...cerita ini hanyalah fiktif. adapun nama - nama yang ada di dunia nyata, tidak ada hubungannya dengan cerita ini....
**kalau udah tamat, boleh juga tuh, mampir di karya keduaku,
"budi dan biduan**"
"Sreeeeessssss"
Hujan sore ini bagai ditumpahkan dari langit. Membuat suasana di sekitaran rumah ini sudah seperti memjelang magrib.
"Sreng... Sreng... Sreng"
"Du du du du"
Kudendangkan lagu yang entah apa judulnya. Bahkan aku sendiri tak tahu apakah lagu itu ada atau tidak. Asal saja, yang penting acara masakku sore ini tidak diselimuti sepi.
"Lir ilir... Lir ilir... Tandure wes sumilir"
ponselku berdering.
Kuambil ponsel itu dari kantong celanaku. Aku letakkan di meja makan, tak jauh dari kompor. Kuaktifkan headset bloetoothku, dan kusambungkan ke ponsel itu.
"Sreng sreng sreng... Teng teng teng" kuaduk aduk capcayku.
"Halo" sapaku.
Baru juga sepatah kata aku lontarkan, dinseberang sana sudah ramai dengan berbagai pertanyaan. Seperti kereta barang, sekali lewat panjangnya tak terkira.
"Iya, gua kena karantina, dew. Otege gua. Gokil banget petugas di sini, nggak mau disuap" kataku lagi.
"Sreeng... Sreng... Sreengg"
Tanpa terganggu, kedua tanganku masih lincah aku karyakan. Aduk sana, aduk sini. Tambah bumbu dan bahan pelengkap.
"Lu tau nggak, petugas sini tu, takut sama sesepuh desa. Sesepuh desanya, takut sama apa gitu"
"Sreeng"
"Tek"
Aku mematikan kompor. Kuambil piring dari floating rack, sekaligus mangkuk besar untuk wadah capcayku.
"Sebangsa gaib gitu, dew. Makanya, sekalipun gua tawarin segepok juga, ditolak, cuy" lanjutku.
Kutuang capcay yang sudah matang tadi ke dalam mangkuk. Segera kucuci wajan ini karena akan kupakai lagi.
"Ya, karena gua emang nggak bawa surat antigen, mau nggak mau, ya harus mau di swab. Mana harus balik ke kota, lagi. Asli, capek banget gua"
Kutuangkan minyak goreng ke dalam wajan, setelah aku panasi wajan itu beberapa saat. Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut. Andai aku bisa memilih, aku lebih memilih keluar uang untuk lauk yang lebih nikmat di lidah.
"Ya, reaktif. Tapi nggak ada gejala apapun, sama sekali. Sekalipun begitu, gua tetep harus karantina. Apes kan?"
Cuaca yang tidak bersahabat membuat bahan makan yang tersedia juga tidak bersahabat. Ditambah sambutan yang juga kurang bersahabat. Kucoba berbesar hati menerima keadaan ini.
"Enak pala lu. Mending, kalo boleh isoman di rumah nyokap"
"Tek... Tek... Tek... "
Suara pisau dan telenan beradu, menambah riuhnya suara hujan. Tempe yang tadinya bulat panjang, sekarang sudah berubah menjadi bulat tipis - tipis.
"Enggak boleh, dew. Gua diasingin, tahu"
"Sreeeeeng"
Lebih riuh lagi sekarang. Suara minyak panas kemasukan tempe. Apalagi bercampur air dari marinasi, rame.
"Busyet, coba aja lu tahu gua diasingkan dimana, pasti lu histeris deh"
Tempe yang sedari awal sudah berwarna hitam - putih, menjadi semakin gelap karena matang. Sejenak aku terpaku dengan tekstur tempe yang aku serok ini. Aku baru tahu, ada tempe dibuat dari bahan selain kedelai. Ya, kata orang, nama pohonnya, lamtoro. Biji lamtoro inilah yang dibuat menjadi tempe.
"Hem, apa? Sori"
Aku tergagap karena terlalu fokus dengan tempe mlanding di tanganku. Suara di dalam telinga sekalipun, tidak terdengar jelas.
"Gua ditaruh di rumah terpencil dew. Di pinggir kali, deket kuburan. Dari kampung gua juga ada kali seratus meteran. Mana ketutup kebun pisang"
Matang sudah tempe mlandingku. Lumayan lah, daripada kelaparan. Sepertinya enak, dingin - dingin begini makan tempe goreng hangat.
"Ya, rumahnya sih bagus. Cuman, ya gitu, udah lama nggak ditempatin"
Kusendok nasi di rice cooker dengan centong kayu. Di jaman moderen seperti ini, masih ada juga yang membuat centong dari kayu. Uap nasinya sungguh menggoda perut.
"Iya, dibersihin juga baru tadi. Ini juga belum semuanya bersih"
Capcay ala - ala master chef juga sudah mengundang untuk di sendok. Nah, ini juga unik. Sendok sayurnya, alias irus, juga terbuat dari kayu. Amazing.
"Ya, gua tahu, bersih - bersih bisa jadi kegiatan selama karantina. Bisa, gua bersihin. Tapi kebayang nggak sih, dua lantai, dew. Baru lantai bawah yang dibersihin"
Nasi setengah piring, capcay setengah piring. Cukup banyak untuk mengganjal perut kecilku. Atau malah begah ini nanti. Lihat nanti saja. Kalau kebanyakan, ya tinggal buang.
"Krees"
Wow, enak juga ternyata. Gurihnya beda dengan tempe kedelai. Ada krenyes - krenyesnya, juga legit - legitnya.
"Mending kalo setahun - dua tahun. Ini lima belas tahun, dew, ditinggal. Nggak kebayang deh, kaya apa rupanya di lantai atas"
Aku duduk di kursi kayu. Setelan meja makan ini, semuanya dari kayu. Tidak ada kaca atau pelapis lain di atas mejanya. Pun tidak ada bantalan di atas kursinya.
"Mending sini aja deh, kalo pengen liat. Gua beliin tiketnya. Kalo ada sinyal data, udah dari tadi gua vici lu, dew"
Sesendok nasi, lengkap dengan capcay dan sepotong kecil tempe mlanding, sukses masuk ke dalam mulutku. Kombinasi rasa lapar, dengan suhu dingin, membuat makanan sederhana ini terasa nikmat sekali.
"Jangankan lu dew, gua aja nggak abis pikir. Ya, kaya kata lu, gua nyambangin nyokap gua sendiri. Nyokapnya aja mau nampung, eh mereka yang heboh"
Kulanjutkan lagi ke suapan kedua. Sembari mendengar suara sahabatku. Rame memang dia orangnya
"Apa? Cocote tonggo? Hahaha... Apa tuh?"
Suapan ke tiga terhenti gara - gara lawakan dia.
"Hahahaha... Oh, Mulutnya tetangga. Emang. Tapi, ya udahlah. Gua sadar diri. Emang gua pergi dari kampung ini udah dari masih bocah. Nama gua juga udah nggak ada di data kependudukan sini. Jadi ya, gua maklum, kalo gua dianggep orang asing"
Kutuang air dari teko plastik bening ke dalam sebuah gelas kaca. Meski ada kuahnya sedikit, tetap saja aku merasa tenggorokanku seret.
"Itu. Tadinya gua pikir tempat karantinanya di puskesmas, atau di balai desa. Kan deket sama warga gitu. Bukan di tempat terpencil gini"
Setengah porsi sudah berpindah ke perutku. Tapi aku merasa nafsu makanku masih tinggi.
"Enak bener lu ngomong, udah. Gua udah protes, gua nggak mau dikarantina di rumah ini. Tapi ancamannya diusir, sist. Gokil kan?"
Suapan pun berlanjut. Aku berpindah sejenak untuk mengambil tempe lagi. Yang ini sudah habis masuk ke perut.
"Iya. Tumben lu bijak, hahaha. Demi nyokap, gua bersedia kok jalanin semua ini"
Suaraku agak aneh di kuping, jelek juga kalau sambil mengunyah makanan.
"Hmm, tega lu. Sohib lagi prihatin gini, lu malah ngedate"
Acara makanku terhenti mendengar dia mau kencan. Entah mengapa aku merasakan iri, sampai suaraku meninggi. Padahal tidak ada hubungannya.
"Oh... E... Sory. Gua, gua keceplosan"
Beberapa saat kemudian, aku tersadar, aku telah menyinggung perasaannya.
"I, iya dew. Gua kan cuman bercanda. Suara gua kekencengan ya? Sory ya"
Kulihat layar ponselku, berharap ada gambar dia di sana. Ya, tapi pastinya tidak ada.
"Iya, sejak kapan gua ngelarang lu ngedate? Emang gua emak lu?"
Syukurlah, dia mau mengerti dengan penjelasanku tadi.
"Hahaha... Ya udah, berangkat gih"
Aku berdiri dan mengangkat piring makanku. Nafsu makanku hilang karena kesalahan ucapan tadi.
"Yo. Waalaikum salam"
"Tuut"
Sambungan telepon sudah terputus. Dan kubiarkan saja ponselku tergeletak ditempatnya.
"Du du du du"
Lagi - lagi aku menyanyi tak jelas lagu apa. Masa bodoh, yang penting aku tak terlalu kedinginan selama bersentuhan dengan air.
Selesai merapikan peralatan masak, aku mengambil apel dari keranjang buah. Bekal pemberian dari ibu.
"Kruk"
"Krees krees"
Kumakan apel itu sambil berlalu. Sambil bermain ponsel, aku berjalan ke ruang depan. Semua barangku ada di sana.
"Pet"
Lampu tiba - tiba mati.
"Duk"
"AAAAAAAA"
"BRUUK"
"Aduuuh"
Karena Gelap, aku tidak bisa memperhatikan apa yang ada di bawahku. Dan aku terjatuh, karena tersandung sesuatu. Tapi apa ?
"Byar"
Tiba - tiba lampu menyala.
"Aduuuh, apa sih ini?" Gerutuku.
Kepalaku pusing terbentur lantai. Walau tidak keras, tapi tetap benjol.
"WAAAAA.... MAYAAAAAAATTT"
Tunggang langgang aku berusaha lari, setelah melihat apa yang menghalangi langkahku tadi.
"BRAAAKK... BRUUKKK"
Aku melompat ke depan, di balik tembok depan. Menyembunyikan sosokku dari sesuatu yang menakutkan tadi.
"Hffffttt, hhfffttt"
Matanya, bisa keluar begitu? Mukanya, kenapa ancur begitu? Kulit kepalanya, kenapa ngelupas begitu?
"Allohu la illaha ila huwal - khayyul - qoyyum..."
Dengan rasa takut yang teramat sangat, aku berdoa sebisaku. Berharap perlindungan dari Gusti Alloh.
"Wahuwal - 'aliyyul - 'adzim"
aku mencoba memberanikan diri untuk mengintip ke arah dapur.
"Hhhfffffttt, hhhhffffttt, hhhffffftttt"
"Loh, ilang?"
"Hhhffffttttt, hhhfffttt, hhhhffttt"
"Loh, kok?"
"Hhhffffftttt, hhhhfffftttt"
"LIR IL...."
"AAAAAAWWWW"
Aku terkejut bukan kepalang. Ternyata suara ponselku.
"Hhhhfffttt, hhhhfffftttt"
"Ibu?" Gumamku.
"Halo bu" sapaku.
"Halo, lis"
"Bu, ibu kesini pliiiss"
"Kamu kenapa mbak? Kamu ngerasain apa? Bukan sesak kan?" Tanya ibu terdengar panik.
"Enggak bu, bukan. Bukan soal itu"
"Hhhhfffftttt, hhhhfffftttt"
"Tapi napas kamu kok ngos - ngosan gitu?"
"Mayat, " jawabku
"Apa?"
"Mayat, bu. Lilis kesandung mayat. Ada mayat di deket dapur, bu. Cepet kesini, bu. Lilis takut" Jawabku berakhir menangis.
"Mbak, lilis, lilis. Tenang dulu, nduk. Ambil napas panjang!" Pinta ibu.
"Hhhhfffftttt, hhhhhfffft, hhhfffttt"
"Ambil napas panjang, mbak" ulang ibu.
"Hhhhuuuuufffffttttt" kucoba mengikuti perintah ibu.
"Buang perlahan dari hidung, nduk" pintanya lagi.
"Ffuuuuhhhh"
Perlahan, rasa takut dalam dadaku mereda. Aku jadi bisa sedikit tenang, sekarang.
"Kamu tenang dulu ya, mbak. Ibu ambil mantel dulu. Bentar lagi ibu sampe. Kamu yang tenang ya"
"Buruan bu, lilis masih takut"
"Iya sayang, ini ibu jalan ke situ. Senter mana senter? Itu"
"Tuuut"
Sambungan telepon dimatikan dari seberang sana.
"Peett"
Lampu mati lagi
"IBUUUUUUU"
Aku berteriak sekencangnya. Toh, tak ada orang lain di sini. Aku menangis sejadi - jadinya.
"DUAAAAARRR"
Suara petir menggelegar, bagaikan menyambar atap di atas kepalaku.
"IBUUUUUU"
Aku tak berani lagi untuk membuka mataku. Bayangan mayat tadi kembali menguasai hatiku. Sama sekali aku tidak berani beranjak. Apalagi dalam kegelapan yang pekat ini. Sekalipun aku ingat, aku bisa menggunakan flash ponselku, tapi rasa takut ini mengalahkan logikaku.
"LILIS"
Sebah suara memanggil namaku.
"Ahh"
Aku langsung mengangkat kepalaku. Seberkas sinar bergerak - gerak di luar rumah.
"IBUUU" teriakku.
Akhirnya, setelah entah berapa belas menit berlalu.
"LILIIS" panggilnya lagi.
"IBUU"
Aku menekan tombol di ponselku, dan aku kibas - kibaskan ponselku di udara.
"LILIS"
Syukurlah, ibu melihat sinar dari layar ponselku.
"Ceklek"
Ibu hendak membuka pintu
"Oglek oglek oglek"
Tapi usaha itu terhalang sesuatu. Aku baru ingat, kalau aku mengunci pintu itu.
"Lis" panggil ibu.
"Ibu" panggilku juga.
"Buka pintunya, nduk" pinta ibu.
"Tapi bu"
"Udah, jangan takut. Ada ibu di sini. Nggak papa sayang. Hayu" hibur ibu.
Perlahan aku bangkit, lalu berlari secepat yang aku bisa, menuju pintu depan.
"Braaakkk"
Sampai kutabrak pintu itu saking takutnya.
"Embak, kamu nggak papa?"
"Ceklek, ceklek"
"Greeekk"
"Ibuuuu"
"Embak"
Serta - merta aku peluk tubuh ibu. Tangisku membuncah saking takutnya diriku.
"Sudah, tenang mbak. Ada ibu di sini. Jangan takut ya" hibur ibu.
Ya Alloh, demi aku, ibu rela menerjang derasnya hujan. Tubuhnya sampai basah sekalipun sudah memakai mantel hujan. Inikah naluri seorang ibu?
"Mbak, kita masuk yuk. Terus terang, ibu merasa dingin" kata ibu.
"Astaghfirulloh, maaf bu, maaf" jawabku.
Aku langsung menjauh dari tubuh ibu, dan menggandeng beliau masuk.
"Ibu ganti baju ya bu. Pakai punya lilis, ya? Kayaknya kita seukuran" tawarku.
"Boleh" jawab ibu.
Senyum itu, menyejukkan hatiku. Rasa takutku sudah banyak memudar. Tertutupi oleh perasaan aman, dengan hadirnya ibuku.
"Astaga" celetukku.
"Kenapa, mbak?" Tanya ibu.
"Kan, lilis dalam masa karantina, bu. Harusnya lilis nggak boleh deket - deket ibu. Tapi tadi, "
"Nggak papa. Ibu mau kok kalo harus dikarantina juga. Lha wong sama anak ibu sendiri ini, nggak masalah"
"Tapi bu"
"Udah tenang, ibu sehat kok"
"Syukurlah. Ini bu"
Kuserahkan seperangkat pakaian pada ibu. Pastinya pakaian ibu basah luar dalam.
"Boleh ngadep sono dulu?" Pinta ibu.
"Ups, maaf" jawabku
Aku bisa tertawa kecil sekarang. Apakah ini yang dinamakan ikatan batin, antara ibu dengan anak?
"Dah"
Suara itu menjadi tanda berakhirnya proses ibu berganti pakaian. Saat aku membalikkan badan, ibu sedang ke depan. Beliau meletakkan pakaiannya di kursi teras, dibalut dengan jas hujannya. Beberapa saat kemudian, beliau kembali dan ikut duduk denganku di sofa panjang.
"Kamu kenapa, mbak?" Tanya ibu.
Beliau duduk di dekatku sambil membenahi posisi maskernya. Pertanyaan itu mengingatkanku kembali pada sesuatu yang mengerikan itu.
"Mbak?"
Ibu bingung melihatku ditanya malah berdiri. Hatiku kembali diselimuti perasaan was - was. Perhatianku tertuju pada lorong antara ruang depan dengan dapur. Kurasakan ibu ikut berdiri dan mengikuti langkahku.
"Mbak" tegur ibu lagi.
Lagi - lagi aku tidak merespon. Kunyalakan lampu flash ponselku. Kuarahkan ke arah dapur.
"Itu bu" celetukku.
"Apa?" Tanya ibu.
Nada suara ibu terdengar ikut tegang. Beliau berjongkok di sebelahku. Mengarahkan senternya ke lantai yang kutunjuk.
"Darah?" Tanya ibu
"Tu kan bu. Tadi, tadi, tadi ada mayat di sini bu" kataku.
Tak kuasa aku menahan air mataku. Rasa takut ini mendera lagi bagai air bah.
"Bu, lilis isoman aja di rumah ibu ya. Lilis takut bu" pintaku.
Aku ikut jongkok di sebelah ibu, dan kupeluk beliau dari samping.
"Halah, oli" celetuk ibu.
"Ha?" Tanyaku
"Oli, mbak. Bukan darah" jawab ibu.
"Tapi bu, tadi, tadi, "
"Iya. Udah, kita ke depan lagi, yuk" ajak ibu.
"Bu, lilis takut bu"
"Kok masih takut? Kan ada ibu" hibur ibu.
"Ibu temenin lilis ya, malam ini" pintaku.
"Iya, sayang" jawab ibu.
Sedikit lega hatiku mendengar jawaban itu. Paling tidak, aku tidak perlu pingsan ketakutan. Tidak terebayangkan kalau harus semalaman sendiri tanpa teman, dengan gangguan semacam tadi sepanjang malam.
"Mending kita ke kamar aja, mbak. Biar kamu bisa istirahat" saran ibu.
"Tapi bu"
"Tenang, kan ada ibu"
"Kita sekamar aja ya bu" pintaku.
Ibu tersenyum saat melihatku menggelayut takut di lengan kirinya.
"Cuman ini bawaanmu, mbak?"
"Iya bu" jawabku.
Aku memilih kamar di ujung. Kalau dari pintu depan, ya tinggal lurus saja.
"Ceklek"
"Wow"
Aku tertegun melihat isi di dalam kamar ini. Semua serba vintage. Ranjangnya, dari besi cor padat, dengan beberapa ukiran dari besi juga. Kasurnya sih sudah memakai springbed. Tapi sprei yang melapisinya, merah merona, dengan batikan berwarna putih. Khas sekali sprei jaman dulu. Sarung bantal dan gulingnya juga senada. Ada kelambu anti nyamuk mengelilingi ranjang. Membawaku bernostalgia ke masa lampau.
"WHAAAA"
Aku terkejut saat mengarahkan flash ponselku ke arah kanan.
"Kenapa mbak?" Tanya ibu kaget.
Aku belum bisa menjawab, hatiku masih diselimuti dengan rasa kaget. Hanya lampu flash ponselku yang berbicara.
"Cuman ukiran, mbak" kata ibu.
"Hhfffff... Fuuuhh"
Aku menghela nafas panjang. Sekalipun ukiran, tapi bentuk ukiran di pintu lemari itu, cukup menakutkan. Aku pikir, mungkin itu ukiran bali. Semacam yang suka keluar dalam pementasan tari kecak. Tapi ukiran ini lebih ekstrim. Kalau aku bilang, ini benar - benar merepresentasikan wujud dari sesosok iblis. Dengan pewarnaan yang dominan warna merah dan hitam. Dengan aksen putih di beberapa tempat.
"Kayaknya bakal lama deh, mati lampunya. Mending, kamu istirahat dulu. Pasti capek, abs perjalanan jauh" kata ibu.
"Eee, iya. Tapi ibu di sini aja ya, temenin lilis" pintaku.
"Iya. Ya udah, istirahat gih. Ibu mau naruh lampunya dulu" saran ibu.
Ibu melangkah ke pojok ruangan, dekat lemari besar itu. Beliau letakkan lampu senter yang beliau bawa itu di atas meja. Dengan mode lampu darurat. Sinarnya lebih lebar dan menyebar.
"Yuk" ajak ibu.
"Iya" jawabku.
Meski perasaanku masih belum sepenuhnya tenang, aku mengikuti ajakan ibu untuk istirahat. Tubuh ini sudah cukup penat setelah perjalanan jauh hari ini. Bahkan, baru sebentar saja aku memeluk tangan ibu, aku sudah tak ingat apa - apa lagi
"Assholaaaatu khoirum minan naum"
Lamat - lamat kudengar suara adzan. Saat aku mencoba membuka mata, kamar ini sudah terang benderang. Rupanya listrik sudah menyala kembali.
"Ibu?"
Tak kudapati ibu di sisiku. Tapi aku mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Benar, tak lama kemudian, ibu muncul dari kamar mandi.
"Eh, anak ibu udah bangun"
Ibu menyapa dengan senyuman manis. Senyum yang aku sendiri bahkan sudah lupa. Tapi lamat - lamat, aku mengenang masa - masa antara aku usia tiga sampai lima tahun. Sapaan itu, aku mengenalnya.
"Yuk, bangun mbak. Wudhu" lanjut ibu.
Aku duduk, ibu duduk di tepian ranjang. Tangannya cekatan memakai masker sekali pakainya Sekilas aku melihat ibu tampak bingung. Ya, pastinya. Di wajahku pasti tampak sesuatu olehnya.
"Kenapa mbak?" Tanya ibu.
Sapaan itu, untuk ke sekian kali ibu mengatakannya semenjak aku datang. Sapaan yang sudah enam belas tahun tidak aku dengar. Ingin sekali aku memeluknya. Memeluk sepenuhnya. Tapi aku masih takut, karena kondisiku saat ini. Sedekat inipun seharusnya tidak boleh.
"Mboten, mboten bu" jawabku.
"Eh, embak masih bisa bahasa jawa?" Tanya ibu terkejut.
"Hehehe... Sedikit bu. Kalo denger doang, ngerti bu. Tapi buat ngomong, perlu belajar lagi deh, kayaknya" jawabku sambil meringis malu.
"Hahaha... Iya, ndak apa - apa. Yuk, wudhu"
"Iya"
Aku beringsut ke pinggir, dan berjalan meninggalkan beliau. Dalam balutan air wudhu, air mataku meleleh. Mengiringi rasa dihatiku, yang penuh dengan haru, sedih, dan juga bahagia, yang berebut ingin keluar.
"Embak bawa mukena kan?" Tanya ibu.
Aku yang baru keluar kamar mandi, cukup terkejut dibuatnya. Untung aku tidak teriak.
"Bawa bu" jawabku.
Kukeluarkan mukenaku dari dalam tas. Mukena spesial, yang tak pernah aku tinggalkan. Mukena yang sangat ketat aku jaga.
"Loh?"
Tampaknya ibu mengenali mukena ini. Tapi aku pura - pura tidak tahu saja.
"Ada apa bu?" Tanyaku.
Ibu tak langsung menjawab. Tapi memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mata ibu tampak berkaca - kaca.
"Ndak, ndak papa. Embak jadi imam gih" jawab ibu tergagap.
"Nggih yang sepuh dong bu. Masa yang muda" tolakku halus.
Ibu tergelak mendengarku menyelipkan bahasa jawa halus. Tidak ada perdebatan lagi. Ibu mengangguk tanda setuju. Untuk pertama kalinya, setelah enam belas tahun lamanya, aku sholat dengan ibu lagi. Entah, apakah dulu aku pernah berjamaah dengan ibu atau belum. Aku tak ingat.
"Allohu Akbar"
Bergetar suara ibu melafadzkan kalimat suci itu. Bergetar pula seluruh tubuh ini mendengar dan melafadzkannya pula. Setiap kalimat yang ibu baca lantang, serasa menghujam keras dalam sanubariku. Apalagi ibu membacakan surat al - a'la dan al - ghasiah, dalam dua rokaat, subuh ini.
Dalam sujud ini, kutumpahkan semua keluh kesah hatiku pada Alloh 'Azza wa Jalla. Keinginanku untuk segera pulih dari covid, agar aku bisa memeluk kembali ibu yang kurindukan selama ini.
"Assalamualaikum warohmatulloh"
Kalimat pamungkas dalam sholat, yang sering membuatku merasa sedih. Sering saat salam ini, ingatanku melayang pada momen enam belas tahun lalu. Tak bisa aku menahan diri lagi.
Langsung aku sodorkan tanganku. Sambutan dari ibu tak sedetikpun aku tunda. Langsung aku mencium telapak tangannya, dan aku bersujud di pangkuannya. Tangis kerinduanku tak bisa aku tahan lagi. Membuncah sejadi - jadinya. Cukup lama ibu mengelus - elus kepalaku. Dan aku menikmati setiap elusan itu.
"Kita bikin sarapan yuk, mbak" celetuk ibu.
Aku tersentak dari lamunanku. Perlahan aku mundur teratur. Duduk kembali sambil memandang bingung.
"Ibu yang masak. Embak, mandi aja" lanjut ibu.
Senyumnya mencairkan suasana. Entah apa arti senyuman itu. Apa ibu berfikir, aku tidak bisa memasak, ya? Ya sudah, biar saja. Aku pamit untuk mandi. Ibu keluar kamar dengan tertawa kecil. Benar kalau begini, aku dianggap tidak bisa memasak. Aku hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Krieeeeeett"
"Blem"
"Astaga"
Begitu aku masuk kamar mandi, rasanya seperti ada orang yang memperhatikanku. Tapi kan aku hanya sendiri. Aku perhatikan betul - betul sekelilingku. Plastik bening tebal pembatas bathtub aku singkap. Tidak ada siapa - siapa. Di atasku hanya ada plafon. Aku yakin di atasnya sudah mentok dengan beton cor. Tapi karena sering nonton film action bareng ayah, aku jadi tidak langsung yakin.
"Tok tok"
"Tok tok"
"Tok tok"
Aku ketuk setiap sisi dinding, memastikan bahwa dinding kamar mandi ini semuanya tembok. Jangan sampai ada dinding yang ternyata berbahan kayu atau triplek. Berarti sudah dimanipulasi. Termasuk plafon di atasku.
"Tembok semua" gumamku.
Tapi entah mengapa, hatiku tetap merasakan gelisah. Seolah - olah ada orang di dekatku, tapi aku tidak bisa melihatnya. Bulu - bulu di tanganku tiba - tiba merinding.
"Astaga"
Melihat bulu - bulu tanganku meremang, aku berjalan lagi keluar kamar mandi. Aku hela nafas panjang, dan aku bersiap kembali lagi.
"Bismillahirrohmanirrohim. Allohumma inni a'udzubika minal khubusi wal khobaits"
Kuucapkan doa itu dengan sepenuh hati. Dengan kedua tangan tengadah di depan wajah. Setelah itu, kulangkahkan kaki kiriku untuk masuk ke kamar mandi.
"Bleb"
"Aahh"
Aku terkejut mendapati ruangan ini mendadak gelap.
"Bleb bleb bleb"
"Byaar"
Lampu itu berkedip lagi sambil mengeluarkan suara frekuensi rendah. Setelah beberapa kali kedipan, lampu itupun menyala lagi, dan tidak berkedip lagi. Kuedarkan pandangan mataku. Sejauh dinding yang bisa aku sapu, tak kulihat ada yang berbeda. Tapi hatiku sudah tak lagi gelisah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!