“Ibu merupakan sosok malaikat tanpa sayap. Dari seorang ibu, kita belajar bagaimana mencintai tanpa syarat. Seorang ibu adalah dia yang dapat menggantikan semua yang lain, tetapi tempatnya tidak dapat diganti orang lain. Ibu adalah detak nadi waktu. Ibu adalah segalanya.”
Demikian sederet kata-kata indah yang disampaikan Daud, dosen muda yang mengisi mata kuliah jurusan sastra.
Kata-kata itu menghanyutkan Khalisa Lyn, salah satu mahasiswi yang antusias dalam bidang yang dia pelajari. Kata orang, belajar setengah-setengah tidak akan membuat cita-cita tergapai, begitu juga Lyn yang tampak semangat pada pendidikan.
Membicarakan sosok ibu, Lyn kerap kali tersentuh. Soalnya ibunya garang, suka marah-marah, pokoknya algojo kelas kakap. Mendingan kalau Cuma marah aja, ini kalau sudah marah pasti bawa-bawa sapu lidi, udah mirip kayak nenek sihir mau terbang. Beuuuh…
“Baik, kelas kita sudahi. Selamat siang!” Dosen muda meninggalkan ruangan.
Usai mengikuti kelas, Lyn menyusuri trotoar hendak pulang. Biasanya naik motor, tapi hari ini naik taksi karena tadi hujan deras. Salah satu tali tas punggungnya menggayut di pundak.
Lyn memegang bandul kalung yang melingkar di lehernya, menatap dengan seulas senyum. Harganya tidak mahal, bisa dibeli di toko kecil tempat penjualan aksesoris. Bukan nilai rupiahnya yang membuatnya kerap mengulum senyum saat menatapnya, tapi pemberinya, Luth. Wajah tampan Luth sontak membayang di kepala Lyn. Dia adalah sosok termanis di kehidupan Lyn. Tidak sulit untuk membuat Lyn merasa bahagia, cukup mengenang wajah tampan Luth, tetangganya itu, Lyn sudah tersenyum.
Mengenang wajah itu, lagi-lagi sudut bibir Lyn kembali tertarik. Banyak orang mengatakan cinta itu sederhana, cukup melihat orang yang kita cintai bahagia. Itulah cinta.
Demikian juga Khalisa Lyn, yang kerap senyum-senyum sendiri saat menatap wajah tampan sosok pria di sebelah rumahnya. Pria yang wajahnya kebule-bulean. Memang dia blasteran Jawa-Belanda, ibunya Jawa, almarhum ayahnya keturunan Belanda. Namanya Luth Abimanyu. Manik matanya biru, hidungnya mancung, kulitnya putih. Handsome.
Kalau sudah menatap wajah pria tampan yang rumahnya bersebelahan dengannya, Lyn jadi seperti orang gila. Senyum sendiri, ngomong sendiri.
Setiap kali melihat Luth tersenyum senang, Lyn pun merasa bahagia. Saat melihat Luth bersedih, Lyn jauh lebih kebingungan. Ingin menjadi badut yang menari-nari di depan Luth supaya pria itu tersenyum.
Sambil berjalan, bandul kalung menjadi perhatiannya. Ia bahkan mungkin sanggup membeli seratus buah kalung yang sama, namun lagi-lagi perlu ditegaskan bahwa nilai sebuah benda bukan terletak pada harganya. Lyn berasal dari keluarga berkecukupan, namun ia tidak ilfil pada benda-benda berharga murah.
Bruk!
“Aduh!” seru Lyn bersamaan dengan tabrakan keras yang menghantam tubuhnya.
“Maaf!” Lawan tabraknya bergegas pergi, seperti terburu-buru.
Tidak ada raut kesal di wajah Lyn meski sudah ditabrak dan ditinggal lawan tabrakannya begitu saja.
Lyn terkejut menatap kalungnya yang putus hingga butiran kalung berhmburan sampai ke jalan aspal. Lyn bergegas memunguti butiran kalung, tanpa sadar ia kini sudah berjongkok di tengah jalan untuk memungut benda yang menurutnya berharga.
Tiin tiiiin….
Suara klakson mobil seperti bukan penghalang bagi Lyn untuk terus memungut. Ia mendongak, sekilas menatap mobil yang berhenti, tak sabar ingin menyingkirkannya dari jalan.
Suara klakson kembali nyaring terdengar. Namun seperti tak merespon, Lyn melanjutkan kegiatannya.
Tak lama pemilik mobil berwarna putih itu turun dan menghampiri Lyn.
“Crazy! Apa-apaan kamu? Nggak liat apa ini jalanan umum? Dari tadi nggak denger suara klakson mobilku? Minggir!” hardik sosok pria yang berdiri dengan raut kesal.
Lyn mengangkat wajah, terkejut menatap sosok pria tampan yang kini ada di hadapannya. “Luth?”
Ya ampun, pria galak yang paling ganteng sekabupaten itu memang tidak berubah, selalu saja jutek. Lyn sampai tidak menyadari kalau pemilik mobil yang sejak tadi membunyikan klakson mobil adalah Luth saking asik pada kegiatan yang dia anggap penting.
“Aku lagi memungut ini!” Lyn menunjukkan butiran kalung miliknya.
“Aku beli di pasar loak. Harganya lima ribu. Begitu amat sama benda murahan,” ketus Luth merasa geram.
Loh? Kirain lima puluh ribu, tapi nol nya menggelinding satu. Luth kok malah menyebut nilai benda murahan itu. Kalau tidak disebut, minimal Lyn membayangkan harganya ditambah nol satu.
“Kalau edan jangan sampai ngerepotin orang! Orang se Jakarta bisa pusing melihat kelakuanmu ini! dari tadi disuruh minggir, malah asik sama pekerjaan nggak jelas begini. Kalau kamu ketabrak mobil gimana? Ngerepotin orang jadinya. Mereka mesti sibuk ngurusin ganti rugilah, bayar kompensasilah, biayanya besar, tau!” Luth menarik lengan Lyn supaya menyingkir dari badan jalan.
“Masih ada beberapa butir lagi yang menggelinding.” Lyn menunjuk butiran lainnya yang tercecer di jalan.
Kesal melihat kelakuan Lyn yang dianggap tidak benar, Luth pun menampik butiran di tangan Lyn hingga kembali berserakan. Sudah susah payah Lyn mengumpulkannya, kini kembali berhamburan.
“Luth, kenapa dibuang?” Lyn menyayangkan sikap Luth. Padahal Lyn menganggap kalung itu sangat berharga.
Okelah butiran kalung tidak masalah hilang, tapi Lyn membutuhkan bandul kalungnya. Ia menghambur memungut bandul kalung yang terlempar ke tengah jalan. Ia bahkan tidak sadar kalau ia kini berada sudah berada di tengah jalan saat sebuah mobil melaju kencang ke arahnya.
“Awas, Lyn!” seru Luth menghambur.
Brak!
Kejadian itu begitu cepat. Tabrakan tak bisa dihindari. Tubuh Luth terlempar sesaat setelah ia berusaha menyingkirkan tubuh Lyn, namun justru tubuhnya yang menjadi korban bak super hero gagal.
“Luuuth!” Lyn berteriak histeris. Pria yang siam-diam ia cintai itu, kini terkulai di aspal. Lyn menghambur meraih tubuh Luth, meletakkan kepala pria itu di pangkuannya. Menangis histeris.
"Hei, nangisnya jangan kenceng-kenceng. Muncrat semua itu!"
Lyn membelalak, loh ternyata Luth masih hidup, kirain mati. Tatapan elang pria itu bahkan terlihat nyata.
***
BERSAMBUNG
Hai hai semuanya, Emma Shu balik lagi bawa cerita baru, jangan lupa dukung cerita ini, klik like dan masukin ke favorit.
Tenang tenang... Emma bakalan rutin update cerita ini kok.
O ya, ajakin temen temen kalian baca yuk biar rame, boleh share ke grup fb atau apa aja.
Thankyuh..
oya, silakan tulis di kolom komentar, kalian udah baca ceritaku lainnya yang mana?
Salam,
Emma Shu
Lyn menghambur memasuki salah satu kamar rumah sakit sesaat setelah dokter mengijinkannya masuk.
“Luth!” panggilnya dengan raut cemas dan wajah yang basah sehabis nangis kejer. Tak peduli tadi ada banyak orang yang lewat memperhatikan tangisannya. Ia tidak menyangka pengorbanan Luth terhadapnya begitu besar, sampai rela mempertaruhkan nyawa demi dirinya.
“Udah, nggak usah nangis. Aku nggak apa-apa. Ini luka luar aja,” celetuk Luth seperti tidak terjadi apa-apa terhadap dirinya, padahal wajahnya ditempel beberapa balutan perban. Sikunya juga dibalut perban. Kemejanya terkena bercak merah darah. Ia di posisi duduk sekarang.
“Maaf!” lirih Lyn menangis.
Luth menatap Lyn dengan dahi mengernyit. “Ini kenapa kamu yang nangis kejer sih? Bukannya aku yang kesakitan?”
Ups. Sontak tangis Lyn pun terhenti. Ia menatap Luth dengan mata membelalak.
“Lihat tuh hidungmu udah kayak jambu, merah nggak jelas.” Luth menyeletuk menatap ujung hidung Lyn.
“Kamu udah sakit separah ini masih aja galak.” Lyn mengusap air matanya. “Aku menyesal, semua ini terjadi gara-gara aku.”
“Nah, tuh tau. Makanya jangan songong. Nongkrong kok di tengah jalan, nyusahin orang kan jadinya?”
“Maaf.” Kata-kata itu kembali terucap dari bibir tipis Lyn. Gadis itu menunduk. Ia kemudian mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya. “Ini ada uang dari orang yang nabrak kamu.”
Luth mengangkat alis menatap amplop yang disodorkan.
“Orang itu juga udah bayar semua biaya adminsitrasinya,” sambung Lyn. “Katanya dia minta maaf, dia udah berusaha banting setir untuk menghindari kecelakaan, tapi sulit dielakkan karena jarak udah sangat dekat.”
“Trus orangnya mana?”
“Udah pergi. Katanya buru-buru. Di amplop itu juga dicantumin nomer hp bapak itu, kita bisa hubungi dia kalau ada perlu apa-apa,” ucap Lyn.
“Memangnya ada perlu apa lagi? Minta duit? Nggak perlu. Ini bukan kesalahan dia. Ini kesalahanmu. Nongkrong di tengah jalan sembarangan. Udah kayak nggak ada tempat tongkrongan yang lebih nyaman aja,” kesal Luth. “Lihat nih mukaku jadi bonyok begini, gantengnya kurang kan?”
“Masih tetep ganteng, kok,” polos Lyn.
“Untung aja tadi bukan aku yang nabrak kamu, kalau aku yang nabrak kamu, besar kerugianku. Mobil rusak. Itu mobil masih dalam proses kredit, belum lunas, kalau rusak mesti ngurus ke asuransi, repot," ucap Luth.
Lyn menggiggit bibir bawah. Luth lebih memikirkan mobilnya ketimbang dirinya. Ampun deh.
Luth ingat sebelum peristiwa nahas itu terjadi, ia sudah beberapa kali membunyikan klakson mobil merk Ayla yang masih dalam proses kredit, cicilan selama lima tahun dan baru berjalan satu tahun terakhir, namun Lyn tidak mau minggir. Jika bukan karena sering terlambat ke kantor karena kehujanan, Luth tidak akan mungkin membeli mobil dengan harga paling terjangkau itu, ia memiliki banyak keperluan lain yang jauh lebih penting dan menuntut harus dipenuhi. Untuk membayar angsuran kredit saja ia terpaksa mesti menyisihkan gajinya yang tidak seberapa. Belum lagi memenuhi urusan perut, ia tidak hanya memikirkan diri sendiri, melainkan juga memenuhi kebutuhan ibunya.
“Trus sekarang mobilku dimana?” tanya Luth.
“Di parkiran rumah sakit. Kan aku bawa ke sini tadi,” jawab Lyn.
Hening.
Lyn mengawasi wajah tampan Luth yang di bagian pipinya lebam. Setiap menatap wajah itu, hati Lyn seperti tersengat. Apa lagi kalau berdekatan begini, rasanya deg-degan. Luth mungkin tidak menyadari hal itu.
“Luth!” panggil wanita paruh baya yang baru saja memasuki ruangan. Dialah Alisha, ibunya Luth.
Sejurus pandangan tertuju ke arah Alisha. Wajah keriput yang sudah memasuki usia 58 tahun itu tampak tenang, sedikit pun tidak terlihat kegelisahan, resah, apa lagi sedih. Meski tampak mengeriput karena sudah termakan usia, namun ia masih terlihat kuat dan sehat, penuh semangat.
“Lyn tadi telepon Ibu, kasih kabar kalau kamu kecelakaan. Jadi ibu langsung kemari. Sekarang bagaimana kondisimu, Nak?” Tanya Alisha sembari mengawasi wajah putranya. “Ya Allah, mukamu bisa begini?”
“Nggak apa-apa, Bu. Cuma luka luar. Sebentar lagi juga udah boleh pulang,” jawab pria berusia 24 tahun itu. suaranya terdengar sangat lembut saat berbicara pada ibunya. Seratus delapan puluh derajat kegalakan Luth lenyap. Seperti disulap malikat.
Lyn tidak heran dengan pemandangan itu. sosok Luth hanya luluh pada ibunya. Kepatuhan Luth pada sang ibu tidak diragukan lagi.
“Syukurlah. Alhamdulillah. Ibu senang mendengarnya. Sepanjang jalan ibu terus berdoa, semoga Tuhan melindungimu. Tuhan menjawab doa Ibu. Lukamu nggak seserius yang ibu bayangkan.” Alisha mengambil sebotol air mineral dari dalam tasnya, lalu menyerahkannya kepada Luth. “Ayo diminum.”
Luth mengangguk, meminum air mineral pemberian ibunya.
“Ibu tadi udah ngabarin Mas dan Mbakmu, tapi mereka belum datang,” ucap Alisha mengingat tadi ia sudah mengabari putra sulungnya bernama Hud, dan Khadijjah anak keduanya yang juga tidak muncul. Keduanya sudah menikah, sudah menempati rumah masing-masing.
***
Bersambung
Jangan lupa klik like 😘😘😘
Lyn menenteng rantang susun tiga yang sudah diisi dengan menu masakannya. Membawa benda itu melenggang keluar.
“Apa itu, Lyn?” Tanya Nuh, ayah Lyn yang sedang duduk di teras membaca media masa.
“Eh, Papa. Ini anu… itu loh…” Lyn malu-malu, ingin mengantar makanan untuk Luth, tapi bagaimana caranya menyampaikan keinginannya itu? Takut ayahnya salah paham.
“Anu, itu. Apa?” Nuh bingung melihat putri semata wayangnya yang gugup.
“Ini lauk pauk, mau Lyn kasih ke tetangga, Pa.”
“Oh… Buat Bu Alisha? Ya udah, antar sana!” ucap Nuh tanpa merasa curiga, bahwa putrinya menaruh hati pada Luth.
“Nah, iya iya. Buat Bu Alisha. Kasian tetangga kita kan jarang makan enak. Ini biar Lyn antar dulu ya, Pa!” ucap Lyn kemudian melenggang menuruni teras, melewati halaman luas dan memasuki halaman rumah Luth yang tanpa pembatas pagar.
Seperti biasa, Lyn langsung masuk ke rumah yang pintunya tidak ditutup itu setelah mengucap salam. Ia sudah sangat familer dengan rumah yang bersebelahan dengan rumahnya itu.
“Bu Lisa!” panggil Lyn sambil berjalan memasuki ruangan lain setelah melewati ruangan utama.
“Ehm! Hei, nyariin siapa kamu?” tanya Luth mengejutkan Lyn.
Sontak gadis itu menoleh ke sumber suara, tampak Luth tengah mengangkat sebuah ember berisi pakaian yang sudah dikeringkan dari mesin cuci, siap untuk dijemur. Seperti biasa, tatapan elang pria itu membuat Lyn tak berkutik. Ditatap dengan pandangan tajam saja rasanya berdebar-debar begini, gimana kalau ditatap dengan tatapan penuh cinta? Ngarep.
Tidak usah ditanya seberapa cekatan Luth melakukan pekerjaan rumah, ia terbiasa mencuci piring, menyapu bahkan memasak. Ia sangat cekatan dan tulus melakukannya demi satu tujuan, merawat ibunya. Ya, sehari-hari ia memasak makanan untuk sang ibu, membuatkan bubur, memijit ibunya, juga membuatkan ramuan jamu untuk sang ibu.
“Kamu barusan selesai nyuci baju?” tanya Lyn berbasa-basi. Ia tahu setiap hari Luth melakukan aktifitas tersebut. Mana mungkin Luth membiarkan ibunya kelelahan mencuci baju. Jangankan mencuci baju, memasak pun sering kali Luth yang melakukannya.
Alisha memang tampak selalu sehat dan terlihat sebagai wanita tegar, namun tenaganya jelas sudah termakan usia. Sehingga ia mudah lelah, letih dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan berat. Jika saja ia masih rutin memaak, mencuci piriong, mencuci baju, menyapu, mengepel dan beres-beres rumah, mungkin ia akan kelelahan dan sakit. Sehari-harinya, wanita itu lebih fokus pada ibadah dan mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan saja, contohnya mencuci piring dan menyapu.
“Kayak baru kali ini aja lihat aku nyuci baju. Aku tadi tanya, kamu ke sini ngapain? Bawa rantang lagi.”
“He heee… Ini aku bawain makanan,” jawab Lyn malu-malu sambil mengayun-ayunkan rantang di tangannya. “Ini aku masak sendiri. Ada daging steak saus, daging cordon bleu, sama oseng cumi pedas.”
“Untuk siapa?” Luth mengangkat alis, menatap rantang dan wajah Lyn silih berganti.
“Untuk… ya untuk kamu sama Bu Alisha. Kamu kan lagi sakit, ketabrak mobil gara-gara aku.”
“Bukan ketabrak, keserempet doang. Ya udah, sini biar kumakan!” Luth mendekati meja, menarik salah satu kursi lalu duduk di sana.
Dengan senang hati, Lyn meletakkan rantang ke atas meja. Tanpa sengaja lengannya tersenggol lengan Luth saat menyajikan makanan.
Srrr… Sesuatu yang sulit dijabarkan menyengat ke sekujur tubuhnya. Aneh, lengan yang kesenggol, tapi sekujur badan yang seperti tersengat listrik. Ya ampun, rasanya deg-degan.
“Kamu kan lagi sakit, jadi aku bawain makanan ini buatmu. Itung-itung sebagai permintaan maafku ke kamu,” ucap Lyn agak grogi.
Dengan tatapan tanpa selera, Luth mengambil makanan menggunakan sumpit, mengunyahnya.
Dua kali suap, tidak ada respon apa pun dari Luth meski pria itu telah menelan makanan.
“Nggak enak?” tanya Lyn.
Luth hanya mengangkat alis, tanpa memberi jawaban.
“Kok, nggak ada tanggapan apa pun? Bilang enak kek, apalah gitu,” lirih Lyn merasa patah semangat, sudah capek-capek masak, tapi muka Luth tampak lempeng saja saat menyantap hasil masakannya.
“Kalau ngasih orang tuh yang ikhlas, jangan mengharap pujian.” Luth menyeletuk membuat Lyn cemberut.
BERSAMBUNG
Hayoo... Jangan lupa klik like. Makasih semua yg udah support kasih vote dan komen.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!