"Lea, sebentar lagi kamu ikut saya ke kota menemui tamu ya." Sebelum masuk ke ruangannya, Pak Beni berhenti sebentar di depan meja sekretarisnya.
"Baik Pak." Lea tersenyum dan menganggukan kepala dengan sopan.
Siapa yang tidak kenal dengan Beni Prasojo, orang terpandang kampung tempat Lea tinggal. Hampir semua pembangunan di daerah ini, ada aliran dana dari Bos tempat Lea bekerja itu.
Bintang Amalea yang biasa dipanggil Lea, seorang gadis cantik yang cerdas. Namun sayangnya ia gagal melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, di karenakan kondisi ekonomi keluarga yang menurun drastis sejak ayahnya pergi untuk selamanya.
Namun di tengah keterpurukan ekonomi keluarganya, Lea merasa sangat bersyukur. Orang hebat seperti Pak Beni, mau menerimanya sebagai sekretaris pribadi meski ia hanya memegang ijazah SMK.
Selain dihormati, usaha perkebunan dan property Beni, sangat maju sehingga nama daerah tempat Lea tinggal semakin dikenal oleh orang dari luar daerah mereka. Keluarga Pak Beni pun tampak sangat harmonis, dengan istri yang cantik dan terlihat anggun serta kedua putra mereka yang lucu.
"Kamu sudah siap?" Pak Beni berdiri di depan pintu dengan tas berisi berkas dan senyuman lebar yang tidak pernah lepas dari bibirnya.
"Siap pak." Lea segera beranjak dari kursinya lalu mengikuti langkah Beni menuju lift.
"Bagaimana kondisi ibumu, beliau sudah lebih sehat?" Beni menatapnya dari samping setelah mereka berdua berada di dalam lift.
"Ibu sudah lebih baik. Setelah bapak bawa ibu ke dokter, kondisi ibu semakin sehat dan sudah tidak muntah-muntah lagi. Sekarang juga sudah mau makan." Senyum Lea terkembang sempurna, "Terima kasih, Bapak sudah banyak membantu keluarga saya, tapi maaf saya belum bisa balas kebaikan bapak." Lea tersenyum menunduk.
"Tidak masalah Lea, kamu tidak perlu merasa tidak enak. Jika saya sanggup bantu, sudah pasti saya lakukan. Jadi tidak perlu sampai minta maaf."
Beni masih menatap Lea lekat. Sejenak pandangan mata mereka bertemu, ada sorot lain dalam mata Beni yang membuat Lea sedikit bergidik. Tautan mata mereka terputus saat pintu lift terbuka.
"Kita mau menemui siapa hari ini, Pak?"
"Calon customer baru, rencananya mereka akan ambil rutin hasil kebun kita dengan skala yang besar." Sambil mengemudi senyum Beni semakin lebar dengan mata yang fokus menatap jalan yang akan mereka lalui.
"Kamu bagaimana betah kerja di tempat saya?, apa ada kesulitan?"
"Tidak ada pak, sampai saat ini semua lancar," sahut Lea dengan masih tersenyum manis.
"Terima kasih Bapak sudah memberikan kepercayaan pada saya di posisi sekertaris. Padahal yang melamar posisi ini banyak yang pintar, dan dari lulusan universitas ternama. Sedangkan saya baru lulus dan tidak punya pengalaman kerja sama sekali."
"Saya pilih kamu karena saya yakin kamu mampu."
Apa hanya itu?, batin Lea. ingin rasanya bertanya lebih lanjut tapi ada rasa segan.
Lea hanya merasa sedikit heran mengapa ia dengan mudahnya diterima, di antara banyaknya saingan yang saat itu melamar kerja bersama dirinya.
Secara kualitas jelas ia sangat jauh dari para pelamar lainnya, menggunakan komputer pun kurang mahir apalagi untuk hal lainnya.
Entalah sudah diterima bekerja bersyukur saja Lea, jangan banyak tanya yang tidak penting. Lea berusaha menepis pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikirannya.
Setelah sekitar tiga jam berada di dalam mobil, akhirnya mereka sampai di restoran tujuan untuk bertemu dengan calon customer baru yang diceritakan Beni tadi selama di perjalanan.
Mereka menghabiskan waktu kurang lebih empat jam dalam restoran itu.
Sambil makan Beni dan rekannya lanjut membicarakan prospek bisnis kedepan.
Lea hanya duduk manis sambil sesekali tersenyum.
Entah apa tujuan Beni sering mengajak Lea bertemu klien, atau hanya sekedar cek di lapangan.
Bukannya Lea tidak bisa melakukan apapun, tapi ia tidak pernah diajarkan sesuatu hal yang penting dalam pekerjaannya.
Tugasnya hanya cukup menemani, membawakan berkas, dan sesekali membantu menulis pesan penting yang seharusnya Beni pun bisa melakukan sendiri.
"Lea, sepertinya saya agak kurang sehat. Saya tidak bisa mengemudi dalam kondisi seperti ini. Bisa bahaya bagi kita berdua kalau dipaksakan." Mereka baru saja keluar dari pintu restoran saat Pak Beni memijat-mijat ringan tengkuknya.
Lea hanya memandang bingung ke arah atasannya itu.
Memijat jelas tidak mungkin, menawarkan gantian mengemudi lebih gila lagi.
"Kita menginap semalam ya, kamu tidak apa-apa?"
"Maksud bapak kita tidak pulang malam ini?"
"Iya, soalnya saya takut terjadi sesuatu di jalan." Beni kembali memijat kepalanya.
"Kalau kamu keberatan saya bisa jalan pelan-pelan, tidak apa-apa." Pak Beni melirik Lea yang terlihat antara bingung, ragu dan takut.
"Mmm ... jangan pak, tidak apa-apa lebih baik kita menginap saja kalau bapak sakit"
"Saya minta maaf ya, tadi terlalu lama berbicaranya, dan lokasi ini juga jauh dari tempat tinggal kita. Seharusnya saya tidak menyusahkan kamu seperti ini"
"Ehh, tidak apa-apa pak. Saat ini kan saya sedang bekerja"
Mobil Beni memasuki area parkir hotel. Begitu sampai Beni langsung turun dari mobil dan segera masuk menuju ke arah meja receptionist.
Lea hanya megikuti dari belakang dan berhenti di dekat sofa ruang tunggu.
Dilihatnya Beni berbicara dengan receptionist sambil sesekali menoleh ke arah Lea.
Tidak berapa lama Beni menghampiri Lea dengan wajah lesu.
"Sepertinya kita harus cari tempat penginapan yang lain." Beni kembali memijat belakang lehernya dengan wajah yang terlihat lelah.
"Memangnya kenapa pak?" tanya Lea ingin tahu.
"Semua kamar penuh, hanya tersisa satu yang president suite." Wajah Beni semakin terlihat lelah dan kesal.
"Maksudnya kamar khusus untuk Presiden begitu pak?" tanya Lea dengan raut wajah heran.
"Bukan Lea, itu nama kamar yang paling besar di sini, dan sekarang hanya tersisa satu itu saja." Beni memandang Lea gemas.
"oww ... hehehe" Lea tertawa malu.
"Saya duduk dulu sebentar ya, kepala saya pusing sekali. Kalau sakit kepala saya sudah agak reda, kita coba keliling lagi cari penginapan lain." Dengan langkah gontai Beni berjalan ke arah sofa di belakang Lea.
"Pak Beni kalau kepalanya masih sakit, lebih baik jangan menyetir dulu." Lea merasa kasihan sekaligus khawatir dengan keadaan atasannya ini.
"Kalau saya tidak menyetir, bagaimana kita cari hotel lain Lea? kita mau istirahat di mana malam ini?"
"Ya di sini saja pak." Lea mengedarkan pandangannya ke sekeliling lobby hotel.
"Kamarnya kan hanya sisa satu, memangnya kamu mau tidur sekamar sama saya?"
"Eehhh, benar juga." Lea tampak menimbang-nimbang ragu.
Pak Beni masih memandang Lea dengan sorot mata yang menanti jawaban sambil sesekali tangannya memijat tengkuk dan pelipisnya.
"Mmm, saya bisa tidur di lantai juga tidak apa-apa pak, saya sudah biasa." Lea yang merasa dirinya selalu menyusahkan, mencoba mencari solusi yang dirasanya bisa sedikit membantu.
Dipikirannya saat ini adalah bagaimana bosnya itu bisa segera istirahat malam ini.
Beni masih menatap Lea dengan mata memicing dan dahi sedikit berkerut.
Melihat reaksi Beni, Lea menganggukan kepala untuk meyakinkan.
"Baiklah kita lihat dulu kamarnya ya. Biasa kalau kamarnya besar ada sofanya, biar saya yang tidur di sana." Beni kembali berjalan ke arah meja receptionist.
Tidak lama kemudian Beni sudah kembali dengan memegang amplop berisi kartu kunci kamar.
"Ayo." Beni menuntun Lea menuju lift.
Sampai di lantai sembilan hotel itu, Pak Beni membuka salah satu kamar lalu menyalakan pendingin ruangan.
Lea merasa suasana aneh saat memasuki kamar hotel, karena ini baru pertama kalinya ia menginjakkan kaki di hotel.
"Kamu mau mandi dulu, atau saya yang mandi dulu?" Beni menyodorkan handuk pada Lea.
"Tapi saya tidak bawa baju ganti pak." Lea memandang pakaian yang dia gunakan.
Kemeja lengan panjang warna merah, dan celana bahan warna hitam sederhana membalut badannya yang mungil.
"Pakai kemeja saya aja, saya biasa bawa beberapa pakaian ganti di mobil untuk jaga-jaga kalau ada pertemuan penting," terang Beni.
"Kamu mandi aja dulu, saya turun ambil baju ganti di mobil." Beni menyerahkan handuk pada Lea lalu segera keluar kamar.
Sepeninggal Beni keluar kamar, Lea tertegun merasa canggung tidak menyangka saat ini bisa berada sekamar dengan seorang pria.
Walaupun ini karena situasi yang di luar rencana, tapi ada yang aneh ia merasa tidak nyaman dan ini tidak seharusnya terjadi.
Tiba-tiba Lea teringat belum memberi kabar ibunya, dengan cepat Lea mengambil tasnya mencari telepon genggamnya. Raut wajahnya berubah kecewa saat melihat telepon genggamnya mati karena kehabisan daya.
"Kamu kok belum mandi?" Beni masuk dengan membawa tas traveling kecil.
"Saya belum memberi kabar ibu saya pak, tapi handphone saya habis baterainya," keluh Lea.
"Gampang itu, nanti saya yang kasih kabar ibu kamu. Sudah sana kamu mandi dulu." Beni menyerahkan satu buah kemeja miliknya yang masih terlipat rapi.
Lea memandangi dirinya di hadapan cermin yang ada dalam kamar mandi.
Selesai mandi ia berganti pakaian dengan kemeja milik Beni.
Kemeja panjang milik Beni terlihat sangat besar hingga hampir mencapai lututnya.
Lea merasa ragu dan malu untuk keluar dari kamar mandi dengan penampilan seperti itu.
Duh, aneh banget pakai baju seperti ini dalam kamar berdua saja sama Pak Beni. Ibu kalau tahu bisa ditarik kupingku sampai putus.
Tok .. tok .. tok
"Masih lama Lea?"
"Sudah pak, sebentar lagi." Mau tidak mau Lea membuka pintu kamar mandi dan keluar dengan cepat.
Langkahnya diiringi tatapan mata Beni sampai ia duduk menenggelamkan badannya di sofa.
"Saya mandi dulu ya, kalau kamu sudah mengantuk tidur aja duluan." Lea hanya mengangguk pelan.
huuufftt, bagaimana bisa tidur kalau situasinya seperti ini. Dari pada Pak Beni yang tidur di sofa lebih baik aku aja, setidaknya Pak Beni bisa tidur dengan nyaman karena lagi sakit.
Lea berjalan ke arah tempat tidur mengambil selimut untuk menutupi kakinya, meskipun kemeja ini panjang tapi kalau tanpa pakai bawahan rasanya tidak nyaman baginya.
Tidak berapa lama Beni keluar dengan rambut basah dan wajah segarnya.
Tapi tunggu dulu, kenapa Pak Beni tidak pakai baju hanya memakai celana pendek saja.
Lea melongo dengan wajah merah saat melihat Beni dengan santainya berjalan melewatinya dengan bertelanjang dada.
"Kenapa?" tanya Beni karena melihat Lea yang terus menatap dirinya dengan wajah heran.
"oww, baju saya kan kamu pakai" Beni mengikuti arah mata Lea yang memandang badan polosnya.
Lea hanya tertunduk malu, karena baru itu melihat dengan jelas tubuh pria dewasa.
Beni terlihat mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan meminumnya, lalu berjalan ke arah Lea dan menyodorkan beberapa tablet berwarna warni.
"Ini hanya vitamin Lea, minum aja. Biar malam ini kamu bisa tidur nyenyak, lalu besok pulang dan badan tidak terasa sakit karena kita perjalanan jauh."
Sejenak Lea ragu untuk mengambil tablet yang disodorkan oleh Beni.
Namun sepertinya ini yang dia butuhkan agar bisa tidur lebih nyenyak, mengingat ia sekarang sekamar berdua dengan pria dewasa.
Ia merasa tidak yakin bisa memejamkan mata.
Lea lantas meminum semua tablet yang Beni berikan.
"Kamu tidur di ranjang aja, biar saya di sofa."
"Jangan pak, biar saya yang di sini tidak apa-apa."
"Mana bisa begitu Lea, kamu perempuan apa kata ibu mu kalau saya biarkan kamu tidur di sofa sedangkan saya di ranjang," tegas Beni.
Beni meraih tangan Lea hendak menarik agar ia bangkit dari sofa. Tenaga Beni yang sudah pasti jauh lebih kuat membuat Lea berdiri sedikit terhuyung.
Lea merasa melayang, kakinya seakan tidak berpijak pada lantai. Beni yang masih memegang tangan Lea, menatap ke arah mata Lea yang sudah setengah tertutup.
"Kamu kenapa?, sakit?"
"Agak pusing." Lea mengerjapkan matanya menetralkan rasa pusing di kepalanya.
Ia tidak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba terasa aneh.
Lea merasa seperti melayang, nafas seperti habis berlari tapi anehnya tidak merasa capek, yang ia inginkan saat ini hanyalah bantal dan merebahkan diri.
Lea merasa tubuhnya dituntun Beni ke arah tempat tidur. Tubuhnya dibaringkan Beni perlahan dan ia masih sempat mendengar suara Beni berbisik tepat di telinganya mengatakan, jangan khawatir Lea istirahat saja.
Entah apa yang terjadi, Lea sangat tahu saat ini Beni sedang berusaha membuka kancing bajunya. Ingin rasanya berteriak tapi seperti tidak ada tenaga yang ada .
Lea bukanlah anak kemarin sore, yang tidak tahu sama sekali apa yang akan Beni lakukan pada tubuhnya.
Saat ini ia hanya berharap jatuh pingsan, sehingga tidak tahu dan tidak mau mengingat sedikit pun apa yang akan terjadi.
"Paaakk .. bapak mau apaa .. jangan paak ... tolooong jangaan," lirih suara Lea memohon.
Beni tidak menanggapi sama sekali, hanya deru nafasnya yang terdengar.
Lea merasa bergidik, dia seperti tidak mengenali siapa orang yang kini berada di atasnya.
Kemana Pak Beni yang selalu tersenyum ramah.
Tubuh Lea sudah polos saat ini, sekilas ia melihat Beni juga membuka celana pendeknya.
Tidaaaakk ... jangaannn ... toloongg ibuuu .... Lea hanya bisa menangis dalam hati.
Beni mulai melanjutkan aksinya, Lea merasa sangat jijik saat bibirnya menyentuh bibirnya dengan paksa.
Tangannya menjamah dan meremas semua yang bisa digapainya.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Lea berusaha mendorong tubuh besar Beni tapi semua sia-sia.
Tiba-tiba Lea merasa ada yang menyengat di bagian bawah tubuhnya.
"Aakkkhhh ... " Reflek kakinya menendang paha Beni.
...🔸️🔸️🔸️...
Ini karya pertama saya di Novetoon tapi masih jauh dari sempurna.
Terima kasih sudah berkenan membaca 🙏😘.
Like dan komen dong biar semangat lanjutin ceritanya 🥰
Beni yang sedang menikmati penyatuannya, tersentak saat Lea menendang kakinya.
"Ga mauuu ... pak toloong jangaaann ... hikss ... sakiiitt." Lea terisak menahan perih di bawah sana.
"Leaa sayaang, tahan sebentar yaa." Beni mencoba membujuk, agar Lea sedikit tenang dan tidak memberontak lagi.
Lea yang sudah merasa muak tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, rasanya sama sekali tidak berdaya.
Tubuhnya serasa tak bertulang, tapi kesadarannya tetap terjaga dan inilah hal yang ia benci.
Ia tidak mau mengingat sedikitpun tentang kejadian malam ini.
Lea hanya menahan rasa sesak di hati saat Beni mulai menyentak-nyentak tubuhnya dengan nafas yang menderu di telinganya.
Hancur rasanya hati Lea, orang yang dianggapnya malaikat penolong, seketika berubah menjadi iblis di matanya.
Tidak berapa lama, Beni terkulai lemas di atas tubuhnya. Lea hanya mematung dengan pandangan kosong.
Tanpa ada sepatah katapun, Beni bangkit dari atas badan Lea dan menuju ke kamar mandi.
Setelah terdengar suara air pancuran dari arah kamar mandi, tangis Lea pun pecah tertahan.
Ia bergelung dalam selimut, tidak memperdulikan keadaan tubuhnya yang saat itu masih dalam keadaan polos.
Ayaahhhh ... bawa Lea pergiiii!!! Lea ga mau di sini lagiii yaah ... hikss ... hikss ... sakiiittt ... sakiittt ... ayaahhh .. Lea takut yaaahhh ... Lea rinduuu. ...
Lea hanya bisa menangis dalam diam dengan pikiran yang kosong.
Hari esok yang sebelumnya terlihat begitu indah, seketika gelap baginya.
Sempat terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri hidup.
Hampir saja kakinya beranjak ke arah balkon kamar, dan berniat terjun dari lantai sembilan hotel ini.
Namun wajah ibunya yang sedang terbaring lemah karena sakit, membuyarkan semua niatnya.
Tanpa sadar Lea terlelap dalam tidurnya karena masih dalam pengaruh obat yang diberikan Beni.
Beni bukannya tidak tahu kalau Lea menangis sepeninggalnya ke kamar mandi.
Sungguh tidak sampai hati ia memandang tatapan Lea yang kosong dan penuh luka, karena itu ia lebih memilih langsung beranjak masuk ke kamar mandi dan memberikan waktu dan ruang untuk gadis itu mencurahkan perasaannya.
"Maafkan saya Lea." Beni menghampiri Lea yang terbaring bergelung selimut.
Ia duduk di pinggir kasur menatap wajah gadis itu yang masih dipenuhi air mata. Tangannya terulur merapikan rambut yang berantakan, dan menghapus jejak air mata di pipi Lea.
"Saya sangat berharap kamu hamil setelah malam ini. Maafkan saya karena saya sangat menyukaimu. Saya yakin Devi pasti mau menerima kamu sebagai madunya."
Terserah apa kata orang tentangnya, tapi saat ini yang Beni mau hanyalah Lea menjadi istrinya.
Gadis muda yang sudah mencuri perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu.
Beni sadar bahwa dirinya memang egois, bahkan serakah karena ingin memiliki dua wanita sekaligus.
Ia menginginkan Amalea menjadi istri mudanya, tapi ia juga tidak mau melepaskan Devi istri yang sudah memberikan dua orang anak yang lucu.
Istrinya pun sudah tahu akan niatnya untuk menikah lagi, tapi ia belum memberitahu wanita mana yang ia pilih.
Saat menyampaikan keinginannya, Devi dengan mentah-mentah menolak niatnya itu.
Ia mengancam jika itu sampai terjadi, tidak akan ada kedamaian dalam rumah tangga barunya.
Beni akhirnya memakai rencana yang licik ini, ia berharap Lea marah dan menuntut tanggung jawabnya.
Bahkan lebih baik lagi jika Lea hamil, maka semua akan terasa lebih mudah baginya.
Tanpa diminta pun, dengan senang hati Beni akan menikahinya.
Beni sangat yakin dengan begitu, Devi tidak bisa menolak dan menerima Lea sebagai madunya.
Rencana ini sudah ia susun dengan baik dan sangat yakin pasti akan berhasil.
Perlahan Beni naik ke sisi pembaringan, lalu merengkuh bahu Lea mengecup lembut rambutnya dengan sayang.
"Maafkan saya Lea. Saya berjanji setelah ini, semua akan baik-baik saja. Saya pastikan kamu akan bahagia hidup bersama dengan saya."
...🔹️...
Beni terbangun dan merasakan sisi pembaringan yang kosong dan dingin.
Sontak ia terduduk mencari keberadaan Lea yang menghilang dari pelukannya.
Sejenak berikutnya ia menarik nafas lega melihat wanita yang dicari, sedang duduk terdiam dengan pakaian yang sudah lengkap dan rapi.
"Kamu sudah bangun Lea?" tanya Beni mencoba memecah suasana.
Lea masih terdiam tidak menanggapi dengan posisi yang sama.
"Tadi bangun jam berapa?" Lea masih tetap terdiam.
Beni menarik nafas panjang karena merasa diabaikan, "Saya mandi dulu ya, setelah itu kita sarapan dan langsung pulang."
Lea masih terdiam tidak berminat untuk menanggapi perkataan Beni.
Hatinya serasa beku dan mati. Apa yang dirasa saat ini ia pun juga tidak tahu.
Pagi tadi saat ia terbangun, ia berharap semuanya hanya mimpi. Namun begitu ia melihat tubuhnya yang polos tanpa busana, dan Beni yang tertidur seranjang disampingnya, ia tahu bahwa kehancuran hidupnya sudah di depan mata.
"Lea ...." Beni yang sudah mandi dan berpakaian rapi, mengambil tempat duduk di samping Lea.
Ingin rasanya Lea menampar, mencakar dan berteriak serta berlari sejauh mungkin dari hadapan pria ini, tapi kaki dan tangannya terasa lemah dan tidak mau bekerja sama.
"Maafkan saya. Kamu jangan khawatir, saya pasti akan bertanggung jawab ... saya mencintaimu Lea." Beni meraih tangan Lea bermaksud menggenggam tangan wanita yang dicintainya.
**C**iiihhhh, tidak bakal sudi aku memaafkanmu. Tanggung jawab apa yang dimaksud? menikah dengannya?? tidak akan pernah!! Apa tadi dia bilang cinta??, muak sekali rasanya mendengar kata itu dari mulutnya. Kata-kata cacian itu berterbangan di kepala Lea.
Perlahan namun tegas Lea berusaha melepas genggaman tangan Beni. Tidak ada kata yang terucap dari mulut Lea.
Ia bisa saja marah memaki Beni, tapi Lea sadar bahwa saat ini ia masih membutuhkan pekerjaan.
Di kampung kecilnya ini, tidak banyak pilihan pekerjaan yang bisa ia pilih. Apalagi untuknya yang tidak mempunyai pengalaman.
Sedangkan ibunya saat ini sangat membutuhkan biaya rutin untuk pengobatannya.
"Lea---" Beni hendak melanjutkan untuk membujuk Lea.
"Saya mau pulang sekarang pak." Sebelum Beni melanjutkan, Lea segera memotong perkataannya dan langsung berdiri. Ia sudah sangat muak berada dekat dengan pria ini.
"Tapi kamu tidak apa-apa?" Senyum Beni sedikit terbit ia merasa Lea tidak terlalu mempermasalahkan kejadian semalam.
Lea menoleh menatap Beni dengan tatapan tajam dan dahi berkenyit.
Apa maksudnya aku tidak apa-apa? Apa bagi dia ini hal yang biasa? Dasar gilaa!
Menyadari tatapan Lea yang tidak bersahabat, Beni menghapus senyuman dari wajahnya.
"Maksud saya, apa ada badan kamu yang terasa sakit?" lanjut Beni perlahan.
Lea hanya menggeleng dan mendengus menahan emosi.
"Baiklah mari kita pulang saja." Merasa respon Lea semakin dingin, Beni memilih untuk mengalah terlebih dulu.
...🔹️...
Sudah hampir sebulan setelah kejadian malam naas itu, Lea masih bekerja di perusahaan Beni.
Tapi sikap dan sifatnya sudah sangat berubah. Tidak pernah tersenyum, dan tidak mau menatap wajah Beni saat berbicara.
Sungguh Beni dibuat bingung atas sikap Lea. Ia berharap Lea menangis datang kepadanya untuk meminta pertanggung jawaban.
Malah yang ada sikapnya semakin dingin, dan menunjukan permusuhan. Sangat jauh dari rencana yang dibuatnya.
"Duduk dulu Lea." Beni menahannya saat akan keluar ruangan.
Saat ini Beni ingin menyampaikan niatnya meminta Lea menjadi istri keduanya.
Ia ingin tampil sebagai pria yang bertanggung jawab di hadapan Lea.
"Bagaimana kabarmu?, kamu baik-baik saja?" Lea masih diam tidak bereaksi.
"Maksud saya mmm ... apa mungkin ada tanda-tanda kamu hamil?"
Lea mendongak menatap wajah Beni. Memang sempat sebelumnya ia merasa takut akan hal itu, namun ketakutannya itu sirna saat tamu bulanannya kembali hadir.
Lea menggeleng singkat lalu menunduk lagi.
Terlihat raut kekecewaan di wajah Beni, ia berharap perbuatannya pada Lea malam itu membuatnya segera hamil agar semua yang di rencanakannya berjalan lancar.
"Saya ingin bertanggung jawab Lea." Beni menggeser duduknya mendekati Lea, "Saya akan menikahi kamu."
"Saya tidak mau!," tegas Lea.
"Kenapa Lea?, saya yang sudah mengambil kesucianmu dan saya akan bertanggung jawab."
"Saya tidak mau hidup bersama pemerkosa!!." Lea menatap Beni dengan mata yang berkaca.
"Saya melakukan itu karena saya mencintai kamu." Beni berusaha merengkuh pundak Lea, namun ditepis kasar dengan rasa marah.
"Jangan paksa saya pak!!, saya benci bapak!!. Saya benci pemerkosa!!."
"Saya pastikan kita tetap akan menikah Lea!. Saya akan katakan pada orang-orang, bahwa kamu dan saya punya hubungan dan sudah pernah tidur bersama."
"Mereka pasti akan meminta saya segera menikahi kamu. Apa kamu tidak kasihan pada ibumu Lea, jika beliau mendengar berita ini dari mulut orang lain?"
Beni seperti sudah kehabisan kesabaran dengan sikap keras Lea.
Suaranya yang biasa terdengar lembut, saat ini seperti menusuk telinga.
"Saya sangat mencintai kamu Lea, bahkan sejak kamu masih menggunakan seragam sekolah." Beni kembali merendahkan suaranya dan berusaha mendekati Lea.
Lea yang merasa takut dan merasa terancam, segera berlari ke luar dari ruangan Beni.
Ia mengambil tasnya dan segera berlari keluar dari kantor.
Lea merasa bingung tindakan apa yang akan dia ambil. Di satu sisi ia tidak mau berdekatan dengan Beni, tapi ia sangat membutuhkan pekerjaan ini.
Tapi di satu sisi juga, ia merasa takut dengan ancaman Beni yang akan membuka aib apa yang sudah terjadi antara ia dan atasannya.
...🔹️...
Dok ... dok .. dok ...
Suara pintu rumah Lea terdengar cukup keras diketuk orang.
"Siapa Lea? coba kamu buka pintunya, mungkin penting malam-malam gini bertamu." Ibu yang ada di dalam kamar terbangun.
"Pelacuurrrr!!." Tubuh Lea terdorong dan jatuh ke lantai saat baru saja membuka pintu.
Devi istri dari Beni dengan mata sembab dan merah memandang Lea dengan marah.
"Ada apa ini?" Ibu meraih pundak Lea dan membantunya berdiri.
"Tanyakan pada anak ibu yang sudah dengan kurang ajarnya merayu suami saya!" Devi menunjuk Lea dengan telunjuknya.
"Leaa ... benar apa yang dikatakan itu??" Melihat wajah ibu antara bingung, marah dan sedih membuat hatinya tercubit.
"Ibuuu ...." Cucuran air mata Lea tidak terbendung.
"Apa maksudnya Leaaa, coba ceritakan ibu tidak mengerti kalau kamu hanya menangis seperti ini." Ibu memegang kedua pipi Lea.
"Anak ibu sudah merayu suami saya, untuk ke hotel dan tidur dengan dia!," sembur Devi penuh emosi.
"Tidak mungkin, ini pasti fitnah." Netra ibu membulat.
"Jelas saja mungkin pasti karena harta. Mungkin saja anak ibu ingin mendapatkan hidup yang lebih layak. Heeii, jangan berharap kamu bisa menjadi istri kedua suamiku dasar pelacur!!" Devi hendak meraih dan menarik rambut Lea tapi tiba-tiba tangannya ditahan seseorang dari belakang.
"Jangan pakai kekerasan di dalam rumah orang." Devi berbalik menatap orang yang sudah berani mencampuri urusannya.
"Siapa kamu?, ini urusan kami kalau tidak mengerti persoalannya, lebih baik kamu keluar!" Devi berteriak.
"Maaf bu, tapi ini juga urusan saya."
"Saya calon suaminya Lea, jelas saya tidak suka, jika ada orang yang menuduh calon istri saya yang tidak-tidak. Apalagi ingin melukainya." Erik tersenyum menantang.
Devi bergantian menatap Erik dan Lea berusaha mencari kebenaran lewat tatapan mata mereka.
Lea yang masih merasa kaget dengan ucapan Erik, hanya terdiam menatap temannya itu. Dalam hati ia sangat bersyukur Erik datang di saat yang tepat.
"Baik ... tapi ingat Lea, saya tidak mau melihat wajah kamu di kantor suami saya lagi." Devi segera merapikan baju serta rambutnya, dan beranjak ke luar tanpa menoleh sedikitpun.
"Kak Erik terima kasih ya." Lea menatap pemuda di hadapannya dengan mata yang masih basah.
Erik Saputra kakak kelas Lea sejak dari SMP, dan juga tetangga rumah Lea.
Sejak dulu sampai sekarang masih menyimpan rasa pada Lea, namun tidak bisa ia ungkapkan karena ia tahu Lea hanya menganggapnya tidak lebih dari seorang kakak.
"Ga apa-apa, tadi aku baru aja mau masuk rumah tapi dengar ada suara orang teriak dari dalam rumah kamu."
"Syukurlah sepertinya aku datang di saat yang tepat, perempuan itu hampir saja menyakiti kamu."
"Maaf tapi tadi aku mendengar sedikit, kamu ada masalah apa dengan suami wanita itu?" Saat Ibu kembali masuk dalam kamar, Erik mencoba mencari tahu permasalahan yang terjadi
"Itu Bu Devi istrinya Pak Beni, bos aku kak."
"Pak Beni meminta aku untuk menjadi istri keduanya."
"Lalu kamu mau?" Erik mulai meradang.
"Jelas aku tolak kak, tapi ...." Air mata Lea kembali menetes.
"Kenapa Lea?"
"Pak Beni ... dia sudah memperkosa aku." Lirih terisak suara Lea, ia tak ingin ibunya mendengar ini.
"Apaa? ...."
"Kapan itu Lea??"
"Kenapa bisa terjadi??"
Bertubi-tubi Erik melemparkan pertanyaan yang semakin membuat Lea sakit mengingat malam itu.
Tangis Lea semakin menyayat, Erik yang menyadari kesalahannya, memeluk Lea untuk sekedar memberikan ketenangan.
Ia sadar sebagai korban, Lea pasti merasa berat untuk mengingat apalagi untuk menceritakan kembali.
"Pak Beni mengancam aku, jika tidak mau menjadi istri keduanya ia akan menceritakan apa yang sudah terjadi."
"Aku harus bagaimana kaak ... aku tidak mau menikah dengan orang yang sudah menghancurkan aku!!."
"Tapi aku takuuttt ..."
Erik semakin memperkuat pelukannya berusaha mencoba memberikan perlindungan.
"Orang itu tidak akan berani menyakiti kamu Lea." Erik menangkup wajahnya, menatap mata Lea dan menghapus air mata yang masih terus menetes.
"Aku akan melindungi kamu, aku jamin tidak ada yang akan berani macam-macam sama kamu. Jadi kamu tenang aja."
"Tadi aku juga bilang ke Bu Devi, kalau aku calon suamimu. Pasti dia akan mengatakan hal yang sama pada suaminya itu."
"Kalau saja orang itu masih berani mengganggu kamu, yaah kita menikah aja." Erik tersenyum lebar dengan kedua tangannya yang masih memegang pipi Lea.
...❤❤...
Haaiii Terima kasih sudah membaca semoga suka.
Like dan komen ya.
Kritik dan sarannya juga ditunggu 😘
Lea menatap wajah teduh pria di hadapannya. Ia bukannya tidak pernah tahu kalau Erik, pria berkacamata yang sedang menatapnya saat ini sudah menaruh hati padanya sejak bangku sekolah menengah pertama.
Perhatiannya, tatapan teduhnya, senyumannya serasa hanya ditujukan untuk Lea seorang.
Lea tidak sampai hati membawa Erik masuk dalam persoalan hidupnya yang rumit, Erik terlalu baik baginya.
"Kakak tuh bisa aja, hehehe." Lea terkekeh pelan sambil menurunkan tangan Erik yang masih berada di pipinya.
"Loh memangnya kenapa?, atau jangan-jangan memang kamu berminat nih jadi istri kedua Pak Beni?"
"Amit-amit ah kak, aku lebih baik milih sendirian seumur hidup dari pada harus jadi istri kedua dengan cara seperti ini. Bukannya jadi berkah, nanti yang ada malapetaka karena sudah menyakiti hati Bu Devi."
"huusshh ... jangan ngomong seperti itu, hidup berdua itu jauh lebih enak dari pada sendirian tau."
"Masih ada pejantan jomblo disini, kok mau milih hidup sendiri," Kata Erik sambil menyentil dahi Lea.
"Diiihhhh pejantan, kudaaa kali ... hahahaha." Tawa Lea semakin lebar. Erik tersenyum lega, niat untuk menghibur Lea akhirnya berhasil.
"Aku balik pulang dulu. Sudah malam nanti ada hansip lewat, terus lihat kita berduaan malam-malam gini, kita bisa langsung dinikahkan malam ini juga, kan aku jadi seneng huahahhahaa."
"Iihhhh ... Kak Eriiikkk." Erik segera bangkit dari sofa dengan setengah berlari ke arah pintu keluar menghindari cubitan Lea.
"Tutup pintu jangan lupa kunci, intip dulu dari jendela jangan sembarangan buka pintu kalau ada yang datang. Apalagi sudah malam gini." Kata Erik sebelum Lea menutup pintu rumahnya.
"Iyaaa baweeel." Lea mencebik, Erik lalu mengacak rambut Lea dengan gemas.
...🔹️🔹️🔹️...
"Kamu kok ga berangkat kerja?" Ibu menatap heran saat Lea masih asyik tiduran di sofa.
Jam sudah menunjukan pukul delapan pagi, biasanya jam segini ia sudah berada di kantor.
"Apa aku masih bisa kerja di tempat Pak Beni, kalau istrinya mengancam seperti itu bu?," jawab Lea sambil bangkit dari tidurnya dan duduk di sofa.
"Ibu kan dengar sendiri semalam, bu Devi minta Lea tidak muncul lagi di kantor, Lea tahu diri kok." Lea tertunduk sedih menatap handphone-nya.
"Ibu tenang aja, Lea sudah titip pesan ke teman-teman kalau ada infomasi lowongan kerja segera kasih tau Lea."
"Lea yakin kok pasti cepat dapat, teman Lea kan banyak. Udaahh ... ibu ga perlu khawatir gitu aah."
Lea memasang senyum lebar sambil merengkuh bahu ibunya. Ia ingin memperlihatkan kalau semua akan baik-baik saja.
Lea sedih melihat raut wajah ibunya yang seketika murung saat ia mengatakan tidak bekerja lagi.
Selang beberapa jam kemudian, handphone-nya bergetar terlihat nama yang memanggilnya di layar handphone.
Drrtttt ... drrtttt ...
Pak Beni Calling ...
Panggilan pertama hingga kedua Lea abaikan.
Rasanya malas harus mendengar suara orang itu lagi.
Tapi jika tidak ditanggapi Pak Beni pasti tidak akan berhenti berusaha menghubunginya. Lagipula ia juga belum pamit dan mengajukan surat pengunduran diri.
"Selamat siang Pak." Sahut Lea malas.
"Siang juga Lea, kamu kenapa tidak masuk?, kamu sakit?" Suara Pak Beni terdengar tidak sabar.
"Saya baik-baik saja pak. Maaf sebelumnya, saya tidak bisa datang sendiri ke kantor untuk menyerahkan surat pengunduran diri saya."
"Saya berterima kasih, karena sudah diberikan kesempatan untuk bekerja di perusahaan bapak." Terdengar helaan nafas berat dari ujung di seberang sana.
"Kamu mengundurkan diri, apa karena kemarin istri saya datang ke rumahmu dan marah-marah?"
"Apa dia sudah menyakitimu Lea??" Suara Pak Beni terdengar meninggi.
"Memang benar Pak, bu Devi datang ke rumah saya. Tapi beliau sama sekali tidak menyakiti saya."
Justru bapak yang sudah menyakiti saya dan istri bapak , kenapa orang ini kok tidak sadar sih!. Geram Lea dalam hati.
"Pengunduran diri saya ini tidak ada hubungan apapun dengan bu Devi, saya yang memutuskan sendiri," tegas Lea.
"Oke baiklah Lea, saya terima pengunduran dirimu. Tidak masalah buat saya kamu tetap bekerja atau tidak, toh saya juga yang akan memberikan kamu nafkah."
"Maksud bapak apa?"
"Jika kita menikah nanti tentunya saya yang akan menafkahi kamu kan, jadi benar kamu tidak perlu capek-capek untuk bekerja."
Dasar gilaaa. Lea memaki dalam hati.
"Maaf pak sepertinya sudah cukup jelas tentang pengunduran diri saya, dan saya memohon dengan sangat, tolong jangan ganggu saya lagi." tegas Lea.
"Saya akan datang ke rumahmu, untuk meminta restu pada ibumu." Kata Pak Beni dengan cepat.
"Untuk apa bapak ke rumah saya?, tidak perlu repot-repot karena saya jelas tidak akan menemui bapak. Jadi jangan berpikir untuk datang kemari!." Lea sudah semakin geram dibuatnya.
"Saya tidak datang untuk menemui kamu, tapi saya datang ingin menemui ibumu," ucap Pak Beni dengan penuh rasa percaya diri.
Tanpa basa basi Lea langsung menutup sambungan telpon secara sepihak. Terlalu lama menanggapi omongan Pak Beni membuat kepalanya semakin pening.
Lea sungguh takut sampai kapan Pak Beni berhenti mengganggu seperti ini.
Ia sudah menyebar berita ke teman-teman dan orang yang dikenalnya, bahwa saat ini ia sedang membutuhkan pekerjaan. Namun masih belum ada yang memberikan kabar gembira.
Hampir separuh usaha dan lapangan kerja di daerah ini, mungkin masih milik Pak Beni atau kerjasama dengan perusahaannya.
Jelas suatu saat pasti mereka akan bertemu kembali.
Kampung ini daerahnya tidak terlalu luas.
Para pemuda dan pemudinya lebih banyak bekerja mengadu nasib di kota-kota besar dari pada menetap di daerah kecil ini.
Ingin rasanya Lea ikut merantau merasakan kerja di luar daerahnya.
Ia yang dari lahir hingga dewasa sama sekali belum pernah keluar dari daerah tempat ia tinggal saat ini.
Namun meninggalkan ibu sendiri dalam kondisi sakit-sakitan bukanlah suatu tindakan yang bijak.
"Aaakkhhhh, sakit kepala jadinya kalau mikir yang aneh-aneh." Lea meremas kepalanya yang terasa berat.
Lea memutuskan berbaring sebentar sebelum kembali mencari informasi lowongan pekerjaan dari teman-temannya.
Entah sudah berapa jam ia sudah tertidur. Lea terbangun saat terdengar suara ibunya di ruang tamu sedang berbincang dengan seseorang.
Suara itu?, aakkhhh suara dari orang yang paling tidak mau ditemuinya.
Segera Lea bangun dan keluar dari kamar menuju ruang tamu. Jangan sampai Pak Beni berbicara pada ibu yang tida-tidak.
"Naah, ini anaknya sudah bangun." Ibu menarik tangan Lea untuk duduk di sampingnya.
Sedangkan Pak Beni menyambutnya dengan tersenyum lebar, namun senyuman itu terlihat menjijikan di mata Lea.
"Pak Beni datang mau meminta maaf atas tindakan istrinya semalam." Ibu menjelaskan dengan santai dan masih tersenyum.
Sepertinya Pak Beni belum sampai menceritakan apa yang terjadi antara Lea dan dia.
"Saya sudah menjelaskan pada Pak Beni, kalau Bu Devi tidak melakukan apa-apa." Meski perkataannya tertuju pada ibunya tapi tatapan tajamnya tetap mengawasi Pak Beni.
"Iya benar, tadi pagi Lea juga sudah mengatakan tentang hal itu pada saya." Pak Beni membenarkan.
"Mmmm ... tapi maksud kedatangan saya saat ini bukan itu sebenarnya." Pak Beni menggosok-gosokan kedua telapak tangannya dengan gelisah.
Lea juga gelisah dan khawatir dengan apa yang akan keluar dari mulut Pak Beni.
"Saya ingin melamar Lea menjadi istri saya," tukas Pak Beni dengan cepat.
"Istri?? ..." Ibu menatap bingung bergantian antara wajah Lea yang terlihat marah dan wajah Pak Beni yang tegang.
"Ya benar ... istri kedua saya."
Tidak tahu malu. Geram Lea dalam hati.
Namun di hadapan ibu, ia harus bisa mengontrol emosinya agar ibu tidak merasa curiga.
"Maaf Pak Beni bukan bermaksud tidak sopan, tapi maaf sekali lagi saya tidak bisa menerima lamaran bapak." Lea mencoba tersenyum palsu di hadapan Pak Beni.
"Kenapa Lea?. Apa karena pemuda itu, yang katanya calon suamimu?, benar seperti itu?" Tatapan Pak Beni tajam semakin menusuk.
"Calon suami? ... oohh iyaaa, benar sekali pak, kami memang dalam waktu dekat ini akan segera menikah." Lea nengangguk-angguk sambil mengembangkan senyumnya.
Maafkan aku kak Erik harus membawa-bawa kamu. Salah sendiri juga ngapain pakai bilang calon suami segala.
"Nikah? ... memangnya kamu mau nikah sama sapa nduk kok ibu ga tau?" Lea sempat lupa ada ibu yang ikut mendengar pembicaraanya dengan Pak Beni.
"Maafkan Lea bu, Lea sama kak Erik sebenarnya sudah lama berhubungan tapi belum berani bilang sama ibu." Sambil berbicara dengan ibunya ujung mata Lea mengawasi raut wajah Pak Beni yang menatapnya curiga.
"Ooo, calonmu Erik toh. Ya udah kalau gitu ibu setuju-setuju saja yang penting kamu bahagia." Ibu tersenyum lega
"Tapi.Lea kamu sadar kan, kalau saya yang su---"
"Calon suami saya sudah mengerti. Calon suami saya juga sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu."
"Kami sudah saling mengenal sejak lama dan saling menerima kekurangan masing-masing, jadi bapak tidak perlu khawatir."
Lea segera memotong perkataan Pak Beni sebelum ia menceritakan apa yang sudah terjadi di hotel malam itu.
Dengan pelan dan tegas per kata, Lea menekankan bahwa calon suaminya tidak masalah soal kekurangan kondisi fisiknya.
Wajah Pak Beni semakin menegang, terlihat sekali ia menahan emosi dalam hatinya.
"Maaf ya Pak Beni, ternyata anak saya ini sudah punya pilihan sendiri."
"Tidak jauh-jauh ternyata jodohnya tetangga sendiri, mereka juga sudah saling mengenal sejak sekolah." Ibu terus bercerita dan terlihat tidak menyadari perubahan pada wajah Pak Beni.
"Baiklah kalau begitu saya permisi." Pak Beni bangkit dari duduknya, tapi sebelum benar-benar keluar dari pintu ia berbalik menatap Lea yang saat ini berada di hadapannya.
"Saya tidak akan semudah itu menyerah Lea, saya sungguh menginginkanmu menjadi istri saya." Bergidik Lea mendengar suara berbisik Pak Beni yang hanya bisa didengar oleh Lea.
...🔹️🔹️🔹️...
"Kak maaf ya, kemarin aku terpaksa pakai nama kakak saat Pak Beni datang ke rumah."
Sore ini mereka berdua duduk di teras rumah Lea, setelah setengah hari mereka habiskan berkeliling mencari informasi pekerjaan untuk Lea.
"Pakai namaku?" Alis mata Erik bertaut.
"Aku bilang kalau kakak calon suami hehehe ...." Lea menyengir.
"Laahh kan emang bener, hehehehe ...." Erik terkekeh senang sambil mencomot sepotong pisang goreng yang masih hangat.
"Apaan sih kak, kok malah becanda. Ga tau orang lagi pusing juga." Lea cemberut.
"Kamu kok pucet banget, sakit?" Erik memandang wajah Lea lebih dekat.
"Kecapaian mungkin kak, seharian kita kan di jalan panas-panasan. Mana kalau malam susah tidur gara-gara banyak mikir terus."
"Duuh, kalau kangen ya tinggal telpon saja apa susahnya sih, calon suami ini cuma lima langkah. Tinggal lompat tembok aja sudah sampai, hahahaha ...." Erik semakin tergelak melihat bibir Lea yang semakin maju.
"Mikir cari kerjaan kakaaak, bukannya bantuin kek ... malah godain terus."
"Bingung aku tuh mau kerja dimana, hampir separuh perusahaan di sini ada hubungannya dengan orang itu." Sungut Lea malas menyebut nama Pak Beni.
"Kalau memang sudah mentok usaha cari kerjaan dan belum dapat, ya udah bantu-bantu kakak aja."
"Permintaan design pembuatan furniture kakak semakin banyak jadi kedepannya kakak butuh sekertaris plus-plus nih." Erik tersenyum menggoda.
"Idiiiihhh, plus-plus apaan kak?, Kok jadi mesum gini sih kak Erik." Mata Lea membelalak menatap Erik.
"Looh kok mesum bagaimana, sekertaris plus-plus itu maksudnya plus jadi admin, plus jadi kasir, juga plus jadiiii ... tukang pijat ... huaahahaha." Erik terpingkal memegang perutnya melihat Lea yang semakin kesal.
"Tuuhh kaan." Lea memukul pundak Erik dengan bantal kursi yang dia pegang.
"Ya bener dong tukang pijat, kalau tanganku pegal karna kebanyakan gambar, kan butuh dipijat. Kamu tuh yang kemana-mana pikirannya." Erik masih terkekeh pelan, ia dari dulu sangat senang menggoda Lea yang cepat sekali marah.
"Emang Kak Erik sanggup gaji aku berapa?, tugasnya kok banyak betul." Lea mencibirkan bibirnya.
"Insya Allah aku gaji kamu di awal dengan seperangkat alat sholat, dan mas kawin dibayar tunai. Selanjutnya nafkah lahir dan batin seumur hidup." Erik tersenyum simpul.
Wajah Lea langsung terasa panas mendengar kata-kata Erik yang secara tidak langsung seperti melamarnya.
Erik bukan pria yang jelek, bahkan wajahnya cenderung manis dan kalem. Di sekolah dulu selalu aktif di kepemimpinan.
Otaknya yang encer di dukung dengan penampilan fisiknya yang tinggi dan pembawaannya yang dingin terlihat misterius, membuat Erik jadi idola di kalangan para siswi sekolah mereka.
Hanya dengan Lea saja Erik bisa bercanda santai dan ringan seperti ini, tapi entah mengapa Lea belum dapat membuka hati untuk Erik.
Tidak ada debaran jantung saat bersama dengan Erik seperti yang sering ia lihat di film-film drama korea atau seperti di novel-novel yang ia baca setiap malam.
"Kakak kalau sudah capek pulang aja deh dari pada ngomongnya semakin ga jelas." Lea merasa akhir-akhir ini Erik semakin berani menunjukan perasaannya dan itu membuatnya semakin tidak nyaman.
Lea mengambil satu buah tahu isi lalu mencoleknya dengan sambal petis kesukaannya.
Saat ia akan memasukan tahu ke dalam mulutnya, tiba-tiba dari dalam perutnya seperti ada yang mendorong ingin segera keluar.
Cepat-cepat Lea berlari masuk ke dalam rumah menuju kamar mandi.
Hooeekk ... hoeekk ...
Erik mendengar suara Lea yang berada di kamar mandi, dahinya mengerenyit seperti memikirkan sesuatu.
Tak berapa lama Lea kembali dengan wajah lelah dan semakin terlihat pucat.
"Kamu kenapa, masuk angin?" Erik menatap khawatir.
"Tau tuh petisnya kok bau banget ya." Lea menutup hidungnya.
"Mmm, sudah basi mungkin. Sudah ga usah dimakan lagi. Sekarang kamu langsung tidur aja wajahmu pucat banget."
"Besok pagi ikut kakak ya, siap-siap jam delapan."
"Kemana?," Tanya Lea.
"Udah besok ikut aja. Aku pulang dulu ya, langsung tidur ga usah mikirin calon suami terus." Erik masih berusaha menggoda Lea.
"Siapa juga yang mikirin situ ... weekkk." Lea menjulurkan lidah.
...🔹️🔹️🔹️...
Sesuai perjanjian jam delapan pagi, Erik sudah berada di teras rumah Lea.
Lea yang sudah bersiap sedari jam tujuh segera keluar menemui Erik.
"Kita mau kemana sih kak," tanya Lea sambil naik di boncengan motor.
Namun Erik tidak menjawab hanya menyalakan motor dan langsung berangkat.
Motor Erik masuk ke dalam area parkir puskesmas.
"Siapa yang sakit?," tanya Lea kembali setelah mereka berjalan beriringan keluar dari area parkir motor.
"Ga ada yang sakit." Erik terus berjalan masuk ke arah bagian pendaftaran.
Dengan arah matanya ia menyuruh Lea untuk duduk bersama pasien lainnya.
Tak berapa lama Erik ikut duduk di samping Lea. Lea masih menatap Erik penuh tanya. Menyadari itu Erik hanya memberikan senyum kecil pada Lea.
"Kalau ga ada yang sakit, terus kita mau ngapain kesini?"
"Memangnya kalau ke puskesmas memang harus sakit dulu ya?" Erik balik bertanya.
"Apaan sih kak, malah balik nanya."
"Ibu Bintang Amalea". Lea terkejut tiba - tiba mendengar namanya disebut dari pengeras suara. Tapi tidak halnya dengan Erik, ia langsung berdiri menuju loket pendaftaran.
Lea masih melongo di tempatnya saat Erik kembali dan berdiri di hadapannya.
"Ayo." Ajak Erik sambil menggamit lengan Lea, karna Lea masih diam tidak bereaksi dengan ajakannya.
"Mau kemana, kok pakai namaku sih." Sambil berjalan Lea sedikit menarik tangan Erik meminta penjelasan.
"Hanya ingin memastikan saja." Erik kembali menarik tangan Lea untuk melanjutkan langkah mereka.
Lea masih terdiam dengan kebingungannya sampai mereka berhenti di suatu tempat yang ternyata juga banyak orang duduk menunggu.
Orang-orang yang menunggu ini mayoritas wanita dengan perut besar ... wanita hamil??.
Lea membaca papan nama yang tergantung di atas pintu ruang periksa.
...Spesialis Obstetri dan Ginekologi Dr. Indrayani SpOG...
Mata Lea membesar ia menoleh ke arah Erik yang sedang menatapnya juga dengan sorot mata sendu.
...💠💠💠...
Terima kasih sudah membaca, semoga suka ya 🙏🤗.
Kritik dan saran yang santun serta komen dan like nya ditunggu ya biar semakin semangat jempolnya 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!