NovelToon NovelToon

Aku Bukan Dia

1

Di sebuah dapur restoran Spagetti yang sangat sibuk. Setiap orang mengerjakan pekerjaannya masing-masing, tak ada yang bersantai.

"Meja 14 dua pasta bolognese, satu aglio o lio dan dua carbonara. Kenapa kalian lambat sekali!"

teriak Davin kepada mereka yang ada di dapur.

Yudi, chef di sana, mendelik kemudian menyiapkan pesanan yang Davin teriakan. Yang lainnya pun secara otomatis menyiapkan bahan dan peralatan yang akan dipakai.

Yudi terlihat kesal, dia memang tak suka saat Davin yang merupakan manager baru datang dan mengambil alih restoran. Mereka selalu tak sejalan dan saling bertentangan. Namun Yudi tak bisa meluapkan kekesalannya, dia sangat membutuhkan pekerjaan itu dan mencoba bertahan.

"HEI....RANIA....!" teriak Yudi melampiaskan kekesalannya.

Rania terkejut, dengan tidak sengaja dia melempar wajan kecil yang sedang dia cuci. Semua orang juga terhenti sejenak saat Yudi berteriak.

Rania menutup matanya ketakutan, menelan ludah dan perlahan berbalik menghadap Yudi.

"Ya Chef!"jawab Rania dengan suara yang bergetar karena takut.

"CUCI YANG BENAR...MASA SISA MASAKAN TADI MASIH ADA DI WAJAN INI!"

intonasi suara Yudi sangat mencerminkan kemarahannya.

Rania menelan ludah nya lagi. Dia hanya bisa diam mengangguk.

"JAWAB! KAU BISA ATAU TIDAK? KALAU KAU TAK SANGGUP GANTIKAN SAJA DENGAN ORANG LAIN!"

Teriakan Yudi terdengar oleh Davin yang sedang membuka pintu dapur. Davin berlagak dan mengerutkan dahinya.

"Ada apa ini?" tanya Davin.

Rania menggerakkan tangannya dan mengucapkan agar Yudi tak mengatakannya pada Davin tanpa suara. Yudi hanya mendelik meski sudah paham dengan gerakan bibir Rania. Dia berbalik menghadap Davin.

"Tidak...ini urusan ku dengan anak buahku. Ku harap kau tak ikut campur!" jawab Yudi yang juga bersikap menyebalkan pada Davin.

Davin menghela nafas dan tersenyum sinis.

"Kalau begitu, kembali bekerja. Jangan sampai anak buah mu mengacaukan makan siang hari ini" jelas Davin.

Dia kembali keluar dan membantu pelayan yang lain melayani para tamu yang hendak memesan.

Rania kembali mencuci dengan bersih dan cepat. Dia sangat berusaha agar tak diteriaki lagi oleh Yudi. Chef yang sangat dia kagumi.

Makan siang telah berlalu, pelanggan yang datang mulai menurun. Pesanan pun bisa ditangani oleh Dana, assisten Chef. Sementara yang lainnya bisa istirahat dan makan sebentar. Namun Rania masih mencuci peralatan sisa yang menumpuk.

Yudi yang sedang istirahat sambil meminum Cappucino dinginnya, menatap Rania yang masih sibuk. Dia merasa sudah bersikap dan bicara terlalu keras selama ini pada Rania. Namun sikap Rania tak pernah berubah. Dengan menatap gelas Cappucino yang ada di tangannya, dia teringat kurir yang mengantarkannya berkata bahwa Cappucino ini pesanan Rania untuk nya.

"Cewek bodoh, jatuh cinta kok sama orang yang berteriak setiap hari padanya. Dimana pikirannya!" gumam Yudi.

Rania selesai dan berbalik, meski jauh, tepat matanya langsung menatap Yudi yang juga sedang memperhatikannya. Yudi tersedak sesaat sadar bahwa Rania tiba-tiba berbalik. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Rania tersenyum melihat Yudi meminum Cappucino dingin pesanannya. Sudah setahun mereka bekerja dalam satu restoran. Beberapa bulan terakhir Rania merasa Yudi sangat terlihat keren saat memasak meskipun sering nya dia diteriaki karena kurang konsentrasi saat bekerja. Sering sekali Rania memesankan minuman kesukaan Yudi dengan merahasiakan namanya pada kurir.

Namun seiring berjalan waktu, Yudi pun penasaran dan menanyakan siapa yang memesankan nya untuk dirinya. Akhirnya Yudi tahu bahwa Rania suka padanya. Namun karena Rania hanya tukang cuci piring di sana, Yudi menolak pernyataan Rania. Dia merasa bahwa dia berhak mendapatkan wanita yang lebih baik dari Rania.

Rania menerima penolakan Yudi yang menurutnya memang masuk akal. Dia juga berpikir dirinya tak pantas menjadi pacar Chef yang terampil dan tampan. Namun Rania tetap menghargai dan bersikap seperti biasa. Yudi pun tak bisa berbuat apa-apa. Karena satu dua hal dia tak bisa menghindar untuk tak bertemu dengan Rania.

Rania menyantap makan siangnya dan merasa sudah senang meski hanya minuman dingin yang dia berikan diminum oleh Yudi. Menatap Yudi yang sudah akan mulai bekerja kembali. Pegawai lain hanya bisa tersenyum melihat kepolosan Rania yang tetap menyukai Yudi meski sering di teriaki.

Hari ini, pelanggan kali ini sangat sangat banyak membuat mereka sangat sibuk. Rombongan wisatawan datang secara tiba-tiba entah hendak datang atau hendak pergi kemana. Rania selesai dengan pekerjaannya, dia pulang terakhir setelah yang lainnya pulang terlebih dahulu.

Rania menghela nafas saat keluar dari pintu belakang restoran. Menatap langit yang sudah gelap, kedua tangannya masuk ke saku jaket Hoody nya. Dengan sedikit mengangkat bahunya dia kembali menghela nafas.

Dengan perlahan dia berjalan menuju halte. Beberapa orang terlihat masih nongkrong di dekat restoran tempat nya bekerja. Rania memperhatikan mereka, namun kembali mengalihkan pandangannya ke jalan, khawatir bus melewati nya. Dan benar saja, bus datang dan berhenti sebentar di halte. Rania tertinggal, dia berlari sekuat tenaga, berteriak agar supir berhenti untuk membawanya.

"Tungguuu......! Pak...! Rania belum naik! Pakk......!"

Bus berhenti, Rania sampai di depan pintu bus. Supir tertawa puas karena telah mengerjainya. Rania terengah-engah dan masuk sambil mencubit lengan supir langganannya.

"Pantesan aja langsung pergi! Bapak tahu kan kalo Nia masih jalan tadi?" ucap Rania yang duduk persis di belakang supir.

"Hahaha...biar olah raga dikit lah. Lu kan ngeluh beberapa hari belakangan kerjaan lu cuma diem" jelas Pak Rusdi sambil kembali menyetir.

"Wah...Pak. Hari ini, restoran rame banget. Lagi kedatangan wisatawan lokal. Ada juga pelanggan baru yang suka masakan rekomendasi Chef Yudi. Pokok nya sibuk banget, sampe susah duduk" jelas Rania dengan semangat.

"Oh...chef idola elu itu ya? Gimana kabar nya? Masih belum dia nerima perasaan lu?" tanya Pak Rusdi mengejeknya.

"Huhhhff....Bapak ko ngeledek gitu sih. Tapi iya juga sih Pak. Ga ada harapan, siapa lah aku ini Pak, hanya buruh cuci piring" ucap Rania berakting memelas.

Pak Rusdi tertawa terbahak-bahak. Rania pun tertawa meski sebenarnya dia sudah cape bekerja. Namun merasa terhibur dengan cara Pak Rusdi bicara dengannya.

Sampai di dekat gang rumah Rania, Pak Rusdi menghentikan bus.

"Dah, sono pulang. Jangan lupa, besok saya pesan 20 bungkus nasi kotak. Bawa sekalian pas lu berangkat kerja. Salam buat emak lu ya!" ucap Pak Rusdi.

Rania turun sambil mendengarkan pesan Pak Rusdi.

"Oke..oke..siap Bos!" jawab Rania.

Bus pergi, begitupun Rania. Malam itu gang masih ramai oleh para pemuda yang nongkrong sambil ngopi dan merokok juga melantunkan lagu-lagu galau dengan gitar mereka. Rania berpapasan dengan mereka, sambil ikut melantunkan lagu yang mereka bawa kan.

"Kau....jaga slalu hati mu...saat jauh dari ku, tunggu aku kembali...." senandung Rania dengan gaya dan seolah-olah berada dalam konser band yang menyanyikan lagu itu.

Dua pemuda berdiri menyambutnya, mereka membungkukkan diri seolah Rania adalah putri raja yang baru melewati mereka. Rania membalas perlakuan mereka dengan seolah-olah memiliki rok seorang putri dan berlagak. Mereka pun tertawa bersama menertawakan tingkah mereka sendiri.

"Mantaaaaap....! Thank you princes Rania....!" seru Dani salah satu dari mereka.

Rania membuat bulatan kecil dengan jari telunjuk dan jempolnya. Dia tersenyum dan masuk ke rumah yang cukup dekat dengan tempat mereka nongkrong.

"Assalamualaikum....!" seru Rania.

Tak ada yang menjawab, semua orang sudah tidur. Rania perlahan membuka kamar ibunya, benar saja ibunya sudah terlelap. Lalu, saat hendak menuju kamarnya, dia teringat tak melihat Ramadhan adiknya di sofa. Rania menghela nafas dan cepat paham dengan situasi ini. Ramadhan tak ada di sofa, jadi dia yang harus tidur di sana malam ini. Dengan menghela dia masuk kamar mandi dan membersihkan diri.

Selesai mandi, Rania teringat sesuatu.

"Oh iya, Ramadhan kan mau ujian masuk sekolah pilot! Apa dia sudah siap?" gumam Rania.

Saat hendak membuka pintu kamar nya, dia mengurungkan niatnya.

"Tidak, Ramadhan sudah sangat siap. Pertanyaan nya adalah....Apa tabungan gue udah cukup atau belum buat biaya nya selama di sana?" gumamnya lagi.

Rania duduk di sofa, sambil menyelimuti dirinya dengan sarung dia perlahan berbaring. Otak nya tak berhenti berpikir meski matanya sudah sangat mengantuk. Perlahan rasa kantuk mengalahkannya. Hari yang sangat sibuk hari ini, bus yang senang mengerjainya untuk lari malam-malam dan ranjang sofa khusus untuknya hari ini.

Huuffffhhhh.....

Rania Ramadhania putri dari pasangan Heru dan Vera. Adiknya bernama Aditya Ramadhan masih berusia 10 tahun saat ditinggal ayah mereka meninggal, sedangkan Rania berumur 14 tahun. Vera ibunya menjadi pedagang di pasar dadakan dekat rumahnya sepeninggal suaminya. Berjuang sendiri hingga Rania lulus SMA.

Lulus SMA, Rania langsung mencari kerja. Tak lama dia mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di restoran Spagethi yang cukup terkenal di kota. Ya, tempat yang sama. Seiring berjalan waktu, kehadirannya sebagai pelayan membuat beberapa pelanggan menyukainya dan secara terang-terangan bersaing ingin mendapat perhatiannya. Namun Rania yang cuek membuat mereka semakin penasaran dengan Rania. Namun keadaan semakin kacau saat pelayan wanita yang lain merasa tak suka padanya. Rania terancam dipecat saat itu.

Vero manager saat pertama Rania masuk kerja, memahami keadaan Rania. Dengan melipat tangannya Rania memohon pada Vero untuk tak memecatnya. Dia sangat membutuhkan pekerjaan itu.

Vero menatapnya dengan rasa kasihan, di usia belia Rania harus bekerja keras untuk membiayai kehidupan keluarganya. Akhirnya Vero memindahkan Rania ke bagian dapur dan mencuci piring adalah pilihannya karena Rania tak bisa memasak.

Bertahan hingga sekarang, Rania tetap jadi tukang cuci piring. Vero sudah digantikan oleh Davin sekarang, posisi Rania tetap di sana. Belakangan Rania mengetahui bahwa Vero menitipkan Rania pada Yudi. Rania mendengar percakapan mereka.

"Yud, gue bakal pindah ke Semarang. Gue cuma nitip satu, tolong lu jagain Rania. Semarah apapun elu atas kecerobohannya atau kesalahannya jangan biarkan dia dipecat" ucap Vero pada Yudi.

Rania tak mendengar jawaban dari Yudi. Dia pergi ke dapur terburu-buru. Mereka bersikap biasa dan bekerja dengan biasa nya. Rania berusaha bekerja dengan baik dan cekatan. Meski sebenarnya kapasitasnya sudah maksimal. Pekerjaan mencuci piring di restoran itu memang seharusnya dikerjakan oleh lebih dari satu orang. Namun Yudi ingin Rania bisa cekatan dan mampu menyamai kecepatannya.

Penghasilan sebagai tukang cuci piring lumayan besar karena dia melakukan pekerjaan itu sendiri. Namun cita-cita Ramadhan membuat Rania harus bekerja ekstra lagi agar bisa mencapainya. Ibunya juga dengan terang-terangan menekan Rania untuk fokus mencari uang untuk mendukung cita-cita Ramadhan.

Suara adzan di mesjid jelas terdengar dan membangunkan Rania. Dengan berat dia bangun dan membuka matanya. Rasa kantuknya masih memeluknya, saat Rania hendak kembali berbaring terdengar suara pintu terbuka dari kamar mandi.

"Bangun....! Siapin sarapan buat Ramadhan, dia berangkat pagi buat les. Ujiannya sebentar lagi jadi dia harus rajin les" jelas ibunya.

Rania kembali bangun dan berdiri dengan matanya yang masih tertutup, dia berjalan menuju kamar mandi hendak mencuci wajahnya yang masih mengantuk.

"Eh....malah masih merem. Buka matanya ntar lu jatoh lagi!" seru Ibunya.

Rania terhenti di meja makan dekat tumpukan pesanan nasi kotak.

"Pesenan Pak Rusdi udah ibu pisahin di meja, dah dikereskin. Tinggal nganter, uangnya lu simpen buat nambahin biaya adik lu ujian" ucap Ibunya.

Rania hanya membuka mulutnya sambil melihat bibir ibunya yang terus bicara.

"Kebiasaan deh, ga pernah jawab!" keluh ibunya.

"Iya bu, Rania denger. Rania masih ngumpulin nyawa nih!" ucap Rania sambil membasuh wajahnya.

"Ibu berangkat. Inget bikinin nasi goreng buat Ramadhan. Gak tau kenapa dia suka banget ma nasi goreng lu. Sampe ga mau sarapan kalo ga pake nasi goreng buatan lu. Salamualaikum!" ibunya keluar.

"Emak emak, bisa banget nyerocos nya. Huuh!" gumam Rania.

Hari mulai siang, Ramadhan melahap semua nasi goreng yang dibuat kakaknya. Rania masih mengganti baju setelah lama menunggu Ramadhan yang juga ganti baju.

Rumah kecil itu hanya terdapat 2 kamar. Satu kamar kecil yang digunakan ibunya untuk tidur. Kamar yang hanya cukup untuk tempat tidur kecil dan satu lemari plastik. Sedangkan kamar yang satunya lebih besar sedikit, namun hanya kasur kecil yang cukup di sana. Tumpukan buku dan lemari baju Rania dan Ramadhan memenuhi kamar itu.

"Kak, aku berangkat ya!" seru Ramadhan.

"Lu udah makan kan?" jawab Rania dengan teriak.

"Udah..! Assalamualaikum" jawab Ramadhan.

"Waalaikumsalam. Bagus, jadi kan emak gua ga nyerocos kalau lu ga makan" gumamnya di depan kaca sambil menyisir rambutnya.

Keluar dari kamar, Rania menatap rumahnya yang sepi lagi. Dia mengambil tas selendang kecilnya dan mengambil pesanan nasi kotak. Terlihat sangat kerepotan, Rania menaruh satu keresek dan kembali ke dalam mengambil yang satunya lalu mengunci pintu rumah kecilnya.

Dia berjalan dengan tangan yang penuh dengan keresek nasi kotak menuju pasar dadakan tempat ibunya berjualan kopi dan nasi. Terlihat ibunya yang sedang sibuk melayani pelanggan. Tak banyak bicara, Rania memasukan kunci ke dalam saku celana ibunya. Sambil mencium ibunya, dia pamit dan kembali berjalan menuju pul bus tempat Pak Rusdi bekerja. Cukup jauh, namun akan sayang ongkos jika harus memakai bajai atau taksi mengantarkannya.

Seorang pria keluar dari mobil dan merapikan jasnya. Tak melihat Rania sedang kerepotan membawa banyak keresek, pria itu hampir menabraknya. Rania terkejut dan takut nasi kotaknya rusak. Namun pria itu hanya menatapnya. Dengan membuka kacamata hitamnya, dia seolah ingin secara jelas melihat wajah Rania.

"Waduh Pak, hati-hati donk kalo mau keluar dari mobil lihat dulu apa ada yang lewat!" ucap Rania kesal.

Rania juga terdiam saat melihat wajah pria itu. Tampan dan bersih. Pakaiannya rapi dan wanginya tercium hingga semeter lebih. Lagi lagi Rania menelan ludahnya, entah karena kagum atau takut.

"DILA!" ucap pria itu.

Rania mengerutkan dahinya. Dia pun menghela dan mengerti dan berpikir bahwa pria itu tak mau disalahkan.

"Oke ga apa-apa, lagi pula saya ga jatuh. Barang saya pun baik- baik saja. Permisi!" ucap Rania melewatinya.

Pria itu masih tak percaya, dia mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.

"Dina!"

"Ya kak Bondan ada apa?"

"Kamu bilang Dila di Amerika kan? Dia ga mau kembali ke sini karena Beni sangat possesif terhadapnya"

"Iya, kata temennya dia lagi mau ujian masuk universitas di sana? Emang kenapa kak?"

"Dia mirip banget. Mirip banget"

"Siapa kak? Kak Bondan ini ngomong apa sih?"

"Kita harus bicara, nanti makan siang kita ketemu di My Spagheti"

Bondan menutup telponnya dan mengikuti Rania hingga ke pul bus. Dia melihat Rania menyerahkan bungkusan keresek pada seorang pria paruh baya. Terdengar suara orang-orang di sana yang menyapanya dengan sangat akrab.

Rania membuat lelucon sambil menunggu Pak Rusdi menghitung uang untuknya.

"Tebak-tebakan ya, di kandang ada lima bebek di kali dua, jadi jumlahnya berapa?" tanya Rania pada para supir di sana.

"Tujuh donk neng!" jawab salah satu dari mereka.

"Salah!"

jawab Rania dengan cepat sambil mengambil uang yang diberikan Pak Rusdi.

"Lah, trus berapa? Lu kan tadi bilang di kandang ada lima bebek di kali dua jadi jumlahnya tujuh" jelas supir yang menjawab tadi.

"Sepuluh lah! Bye! Makasih ya, selamat menikmati. Lain kali pesennya banyak ya!" jawab Rania sambil pergi.

Semua supir yang masih bingung menghitung dan mengucapkan kembali soal yang Rania ajukan. Pak Rusdi menjelaskan dan mereka pun tertawa terbahak-bahak.

Rania berjalan menuju halte bus hendak bekerja. Hari ini bus nya terlambat, jadi dia menunggu agak lama.

Bondan masih melihatnya dari dalam mobil. Sambil mengambil gambarnya lewat ponselnya. Bicara sendiri seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat.

Rania melihat bus datang dan bersiap menghentikannya. Namun saat naik dan hendak duduk, dia mendapat telpon.

"Rania! Emak lu Ran, cepet ke sini Ran" ucap suara wanita ditelponnya.

Tanpa berpikir panjang dia menyuruh supir berhenti dan keluar lagi dari bus. Rania berlari menuju pasar dadakan. Selain suara wanita yang menelponnya, Rania mendengar teriakan beberapa orang. Dia semakin khawatir saat mengingat ibunya berjualan masakan. Kemungkinan kebakaran atau hal yang lainnya.

Sampai di dekat pasar, Rania terhenti dan mengambil nafas dalam. Matanya melihat langit diatas pasar dadakan tempat yang dia tuju, ada sedikit asap hitam. Terengah dan menelan ludah, pikirannya benar-benar tak bisa membayangkan apa yang terjadi. Diapun kembali berlari.

Terlihat banyak orang sedang membantu memadamkan api. Petugas kebakaran pun sedang mengeluarkan alat-alat untuk menyemprotkan air. Rania berlari hendak menyerobot masuk ke dalam pasar. Namun seorang petugas menahannya.

"Tunggu dek, jangan! apinya masih besar!" seru petugas itu.

"Ibu...ibu saya lagi jualan nasi tadi di dalam Pak. Tolong....saya harus bawa dia keluar!" Rania menangis tersedu-sedu.

Tiba-tiba seorang wanita memanggilnya.

"Rania! Ini...di sini....!" teriak wanita itu.

Tangannya menunjuk pada ambulans yang hendak pergi. Rania berlari dan melihat orang yang ada di dalamnya.

"IBU!" teriak Rania sambil memeluk tubuh ibunya yang tak sadarkan diri.

"Kompornya meledak, tubuhnya terpental. Kakinya luka kena meja yang terpental" jelas teman ibunya.

"Kamu keluarga nya? Silahkan masuk, ibu Vera harus cepat dibawa ke rumah sakit!" ucap perawat pria.

Tanpa bicara apapun Rania masuk dan menemani ibunya. Sirine ambulance terdengar kuat di telinga nya. Wajah ibunya yang kotor karena debu dengan mata tertutup. Kakinya terluka parah, meski sudah mendapatkan pertolongan pertama, darahnya tetap mengalir dari lukanya. Rania mengusap kepalanya dengan kedua tangan. Melihat kondisi ibunya seperti itu, dunia serasa runtuh.

Di restoran.

Semua orang sudah siap dan Yudi hendak melakukan breefing. Namun matanya mencari seseorang yang tak biasanya datang terlambat.

"Mana Rania?"

Dani bertanya seolah mempermudah Yudi untuk mencari tahu keberadaan Rania.

"Iya, tumben dia terlambat. Dia kan harus menyiapkan bahan sebelum kita mulai" ucap Rendy.

Tiba-tiba Nuri datang dari arah pintu keluar.

"Rania, dia ga bisa datang!" ucap Nuri dengan nafas yang tersengal karena berlari.

"Kenapa?" tanya Dani.

"Ibunya...ibunya mengalami kecelakaan saat berjualan di pasar. Sekarang dia menunggu ibunya dioperasi di bagian kakinya" jelas Nuri sambil mengatur nafasnya.

"Jadi kau yang menggantikannya hari ini?" tanya Yudi datar.

"Ya Chef!" jawab Nuri.

"Ok, karena biasanya bahan sudah siap, kali ini masing masing dari kalian melakukan dua pekerjaan sekaligus. Para wisatawan masih ada di sini untuk beberapa hari kedepan. Kita beruntung dapat sekaligus mempromosikan masakan kita pada mereka. SIAP SIAP, SEMANGAT!" seru Yudi.

"SIAP CHEF!" jawab semua orang.

Dani dan Nuri membicarakan sikap Yudi.

"Gila, sama sekali gak ada simpati simpatinya. Walaupun dia tak bisa membalas perasaan Rania setidaknya dia kan teman kerja, masa sama sekali tak ada ucapan mendoakan atau basa basi lain" gumam Nuri.

"Ssssthhhh...!" Dani memperingati Nuri untuk diam.

Yudi berdiri tepat di belakangnya dan dia pun menyadarinya. Namun Yudi tak merespon, dia hanya memeriksa pekerjaan yang sedang dilakukan Nuri.

"Potong dadu, kalau yang ini serong!" tunjuk Yudi pada wortol dan buncis yang ada di hadapan Nuri.

"Ya Chef!" jawab Nuri dengan nada pelan.

Yudi keluar dan menemui Davin di kantornya. Yudi masuk tanpa mengetuk, membuat Davin yang sedang menerima telpon terkejut.

"Ok, nanti aku telpon lagi" ucap Davin pada orang yang menelponnya.

"Rania tidak masuk karena terjadi kecelakaan pada ibunya. Gue cuma mau bilang itu!"

Yudi langsung pergi lagi. Davin menghela, wajahnya terlihat kesal dengan sikap Yudi. Namun seolah terbiasa dengan tingkahnya.

Yudi kembali ke dapur. Belum ada pelanggan. Dia melepas apron nya.

"Dan, masih ada waktu sebelum makan siang. Gue ada perlu dulu sebentar, lu handle sebentar ya. Gue usahain nyampe sebelum jam makan siang" ucap Yudi.

"Ok!" jawab Dani dengan singkat.

Semua orang terheran dan saling menatap. Beberapa dari mereka membicarakan sikap Yudi apalagi Nuri yang sudah menjadi teman seperjuangan Rania.

2

Di pul bus.

Bondan sedang bicara dengan Pak Rusdi di pul bus. Pak Rusdy menceritakan semua yang dia ketahui tentang Rania. Cara Bondan menanyakan perihal Rania membuat Pak Rusdi mengatakannya. Bondan berpura-pura menjadi kerabat Rania yang sudah lama mencarinya.

"Alamatnya di Gang Duren nomer dua puluh, deket ko dari jalan. Ketemu orang kalo nanya juga pasti langsung apal" jelas Pak Rusdi.

"Baik Pak, terima kasih banyak ya Pak!" pamit Bondan.

"Sama sama dek!" jawab Pak Rusdi.

Bondan pergi sambil menelpon Dina.

"Din, restoran itali My Spagheti ya jam satu!"

"Oke kak!" jawab Dina.

Bondan masuk mobil dan melajukan mobilnya ke restoran.

Di rumah sakit.

Rania dan Ramadhan sedang di ruang tunggu operasi. Wajahnya menyiratkan rasa sedih dan khawatir yang dalam. Yudi datang ke rumah sakit dan bertanya pada perawat. Dia ditunjukkan ke ruang operasi dan dia pun lekas ke sana. Terlihat Rania sedang bicara dengan dua orang polisi dan seorang pria paruh baya. Yudi tak jadi menghampirinya, dia diam dibalik tembok dekat dengan mereka. Yudi mendengarkan pembicaraan mereka.

"Begitu Ran, semua memang kecelakaan, tapi pemilik toko yang kena kebakarannya minta emak lu buat ganti rugi atas kerusakannya. Gua udah berusaha buat minta mereka kebijakan, cuma ya gitu Ran, susah kalo urusannya soal duit" ucap Pak Maman.

Dia ketua pedagang di pasar itu, mencoba untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka.

Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Rania. Yudi mengintip melihat wajahnya dengan rasa kasian. Rania duduk perlahan dan menghela nafas dalam. Para polisi dan Pak Maman hanya menatap dan menunggu jawaban darinya.

Ramadhan pun tak bisa berkata apa-apa, dia hanya mengandalkan ibu dan kakaknya dalam mencari uang. Ramadhan menyentuh bahu kakaknya yang masih terdiam. Rania mengambil nafas dan mulai bicara.

"Ok, Rania ganti. Tapi..." ucap Rania.

Wajah Rania memerah, matanya berkaca-kaca, suara nya parau, tangannya mengepal seolah menahan sebuah rasa yang tidak bisa diungkapkan.

"Tapi Rania minta waktu, Rania akan cari cara untuk bisa mendapatkan uangnya"

Dia menyelesaikan ucapannya dengan sesak di dada. Pak Maman dan polisi meninggalkannya. Ramadhan menunduk dan mulai menangis.

Mata Rania tak henti mengeluarkan air mata. Semua terjadi seperti kilat memyambar. Uang yang selama ini terkumpul untuk biaya sekolah Ramadhan, sudah jelas akan habis untuk biaya operasi kaki ibunya. Belum lagi biaya rawat inap selama penyembuhan. Darimana Rania akan mendapatkan uang. Pikirannya kosong, entah kemana dia harus mencarinya. Meminjam atau bagaimana masih belum terpikirkan. Mata sendunya hanya menatap ruang operasi tempat ibunya terbaring.

Yudi melihat semuanya. Dia hanya terdiam menunduk. Awalnya dia hendak menemui Rania dan membuatnya lebih tenang dengan dukungan moril. Namun hanya uang yang sekarang mampu untuk bisa meringankan bebannya pikir Yudi. Dia pun meninggalkan Rania tanpa menemuinya.

Di restoran.

Bondan duduk melihat papan menu untuk memesan. Yudi masuk dari pintu depan dan langsung menuju dapur. Sedangkan Davin masih di kantornya masih dengan telponnya. Dina masuk dan mencari Bondan. Dia langsung menghampiri Bondan dengan manja.

"Hei, ada apa sih? Aku gak ngerti deh tadi pagi, ngomong apa sih?" tanya Dina sambil menggandeng lengan Bondan.

Bondan menatap tangan Dina yang terkait di lengannya, lalu melepaskannya.

"Lihat ini!" ucap Bondan.

Dia memperlihatkan foto-foto yang dia ambil tadi pagi. Dina mengambil ponsel dan memperhatikan fotonya. Namun dia tak begitu mengerti dan merasa foto itu biasa saja.

"Siapa? Siapa cewek ini?" tanya Dina.

"Perhatiin lebih seksama. Dia mirip banget sama Dila Aryani Subagja" Bondan coba menjelaskan.

Dina mengerutkan dahinya dan mencoba memperhatikan dengan detil. Seolah tak percaya, dia malah tersenyum dan menatap Bondan dengan santai.

"Terus...?"

"Hufffhhh...lu gak ngerti ya. Begini..."

Bondan menjelaskan hal yang ingin dia lakukan. Dina mendengarkan dengan seksama.

"Lu gila! Lu kan tahu Beni itu kayak gimana. Saat dia tahu semuanya dia bakal ngamuk sengamuk ngamuknya" ucap Dina tak setuju.

"Dila gak bakal mau kembali pada Beni yang possesif. Terlebih dia bakal kuliah empat tahun di Amerika. Ini hanya akan jadi rahasia lu, gue dan cewek itu" jelas Bondan meyakinkan.

"Kenapa lu ga biarin aja Beni dalam keadaan kayak gitu? Toh lu sama posisi lu menjadi pewaris Atmajaya Group jadi ga keganggu sama Beni kan!" tanya Dina.

"Adik gue yang ga berguna itu tetap berpengaruh terutama buat nyokap gue. Dibandingkan semua hal yang gue dapet, nyokap gue jauh lebih penting. Karena keadaan Beni yang begitu, nyokap gue jadi sakit-sakitan"

Bondan meremas serbet yang ada di samping piringnya. Dina semakin kagum dengan pribadi Bondan yang cakap dalam bisnis namun juga sangat sayang keluarga.

"Ok, tapi kita harus bisa meyakinkan cewek itu buat mau terikat kontrak sama kita. Kapan kita ke rumahnya?" tanya Dina.

"Malam ini, setelah pulang kantor. Lu tunggu gue di depan kantor" ucap Bondan.

"Ok!" jawab Dina.

Mereka makan dan menyantap makan siang. Sementara Yudi yang sedang memasak sedang berpikir bagaimana cara agar bisa membantu Rania. Hati nya terasa ikut bersedih saat dia melihat Rania menangis. Yudi tak menyadari kini hatinya sudah mulai menerima Rania. Dia mulai menyayanginya. Namun tak mau mengakuinya di depan yang lainnya.

Di rumah sakit.

Ibunya sudah selesai di operasi, kini sudah ada di kamar rawat inap. Rania menemaninya sepanjang hari. Ramadhan bolak balik ke rumah mereka untuk sekedar membawa baju ganti dan apapun yang diperlukan.

Ibunya belum sadar, Rania dan Ramadhan masih bergantian berjaga. Malam ini Ramadhan merasa sangat lelah karena harus bolak balik ke rumah dan ke rumah sakit. Dia minta untuk tidur di rumah dan meminta Rania yang menjaga ibu mereka.

Saat tiba di rumah, Ramadhan mendapat pesan dari tetangga.

"Dhan, Ramadhan!" teriak Bu Yuni tetangga rumahnya.

"Ya Bu!" jawab Ramadhan sambil menghampirinya.

"Gimana ibu kamu?"

"Udah selesai operasi, tapi belum sadar"

"Oh...semoga cepet sembuh ya!"

"Iya makasih Bu!"

"Oh iya, tadi pas kamu selesai ngambil barang ada kerabat yang datang"

"Kerabat?"

Ramadhan sedikit bingung, mencoba mengingat kerabat mereka yang masih hidup.

"Ya, berdua cewek cowok. Nanya nya sih nanya Rania. Sampe mastiin nama lengkap segala. Trus mereka ibu kasih tahu kalo ibu kamu di rumah sakit"

"Kerabat dari mana ya Bu? Perasaan keluarga ibunya Ramadhan udah pada ga ada"

Ramadhan menggaruk kepalanya, meskipun tak merasa gatal.

"Waduh! Ibu udah ngasih tahu kalian di rumah sakit lagi. Apa mereka kesana kali ya?"

Bu Yuni merasa salah memutuskan memberitahu tentang keluarga Rania.

"Tadi pas Ramadhan di sana sih ga ada yang dateng, tau deh kalo sekarang! Ntar Ramadhan coba telpon kak Rania"

"Ya, mudah mudahan beneran kerabat yang mau menjenguk ya Dhan!"

"Iya Bu, permisi!"

"Iya udah sono tidur, dah malem!"

Ramadhan masuk ke rumahnya dan mematikan lampu tengah, dia masuk kamar dan langsung berbaring. Sambil mengirim pesan pada Rania.

[Tadi ada yang nyari kata bu Yuni, cewek cowok, nanyain kak Rania. Mungkin bakalan ke sana, jenguk. Ramadhan dah di rumah mau tidur]

Ramadhan menyimpan ponselnya dan tertidur.

Di rumah sakit.

Rania menerima pesan dari Ramadhan, namun dia tak menghiraukannya. Dia masih menatap ibunya meski kantuk sudah mulai menyerang matanya.

Rania menjatuhkan kepalanya ke bahu kanan dan ke kiri. Mencoba meregangkan otot lehernya yang mulai pegal. Dia berdiri dari kursi dan melihat jendela rumah sakit. Langit malam itu sangat cerah, bintang bertaburan berkerlip cahayanya. Rania menarik nafas dalam. Dia mengalihkan pandangannya ke arah ranjang di sebelah yang kosong. Ruang yang seharusnya di isi 4 pasien ini hanya terisi oleh dua orang, ibunya dan satu lagi seorang pria paruh baya yang juga terlihat mengalami kecelakaan. Tak ada yang menjaganya, namun dia terdengar tertidur pulas.

Rania berjalan keluar kamar untuk mencari minum dan makan. Perut nya baru terasa sakit setelah seharian tak makan apapun. Dia berjalan di lorong rumah sakit, namun langkahnya terhenti. Matanya menatap sosok pria yang sedang duduk di kursi tunggu. Tubuhnya bersandar ke belakang dengan mata tertutup, seperti mencoba untuk tertidur.

Rania mendekat, dia mencoba memperjelas matanya yang seolah tak percaya dengan kehadiran nya. Mata Rania berkaca-kaca,

"Chef!" gumamnya.

Yudi terbangun mendengar Rania menyebut namanya. Mereka saling bertatapan untuk sejenak. Yudi merasa sudah ketahuan yang awalnya berniat sembunyi-sembunyi menemani nya di rumah sakit. Rania melihat ke kanan dan ke kiri.

"Chef, sedang apa di sini? Ada keluarga yang sakit?" tanya Rania polos.

Yudi menganga tak percaya bahwa Rania berpikir dia sedang menunggu keluarganya yang sakit. Dengan sedikit tersenyum dia mengangguk.

"Ya, ada teman masuk rumah sakit. Keluarganya belum bisa datang" jawab Yudi.

Rania tersenyum dan mengangguk, mengerti situasinya.

"Oh ya, aku dengar ibu kamu..." ucapan Yudi belum selesai.

"Iya, di ruang melati. Rania baru mau cari makan, laper!" jawab Rania.

"Oh....mau aku temani?" tanya Yudi.

Rania membulatkan mata sembabnya. Merasa gugup dengan tawaran Yudi yang biasanya cuek padanya.

"Aku juga lapar, sepulang dari restoran langsung ke sini. Biasanya ada yang sekedar mentraktir minuman atau cemilan, hari ini ngga ada" ucap Yudi sambil tersenyum.

Rania tersenyum malu, dia paham Yudi sedang membicarakannya.

"Yuk!" ajak Yudi.

Yudi berdiri dan menawarkan telapak tangannya pada Rania. Rania terdiam menatap tangan nya. Yudi sadar terlalu aneh jika dia bersikap seperti ini. Dia pun memasukkan tangannya ke saku celana.

"Ayo, katanya nasi goreng di depan, enak!" ucap Yudi mengalihkan perhatian.

Rania tersenyum, hatinya kembali mengubah perasaan yang tadinya sudah sangat berharap, yang berpikir bahwa Yudi memang pada dasarnya baik bukan karena perasaannya sudah terbalas. Dia tersenyum lalu berdiri.

"Oh ya, baguslah. Setidaknya rasanya jangan sampai sama kayak makanan di rumah sakit" canda Rania.

Rania berjalan di depan sedangkan Yudi di belakang. Yudi menatap langkah Rania yang ceroboh, kadang tangga pendek pun dia tak melihatnya. Setiap kali Rania terlihat akan jatuh, Yudi terkaget dan hendak menangkapnya. Namun dia memang begitu ceroboh.

Tingkahnya sesuai umurnya yang masih 19 tahun. Ceroboh, riang dan bersemangat. Namun hal yang sangat Yudi kagumi dari Rania adalah kedewasaannya dalam menghadapi masalah hidup. Dia mampu menyimpan air matanya hanya untuk membuat orang yang ada dihadapannya tak merasa khawatir.

Mereka berdua pun makan, setelah itu kembali ke kamar inap ibunya. Yudi mengantar hingga depan pintu ruangan.

"Makasih ya chef, udah mau nemenin makan" ucap Rania.

Yudi sedikit terkejut mendengar ucapan terimakasih Rania.

"Oh...iya...sama sama!" jawab Yudi tergagap.

"Chef harus lihat temannya, mungkin kebangun tadi pas kita makan!" saran Rania.

Yudi terlupa, dia kebingungan dengan ucapan Rania.

"Haah? Teman?" jawab Yudi.

"Iya...bukannya tadi lagi gantiin keluarga temennya Chef?" jelas Rania.

"Ouh...oh iya. Aku kesana dulu. Bye!" ucap Yudi sambil gelagapan

Rania tersenyum dan masuk lalu memeriksa keadaan ibunnya. Yudi pergi, dia langsung pulang sembari tersenyum-senyum sendiri. Dia merasa senang sudah dapat menemani Rania meskipun Rania menganggapnya hanya kebetulan.

Rania menatap ibunya yang masih tertidur. Dia pun menyandarkan kepalanya di kedua tangannya yang dia lipat di sisi ranjang. Mengingat saat dia makan bersama Yudi, orang yang dia sukai. Tersenyum sendiri saat Yudi berusaha mengikuti prasangkanya tentang teman yang sedang dia jenguk. Rania terlelap dalam rasa senang telah menghabiskan waktu bersama orang yang disukainya. Perasaan yang membuat bebannya sedikit terasa ringan.

3

Pagi sekali Rania bangun dan membersihkan diri. Setelah selesai dia mengambil air hangat. Sekarang ibunya sedang dia seka agar terlihat segar. Melap wajah dan lehernya dengan lembut.

Rania berpikir tentang Ramadhan. Ramadhan janji akan datang setelah dia bangun. Ini sudah pukul sembilan, Ramadhan belum juga datang. Mungkin dia belum bangun, pikir Rania.

Tiba-tiba ibunya terlihat menggerakan bola matanya. Rania memeriksa dan menggosok matanya sendiri, merasa tak percaya dengan apa yang dia lihat. Lalu ibunya sadar, matanya terbuka dan dikedipkan beberapa kali. Rania terkejut, dia mundur dan berlari ke ruang perawat.

"Suster...suster...ibu bangun..ibu saya bangun....tolong!" ucap Rania tergagap.

Suster tak berkata apapun, mereka langsung berlari ke ruangan. Suster memeriksa keadaan ibu Vera, Rania hanya terdiam memperhatikan.

"Alhamdulillah, Bu Vera baik-baik saja. Nanti dokter ke sini ya untuk memeriksa dengan lebih detil" ucap Suster Nina.

"Makasih Sus!" ucap Rania.

Rania memberikan minum perlahan pada ibunya. Ibunya minum dengan sedikit demi sedikit.

"Apa ada yang sakit? Apa kaki ibu kerasa sakit?" tanya Rania penuh khawatir.

"Udah berapa hari gue dirawat?" tanya Bu Vera.

"Tiga hari Bu, setengah hari ibu dioperasi" jawab Rania.

"Hah? Operasi?" tanya Bu Vera bingung.

"Ya..."

Rania hendak menjawab, namun Dokter dan rombongan calon dokter datang untuk memeriksa Bu Vera.

"Pagi Bu Vera, gimana kakinya?" tanya Dokter Catrin.

"Pagi Dok, emang kaki saya kenapa?" tanya Bu Vera.

Dokter membulatkan mata pada Rania, seolah bertanya dan menyimpulkan bahwa Rania belum memberitahunya.

"Kaki Bu Vera luka parah, jadi dilakukan operasi supaya kakinya tidak lumpuh. Alhamdulillah operasi berjalan lancar. Kami sempat khawatir karena Bu Vera tidak sadarkan diri setelah operasi, namun detak jantung dan tekanan darah yang normal yang membuat kami yakin kalo Bu Vera baik-baik saja" jelas Dokter.

"Oh ...gitu ya Dok!" ucap Bu Vera dengan mata yang masih begitu kesal pada Rania.

"Iya, sekarang Bu Vera sudah bisa makan dan minum obat. Saya resepkan obat untuk siang ini ya Bu!" ucap Dokter.

"Iya Dok, Makasih!" ucap Rania.

Dokter keluar dari ruangan itu setelah memeriksa pria paruh baya yang ranjangnya dekat dengan pintu.

Rania merapikan pakaian ibunya dengan perlahan. Ibunya memandangi dengan penuh rasa penasaran.

"Kenapa Bu? Ada yang sakit?" tanya Rania.

Dia khawatir karena raut wajah ibunya berekspresi tak seperti biasanya.

"Ibu dioperasi, biayanya dari asuransi pedagang pasar kan?" tanya Bu Vera menyimpulkan.

Rania terkejut dengan kesimpulan yang dikatakan ibunya. Dia melipat bibir dan sesekali membasahi bibirnya dengan lidahnya. Hendak mengatakan yang sebenarnya namun dia takut tekanan darah ibunya naik.

"Jawab!" tegas Bu Vera.

"Hmmm....nggak Bu!" jawab Rania.

Bu Vera membelalakan matanya, wajahnya merah padam.

Ramadhan sudah di depan pintu masuk rumah sakit. Dengan semangat dia berlari ke ruangan ibunya, dia sudah membaca pesan dari Rania kalau ibunya sudah sadar. Dia senang bukan main. Namun langkahnya terhenti sesaat masuk satu kakinya di ambang pintu ruangan ibunya.

Ibunya melempar bantal dan segala benda pada Rania yang berdiri di samping ranjang. Rania hanya tertunduk dan diam saja menerima lemparan barang yang diberikan ibunya.

Dengan histeris, ibunya meneriaki Rania hingga beberapa suster datang untuk menenangkan.

"LU GILA YA! HAAH? KENAPA LU GA BIARIN AJA GUE LUMPUH? KENAPA LU HARUS PAKE UANG ITU BUAT OPERASI GUE? LU TAHU KALO ADEK LU MAU MASUK SEKOLAH PENERBANGAN, BUTUH BIAYA BANYAK BUAT BERTAHUN- TAHUN DIA BELAJAR DI SANA. TABUNGAN YANG GUE MINTA LU KUMPULIN ITU BUAT DIA. BUKAN BUAT GUE ATAU BUAT ELU"

Bu Vera sangat marah. Tiga orang suster sudah berusaha membuatnya tenang. Namun sama sekali Bu Vera tak mereda. Hingga akhirnya dia melempar gelas alumunium dan mengenai dahi Rania dengan keras. Bu Vera terdiam saat melihat Rania memegang dahinya sambil meringis kesakitan. Ruangan itu menjadi hening, hanya suara gelas alumunium yang terpental beberapa kali yang terdengar. Yang lainnya hanya bisa diam tak berkata.

Ramadhan menghampiri Rania dan melihat dahinya.

"Kakak gak kenapa napa kan?" tanyanya.

Rania berusaha menahan tangis nya. Dia menutupi dahinya.

"Lu jaga ibu, gue ngantuk, mau pulang!" ucap Rania.

Rania mengambil tasnya dan pergi dari ruangan itu. Semua orang yang melihat mereka, bubar. Terdengar suara ibunya yang masih kesal dan menyalahkan Rania atas habisnya uang tabungan mereka.

Tak memperhatikan semua mata yang memandangnya, Rania juga tak sadar ada Yudi berdiri dekat pintu. Dia pergi dengan tergesa keluar dari rumah sakit. Yudi melihat keadaan ibunya Rania dari kejauhan. Ibu Vera masih mengoceh dan Ramadhan adiknya hanya membuat ibunya tenang tanpa membela kakaknya.

Beberapa menit kemudian Yudi menyusul Rania keluar, namun karena Rania terburu-buru, Yudi jadi tak bisa menyusulnya. Yudi berpikir Rania pergi pulang ke rumahnya, diapun menyusulnya ke sana.

Di sisi lain, Bondan dan Dina yang sejak tadi melihat drama emosional Bu Vera, saling menatap dan menghela nafas.

"Gue rasa, ini bukan waktu yang tepat" ucap Dina.

Bondan berpikir sebaliknya, dia tersenyum dan menarik lengan Dina untuk pergi.

"Sebenarnya ini waktu yang tepat, tapi ga apa-apa lah, lagi pula gue masih sebulan ngerjain proyek di sini. Masih banyak waktu buat bener-bener nyari waktu yang pas" ucap Bondan.

Dina terheran, namun senang Bondan memegang lengannya meski hanya menariknya untuk pulang. Dia langsung mengaitkan tangannya ke lengan Bondan. Karena Bondan sedang senang, dia membiarkan tangan Dina tetap di lengannya hingga mereka masuk mobil.

Yudi sampai di depan pintu rumah Rania dan hendak mengetuk. Namun Bu Yuni melihat dan menegurnya.

"Hei...nyari siapa?" tanya Bu Yuni.

Dengan cepat dia menghampiri Yudi yang masih terdiam karena terkejut.

"Hmmm...nyari Rania! Ada kan?" jawab Yudi.

"Ngga ada, ibunya dirawat di rumah sakit. Adiknya tadi titip kunci rumahnya di saya. Nih. Belum ada Rania pulang!" jelaa Bu Yuni.

Dia menunjukkan kunci rumah Rania yang disimpannya di saku jaketnya. Yudi terdiam.

'jadi...Rania ga pulang! trus dia kemana?' ucap hati Yudi.

Bu Yuni hanya menatap Yudi yang masih terdiam. Lalu ponsel Yudi berdering.

"Ya halloo!" jawab Yudi.

"Ya....iya....gue udah di jalan. Bawel!" lanjut Yudi.

Yudi memasukkan ponselnya ke jaketnya dan menatap Bu Yuni.

"Ok ga apa-apa Bu, nanti saya ke sini lagi. Makasih. Saya permisi dulu!" pamit Yudi.

Bu Yuni bengong, lalu dia tersadar akan sesuatu.

"Ehhh....lupa lagi nanya namanya. Ihhh ...dasar gue!" ucap Bu Yuni sambil menepuk jidatnya.

Yudi terburu-buru pergi memakai motornya. Dia mengebut dan sampai di restoran. Davin sedang berdiri melipat tangan di dadanya, memandang Yudi yang baru sampai.

Yudi tak peduli, dia memarkirkan motornya lalu melewatinya begitu saja dan langsung pergi menuju dapur. Dia langsung berganti pakaian dan memakai apronnya.

"Maaf saya terlambat!" ucapnya.

Dia hendak breefing, namun dia melihat mata semua anak buahnya tertuju pada seaeorang yang sedang mengiris bawang di sudut ruangan.

'Rania!' bisik hati Yudi yang terkejut.

Yudi menatap Dani dan mengangkat alisnya seolah bertanya.

"Dia tiba-tiba datang dan langsung mencuci semua wajan yang biasa lu pake. Trus ngiris bawang" jelas Dani sambil mengangkat bahunya.

Lalu dua orang yang lainnya tertawa, Yudi menatap mereka.

"Trus mereka ngetawain apa?" tanya Yudi sinis.

"Mereka lihat dia pake bandana yang menutupi menutupi seluruh jidatnya. Kan aneh!" jelas Dani.

Yudi ingat dengan kejadian di rumah sakit. Dia menghampiri Rania.

"Berhenti!" ucap Yudi pelan.

Tangan Yudi memegang lengan Rania, namun Rania tak mendengarkan, dia terus mengiris bawang hingga air matanya keluar.

"KU BILANG BERHENTI!" teriak Yudi.

Rania kaget dan menatap Yudi.

"Chef!" ucap Rania.

Matanya membelalak terkejut.

"Sebentar lagi Chef, saya akan potong dadu tomatnya!" ucap Rania tergagap.

Yudi menghela sambil menatap mata Rania yang sembab lalu beralih ke bandana yang dipakainya. Secara tiba-tiba Yudi melepas bandana itu, membuat Rania meringis kesakitan. Semua orang pun terkejut melihat memar yang ada di dahi Rania. Yudi menarik tangan Rania, mengambil es dan serbet bersih lalu membawanya ke ruang ganti.

"Lakukan pekerjaan kalian! Jangan banyak bergunjing!" ucap Yudi pada yang lainnya.

Semua orang terdiam melihat Yudi menarik paksa Rania. Mereka kembali bekerja sambil membicarakan tingkah Rania dan sikap Yudi.

Di tempat ganti pakaian, Yudi dengan paksa membuat Rania duduk di sofa. Rania hanya bisa menurut karena biasanya pun dia begitu jika Yudi marah.

Yudi membungkus es dengan serbet yang bersih, lalu dengan perlahan mengompreskannya ke dahi Rania. Rania hendak menolak namun Yudi menahan tangannya.

"Diam!" ucap Yudi.

Rania heran mengapa Yudi tahu tentang dahinya. Namun setelah dia ingat kejadian tadi malam dia pun mengerti.

"Chef ada di sana" ucap Rania.

Yudi menatap matanya yang dekat sekali dengan wajahnya.

"Hmmm!" jawab Yudi.

"Oh iya, kan Chef lagi nunggu temen yang sakit" lanjut Rania.

Yudi mengambil tangan Rania dan memberikan bungkusan es batu padanya dengan kesal.

'Aku di sana untuk menemani mu, melihat mu dan menjaga mu atau setidaknya bisa menghiburmu. Kenapa kau tidak paham?' oceh Yudi dalam hatinya.

Rania menatapnya heran.

'Dia kenapa? Tadi baik, sekarang kelihatan kesal' ucap hati Rania.

"Ya, saya lihat dan dengar semua karena lagi nunggu teman sakit. Kamu tahu rasanya nunggu orang sakit? Bosen, pegal dan menyebalkan. Jadi istirahat di sini jangan sampai kamu sakit! Paham?"

Intonasi ucapan Yudi jelas terdengar kesal. Rania pun hanya mengangguk dengan memasang wajah polosnya, meski dia belum mengerti dengan sikap Yudi.

Yudi berdiri dan hendak meninggalkannya. Namun dia teringat bahwa Rania belum sarapan. Dia menghentikan langkahnya.

"Kamu mau makan?" tanya Yudi.

Rania kembali terkejut. Dia menggelengkan kepalanya.

"Ngga, masih kenyang!" jawab Rania.

Yudi teringat, semalam Rania makan banyak sekali sambil bercerita tentang ibunya.

"Ok, istirahat saja!" ucap Yudi.

Dia keluar dan mendapati anak buahnya sedang mencuri dengar dari dekat ruang ganti. Yudi memegang kedua pinggangnya dan membelalakan matanya pada mereka. Mereka terhuyung-huyung kembali ke tempat mereka lalu bekerja.

Saat waktu jeda setelah melayani semua pelanggan, Yudi menyempatkan masuk ke ruang ganti membawa makanan untuk Rania. Yudi menghentikan langkahnya saat melihat ternyata Rania tertidur di sofa. Dengan perlahan Yudi duduk di samping Rania. Dia meletakkan makanan di meja dekat sofa dengan perlahan.

Bukannya kembali ke dapur, Yudi malah terdiam menatap wajah Rania yang manis saat tidur. Rambut panjangnya yang terikat, terurai sedikit dan menghalangi matanya. Yudi perlahan memindahkan rambut itu dan kembali menatap Rania.

'hmmm...apa ini? kenapa aku suka sekali melihat mu tertidur seperti ini? aku senang melihat wajahmu yang manis terlelap. apa ini cinta? atau hanya sugesti karena kamu sudah menyatakan perasaanmu padaku?'

Yudi bicara pada dirinya sendiri, dia sangat menikmati momen ini. Dia terus menatap wajah Rania sampai sampai tak sadar Nuri memperhatikannya di ambang pintu.

Baru saat Nuri menggeram, Yudi terkejut dan berdiri lalu pergi ke dapur lagi. Nuri yang mengerti situasi ini langsung tersenyum dan kembali ke wastafel untuk mencuci lagi. Nuri tak banyak bicara, dia paham Yudi akan merasa malu jika ketahuan anak buahnya. Nuri berpikir semua orang sudah tahu mereka saling suka, hanya saja Yudi tak menyadari dan tak mau mengakuinya.

Waktu berlalu, hari sudah sore. Sedari tadi Rania sudah membantu Nuri untuk menyelesaikan pekerjaan. Davin yang seharian tak masuk dapur akhirnya masuk dan memeriksa siapa saja yang bekerja. Davin melihat Rania, kemudian dia menghampirinya.

"Ibu kamu sudah sembuh? Bukannya operasi bisa makan waktu banyak untuk pemulihannya?" tanya Davin.

Dia tiba-tiba saja berdiri di samping Rania dan bertanya dengan berbisik. Rania melempar panci kecil yang sedang dia cuci. Davin tersenyum dan mundur sedikit. Rania berbalik dan melap tangannya ke apron yang dia pakai.

"Butuh banyak uang untuk perawatannya sampai sembuh, jadi saya harus kerja Pak!" jawab Rania.

Davin mengangkat alisnya, dia merasa jawaban Rania tepat.

"Baiklah!" ucap Davin.

Dia kembali ke luar dan memeriksa pekerjaan semua pegawai.

Yudi memperhatikannya, dia merasa tidak senang dengan sikap Davin yang sok akrab dengan Rania. Yudi merasa kesal saat Davin berbisik dekat telinga Rania. Dia kesal karena dia pun tak pernah sedekat itu selain tadi saat mengompres dahi Rania.

Semua orang kembali bekerja kecuali Yudi. Dia pergi ke ruang ganti pakaian dan pergi dengan terburu-buru setelah mendapat pesan dari ponselnya. Rania melihatnya dan merasa sedih karena tak sedikit pun Yudi melihatnya saat akan pergi. Dia melanjutkan pekerjaannya hingga akhirnya pulang bersama Nuri.

Di perjalanan Rania hanya diam saja, sementara Nuri menceritakan keadaan restoran yang kerepotan saat tidak ada dia selama 2 hari. Tapi Rania sama sekali tak bergeming, langkahnya seolah malas untuk pulang. Nuri menyadarinya dan bertanya.

"Hei...lu kenapa sih diem mulu?"

Nuri menarik lengannya, Rania baru menoleh.

"Haah?" jawab Rania.

"Ok, sini duduk dulu. Cerita sama gue, ada apa? Sejak lu masuk, lu murung dan melamun. Sudah pasti ini bukan karena Chef Yudi, karena dia sudah mencoba membuatmu tenang dan tak khawatir dengan situasi yang gue ga tau. Apa itu? Kenapa kepala lu benjol?" Nuri terus melayangkan pertanyaan.

Mereka duduk di kursi panjang di halte bus.

"Gue males pulang, males juga ke rumah sakit. Bingung mau kemana!" ucap Rania.

Tubuhnya dia sandarkan ke belakang dan menengadahkan wajahnya ke langit. Nuri menatapnya kasian.

"Yang gue tau dari lu cuma satu. Lu ga pernah biarin orang tau masalah lu. Tapi Ran, gue ini kan sahabat lo, wajar donk gue khawatir. Wajar juga kalo lo cerita sedikit aja tentang masalah lu. Siapa tahu gue bisa bantu" jelas Nuri.

"Masalah gue cuma tentang rasa gue yang semakin merasa kecewa sama diri sendiri. Gue belum bisa jadi anak yang baik buat ibu gue, apapun yang gue lakukan itu sama sekali ga berarti" ucap Rania.

Nuri menatapnya.

"Gue juga ga paham ma emak lu, ko dia bisa beda sikap gitu antara lo dan Adit. Tapi yakin deh, dia sayang banget sama lo. Lu inget kan pas lu masih kecil? Dia bela-belain nyari gaun yang sesuai tema drama yang lo lakonkan. Emak gue malah ga sama sekali mikirin" Nuri tersenyum mengingat masa lalunya.

Rania malah menggigit sedikit bibirnya. Sesekali menghela nafas dengan dalam.

Bus tiba, Nuri berdiri dan menarik tangan Rania, namun Rania tak beranjak. Nuri menatapnya.

"Ayoo...!"

Rania bangun dan naik bus bersama Nuri, mereka pun pulang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!