NovelToon NovelToon

Hot Couple: Cerita Cinta Inara

Season 1 (Masa Lalu Dan Awal Kisahku)

...♡♡♡...

...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....

...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...

...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...

...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...

...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....

...HAPPY READING!...

...♡♡♡...

...Ini karya pertamaku. Harap maklum, ya, kalau banyak kekurangan, typo, dan lain sebagainya. Dan yang pasti tidak sepanas cerita di season 2 dan season 3....

Waktu umurku dua belas tahun, ibuku menceritakan tentang kepergian ayahku, bahwa ayahku pergi tanpa alasan yang jelas setelah terjadi pertengkaran kecil di antara mereka -- pertengkaran yang dimulai oleh ayahku sendiri. Sejak itu ia pergi dan tidak pernah kembali.

Seratus hari kemudian, barulah ia muncul dan menunjukkan batang hidungnya, dan ia malah membawa pulang seorang wanita ke rumah orang tuanya. Ayahku adalah seorang pengacara, dan wanita yang ia bawa itu adalah mantan kliennya dalam kasus perceraian. Entah bagaimana ceritanya mereka malah berselingkuh di belakang ibuku. Mungkin terjadi semacam cinta lokasi di antara mereka -- cinta terlarang antara dua anak manusia, cinta dari sudut pandang yang salah, yang tidak bisa dibenarkan oleh akal sehat. Fakta itu adalah jawaban atas pertanyaanku yang sudah bertahun-tahun kutunggu, kebenaran yang selalu disembunyikan semua orang dariku.

Tetapi, apa pun alasan kepergian ayahku, apa pun alasan perpisahan antara ayah dan ibuku -- itu bukanlah permasalahan utama bagiku. Karena yang menjadi permasalahan utama bagiku adalah: ayahku sudah meninggalkan aku, dia menelantarkan aku, dan membiarkan aku tumbuh besar tanpa sosok seorang ayah. Tidak ada alasan untuk membuatku maklum tentang hal itu, dan tidak ada alasan bagiku untuk memaafkannya dan tidak membencinya.

Aku masih ingat jelas saat-saat pertama aku mengetahui cerita yang menyakitkan itu, cerita tentang siapa ayahku dan bagaimana karakter ayahku yang sebenarnya. Saat itu, di pesta perayaan ulang tahunku, dalam masa liburanku naik ke kelas tujuh, kukatakan kepada ibuku bahwa aku tidak akan merayakan ulang tahun itu sebelum ia menceritakan kenapa ayahku pergi?

Yap, waktu itu aku merasa bahwa aku sudah cukup besar untuk mengetahui cerita yang sebenarnya. Aku siap meski aku tahu mungkin hatiku akan sangat sakit setelahnya. Toh, segala sesuatu di dunia ini adalah bentuk sebab-musabab antara satu hal dan hal lainnya, ya kan?

Well, kue ulang tahun yang berhiaskan cokelat, bertuliskan ucapan Selamat Ulang Tahun Inara, dan dilengkapi dengan lilinnya yang menyala -- sudah tertata rapi di atas meja beserta pisau potong dan piring-piring kecilnya. Semua itu hanya kutatap lekat-lekat. Setelah itu aku pergi, kutinggalkan ruangan pesta itu begitu saja dan memutuskan masuk ke kamar, ibuku pun menyusul dan membujukku untuk tidak bersikap kekanakan. Aneh, waktu itu aku memang anak-anak, wajar saja jika aku bersikap kekanakan. Dan jika tidak begitu -- sampai kapan aku akan bertanya-tanya -- kenapa ayahku pergi?

Kuakui cara ibuku dan semua orang memang benar, mereka menutupi cerita yang sebenarnya atas kepergian ayahku karena sebelum hari itu aku masih terlalu kecil untuk memahami permasalahan orang dewasa. Tapi tentu tidak akan baik jika terus menutupinya sampai aku beranjak remaja, saat aku sudah mengerti tentang suatu makna di balik cerita, di saat yang menurutku -- aku sudah bisa menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Akhirnya ibuku mengalah, dia menceritakan kepadaku kejadian-kejadian pilu itu. Katanya, saat umurku belum genap satu tahun -- dia tidak sengaja membuka pesan yang ditulis oleh seseorang untuk ayahku, lalu ia membacanya. Pesan itu dari seorang wanita bernama Yanti, seorang janda dua anak. Dalam pesannya dia mengatakan bahwa dia sakit hati karena ayahku selalu mengutamakan keluarga pertamanya, sedangkan dia selalu dinomor duakan, katanya mentang-mentang dia hanya seorang istri siri. Saat itu nampak jelas ibuku berusaha tegar dan kuat untuk mengungkap kisahnya yang pahit. Suaranya terdengar gemetar, tentu dia merasakan sakit di kerongkongannya.

"Ayahmu menyangkal. Dia mengatakan bahwa mungkin Yanti hanya salah kirim pesan atau bermaksud memfitnahnya untuk menghancurkan rumah tangga kami. Bunda dan ayahmu saat itu sudah hampir bercerai. Tetapi, demi kamu, Nak, Bunda memaafkan kesalahan ayahmu. Bunda pikir, mungkin rumah tangga kami masih bisa diperbaiki, tapi nyatanya itu mustahil. Tidak mungkin bisa."

Ibuku diam sejenak, menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan, dan memulai lagi ceritanya.

"Seminggu setelah lebaran idulfitri, waktu itu umurmu belum genap dua tahun, dan adikmu baru berumur empat bulan dua minggu, dia masih bayi kecil, masih bayi yang tertidur dengan pulas. Saat itu ayahmu pulang dalam keadaan marah hanya karena masalah yang terjadi saat kamu masih bayi. Bunda tidak tahu, kenapa tiba-tiba dia mengungkit masalah yang sudah satu setengah tahun berlalu, yang sudah selesai, itu terkesan seperti hanya sebuah alibi. Setelah itu, ayahmu pergi dari rumah. Dia tidak pernah pulang, juga tidak pernah memberikan kabar. Sampai seratus hari setelah dia pergi, Bunda mendengar kabar bahwa ayahmu membawa pulang seorang wanita bernama Rhea. Dia mengatakan pada orang-orang bahwa kami sudah bercerai, sudah jatuh talak katanya. Tapi tidak apa-apa, Bunda bisa menerima semua itu. Yang membuat Bunda kesal pada diri Bunda sendiri -- kenapa Bunda tidak mengetahui perselingkuhan itu sejak awal? Padahal, Bunda sudah lama tahu keberadaan Rhea. Dia dulu klien ayahmu. Ayahmu yang membantu Rhea bercerai dengan suaminya. Entah bagaimana ceritanya, mereka malah berhubungan setelah Rhea resmi menyandang statusnya sebagai janda. Tapi pihak keluarga ayahmu menyangkal dan mengatakan bahwa itu semua dusta, omong kosong katanya."

Setelah kata-kata itu, ibuku mulai menangis. Tapi mungkin karena sudah terlanjur, ibuku tetap melanjutkan ceritanya.

"Bukan cuma itu. Sebelumnya, sewaktu Bunda melahirkan adikmu, Ihsan, empat hari Bunda di rumah sakit pasca melahirkan secara sesar, ayahmu selalu saja pergi, dia baru kembali ke rumah sakit saat malam hari. Waktu itu hanya ada tantemu yang mengurus Bunda. Ayahmu bilang dia sibuk bekerja. Tapi setelah kami berpisah, Bunda baru tahu kalau ternyata ayahmu saat itu sibuk bersama Rhea di rumah sakit lain. Mereka mengurusi keluarganya yang sedang sakit. Saat itu Bunda merasa bodoh sekali, sebab... mereka berhasil membodohi Bunda. Sejak saat itulah, Bunda tidak pernah lagi memikirkan rumah tangga Bunda dengan ayahmu. Bunda menerima kekalahan, Bunda menerima nasib. Akhirnya... Bunda menjadi janda karena suami Bunda direbut oleh janda lain. Status Bunda pun menjadi janda dengan dua anak, yang selalu dipandang sinis oleh tetangga, yang dijadikan bahan gunjingan, juga merasa malu di depan semua keluarga. Tapi Bunda bisa apa? Pasrah, cuma itu."

Yeah, ibuku berkata seraya menyeka air mata, dan itu terjadi gara-gara aku -- aku yang memaksanya untuk bercerita.

Dan, di luar kamar, adikku, Ihsan, yang usianya satu setengah tahun lebih muda dariku -- mendengar semua cerita pahit itu. Dia masuk ke kamarku dalam keadaan menangis, lalu memeluk ibu kami. "Ihsan janji, Ihsan akan membuat Bunda bahagia. Bunda tidak perlu menangis karena orang itu," katanya.

Sungguh, aku tidak menyangka, di usia adikku yang waktu itu baru sepuluh tahun enam bulan, dia yang lebih muda dariku, tapi dia bisa mengerti dan bersikap sebijak itu. Mungkin itulah alasan mengapa Tuhan menitipkannya pada ibuku, dia menjadi "satria" --pelengkap keluarga kami yang tidak utuh, meski sebenarnya tidak akan pernah utuh bagiku.

Aku mendekat. "Maafkan Nara, Bund," kataku. "Nara janji, Nara tidak akan membahas hal ini lagi." Kemudian kupeluk ibuku dan adikku dengan hangat.

"Perpisahan itu adalah masalah orang dewasa, masalah antara Bunda dan ayah kalian, bukan masalah kalian berdua. Jadi... kalian tidak boleh membencinya, apalagi kalau kalian sampai dendam. Tidak boleh. Kalian berdua adalah anak-anak yang baik," katanya berpesan padaku dan adikku. "Janji pada Bunda, hati kalian tidak boleh ada rasa benci terhadapnya, ya?"

Aku dan adikku hanya saling menatap, tidak mengiyakan, tidak berjanji, juga tidak membantah. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan oleh adikku, tapi aku ingat dan tahu persis bagaimana isi hatiku saat itu -- aku tidak mungkin tidak membencinya atas apa yang sudah ia lakukan. Dia meninggalkan aku, menelantarkan aku, dan membiarkan aku tumbuh besar tanpa sosok seorang ayah. Yang ia lakukan itu JAHAT!

Sejak kecil aku kehilangan sosok lelaki yang seharusnya menjadi pedoman dalam hidupku, yang seharusnya menggenggam erat tanganku setiap kali aku terjatuh, tapi justru dialah yang menjadi penyebab utama kekacauan dalam hidupku. Itu adalah kenyataan yang tak terbantahkan dan tidak bisa kulupakan.

"Sudah, kita hapus air mata, lalu kita keluar, kita mulai pestanya," kata ibuku yang mulai tenang.

Kami pun keluar dari kamarku, kembali ke ruang pesta yang berhiaskan bunga-bunga cantik dan balon warna-warni. Kami memulai pesta ulang tahunku yang ke-dua belas, pesta ke-sebelas kali tanpa sosok ayah yang mulai hari itu tidak lagi kurindukan. Aku mulai membencinya -- sangat membencinya.

Kesepian

Kurindu disayangi sepenuh hati

Sedalam cintaku, setulus hatiku

Kuingin dimiliki kekasih hati

Tanpa air mata, tanpa kesalahan

Bukan cinta yang melukai diriku

Dan meninggalkan hidupku lagi

Tolonglah aku dari kehampaan ini

Selamatkan cintaku dari hancurnya hatiku

Hempaskan kesendirian yang tak pernah berakhir

Bebaskan aku dari keadaan ini

Sempurnakan hidupku dari rapuhnya jiwaku

Adakah seseorang yang melepaskanku

Dari kesepian ini?

Kesepian ini....

Itu -- penggalan lirik dari lagu berjudul Kesepian milik Dygta. Aku mempersembahkannya kepada semua orang yang memaksa sang "Nona Pengembara" ini untuk menyumbangkan suaranya di hadapan para tamu undangan dalam resepsi pernikahan Zia, saudari sepupuku yang waktu itu menikah dengan seorang lelaki bernama Ari. Zia berumur satu setengah tahun lebih muda dariku, dan hanya berbeda empat hari dengan Ihsan. Jika saja itu pernikahan orang lain aku tidak akan hadir meskipun mendapatkan undangan dan suvenir emas sekalipun. Tapi, Zia adalah salah satu saudari sepupuku, anak ketiga dari bibi sulung-ku, saudari kandung ibuku, karena itulah aku harus hadir, atau gendang telingaku bisa pecah mendengar ceramah ibuku yang hampir tak berujung.

"Nara harus pulang, Sayang. Kembali dari pengembaraanmu, ya," pinta yang sekaligus perintahnya -- yang sebaiknya kuturuti. Aku sudah terlalu sering menolak dan mengatakan tidak kepadanya. Sebab, sedari kecil aku memang keras kepala. Tapi jauh di dalam lubuk hatiku -- dia salah satu wanita yang aku cintai, selain nenekku -- ibu dari ibuku, juga kedua bibiku, mereka menyayangiku, itu yang kurasakan dulu di saat aku masih kecil.

Dalam keluarga besarku, aku dijuluki "Nona Pengembara" sejak aku sering bepergian dan jarang pulang. Jika aku pulang -- itu karena perintah ibuku atau karena permintaannya. Selain itu, bagiku, kepulanganku hanyalah sekadar untuk bertemu keluarga. Tapi, siapa sangka, mereka malah memaksaku untuk menyanyi di atas panggung resepsi itu, lebih tepatnya sebuah tantangan -- bahwa aku bukanlah seorang pecundang yang hanya bisa lari dari kenyataan. Andai mereka tahu, aku sudah muak diperolok. Sebab, sedari kecil dulu teman-teman sepermainanku seringkali memperolokku hanya karena aku tidak memiliki ayah seperti mereka.

Aku mengenakan longdress warna biru muda lengan panjang di hari resepsi pernikahan Ari dan Zia. Warna kulitku sawo matang, karena itu semua pakaianku berwarna soft. Aku tidak percaya diri jika memakai pakaian berwarna terang, menyala, putih, hitam, dan warna-warna gelap lainnya. Sebagai perempuan aku merasa cukup cantik dan cukup manis, meski dengan tinggi badanku yang tidak lebih dari seratus enam puluh sentimeter yang selalu kututupi dengan wedges yang lumayan tinggi. Tubuhku cukup berisi, tidak kurus kerempeng, juga tidak gemuk. Rambutku panjang, berwarna hitam dan dijuluki orang dengan istilah keriting sosis -- roll alami. Uniknya, bagian atas -- beberapa senti dari akarnya -- lurus, sama sekali tidak nge-roll, tapi bagian bawahnya curly dengan sempurna. Selain sewaktu aku mandi, aku selalu mengikat atau menjepit rambutku, hampir tidak pernah terurai.

Aku percaya diri dengan penampilanku hari itu, sehingga aku nekat naik ke atas panggung. Aku tahu menyanyi itu harus dari dalam hati dan tergantung keadaan dan suasana hati -- agar lebih indah di telinga pendengarnya. Dan itulah keadaan hatiku -- hampa dan kesepian. Tetapi, rasa hampa dan kesepian itu malah mengundang tepuk tangan meriah saat lagu itu berakhir.

Mereka menghujaniku tepuk tangan meriah karena menurut mereka penampilanku spektakuler, aku tahu itu. Tapi yang kurasakan malah sebaliknya, bagiku mereka memberikan tepuk tangan atas kehampaan dan kesepian yang kurasakan. Itu yang terlintas dalam pikiranku. Tentu saja, aku harus menahan emosiku. Sensitif, memang. Aku terlalu baper karena masa laluku yang teramat pahit.

Aku turun dari atas panggung, kembali ke tempat semula, di teras rumah Ari. Aku tidak suka duduk di bawah tenda yang menurutku sangatlah panas dan gerah, segerah hatiku yang selalu gersang dan nestapa -- meski tenda itu dihias dengan begitu megahnya.

"Perform yang bagus. Tapi lagu itu terlalu sedih untuk orang secantik kamu," kata seseorang di belakangku. Entah siapa, aku tidak menolehnya. Ucapan orang itu terdengar seperti rayuan gombal dan aku tidak suka itu.

Aku berdeham. "Terima kasih. Tapi cuma itu lagu yang kuhafal," jawabku, tanpa menoleh sedikit pun. Walau sebenarnya waktu itu aku berbohong, ada lagu-lagu lain yang aku juga hafal semua liriknya. Aku hanya tidak suka meladeni orang itu.

"Sori, kalau boleh tahu, apakah lagu itu menggambarkan suasana dalam hatimu? Kalau yang aku lihat, rasanya seperti itu."

Bertanya sekaligus berkomentar? Dasar lelaki menyebalkan. "Jangan sok tahu!" kataku kasar. Aku tidak suka pada orang asing yang sok akrab, apalagi menurutku dia berlagak seperti juri-juri dalam kontes menyanyi. Aku pun langsung pergi dari sana tanpa menoleh si pemilik suara.

Mak Comblang

Aku suka berkumpul bersama sepupu-sepupuku, karena memang sedari kecil kami sering sekali berkumpul. Satu atau dua kali dalam sebulan mereka akan berkunjung ke rumah nenek, rumah tempat aku dan adikku dibesarkan. Aku bisa tertawa saat bersama mereka, karena mereka tidak seperti teman-teman tetanggaku yang sering mempertanyakan keberadaan ayahku yang entah ada di mana.

Tapi itu dulu, sewaktu kami masih kecil sampai kami sudah cukup dewasa, dan sebelum mereka menikah. Karena biasanya hubungan dekat semasa kecil akan sedikit merenggang setelah dewasa, dan lebih merenggang lagi setelah masing-masing menikah, apalagi setelah masing-masing memiliki anak, kita hanya bisa berkumpul sesekali, itulah yang sering terjadi dalam masa kehidupan manusia.

Yap. Malam itu aku cukup senang bisa tertawa saat berkumpul bersama mereka, walaupun selebihnya aku cukup minder karena ketiga sepupuku itu sudah menikah. Memang, masih ada yang belum menikah, tentu yang belum menikah itu semuanya lebih muda dariku, mereka masih kuliah dan masih sekolah. Aku satu-satunya yang berusia sudah cukup matang tapi masih menyandang status single.

"Ra, tadi siang ada temannya Ari nanyain kamu, lo. Kamu tahu, orangnya tampan. Aku jamin kamu pasti menyukainya. Dia suka penampilanmu tadi," cerocos Hengky, suaminya Zaza, saudari sepupuku, anak pertama bibi sulung.

Aku menghela napas panjang untuk menahan rasa jengkel. "Sekali lagi ada yang bahas-bahas hal ini, sumpah, kutinggal ke kamar, ya."

"Kamu ini, Mas. Sudah tahu Inara tidak suka dicomblang-comblangkan begitu," celetuk Zaza seraya menyikut suaminya. Hengky pun langsung mencebik.

Mulai... kan, kan....

"Mau sampai kapan kamu seperti ini, Ra?" tanya Zizi, yang juga sepupuku.

Zaza dan Zizi, anak kembar bibi sulung. Zaza anak pertama, Zizi anak kedua, mereka kembar tapi wajah mereka tak seiras. Mereka memiliki wajah dan warna kulit yang berbeda, kulit Zaza lebih putih dari warna kulit Zizi. Beda dengan Zaim dan Zain yang kembar seiras, anak keempat dan kelima bibiku. Benar-benar susah membedakan dua lelaki tampan berkulit putih itu. Tapi meskipun begitu, Zaza dan Zizi sekompak anak kembar lainnya. Usia Zaza dan Zizi dua setengah tahun lebih tua dariku. Mereka sudah menikah saat umur mereka dua puluh tiga tahun. Sementara usiaku saat kumpul keluarga itu adalah dua puluh empat tahun lebih dengan status lajang -- jomblo sejati, itu yang menjadi alasan bagi para sepupuku itu untuk mencarikan aku seorang pasangan.

"Kami semua menyayangimu, Ra," Zaza turut menimpali. "Kita tidak mau kamu begini terus. Coba kamu buka hati. Tidak semua yang kita takutkan akan terjadi," sambungnya.

Aku memperhatikan mereka semua, Zia, Zaim, dan Zain, yang usianya lebih muda dariku tidak ikut bicara, mungkin karena merasa segan. Sedangkan Dimas, suaminya Zizi, memang pembawaannya yang pendiam, memang jarang ikut bicara. Dan Ari -- yang baru masuk dalam anggota keluarga -- tampak bingung, dia nampak tidak mengerti apa yang dimaksud oleh ipar-iparnya. Begitu juga dengan Ihsan, adikku yang tampan itu juga diam saja, dia tahu betul kalau aku akan terganggu bila mereka membahas hal-hal yang menyangkut urusan pribadiku.

"Sudah?" tanyaku. "Aku tahu kalian semua peduli padaku. Tapi aku percaya kalau jodoh tidak akan ke mana, dia akan datang tepat pada waktunya. Jadi, kalian tidak perlu sibuk jadi mak comblang, oke? Aku menyayangi kalian. Selamat malam. Bye." Aku pun langsung meninggalkan tempat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!