

Mar merasa hatinya sangat terluka, tapi sekarang ia telah memutuskannya. Mar memalingkan wajah, meski dirinya tidak bisa melihat tapi ia bisa merasakan kehadiran orang lain, dan kehadiran orang ini rasanya memuakkan. Mar mendengar suara langkah kaki dari arah belakang, ia bangun dari kursi,

"Maaf, jika tidak ada lagi yang ingin anda katakan pada saya, silahkan keluar dan terima kasih untuk pengakuannya," ucapnya tegas, lalu pergi meninggalkan orang itu.

Ana mendekati Mar, dia berkata. "Apa kamu baik-baik saja?"

Mar melewati Ana, sesaat ia terdiam lalu berbalik menghadapnya. "Aku baik-baik saja, " ucapnya sambil tersenyum.

Bosnya mendekati mereka berdua, dia melihat wajahnya Mar pucat. "Mar? Kamu baik-baik saja?"

Ana berdehem, dia menggerakkan kedua matanya, memberi sebuah kode pada Fera. Fera mengerti dan dia tidak menanyakannya lagi.

"Fera bolehkah aku pulang? Aku merasa tidak enak badan," ucapnya.

Ana berbisik pada Fera "Dia baru saja bertemu dengan ayah kandungnya, kurasa dia sangat terkejut dan kesal. Biarkan dia pulang lebih awal," Mar mendengarnya.

Fera mengangguk paham. "Baiklah, ambilah cuti mu selama 2 hari atau hingga kamu merasa lebih baik lagi."

"Terima kasih Fera," Mar memeluknya erat.

Ana berteriak, dia merasa tidak diperlakukan seperti dirinya "Itu sangat tidak adil!! saat itu kau tidak memberiku cuti padahal di hari itu adalah hari kematian temanku."

Fera mengancam "Kamu mau aku pecat?!"

Ana terus menjawab setiap perkataannya Fera, mereka saling membalas tanpa henti, Mar tersenyum mendengar diantara keduanya tidak ada yang mau mengalah. "Lihat, sangat kekanak-kanakan sekali," ejek Fera.

Di seberang jalan tidak jauh dari kafe, kedua pasang mata mengawasi mereka dari dalam mobil, salah satunya mengarah pada Mar, "Dia sangat baik, dan ramah. Aku merasa lebih baik setiap melihatnya, Aku sangat bersyukur dia menjadi adikku," ucapnya.

Orang disampingnya menoleh, "Bagaimana jika dia menghilang darimu?"

Matanya terus memandang Mar, "Jika dia menghilang.. aku masih menerimanya tapi.." wajahnya berubah dingin, " jika itu pengkhianatan, aku sangat membenci itu, " dia menyalakan mesin mobilnya, lalu melihat ke kaca spion.

Orang disampingnya mengangguk, dan ban mobil hitam itu perlahan melaju.

Suatu hari

Mar duduk di pinggir kolam renang, ia memejamkan mata. Semilir angin meniup beberapa helai rambutnya hingga menyapu pipi dan matanya, sensasinya terasa menggelitik. Mar mengambil nafas panjang, ia senang menikmati aroma di sore hari. Andrew mendekat lalu duduk di sampingnya, dia mengelus rambutnya, " Merasa lebih baik? " Mar menoleh, ia mengangguk

" Ya.. lebih baik dari sebelumnya " ucapnya.

Mar kembali terdiam.

" Tenang kemudian pikirkan baik-baik dan putuskan dengan hati-hati, " Andrew meraih tangannya lalu menggenggamnya erat " jika ada yang mengganjal di hatimu katakan saja padaku, apapun itu aku akan mendengarkannya. "

Andrew terkekeh, " Aku kakak yang baik bukan? aku bahkan mau menjadi teman curhat adikku tercinta. "

Kedua kakinya menendang-nendang, Mar mengangkat kedua bahunya " Nah.. apa ya? "

Mar berhenti menggerakkan kakinya, ia mengangkat kepalanya menghadap ke langit, " Aku merasa kakak tidak pernah mendengar curhatan ku, " lalu melirik " jadi bukannya kalimat itu terkesan mengada-ada ya? " ucapnya.

Mar merasakan beban di bagian belakang kepalanya, Andrew mengapit kepalanya dengan kencang " Kamu meragukan kakakmu ini ya?? awas ya, lain kali aku tidak mau mendengar curhatan mu lagi " ucap Andrew.

Mar merasa ada seseorang yang sedang mengawasi mereka, ia bertanya pada Andrew, " Apakah ada seseorang selain kita disini? "

Andrew melihat ke belakang, lalu berbalik memandangnya, " Tidak ada siapapun, " ucapnya.

" hanya ada aku dan kamu, " Andrew menatapnya lekat lalu tangannya bergerak menyentuh keningnya, Mar menoleh,

" Kenapa?? " tanyanya.

" Aku hanya khawatir. "

Mar menyentuh tangan Andrew lalu menyingkirkan tangannya dari keningnya.

" Pfttt hahaha " suara tawa Andrew mengagetkannya.

Mar memajukan bibirnya, " Lucu ya?! "

Andrew mengacak rambutnya, " Maaf maaf, jangan marah. Aku hanya bercanda, " ucapnya.

Mar memalingkan wajahnya dan Andrew terus menerus membujuknya tapi ia tetap masih kesal.

Andrew menyentuh kepalanya, " Aku masuk dulu ya, jangan lama-lama diluar nanti kamu bisa masuk angin " Mar hanya mengangguk, lalu Andrew masuk ke dalam rumah.

Malam harinya bulan purnama bersinar terang, bintang-bintang pun bertebaran menghiasi langit. Angin diluar berhembus kencang menerpa jendela sehingga menimbulkan suara. Sebelum tidur Mar selalu menulis kesehariannya di dalam buku diary miliknya tentang perasaannya, apa yang ingin ia lakukan dan apa yang diimpikannya. Mar berhenti menulis, ia bangun dari kursi lalu menuju ke jendela. Memiliki mata mungkin rasanya akan sangat menyenangkan, terlebih lagi bisa melihat alam dan angkasa. Mar menggelengkan kepalanya, jauh dalam hatinya meski dirinya tidak bisa melihat tapi Mar bersyukur memiliki Andrew di sisinya dan teman kerjanya, Lusi dan Fera.

Mar membuka jendela kamarnya lalu menghirup udara segar. Mar bertanya-tanya bagaimana pemandangan malam ini, pasti sangat indah, gumamnya. Kini perasaannya jauh lebih tenang, ia merasa bersemangat untuk kembali bekerja besok. Mar memejamkan matanya sambil menikmati hembusan angin yang menyentuh wajahnya.

Keesokan harinya Mar kembali bekerja, ia mendapat shift sore bersama dengan Lusi. Jarum jam terus berdetak sampai tidak terasa hari sudah menggelap, Mar mendengar suara langkah tergesa-gesa dari arah belakangnya,

" Mar, sudah selesai? "

Mar menoleh, " Sudah selesai semua, ini aku hanya tinggal merapikannya sedikit. "

" Aku sudah ditunggu di depan, mau pulang bareng?? " tawar temannya.

Mar menggelengkan kepala, " Terima kasih, aku akan pulang setelah menyelesaikan ini " tolaknya halus.

" Baiklah, hati-hati dijalan ya. "

" Kamu juga " ucapnya. Setelah kepergian temannya, suasana di kafe menjadi sangat sunyi. Tidak ada siapapun selain dirinya. Mar bergegas mengambil tas dan jaketnya di gantungan.

" Kriiit.. "

Mar memutar tubuhnya, " Maaf, tapi kami sedang tidak melayani pembeli. "

Awalnya suara ketukan sepatu itu terdengar samar-samar lalu lama kelamaan menjadi jelas dan semakin dekat. Mar terus melangkah mundur sampai punggungnya menabrak dinding. Mar dengan awas mencari benda keras di samping, jika terdesak ia akan melakukan perlawanan.

" Ohh maaf aku mengganggumu, " ucapnya.

Mar berlari ke pintu tapi sosok itu menghadangnya.

" Tolong tetaplah disini, aku butuh seseorang yang tepat sekarang dan aku hampir lupa siapa namamu? "

Perlahan tangan Mar masuk ke dalam kantung jaket, lalu mengeluarkan tongkatnya. Mar selalu diingatkan oleh Andrew, jika suatu saat bertemu dengan orang asing ia harus membawa alat perlindungan. Selain tongkat, tak lupa Mar membawa spray cabai. Orang dihadapannya tiba-tiba tertawa, Mar mencium aroma alkohol, " Tidak salah lagi orang ini pasti mabuk " pikirnya. Mar mundur selangkah kebelakang tapi tangan orang itu meraih tangannya.

" Aku Hagar, dan aku tinggal di samping rumahmu jadi kamu tau maksudku, kita bertetangga. Aku pikir kita harus saling mengenal karena rumah kita bersebelahan, " orang itu berbisik. Mar mencoba tenang dan berpikir. Tangannya kembali masuk ke dalam kantung jaket.

" Mar! "

Mar merasa tidak asing dengan suara barusan, ia bertanya dengan ragu " Fera? apa itu kamu?? "

" Ya! aku Fera, oh ya Mar bukannya kamu berdua. Kemana rekan kerjamu? "

" Ah dia baru saja pulang, sekitar 5 menit yang lalu " jawabnya.

" Maaf, pasti dia membuatmu takut ya?? " Fera duduk di kursi " dia mabuk berat karena itu aku membawanya kesini. Biar saja dia tidur disini semalaman, lagipula aku juga malas mengantarnya pulang ke rumah, " ucapnya.

Mar terkekeh.

Andrew berpapasan dengan Mar, dia melihat Mar berjalan lebih cepat dari biasanya dan wajahnya terlihat gusar. Dia merasa sesuatu telah terjadi padanya lantas Andrew menghampirinya " Apakah terjadi sesuatu? "

Meski masih merasa tidak nyaman, Mar membalasnya dengan ramah "Tidak, tidak terjadi apa-apa. Aku hanya haus jadi aku ingin cepat-cepat minum" Andrew masih terasa ada yang janggal, dia akan memastikan ini "Baiklah, masuklah ada coklat hangat disana" ucapnya.

Mar terkekeh "Oke, sepertinya aku harus cepat sebelum ada yang meminumnya"

"Hati-hati, perhatikan langkahmu"

Andrew mengintip dari balik pohon, disana terlihat ada sosok yang sepertinya dia telah mengenalnya. Dia mendekatinya kemudian memberinya peringatan "Jangan ganggu adikku, atau kau akan merasakan akibatnya"

"Adikmu? oh jadi dia adalah adikmu" Hagar menghadap kepadanya, dia baru menyadari bahwa pemberi peringatan ini adalah temannya Fera.

Begitupun dengan Andrew, dia sangat terkejut dan sekaligus malu "Hagar? sejak kapan kau.." Hagar terkekeh, dia melanjutkan perkataannya "Sejak kapan aku pindah kemari? belum lama ini, aku baru saja pindah sekitar 2 hari yang lalu"

"Oh senang bertemu denganmu, bagaimana kabarnya Fera?"

"Kakakku? dia selalu baik-baik saja, aku pikir sudah lama kita tak bertemu. Terakhir kali kapan tepatnya?"

"Saat aku berkunjung ke rumah kalian, sekitar 5 tahun yang lalu"

"Senang bertemu denganmu juga kakak" Hagar merangkul pundaknya, Andrew juga membalas hal yang sama.

Hagar mengambil beberapa gambar dari tasnya, dia menunjukkannya pada Andrew "Bagaimana menurutmu? bagus tidak?" Andrew melihat wajah para gadis yang berada di gambar itu, dia kembali melihat Hagar "Hagar kamu masih sama seperti dulu, selalu tertuju pada wanita. Aku yakin niatmu hanya ingin melihat wajah para gadis ini ketimbang pemandangannya"

"Tidak, aku telah berubah. Itu aku lakukan karena permintaan pasar"

"Ya aku mengerti, jadi mau minum bersama di rumahku?" tawarnya, Hagar menatapnya.

"Bagaimana dengan adikmu, aku tidak ingin mengganggunya lagi"

"Dia pasti telah pergi karena dia kembali bekerja hari ini"

Hagar penasaran lantas dia bertanya "Dimana?"

"Dia bekerja di kafenya Fera" ucapnya.

Setelah berbincang dengan Andrew, Hagar menuju ke dalam mobilnya. Dia berencana pergi ke kafenya Fera, entah mengapa dia merasa penasaran dengan adiknya Andrew. Sangat ingin tau apakah dia akan menjadi kejutan untuknya nanti.

Sesampai di depan kafe, dia melihat adiknya Andrew berdiri di depan kafe. Dia terlihat tertawa bersama dengan temannya, diam-diam Hagar mendekatinya dari belakang. Saat Hagar telah berada di dekatnya, Mar mengeluarkan tongkatnya lalu memukulnya berkali-kali.

Mar berteriak "Pergi dari sini orang jahat"

Hagar terdiam, dia mengumpat setelah merasakan pukulannya Mar semakin cepat.

Anna langsung menghentikan Mar, dia mencoba menenangkannya "Mar tenanglah, dia bukan orang jahat seperti yang kamu bayangkan," Anna berbisik "aku rasa dia adalah pelanggan kita yang baru, minta maaflah padanya"

"Baiklah, maafkan aku pak" Mar membungkukkan tubuhnya, Hagar bangun lalu dia berkata "Tidak masalah, lagipula aku baik-baik saja. Ah ya makanan apa yang disajikan hari ini?"

Anna melihatnya, dia menunggu responnya untungnya Mar sudah kembali tenang, Mar menanggapinya dengan sopan "Silahkan masuk, maafkan saya Tuan" dia membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf, Hagar diam-diam tersenyum melihatnya.

"Ehm.. enaknya minum apa ya hari ini? apa ada sesuatu yang bisa dimakan?" Hagar berceloteh sendiri di depannya Mar, Mar memberi respon cepat "Disini ada kopi Espresso, teh hijau, milk shake, cappucino, cincau hitam"

"Dan apa minuman favoritmu?" Hagar menatap wajahnya intens.

"Teh hijau" jawabnya.

"Baiklah, aku pesan 3, teh hijau, milk shake dan makanannya?"

"Spaghetti" Mar semakin gugup, dia baru pertama kali merasa seperti ini padahal dia sering bertemu dengan pelanggan barunya.

Hagar tersenyum sedangkan Mar sebaliknya, dia takut jika pelanggannya marah karena dia telah melakukan sesuatu yang buruk kepadanya. Buruknya dia memukulnya berkali-kali, perasaannya sangat kacau. Kemungkinan besar dia akan di pecat.

"Dimana makanannya?"

"Oh tunggu sebentar" Mar semakin panik, Dia berteriak "An dimana makanannya?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!