Slamet Lara adalah seorang nelayan Desa Iwaklelet. Ia bisa dibilang nelayan sejati. Lahir di tengah laut, sampai tua pun tetap di laut.
Ayahnya seorang pelaut handal, disegani dan terkenal, tetapi hanya sebatas kalangan kelas tanpa sandal.
Dalam masyarakat beberapa desa nelayan yang bersinggungan langsung dengan garis Pantai Parasemiris, tingkat masyarakat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan alas kakinya. Kelompok masyarakat berekonomi menengah ke bawah kerap disebut "kalangan tanpa sandal", sementara warga berekonomi tinggi populer disebut "orang bersandal".
Tambang Sugi memberi nama putra keduanya Slamet, dengan harapan anaknya yang lahir saat ibunya melaut itu, hidup dengan selamat di dunia yang penuh kejahatan dan marabahaya.
Namun, pada masa kecilnya, Slamet sering kali menderita sakit demam. Karena keseringan itu sehingga nama "Lara" melekat di belakang namanya. Akhirnya dua nama itu menyatu menjadi Slamet Lara.
Slamet Lara punya seorang kakak lelaki yang bernama Tripang Sewu. Sejak kecil bercita-cita menjadi orang sakti, setelah ia menyaksikan pertarungan hebat dua orang pendekar di pantai.
Dua tahun kemudian, dia minggat dari rumah untuk pergi mengembara mencari ilmu kesaktian.
Namun, hingga dua puluh lima tahun, Tripang Sewu tidak pernah pulang ke desanya, apalagi ke rumahnya.
Slamet Lara membentuk karakternya sebagai seorang nelayan pekerja keras, menerima nasib hidup penuh ikhlas, dan bercita-cita hidup aman dan damai hingga tua tanpa napas.
Ia berjodoh dengan seorang gadis nelayan bernama Muniwengi, gadis tercantik di dunia menurut versinya sendiri. Meski Muniwengi bertubuh kurus seperti lidi, tetapi jika mendengkur ketika tidur, itu menjadikannya wanita yang seksi.
Hingga usia pernikahan Slamet Lara dan Muniwengi sampai lima belas tahun, barulah mereka mendapat seorang keturunan, yaitu seorang bayi perempuan yang kemudian diberi nama Anjengan, dengan harapan tumbuh menjadi gadis yang seindah rembulan.
Namun apa daya, harapan hanya sekedar harapan belaka. Anjengan tumbuh sebagai gadis gemuk di usia remaja, kontras dengan kedua orangtuanya yang kurus sebagai rakyat jelata.
Hingga pada suatu hari, ada peristiwa heboh yang terjadi, tetapi Slamet Lara dan istrinya menyebut itu adalah rezeki, yaitu menemukan seorang bayi.
Ketika Slamet Lara dan istri tercinta sedang mendorong perahu, tiba-tiba perahu terbentur sebuah peti kayu. Ketika diambil dan dibuka untuk mencari tahu, maka terkejutlah mereka melihat seorang bayi perempuan cantik nan lucu.
Maka hebohlah orang sekampung, mencari tahu siapakah si orangtua kandung. Namun, hingga ke desa dari ujung ke ujung, tidak ditemukan cerita ada bayi yang dibuang.
Cerita mistis segera menyebar ke mana-mana, bahwa si jabang bayi bukan anak manusia, tetapi anak dari hantu samudera, yang dibuang karena hasil hubungan berdosa.
Namun, cerita seperti itu tidak diindahkan oleh Slamet. Ia dan istri memutuskan memelihara sang bayi dengan penuh semangat. Memiliki putri cantik adalah impian yang lama tertambat. Ia bahkan membayar ibu susu karena cerita air susu istrinya sudah lama tamat.
Bayi laut itu kemudian diberi nama Alma Fatara. Kata Slamet, ia dapat wangsit dari dewa. Ia tidak tahu “alma” artinya apa. Mungkin Alma itu kepanjangan dari “Anak Laut yang manis dan manja”. Sedangkan Fatara adalah nama jenis ikan yang ada dalam legenda.
Konon, kata kakek neneknya buyut-buyut, ada ikan yang disukai oleh para pelaut, tapi juga membuat mereka takut. Fatara adalah nama ikan yang mereka sebut-sebut.
Konon ceritanya, ikan fatara wujudnya wanita cantik jelita, tetapi ujung kakinya dari betis sampai jari adalah ekor ikan berwarna jingga. Ikan fatara tidak boleh dibuat marah, jika marah akan berubah menjadi makhluk berbahaya.
Awalnya, Alma Fatara tumbuh menjadi balita yang sangat menyenangkan. Cantik, putih, bersih, dan begitu menggemaskan. Jika ditinggal sebentar selalu dirindukan. Tidak hanya Slamet sekeluarga yang senang, tetapi warga sekampung juga ikut riang.
Namun, semakin besar Alma Fatara semakin menjengkelkan. Meski ia tumbuh menjadi seorang anak yang cantik dan periang, tetapi ia juga nakal dan jahil yang membuat banyak orang jadi pusing sepuluh keliling.
Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang tidak biasa. Ia tidak seperti gadis kecil kebanyakan yang lemah dan manja. Ia bahkan menjadi pemimpinnya anak-anak desa, dari yang kecil hingga yang agak dewasa. Bahkan sang ayah pernah melihat Alma tidak terluka terkena senjata.
“Apakah kalian ingin melihat kesaktianku?” tanya Alma kepada teman-temannya, ada sekitar sepuluh anak.
Tampak Alma menyembunyikan genggaman tangan kanannya di balik punggung.
Slamet yang sedang bekerja menambal bawah perahunya di pantai, hanya tersenyum melihat anaknya menyembunyikan tangan di belakang tubuhnya.
“Mauuu!” teriak teman-teman Alma serentak.
“Ajian Asap Dapur!” pekik Alma serius sambil mengeluarkan genggaman tangannya dari balik punggung ke depan mata teman-temannya.
Dari dalam genggaman tangan kanan Alma keluar asap tipis melalui sela-sela jarinya.
“Waaah! Hebaaat!” teriak teman-teman Alma terpukau melihat fenomena di tangan gadis remaja itu.
“Hahaha!” Alma tertawa terbahak seperti tawa bapak-bapak.
Alma lalu menarik kembali tangannya dan menyembunyikannya di balik punggung.
“Siapa yang belakangan pegang batu karang, jadi kura-kura!” teriak Alma tiba-tiba.
Mendengar itu, sontak kesepuluh teman Alma berbalik berlari menuju bongkahan batu karang yang ada di pantai.
Sementara Alma membuang sesuatu yang ada di genggamannya. Tindakan Alma tersebut ditangkap oleh pandangan mata Slamet.
“Hahaha!” sambil tertawa terbahak-bahak, Alma berlari menyusul teman-temannya. Ia akan menjadi orang terakhir yang sampai ke batu karang.
“Alma jadi kura-kura!” teriak anak lelaki bertubuh paling jangkung, tapi kurus. Namanya Iwak Ngasin. Ia sudah berdiri di atas batu karang bersama teman-temannya yang lain.
“Aku sudah lebih dulu memegang batu karang!” kata Alma sambil menunjukkan sebuah batu karang di tangannya.
“Waaah curang!” tuding Anjengan, kakak perempuan Alma. Ia bertubuh besar berlemak.
“Siapa yang curang? Aku bilang memegang batu karang, bukan menginjak batu karang!” debat Alma.
Mulailah anak-anak itu ramai berdebat gegara Alma bermain akal-akalan.
Sementara itu, Slamet yang penasaran dengan permainan sakti-saktian putri pungutnya, berjalan ke tempat Alma pertama bermain.
Di tanah berpasir ada satu benda yang mengeluarkan asap tipis dan asapnya cepat sekali buyar oleh angin laut. Slamet terkejut heran, sebab benda yang tadi dibuang oleh Alma ternyata sebutir bara api yang masih menyala.
Slamet memandang heran ke arah Alma. Namun, ia harus terkejut karena dilihatnya Alma dan kakak angkatnya sedang berkelahi di pasir pantai.
“Alma perkasa! Alma perkasa!” teriak sebagian teman sepermainan Alma Fatara.
“Lawan, Anjengan! Kau lebih kuat dan lebih besar!” teriak sebagian lagi yang mendukung Anjengan, kakak angkat Alma.
Namun kenyataannya, kini Anjengan dalam posisi tengkurap di pasir. Kedua kakinya ditekuk dan dikunci oleh Alma dengan cara diduduki. Sementara dagu Anjengan ditarik keras ke belakang oleh kedua tangan Alma Fatara. Alma Fatara menarik paksa tubuh Anjengan agar melengkung ke belakang. Kuncian gaya SmackDown itu membuat Anjengan tidak berkutik dan kesakitan.
Anjengan mengerenyit kesakitan. Ia tidak bisa berteriak karena mulutnya tertutup paksa. Karena sudah tidak kuat, akhirnya dia menepuk-nepuk pasir tanda menyerah.
“Alma! Hentikan!” teriak Slamet sambil berlari kepada kedua putrinya.
Sambil tertawa-tawa, Alma Fatara melepaskan dagu kakaknya dan turun dari atas punggung berlemak itu.
“Alma! Apa yang kau lakukan? Kalian ini kakak adik, kenapa berkelahi?!” omel Slamet, setibanya di antara mereka.
“Kak Anjengan dulu yang mengajakku berkelahi!” kilah Alma sambil senyum-senyum.
“Aku menantangmu berkelahi, bukan mengajakmu berkelahi!” bantah Anjengan.
“Kau juga, Anjengan! Kau tidak pernah kapok kalah berkelahi dengan adikmu!” omel Slamet kepada anak kandungnya.
“Justru itu, Ayah. Karena aku tidak pernah menang, aku harus terus menantangnya berkelahi,” kilah Anjengan yang kedua pipinya seperti kue bakpau hangat.
“Hahaha!” tawa kesembilan teman mereka yang lain. (RH)
*Alma Fatara (Alma)*
Alma Fatara, Anjengan, Iwak Ngasin, Juling Jitu, dan Gagap Ayu sedang berkumpul di satu titik pantai, tepatnya di bawah sebuah pohon kelapa.
Mereka sedang bermain Kelomang Bangkit Dari Kubur.
Permainan itu mengharuskan setiap pemain memiliki kelomang jagoan. Bidang permainan adalah sebuah lubang dangkal di pasir. Setiap kelomang dimasukkan ke dalam lubang yang akan menjadi kuburan bagi kelomang. Kemudian lubangnya diuruk mengubur semua kelomang yang ada di dalamnya. Tanah pasir urukan itu tidak boleh di tekan atau dipadatkan. Setelahnya, mereka tinggal menunggu kelomang milik siapa yang akan keluar terlebih dulu dari dalam pasir.
“Ayo Cangkang Hitam!” teriak Iwak Ngasin meneriaki kelomangnya.
“Bangkitlah Pendekar Juling!” teriak Juling Jitu sambil berdiri dan bergaya, seolah hendak berubah menjadi Satria Baja Hitam.
“Bokong Sekal! Bokong Sekal! Bokong Sekal!” teriak Anjengan dengan gaya seperti fans wanita fanatik meneriakkan bintang K-Pop idolanya.
Gagap Ayu beda lagi gayanya.
“Bababa… bangkitlah dadada… dari kukuku….”
“Kutaaang!” teriak keempat teman Gagap Ayu bersamaan sambil menunjuk gadis kecil berwajah cantik hitam manis itu.
“Bukan kukuku… tang, tapi kubuuur!” ralat Gagap Ayu dengan wajah merengut sewot.
“Hahaha…!” Tertawalah mereka ramai-ramai.
“Papapa… Pangeran Laut Cacaca… Cantik!” teriak Gagap Ayu menyebut nama kelomang jagoannya.
“Hahaha…!” tawa Alma terbahak seperti tawa bapak-bapak. “Hei, Ayu! Dari mana ceritanya Pangeran Laut itu cantik? Yang normal itu Pangeran Laut Tampan, atau Pangeran Laut Jantan!”
“Terserah aku, Alma. Itu kekeke… kelomangku, terserah aku mau kakaka… kasih nama apa!” otot Gagap Ayu dengan kekhasan gagapnya.
“Oh terserah ya? Kalau begitu, terserah aku juga mau kasih nama apa kelomangku,” kata Alma. Ia lalu meneriaki kelomangnya yang belum keluar, “Bangkitlah, Gagap Ayu Pesek! Ayo Gagap Ayu Pesek!”
“Hei, Alma! Itu nanana… namanya mememe… meledek!” protes Gagap Ayu tidak terima.
“Eeeh! Itu kelomangku, terserah aku mau beri nama apa,” kilah Alma sambil cibirkan bibirnya.
“Tidak boleh begitu, Alma. Kalau mainnya ledek-ledekan, mana bisa ada permainan!” kata Anjengan turut menyalahkan Alma.
“Benar tuh, Alma. Kalau mau berkelahi, ya berkelahi sekalian. Tapi kalau mau main, ya jangan ngajak berkelahi!” kata Juling Jitu, anak lelaki yang memiliki kelebihan dengan sepasang mata yang juling.
Tiba-tiba perdebatan mereka dibuyarkan oleh teriakan Iwak Ngasin.
“Ada yang bangkit dari kubur!”
Sontak mereka berlima fokus melihat ke bawah. Tampak tanah pasir yang mereka timbun mulai bergerak-gerak, menandakan ada kelomang yang bergerak hendak keluar dari kuburannya.
“Papapa… Pangeran Laut Cacaca… Cantik!” teriak Gagap Ayu ketika melihat satu kelomang sudah keluar dari dalam timbunan pasir.
“Slamet Linglung keluar!” teriak Alma pula saat melihat kelomang miliknya ikut keluar menyusul kelomang milik Gagap Ayu. “Ayo, Slamet Linglung! Seruduk Pangeran Cantik itu!”
“Waaah Alma parah. Naman bapaknya dipakai buat nama kelomang!” tukas Juling Jitu.
“Tidak apa-apa, bapakku senang kalau namanya terdapat di mana-mana,” kata Alma.
“Yaaa, kok bebebe… berhenti!” ucap Gagap Ayu kecewa.
Kelomang milik Gagap Ayu berhenti setelah keluar dari dalam pasir. Berbeda dengan kelomang milik Alma, dia terus bergerak dan berjalan meninggalkan kuburannya.
“Hahaha! Pangeran Cantik jadi sawan setelah dikubur!” kata Alma menertawakan kelomang milik Gagap Ayu.
Setelah itu, barulah tiga kelomang lainnya juga keluar, bangkit dari kubur.
“Horeee! Slamet Linglung juara! Hahahak!” sorak Alma lalu tertawa keras.
“Hei hei hei! Diam!” hardik Iwak Ngasin kepada teman-temannya. Ia tidak peduli lagi dengan kelomangnya yang terus berjalan meninggalkan lokasi pertandingan.
“Kenapa? Wah, pasti mau kentut!” tukas Anjengan sambil mundur dua tindak menjauhi Iwak Ngasin.
“Hahahak!” Mereka tertawa lalu segera mundur menjauhi Iwak Ngasin. Mereka sepakat curiga bahwa teman mereka mau prank.
“Bukaaan. Lihat tuh di sana!” ralat anak bertubuh kurus itu.
Alma dan ketiga lainnya jadi mengalihkan pandangan ke arah jauh, ke tempat deretan perahu para nelayan ditambatkan.
Di tempat panambatan perahu-perahu nelayan Desa Iwaklelet, tampak ada dua orang lelaki dewasa di sana. Kedua lelaki berpakaian bagus itu bergerak-gerik sedang memeriksa sebuah perahu, seolah sedang mencari sesuatu di dalam perahu.
Pakaian yang mereka kenakan menunjukkan bahwa mereka bukanlah pemilik perahu dan juga sebagai tanda bahwa mereka bukan warga desa itu.
“Aneh ya, Orang Bersandal saja pakaiannya tidak sebagus itu. Pasti mau maling perahu!” kata Juling Jitu menganalisa.
“Pakaian mereka bagus, mana mungkin mereka maling,” kata Anjengan.
“Bibibi… bisa saja,” kata Gagap Ayu.
“Iya, bisa saja. Bisa saja mereka berpakaian bagus hasil maling agar mereka tidak dicurigai sebagai maling,” kata Juling Jitu.
“Ayo ambil batu semua! Kita lempari maling perahu itu!” kata Alma berkomando.
Meski mereka sering bertengkar atau berdebat, tetapi untuk urusan bergerak bersama, Alma adalah komandannya.
“Maliiing…! Maliiing…! Maling perahu!” teriak Alma sambil berlari menuju air.
“Maliiing…! Maliiing…! Maling perahu!” teriak empat orang teman Alma sambil berlari juga.
Mendengar teriakan itu, dua orang pemuda yang sedang mencari-cari sesuatu di atas sebuah perahu, jadi terkejut. Ketika keduanya melihat ke arah sumber teriakan ramai-ramai itu, sejumlah batu sudah melesat di udara menyerang mereka.
Kedua pemuda tampan itu dengan mudah mengelaki setiap batu yang dilempar kepada mereka.
“Bagaiamana ini, Jura?” tanya pemuda berbaju biru bagus. Di pinggang kirinya menggantung sebuah pedang bersama warangkanya. Ia bernama Sugang Laksama. “Warga mulai berdatangan!”
Memang benar, karena ramainya teriakan Alma dan rekan-rekannya, warga yang mendengar segera bergerak datang ke pantai.
Set! Tak!
Satu batu kerikil melesat cepat dan tepat mengenai kepala pemuda yang bernama Sugang Laksama.
“Akk!” pekik Sugang Laksama. Ia meringis memegangi kepalanya sambil menatap tajam kepada Alma, anak yang telah melemparnya.
Posisi perahu-perahu yang ditambat agak jauh dari pasir pantai. Untuk sampai ke perahu-perahu tersebut, orang dipantai harus turun ke air hingga sedalam paha.
“Ayo, Sugang!” ajak pemuda berbaju hitam yang bernama Jura Paksa.
Jura Paksa lebih dulu berlari ringan dari satu perahu ke perahu lain. Ia mengandalkan ilmu peringan tubuhnya.
Sugang Laksama yang kepalanya berdarah karena lemparan Alma, cepat berkelebat di atas deretan perahu-perahu yang mengapung. Ia mengikuti Jura Paksa. Ujung-ujungnya, kedua pemuda itu berkelebat ke pantai pasir lalu berlari kencang meninggalkan pantai.
Para nelayan Desa Iwaklelet sudah berdatangan dan menemui anak-anak tanggung itu.
“Apa yang kedua orang itu lakukan di perahu?” tanya seorang lelaki dewasa.
“Tidak tahu, seperti mau maling perahu,” jawab Alma.
Para pemilik perahu lalu mendatangi perahu-perahu mereka di air guna memeriksanya.
“Tidak tahunya dua orang itu orang-orang sakti,” kata Juling Jitu.
“Kau tadi membuat kepalanya berdarah, Alma. Hati-hati, aku khawatir mereka akan datang dan menuntut balas kepadamu, Alma,” kata Iwak Ngasin.
“Aaah, tidak akan. Jika mereka datang lagi, ya aku lempar lagi,” kata Alma.
“Tapi dua orang tadi ganteng-ganteng,” ucap Anjengan genit sambil tersenyum-senyum sendiri. (RH)
Di saat warga sudah kembali ke rumahnya masing-masing dan rekan-rekannya sudah bubar pulang, Alma memilih bermain sendiri di atas perahu-perahu yang berderet dalam tambatan, tepatnya Alma sedang mencari sesuatu.
Alma curiga bahwa kedua pemuda sakti yang mereka pergoki tidak bermaksud mencuri perahu di siang bolong, tetapi sedang mencari sesuatu di antara perahu-perahu tersebut.
Alma dengan teliti memeriksa setiap perahu, bahkan papan-papan lantai perahu ia buka satu demi satu untuk melihat dasar perahu, guna mencari sesuatu yang ia juga tidak tahu itu apa. Ia sampai memasukkan kepalanya ke dalam lubang perahu dan bokongnya ia tungging-tunggingkan.
“Apaan ya yang dicari dua orang itu?” tanya Alma mulai frustasi karena tidak menemukan sesuatu yang istimewa. “Kalau cari kepiting, kok di perahu?”
Alma lalu berdiri sambil berkacak pinggang seperti tuan perahu. Wajah putih dan cantiknya mengerenyit berkeringat. Ia menatap sejenak ke pantai.
“Masih ada lima perahu belum diperiksa,” ucapnya kepada dirinya sendiri.
Ia lalu pergi pindah ke perahu yang lain. Ia kembali mencari, lalu membungkuk untuk bisa melihat lubang-lubang tersembunyi di dalam perahu.
“Eh, apaan itu biru-biru?” ucap Alma penasaran.
Alma melihat sebuah benda berbentuk biru terang dan bagus, berada terjepit di tulang perahu. Keberadaan benda yang berbentuk kotak tersebut nyaris tidak terlihat karena terlindungi oleh tulang perahu. Kotak berbahan seberat besi itu tidak lebih besar dari genggaman tangan Alma.
“Wah, jangan-jangan benda ini yang dicari, tapi ini apaan?” pikir Alma setelah mengambil kotak tersebut.
Ia lalu duduk lesehan di lantai perahu sambil mengamati kotak biru di tangannya. Saat dibolak-balik, ternyata di salah satu sisinya ada satu titik biru pula, sehingga nyaris tidak terlihat. Titik itu seperti kunci rahasia bagi si kotak berat, tetapi perlu sebuah lidi untuk menusuknya.
Setelah mencari-cari di sekitarnya, akhirnya Alma menemukan serat kayu yang bisa dipakai untuk menusuk titik kecil tersebut.
Tek!
Saat titik itu ditusuk, terdengar suara benda yang seolah lepas dari tempelan. Ternyata kotak biru kecil itu terbelah oleh sebuah garis yang adalah ruang pembelah.
Alma lalu mencoba memisahkan kotak itu menjadi dua. Ternyata terpisah menjadi dua. Kini masing-masing tangan Alma memegang bagian dari kotak itu.
Alma melihat sisi belahan pada kotak. Ternyata pada belahan itu ada ukiran logam yang bagus.
“Ada gambar cangkang kura-kuranya,” ucap Alma sambil benar-benar memerhatikan sisi dalam benda itu yang berwarna perak.
Alma lalu kembali memasang kedua sisi dalam kotak logam itu. Ia tempel lalu tekan.
Cklik!
Benda itu kembali merapat dan mengunci.
“Barang bagus. Pasti benda ini sangat penting, sampai-sampai dicari,” pikir Alma dalam hati.
Alma lalu menyimpan kotak biru itu di balik sabuk pakaiannya. Meski menimbulkan tonjolan, tetapi tidak begitu menarik perhatian.
“Ada kapal bajak laut!” teriak Slamet Lara dari pantai. Ia berteriak ke arah permukiman rumah warga yang agak jauh dari pantai.
Alma melihat ayahnya berlari naik ke tanah tinggi untuk memberi tahu warga bahwa ada kapal bajak laut yang datang. Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke arah lautan lepas.
Memang benar. Di tengah laut terlihat sebuah perahu besar datang menuju ke arah Pantai Parasemiris, tampaknya benar-benar berlayar menuju arah Desa Iwaklelet. Di atas tiang besar perahu itu bekibar bendera berwarna merah dengan gambar kepiting.
Alma segera melompat dari perahu turun ke air yang dalamnya hingga sepaha. Alma berjalan naik ke pasir, setelah itu ia berlari mengejar ayahnya.
“Ada bajak laut datang! Ada bajak laut datang!” teriak Slamet Lara.
Teriakan Slamet Lara itu mengejutkan warga yang umumnya sedang beristirahat. Mereka tidak bermain gim online, tetapi sedang berbincang serius. Terkadang mereka bersikap layaknya wakil rakyat yang lebih serius dari wakil rakyat di negeri masa depan yang suka tidur dan bertikai.
Mereka segera melihat ke arah laut dan kemudian membenarkan woro-woro Slamet Lara.
“Cepat lapor Kepala Desa dan Pendekar Desa!” seru seorang warga.
Namun, tidak ada yang pergi untuk melapor ke rumah Kepala Desa.
“Aaah, kalian ini! Melapor ke Kepala Desa saja harus pakai dicontohkan!” teriak warga tersebut kesal. “Perhatikan cara aku melapor ke Kepala Desa!”
Warga tersebut lalu berlari pergi menuju rumah Kepala Desa Iwaklelet yang terletak agak jauh dari pantai.
Tong tong tong otong…!
Seorang warga kemudian memukuli kentongan memberi tahu semua warga Desa Iwaklelet bahwa “ada sesuatu loh”.
Maka tidak butuh waktu lelet, warga dari semua genre segera berkumpul membawa tanda tanya di atas kepalanya. Tidak perlu ada penjawaban yang panjang lebar karena lautan segera menjawabnya dengan sebuah visual.
“Bajak laut!” teriak sejumlah warga telat.
“Cepat selamatkan perahu! Cepat selamatkan perahu!” teriak seorang warga mengingatkan.
“Cepat selamatkan perahu!” teriak warga yang lain mendadak panik lalu cepat berlari terbirit-birit menuju tempat para perahu ditambatkan.
Tindakan itu cepat diikuti oleh warga-warga yang merasa memiliki perahu.
“Siapkan senjata! Siapkan senjata!” teriak warga yang lain pula.
Seperti para peserta 17 Agustusan, para warga seketika berlomba-lomba berlari ke rumah masing-masing saat mendengar komando itu.
Warga Desa Iwaklelet berubah panik, kacau, dan bingung harus berbuat apa. Bahkan warga yang termasuk golongan Orang Bersandal” sudah mendesain tempat persembunyian diri dan keluarga mereka di dalam rumah.
“Ayah, kenapa kacau seperti ini?” tanya Alma kepada ayahnya yang pergi ke perahunya yang juga ditambatkan.
“Itu bajak laut, Alma,” jawab Slamet Lara sambil menunjuk ke arah kapal besar yang semakin dekat ke pantai.
“Lalu kenapa kalau bajak laut?” tanya Anjengan juga, kakak Alma yang turut bingung melihat kepanikan yang terjadi.
“Bajak laut itu jahat,” jawab Slamet Lara sambil melubangi sisi bawah perahunya dengan tikaman ujung goloknya yang lancip.
“Ayah, kenapa dilubangi perahu kita?!” tanya Alma dengan setengah berteriak, ia terkejut tapi tidak habis pikir.
“Jika tidak ditenggelamkan, bajak laut itu akan merusaknya lebih parah. Setelah bajak laut pergi, nanti kita perbaiki lagi,” jelas Slamet Lara.
“Oooh!” desah Alma manggut-manggut.
Tidak hanya Slamet Lara yang melubangi perahunya kemudian menenggelamkannya, semua pemilik perahu melakukan hal yang sama.
Sementara itu, sudah banyak warga yang berkumpul dengan tangan masing-masing menenteng senjata. Ada yang bawa golok, senjata sehari-hari mereka sebagai seorang nelayan. Ada yang bawa pisau dapur, gergaji, kapak, pahat, tongkat, pentungan, tambang, jala ikan, sapu lidi, hingga kail. Bahkan ada yang bawa pedang, senjata yang dimiliki tetapi tidak pernah dipakai, karena pemiliknya pada dasarnya bukan seorang pendekar atau prajurit.
Selain laki-laki, ada juga sejumlah ibu-ibu yang merasa memiliki jiwa srikandi laut. Mereka bergabung dengan kaum lelaki berkumpul bersama di belakang Kepala Desa Iwaklelet.
Kepala Desa Iwaklelet adalah seorang lelaki tinggi kurus, tetapi ia kuat bertahan jika ada angin kencang. Ia mengenakan baju merah gelap dengan celana hitam dan sarung kuning diikatkan di pinggang. Di balik lilitan sarung itulah terselip sebuah golok panjang yang masih bersarung juga. Kepala desa itu bernama Jaring Wulung, seorang pelaut handal yang sudah kenyang menelan garamnya laut. Namun, kini ia sudah berhenti melaut, meski tidak ada tunjangan pensiuanan untuk seorang pelaut veteran.
Di samping kanannya berdiri seorang lelaki tinggi besar yang bertelanjang dada, memperlihatkan badan kekarnya yang terbentuk atletis karena sering menarik dan mendorong perahu. Lelaki berusia lebih muda dari Jaring Wulung itu memelihara kumis tebal seperti poni. Ia berdalih bahwa sebagai seorang Pendekar Desa, wajib memelihara kumis tebal sebagai tanda orang yang ditakuti. Tangan kirinya memegang sebuah golok bergagang kepala ikan, bukti ciri khas sebagai seorang pendekar pesisir. Ia bernama Debur Angkara, satu-satunya tokoh keamanan yang diakui kependekarannya, maksudnya dia lebih hebat daripada semua warga di Desa Iwaklelet itu.
Setelah perahu-perahu nelayan sudah ditenggelamkan semua, mereka kemudian berkumpul dalam satu lokasi. Mereka berpegang kuat pada pepatah yang mengatakan “bersatu kita teguh, bercerai kita nikah lagi”. Mereka semua memandang ke arah laut, ke arah kapal besar yang semakin mendekat.
Sementara Alma dan teman-temannya hanya mengerenyit melihat tingkah dan sikap orang-orang dewasa itu. (RH)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!