NovelToon NovelToon

Suddenly Became A Prince #2

Prolog

Cantik, terkenal, dari keluarga terpandang yang ternyata memiliki kisah drama yang akhirnya menyeret seorang Birendra Abhimana ke dalam pusaran drama itu.

Birendra, orang biasa memanggilnya dengan nama itu. Namun gadis di hadapannya mengubah panggilannya ketika mengenalkannya kepada ibu kandungnya … Abhi, itu nama yang dia sebutkan tadi. Birendra tersentak, tubuhnya membeku seolah diingatkan kembali dengan nama panggilan yang dulu sering dia dengar.

“Maaf, mamah mengira kita … pacaran,” ucap Bentari.

Gadis yang selama ini dia kenal dengan nama Anggi Santoso yang ternyata memiliki nama lain yang baru dia ketahu akhir-akhir ini.

Birendra hanya terdiam kemudian mengangguk. Toh itu tidak akan mengubah apapun dalam hidupnya. Hanya pura-pura menjadi kekasih dari putri seseorang yang selalu memakai jasanya kalau berurusan dengan hukum.

Tidak ada yang salah dengan niatnya itu. Hanya membantu. Akan tetapi dia lupa ketika dia pura-pura berperan sebagi seorang kekasih, cepat atau lambat ada hati yang akan ikut bermain.

Bentari bukanlah sosok yang dia idam-idamkan untuk menjadi kekasih apalagi menjadi seorang istri, atau lebih tepatnya tidak ada perempuan yang menjadi tipe idealnya untuk kekasih ataupun istri karena Birendra sudah mematikan perasaannya kepada perempuan manapun.

Namun seringnya interaksi dengan gadis manja itu membuat Birendra sering memerhatikannya. Terlebih panggilan gadis itu kepada dirinya seolah mengembalikan kenangan indah sekaligus menyakitkan bagi dirinya.

“Mas, jangan lupa ke acara tunangan Kak Nana. Mamah nanti curiga kalau Mas Abhi tidak datang.”

“Ya.”

Satu kata singkat itu mampu membuat seorang Bentari tersenyum lebar.

“Nanti, pakai batik ini.” Gadis cantik berkulit putih dengan rambut hitam hasil perawatan para ahli itu menyerahkan sebuah paper bag yang diterima Birendra. “Aku sudah cari warna yang cocok dengan kebaya yang nanti akan ku pakai.”

Jarak di antara alisnya sedikit berkerut mendengar ucapan Bentari. Dia tak mengerti kenapa orang-orang menyukai pakaian yang sama dengan kekasih atau istri mereka? Bagi Birendra itu terlihat kekanak-kanakan.

Namun lihatlah dia sekarang, menjadi bagian dari orang kekanak-kanakkan itu. Berdiri di samping Bentari yang tersenyum lebar malam itu, terlihat cantik seperti biasanya.

Aneh. Bukankah Bentari menyukai lelaki yang kini tengah menyematkan cincin di jari manis kakak kandungnya, sampai gadis itu melakukan hal gila yang hampir melukai kakak dan ibu kandungnya? Tapi kenapa malam ini dia terlihat begitu bahagia, seolah ini adalah pertunangannya sendiri.

Perempuan dan segala misterinya. Sampai saat ini jalan pikiran perempuan adalah sesuatu yang paling sulit Birendra pahami.

Perempuan manja dan terlihat egois yang semua keinginannya harus dituruti hingga melakukan segala cara agar keinginannya tercapai. Namun kini dia terlihat bahagia melihat kakaknya bersanding dengan lelaki yang selama ini digadang-gadangkan menjadi tunangannya.

Munafik. Itu yang pertama kali Birendra pikirkan ketika melihat sikap Bentari yang berubah 180 derajat kepada Caraka. Bisa saja gadis itu hanya bersandiwara di depan semua orang kan?

Tidak seperti kakak dan adiknya yang dibesarkan dengan segala tempaan hidup yang membuat mereka berdua menjadi kuat dan mandiri, tenang ketika di hadapkan dengan berbagai masalah, juga pintar memutar balikan ucapan miring orang tentang mereka sehingga tak ada yang berani berlaku semena-mena terhadap mereka.

Namun tidak dengan Bentari. Dibesarkan sebagai putri dari Andi Santoso yang gerak – gerik dan tutur katanya selalu menjadi perhatian banyak orang, belum lagi menjadi orang terkenal di media sosial membuat Bentari hanya akan terdiam menahan semuanya, berusaha tersenyum walau hatinya hancur dan harus menahan segala amarah juga kesedihan.

Bentari akan menyusun strategi di belakang, memberi pelajaran mereka yang menghina, menyepelekan atau merendahkannya tanpa harus mengotori tangannya sendiri. Itu lebih berbahaya.

Itu juga yang Birendra curigai. Saat ini Bentari tengah memakai topengnya untuk menyembunyikan luka dan hatinya yang hancur.

“Terima kasih ya, Mas, sudah datang.”

Bentari duduk di samping Birendra yang tengah duduk di samping kolam renang.

Pria dengan tinggi 178 cm itu terlihat tampan dengan kemeja batik warna senada dengan kebaya yang Bentari kenakan, walaupun wajah tampannya tetap tanpa ekspresi seperti biasanya.

“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya tanpa basa-basi.

Bentari menatapnya sesaat sebelum akhirnya tersenyum lebar memahami arti pertanyaannya itu.

“Kalau yang dimaksud Mas Abhi karena …” Bentari menatap ke arah kakak dan calon kakak iparnya yang kini tengah tersenyum lebar menerima ucapan selamat dari semua orang yang membuatnya ikut tersenyum sebelum kembali menatap Birendra. “Ya, saya tidak apa-apa.”

Alis Birendra sedikit terangkat mendengar jawaban Bentari yang sepertinya tanpa kepura-puraan.

“Bukan kah kamu menyukai … dia?”

Bentari kembali terdiam, dia terlihat berpikir untuk sesaat.

“Iya, aku menyukainya, tapi … ternyata aku tidak sedalam itu menyukainya.” Bentari menatap riak air kolam di hadapannya yang memantulkan pijaran lampu taman yang malam ini lebih gemerlap dari biasanya.

“Aku pikir, aku akan sakit hati melihat mereka berdua bertunangan dan tersenyum bahagia seperti sekarang. Ya, semua orang tahu bagaimana aku dulu …” Bentari mantap Birendra sambil meringis. “Melakukan hal gila demi … dia. Tapi ternyata aku tak merasakan apa-apa, aku bahagia melihat kak Nana, mamah, Oka bahkan ayah dan semua orang tersenyum seperti itu.”

Walau tipis, tapi Birendra ikut tersenyum melihat senyum manis Bentari yang terbit.

“Mas Abhi percaya kalau aku yang menyiapkan acara ini?” Mata Bentari berbinar menatap Birendra yang kembali mengangkat alis tak percaya. “Mas Abhi tidak percaya?” Matanya semakin membulat membuat Birendra tersenyum sambil mengendikan bahu.

“Waaah! Aku serius, Mas, ini semua aku yang menyiapkan!”

Birendra kembali mengangkat alis sebelum akhirnya dia mengangguk-anggukan kepala membuat Bentari tertawa karena dia tahu Birendra tidak memercayainya. Gadis itu kini menggeser duduknya menjadi menghadap Birendra yang juga melakukan hal yang sama. Dengan semangat Bentari menceritakan bagaimana dia menyiapkan acara tunangan kakaknya dalam waktu singkat, dan Birendra mendengarkannya dengan serius, terkadang dia akan kembali mengangkat alisnya untuk menggoda Bentari seolah dia tak percaya ucapan gadis itu, terkadang dia akan tersenyum, atau menanggapinya dengan kalimat-kalimat pendek.

Malam itu Birendra menyadari satu hal dari seorang Sagita Bentari. Dia bukan seperti Anggi Santoso yang selama ini orang kenal. Bentari mungkin manja terlihat dari cara dia bertutur kata dan bercerita, begitupun dengan gestur tubuhnya yang membuat siapapun lawan bicaranya akan memokuskan perhatian padanya.

Namun Bentari tidaklah seegois yang dia bayangkan. Gadis itu memiliki hati yang tulus. Dia hanya seorang gadis naif yang terlalu dimanja oleh materi.

“Nanti jangan lupa datang ya ke acara nikahannya teteh,” ucap bu Mega ketika Birendra pamit hendak pulang.

“Insyaallah, nanti saya datang.”

“Harus! Masa calon kakak iparnya nikah kamu tidak datang.” Birendra hanya tersenyum mendengar penuturan bu Mega. “Iiih, anak-anak mamah pada pinter ya cari calon suami. Ganteng-ganteng, tidak kalah deh sama artis drakor.”

“Sama Lee Min Ho, mah?” Kirana bertanya dengan senyum menggoda.

“Kalau yang mirip babang Limin mah, nanti itu buat bapak tiri kalian.”

“Hahaha.”

Kirana tertawa mendengar ucapan mamahnya.

“Mana mau, Mah, Lee Min Ho sama nenek-nenek,” ucap Oka yang langsung mengaduh karena dapat cubitan dari ibunya membuat tawa Kirana lebih kencang lagi. Berbeda dengan Bentari yang hanya tersenyum melihat interaksi kakak adik itu dengan ibu kandungnya.

Birendra melihat sorot mata Bentari penuh dengan kerinduan, tapi juga kesedihan melihat ketiganya. Dan entah kenapa Birendra merasakan kesedihan yang sama, seolah ia menjadi orang asing di antara keluarga kandungnya sendiri.

“Titip Bi ya.” Bu Mega menggenggam tangan Birendra yang sedikit terkejut. “Besok kami sudah kembali ke Jakarta, temani dia jangan sampai dia kesepian.”

Birendra tersenyum membalas senyuman lembut seorang ibu.

“Titip Bi jangan sampai dia melakukan hal gila lagi.”

Birendra hampir saja tertawa mendengar bisikan calon kakak iparnya.

Calon kakak ipar?

Kenapa tiba-tiba Kirana menjadi calon kakak iparnya? Ah, sepertinya dia sudah masuk ke dalam drama keluarga ini.

Dan setelah hari itu Birendra benar-benar menjalankan amanah dari bu Mega dan Kirana untuk menjaga Bentari yang tak keberatan memiliki Birendra sebagai pengawal pribadinya. Bahkan Bentari tak pernah lagi datang ke Paradeisos tempatnya menghabiskan waktu bersama teman-temannya atau lebih tepatnya orang yang dia kira teman-temannya. Di belakang Bentari, mereka membicarakan kebodohan Bentari karena kehilangan seorang Caraka Benua, bahkan orangtuanyapun tak luput dari bahan pergunjingan mereka.

Setelah sekian tahun Birendra kembali merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta juga merindu ketika Bentari harus pergi ke Jakarta dan sibuk menyiapkan resepsi pernikahan kakaknya, sedangkan dirinya terkurung dengan pekerjaan juga jadwal sidang yang tak mungkin ditinggal.

Walau masih terkesan dingin, tapi kini senyum lebih sering menghiasi wajah tampan pengacara andalan firma hukum ternama di Surabaya. Bahkan yang membuat semua orang heran (bahkan dirinya sendiripun ikut heran) untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir dia mengajukan cuti hanya untuk menyusul Bentari ke Jakarta.

Memang tak pernah ada ungkapan tentang perasaannya, mereka berdua sudah sama-sama dewasa untuk mengetahui isi hati masing-masing. Tak pernah ada tuntutan dari Bentari seolah dia sangat memahami kesibukan, profesi, juga sifat pendiam seorang Birendra Abhimana.

Sebagai seorang lelaki Birendra dinilai memiliki semua syarat untuk sudah memikirkan pernikahan. Umur, pekerjaan dan kehidupan yang mapan, karena itulah dia memutuskan untuk melangkah ke jenjang lebih jauh lagi bersama Bentari.

Hari itu dia sengaja datang ke toko perhiasan untuk membeli cincin yang akan dia berikan kepada Bentari sebagai ungkapan perasaannya. Sebuah cincin sederhana dari emas putih dengan berlian kecil yang sangat cantik, dengan senyum lebar Birendra menatap cincin di dalam kotak beludru berwarna biru. Ini harinya. Hari dimana dia akan mengungkapkan perasaannya kepada seorang Sagita Bentari.

Namun nasib berkata lain ketika dia baru melangkahkan kaki ke luar dari toko seseorang dari masa lalunya berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celana, matanya tajam menatap Birendra yang seketika mematung.

“Jadi berita itu benar?” tanpa basa basi pria di hadapannya bertanya. “Anggi Santoso … hmmm, tidak buruk,” lanjutnya dengan seringai membuat Birendra terdiam.

Bagaimana pria di hadapannya tahu mengenai Bentari?

“Sudah lupa dengan kejadian beberapa tahun lalu?”

Jantung Birendra berhenti berdetak untuk beberapa saat, telapak tanganya mulai berkeringat sedikit bergetar, kilasan-kilasan kejadian tiba-tiba muncul di hadapannya. Birendra kembali mengingat mimpi buruk dalam hidupnya yang hampir bisa dia lupakan.

“Apa kamu mau membuat gadis itu menjadi salah satu korbanmu juga?”

Tubuh Birendra kini benar-benar gemetar, dingin perlahan merambati tulang punggung terus naik, napasnya sedikit memburu, jantungnya berdetak semakin cepat membayangkan Bentari tergeletak dengan bersimbah darah.

“Kamu.” Pria itu melangkah semakin mendekat. “Tak layak bahagia,” geramnya tepat di depan wajah Birendra yang sudah memucat.

Pria itu dengan santai memakai kaca mata hitamnya dan berbalik meninggalkan Birendra yang kembali dilemparkan ke dalam mimpi buruknya dengan Bentari yang menjadi korbannya.

Beberapa hari Birendra hanya terdiam di apartemennya, menatap kotak cincin beludru warna biru yang tergeletak di atas meja. Ponselnya dia matikan, bahkan dia tak peduli ketika beberapa orang menekan bel apartemnnya. Dia hanya duduk diam, senyum kembali hilang dari wajah tampan yang rahangnya kini telah ditumbuhi bulu-bulu halus. Dia kembali menutup diri, mengenakan topeng yang coba dia tanggalkan akhir-akhir ini.

Perlahan dia kembali menyalakan ponselnya, bunyi notifikasi langsung bersautan. Ratusan pesan juga puluhan panggilan tak terjawab terlihat di sana. Dia tak memedulikan semua pesan-pesan itu kecuali puluhan pesan dari satu nama yang berada di daftar teratas. Bentari.

Birendra telah mengambil keputusan. Bentari tidak boleh menjadi korban selanjutnya. Tidak!

Birendra akan meninggalkannya.

Bentari mungkin akan terluka, tapi hanya sesaat seperti ketika dulu Caraka meninggalkannya setelah itu dia akan baik-baik saja. Bentari akan bahagia dengan pria yang mencintainya juga dicintainya.

Tapi bukan seorang Birendra Abhimana. Karena seorang Birendra tak layak untuk bahagia.

*****

1. Suddenly became a Prince

NOTE:

Apabila ada kesamaan nama tokoh, lokasi dan sebagianya itu hanya sebuah kebetulan semata, jadiii tolong jangan ada cocokologi di antara kita ya 😁🙏

******

Suddenly became a Prince

Apa jadinya kalau ayah yang selama ini meninggalkan kita semenjak dalam kandungan, tiba-tiba hadir kembali?

Sosok yang selama ini kita kira hidup dengan segala keterbatasan sampai tak kuasa mencari kita, ternyata hidup dengan bergelimang harta dan bahagia bersama keluarga barunya. Sedangkan kita hidup dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan. Namun tiba-tiba saja ayah yang dulu meninggalkan kita menawarkan segala macam fasilitas nomer satu dan hidup dalam kemawahan, seolah tiba-tiba kita menjelma menjadi seorang “Pangeran”.

Apa yang kalian rasakan?

Bahagia karena pada akhirnya bisa hidup dengan segala kemewahan dan terbebas dari berbagai kesulitan, juga mendapat status sosial yang jauh lebih tinggi?

Mungkin sebagian orang akan melonjak kegirangan, tapi itu tidak dirasakan oleh seorang Asoka Danubrata. Dia tetap memilih hidup dalam kesederhanaan seperti biasa daripada menjadi seorang pangeran property, Oka lebih memilih hidup sebagai mahasiswa biasa, tinggal di rumah tipe 36 di dalam komplek yang berada di antara perkampungan pinggiran Jakarta Timur.

“Yang kaya itu bokap gue. Bukan gue,” ucap Oka sambil menyuap mie ayam dari penjual keliling yang lewat depan rumahnya.

Saat ini dia tengah makan mie ayam bersama sahabatnya dari kecil. Kayas.

“Ya, tapi tetap saja lo juga kecipratanlah. Anak laki-laki satu-satunya Andi Santoso. Beuh! Teman-teman kita dulu bakal iri kalau tahu lo adiknya Anggi Santoso.”

“Ckk!” Oka berdecak sambil mengambil air minum di atas meja kemudian meneguknya hingga tandas. “Bokap gue Randi Prasetyo, bukan Andi Santoso. Kakak gue Kirana Az Zahra dan Sagita Bentari. Gue gak punya kakak yang namanya siapa itu tadi?” Oka pura-pura lupa membuat Kayas yang kini berdecak.

“Ya, terlepas dari drama keluarga bokap lu sampai ganti-ganti nama. Mereka tetap bokap sama kakak kandung lo.”

Ya, kisah keluarganya memang seperti drama. Pertemuannya kembali dengan sang ayah dan salah satu kakak kandungnya yang sudah terpisah semenjak di dalam kandungan, harus melewati segala macam drama yang membuat ibu juga kakaknya terluka terlebih dahulu untuk membongkar semua rahasia keluarga mereka.

“Dan bisa dibayangin nggak tuh cewek-cewek pasti langsung antri buat bisa jalan sama lo. Kalah deh antrian di tempat pak RT kalau bagiin bansos.”

“Nah ini dia. Gue nggak mau cewek deketin gue karena bokap atau kakak gue. Gue mau cewek yang suka sama gue … ya karena diri gue. Asoka Danubrata. Bukan karena siapa bokap gue, atau siapa kakak gue. Kayak lo lah yang suka sama si Sakha, dari zaman dia masih pakai putih biru yang culun abis.”

“Sialan lo ngatain ayang bebeb gue culun.”

“Hahaha … si Sakha terlihat keren itu sekarang karena masuk AKMIL. Lah kita kan paling tahu segimana penakutnya dia.”

“Hahaha … iya ya, kok gue bisa suka sama cowok kayak dia ya?”

“Nah! Ini yang gue mau. Gue juga mau cewek gue nanti suka gue apa adanya bukan karena embel-embel nama bokap dan kakak gue.”

Kayas menaruh mangkok mie ayamnya di atas mangkok Oka yang sudah lebih dulu kosong. Dia kemudian menghabiskan air minumnya sebelum kambali berkata,

“Jadi karena itu, sampai sekarang masih merahasiakan identitas lo yang sebenarnya sebagai putra Andi Santoso dan adik dari Anggi Santoso dari teman-teman kuliah lo?”

“Gue nggak nutup-nutupin, gue isi data identitas pribadi gue dengan jujur. Gue tulis nama bokap gue … Randi Prasetyo. Jadi gue nggak salah dong, nama bokap gue kan Randi Prasetyo.”

“Iya deh iya, terserah lo.”

“Hahaha.”

Kayas mendengus kalah, tentu saja yang diucapkan Oka itu benar. Nama ayahnya itu Randi Prasetyo bukan Andi Santoso.

“Kapan mau pakai tuh mobil hadiah dari kakak ipar lo buat ke kampus?”

Mereka berdua menatap mobil putih yang terparkir di depan rumah yang lebih sering tertutup cover mobil daripada dipakainya.

“Ngeri gue pakai tuh mobil … ngeri lecet.”

“Laminating, biar nggak lecet!”

“Hahaha … kalau ada yang bisa laminatingin. Gue laminating deh.”

“Terserah lo aja deh … orang kaya mah bebas.”

“Hahahaha.”

Ya, selama ini memang tak ada seorangpun teman kuliahnya yang mengetahui identias Oka yang sebenarnya, mereka mengenal Oka sebagai mahasiswa sederhana. Oka menarik perhatian kaum hawa bukan karena kaya. Pembawaannya yang supel, santai terkesan cuek malah membuat para perempuan penasaran. Oka ramah kepada semua orang, tapi di sisi lain dia juga sulit didekati, dia akan memberikan nomor teleponnya kepada siapapun yang minta, tapi jangan harap pesannya akan dibalas melebihi … wa’alaikum salam, baik, ya, atau tidak.

Di kampusnya banyak yang lebih tampan dan lebih kaya dari Oka. Mereka ke kampus dengan menggunakan mobil ataupun motor yang harganya bisa untuk DP rumah. Jangan tanya pakaian, sepatu atau pun tas yang mereka gunakan, itu hanya akan membuat ransel yang Oka gunakan merasa minder kalau bertemu denga mereka.

Oka hanya menggunakan si merah yang selalu terdepan peninggalan Kirana (yang kini telah lunas) dan pakaian sederhana … hanya kaos, kemeja flannel, celana jeans, dan ransel (yang minder), dengan begitu saja dia masih bisa bersaing dengan golongan hedon kampus untuk menarik perhatian kaum hawa.

“Ka, dicari sama bang Frans tuh!”

Oka baru memasuki gedung S ketika dia bertemu dengan salah satu temannya.

“Dimana?”

“Gaze.”

“Ok, thanks ya.”

Dengan cepat Oka menuju gazebo yang tersebar di sekitaran fakultas teknik tempat para mahasiswa duduk mengerjakan tugas.

“Ka!”

Frans yang tengah duduk bersama beberapa mahasiswa lainnya di gazebo memanggil Oka ketika pria yang kini rambutnya gondrong itu celingukan mencari sosok kating (kakak tingkat) yang sering meminta tolong padanya.

“Gimana? Bisa?” tanya Frans menatap Oka dengan penuh harap.

“Beres Bang!”

Oka mengambil flashdisk dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Frans.

“Ini dia!” Dengan senyum lebar Frans menerima flashdisk berwarna merah dari tangan Oka. “Bayarannya aku transfer seperti biasa.”

“Makasih, Bang. Kalau ada proyek lain kabarin ya, Bang.”

“Pasti.”

“Saya masuk kelas dulu.”

Oka baru saja berdiri ketika Frans kembali memanggilnya.

“Dapat salam kau dari si Meli anak FIKOM.”

“Hahaha, wa’alaikumsalam.”

“Jangan wa’alaikumsalam doang. Kali-kali kau terimalah mereka.”

“Hahaha.”

Oka hanya tertawa sambil berjalan cepat menuju gedung S dimana dia harus mengikuti kuliah analisa struktur di ruang S 301.

Itulah Asoka Danubrata yang dikenal anak-anak teknik sebagai mahasiswa sederhana yang mengandalkan kemampuannya untuk mencari tambahan penghasilan. Awalnya dia menolong Frans, ketika seniornya itu kesulitan mengerjakan tugas, hingga kemampuannya diakui oleh beberapa orang dan tak sedikit dari mereka yang meminta tolong Oka mengerjakan tugas atau bahkan memberikan proyek sampingan.

“Pulang kuliah nanti jadikan kita main futsal?” tanya Kemal seketika Oka duduk di dalam.

“Sori, gue nggak bisa. Hari ini gue janji ketemu sama Arunika, kecuali kalau malam gue usahain ikut.”

“Arunika? Ah! Murid lo itu?”

Oka mengangguk sebagai jawaban. “Dia diterima di sini, dan kemarin dia nelepon minta gue datang hari ini.”

“Mau dapat bonus lo?”

“Mudah-mudahan.” Oka tersenyum lebar membayangkan dia mendapat bonus di tanggal tua seperti sekarang.

“Gue doain lo dapat bonus, nanti traktir gue makan ya, Ka. Kasihanilah anak kos macam gue yang belum dapat transferan dari kampung.”

“Hahaha, gampang. Nanti kita ajak Wempi sama Mantir sekalian.”

“Gue coba ngomong sama yang lain biar diundur nanti malam futsalnya. Habis magrib? Jam 7, bisakan?” Kemal bertanya dengan mata berbinar setelah mendengar dia akan dapat traktiran makan malam. Lumayan, namanya juga anak kos-kosan, sangat mencintai segala bentuk tranktiran.

“Bisa.” Oka mengangguk sambil mengeluarkan notebook bersamaan dengan masuknya dosen yang membuat kelas langsung hening.

Beberapa bulan terakhir Oka menjadi guru private bagi Arunika, siswi kelas tiga SMA yang tengah memersiapkan diri untuk masuk perguruan tinggi negri. Dan hasil dari kerja kerasnya ternyata membuahkan hasil, Arunika diterima di universitas yang sama dengan Oka.

“Aku sudah tidak sabar nanti sekampus sama Bang Oka.”

Oka hanya tersenyum sambil berjalan menuju motornya yang terparkir di halaman rumah Arunika. Seperti yang diperkirakan Kemal. Orangtua Arunika memberinya bonus tambahan karena berhasil membuat putrinya masuk ke salah satu universitas negri unggulan.

“Terus nanti kita jadi couple gitu.”

“Kuliah yang bener!”

Oka sudah kebal dengan segala bentuk godaan dari ‘muridnya’ itu. setiap hari gadis itu akan mengiriminya pesan, walau tak pernah dia tanggapi dan hanya menjawab yang penting-penting saja. Tapi seorang Arunika tak peduli dengan itu. Setiap malam dia akan menceritakan kegiatannya hari itu dan Oka biasanya hanya membacanya saja tanpa membalasnya.

“Kan sekalian menyelam sambil minum air, Bang. Kuliah jalan, PDKT juga jalan terus, siapa tahu nanti diterima.”

“Siapa yang mau PDKT!” Oka mengenakan helmnya dan bersiap di atas motor.

“Iya aku yang PDKT sama Abang, kalau nunggu Abang yang PDKT sama aku mah sampai kita punya cucu juga nggak bakalan maju-maju.”

Helaan napas kembali terdengar dari mulut Oka sambil menggelengkan kepala.

“Bilang sama orangtuamu terima kasih banyak.”

“Iya … sama-sama.”

“Aku pulang dulu ya, assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Hati-hati di jalan suami masa depanku.”

Mau tak mau Oka tertawa mendengar ucapan Arunika sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan gadis yang kini heboh melambai-lambaikan tangannya dengan senyum lebar.

Arunika terlihat cantik, lucu, menggemaskan. Pembawaannya yang riang membuat semua orang menyukainya. Namun gadis itu jelas bukan tipe Oka, karena gadis itu mengingatkannya kepada Bentari alis Anggi Santoso, kakaknya.

Dibesarkan dengan segala kemudahan, dimanja oleh materi membuat mereka tumbuh menjadi sosok manja yang semua keinginannya harus terkabulkan. Dan itu bukan tipe perempuan yang Oka sukai.

Dan mengenai Bi atau Anggi, selama hampir dua tahun ini Oka memang telah melihat banyak perubahan pada diri kakaknya itu. Hampir sebulan sekali Anggi datang ke Jakarta, terkadang dia akan menginap di rumah sederhana mereka sebelum kembali ke Surabaya dan kembali hidup dalam kemewahan.

Yang membuat Oka masih kurang menyukainya adalah karena dia masih sering mengumbar kehidupan mewahnya di media sosial, walaupun sudah tak sesering dulu. Tapi tetap saja bagi Oka kurang etis rasanya mengumbar kemewahan disaat di sekeliling kita masih banyak orang yang kekurangan.

Seperti yang sudah dijanjikan setelah shalat magrib Oka pergi bermain futsal bersama teman-temannya, bukan hanya dari fakultas teknik saja tapi beberapa ada dari fakultas lain yang sudah Oka kenal. Mereka sedang duduk minum ketika Wempi, teman Oka yang berasal dari Ambon tiba-tiba saja heboh sambil melihat ponselnya.

“Alamak, cantiknya!”

“Mana-mana!”

Mantir, Kemal dan semuanya langsung ikut mengerumuni Wempi penasaran dengan apa yang dilihat pria dengan rambut kriting sedikit gondrong yang dikuncir kuda.

“Anggi Santoso, makin hari makin bening saja,” ucap Kemal yang mendapat sautan setuju dari Mantir dan Wempi.

Oka langsung duduk kembali, meminum teh botol dinginnya hingga habis. Sering kali dia tidak nyaman ketika teman-temannya berbicara tentang Anggi, yang tak lain dan tak bukan adalah kakaknya. Ketika lelaki memuji perempuan, tak jarang mereka membicarakan fisik membuatnya ingin marah, memukul siapapun yang berani berimajinasi dengan tubuh kakaknya.

“Bagaimana rasanya punya cewek kayak dia ya? Udah cakep, kaya pula.”

“Yang pasti, kita bahkan tidak akan diliriknya kalau bertemu di jalan.”

“Hahaha … gue sih ikhlas jadi supirnya dia juga biar bisa lihat dia tiap hari, nyium wanginya.”

“Belum lagi lihatin body-nya dia yang … alamak, ingin kawin rasanya.”

“Hahaha.”

“Kulitnya halus banget dah … nyamuk aja bakal kepelset saking halusnya.”

“Hahaha … macam pernah ngelus aja kau!”

“Sering … dalam mimpi.”

“Hahaha.”

Brak!

Oka menggebrak meja, wajahnya mengeras menahan amarah. Teman-temannya kini menatap ke arahnya terlihat bingung dengan reaksinya.

“Lo kenapa, Ka?”

“Aaaah, jangan-jangan tipe perempuan yang kau suka itu seperti Anggi Santoso kah?”

“Hahaha … dia ketinggian buat kita, bro.”

“Dia itu cuma bisa menjadi khayalan kaum lelaki macam kita ini, tak akan bisa kita capai.”

“Makanya mumpung berkhayal masih gratis, kita berkhayal sebebas-bebasnya.”

“Gue nggak suka,” ucap Oka dengan mata menatap tajam temannya. “Kalian lupa kalau ibu kita perempuan, dan kita memiliki saudara perempuan di rumah?” Mereka terdiam saling pandang tak mengerti dengan apa yang Oka katakana. “Kalian pernah berpikir bagaimana rasanya kalau kalian mendengar ada orang yang membicarakan tubuh saudara perempuan kalian? Kalian suka saudara perempuan kalian menjadi objek imajinasi lelaki?”

“Akan ku bunuh laki-laki yang berani berimajinasi dengan tubuh saudara perempuanku.”

“Itu juga dirasakan saudaranya kalau mendengar kalian berbicara seperti itu.”

Semua orang kembali terdiam.

“Tapi … apa ada saudaranya di sini?” tanya Mantir, teman Oka asal Kalimantan Barat membuat semua orang saling pandang.

“Atau jangan-jangan lo saudaranya Anggi Santoso?” Kemal terlihat curiga.

Sial! Oka mengutuk dalam hati ketika semua orang kini menatapnya curiga.

“Aaaah … tidak mungkin dia saudaranya Anggi Santoso,” ucap Mantir sambil tertawa. “Kalian pikir saudara Anggi Santoso akan ke kampus dengan naik motor matic yang suka mogok?”

“Hahaha …benar-benar!” Wempi ikut tertawa, berbeda dengan Kemal yang masih menatapnya curiga.

“Tidak mungkin adik Anggi Santoso nyari proyekan sana-sini buat bayar uang kuliah.”

Kemal mulai mengangguk setuju.

“Sampai jadi guru les anak SMA.”

“Hahaha … iya benar.”

Oka menghembuskan napas lega melihat teman-temannya tak lagi curiga padanya. Mereka masih menertawakan Oka yang menghalu menjadi adik dari Anggi Santoso. Merasa kondisi sudah mulai aman Oka mengeluarkan ponselnya. Diam-diam dia mengirim pesan.

Asoka :

Hapus postingan yang ada di medsos!

Bentari :

Kenapa?”

Asoka :

Jelek!!!!

Bentari :

😱

😤

😡

🤬

Oka tak memedulikan notifikasi pesan dari Bentari yang terus mengiriminya gambar emotion tak percaya ada seseorang menyebutnya jelek.

Setelah beberapa menit Oka melihat kembali media sosial Anggi yang sudah mendapat centrang biru dan postingan tadi sudah tidak ada membuat Oka tersenyum.

Minimal walaupun awalnya protes tapi kakaknya itu mendengarkannya.

*****

2. Okaaa ... I'm coming

“Jelek?” Bi tidak percaya melihat pesan dari Oka.

Awalnya dia merasa bahagia karena ini kali pertama Oka mengirimnya pesan lebih dulu, tapi isi pesannya malah membuat Bi terbebelak tak percaya.

Tidak ada yang salah dengan fotonya, hanya memerlihatkan Bentari yang memakai jumpsuit putih tanpa lengan lengkap dengan kaca mata hitam dan tas branded yang baru saja dia beli kemarin.

Hubungannya sendiri dengan Oka belumlah pada tahap dekat seperti dirinya dan Kirana. Oka masih menjaga jarak walau tidak menghindar, tapi Bentari bisa merasakan kalau adiknya itu seolah membangun dinding untuk dia tembus.

Bukti. Oka memerlukan bukti kalau Bentari berbeda dengan Anggi. Segala macam cara sudah dia lakukan termasuk mengganti kembali namanya dengan Bentari.

“Saya sudah kehilangan nama saya yang sebenarnya selama dua puluh tahun ini. Dan mulai sekarang saya akan kembali menggunakan nama itu … Sagita Bentari. Bi. Itu adalah nama saya,” ucapnya di hadapan keluarga besar ayahnya.

“Tapi, Nggi …”

“Bi, panggil saya dengan nama itu,” ucapnya memotong ucapan H. Joko. Kakeknya. “Saya tidak mungkin mengganti semua dokumen saya kembali menjadi Sagita Bentari, jadi saya tetap akan menggunakan nama Anggi Santoso di semua dokumen saya. Namun setidaknya untuk sehari-hari panggil saya dengan nama pemberian orangtua saya.”

Semua orang terdiam, hanya Andi Santoso yang mengangguk setuju. Mungkin di antara semua orang yang berada di sana, ayahnya lah yang paling mengerti dan memahami kondisinya saat ini.

“Kamu ... tidak akan meninggalkan mamah kan?” Mata Mayang gemetar takut putri yang dari kecil dia besarkan itu akan pergi meninggalkannya dan kembali kepada ibu kandungnya.

“Tidak, saya akan tetap tinggal di sini, tapi saya juga berhak untuk menemui mamah Mega, kak Nana dan Oka kapanpun. Jangan larang saya untuk itu.”

Mayang mengangguk dengan senyum di wajahnya, merasa tenang karena setidaknya Bentari tidak akan meninggalkannya.

Sungguh Bentari menyayangi ibu sambungya itu. Selama ini Mayanglah yang telah membesarkannya, memberinya kasih sayang layaknya ibu kandung, namun dia kecewa karena selama ini Mayang merahasiakan identitas Bentari yang sebenarnya, hingga akhirnya dia terlambat untuk menyadari kebenaran yang hampir melukai ibu kandung juga kakaknya.

“Perempuan dipanggil ibu bukan hanya yang melahirkan saja, Bi.”

Bi mengingat ucapan bu Mega ketika memceritakan kekecewaannya terhadap Mayang.

“Mungkin di antara mamah dan ibu sambungmu. Dialah yang paling berhak kamu panggil mamah.” Bentari terkejut mendengar penuturan ibu kandungnya itu. “Mamah memang yang melahirkanmu, tapi mamah hanya merawatmu selama 4 tahun, sedangkan dia … selama 20 tahun ini merawatmu. Tidak tidur ketika kamu sakit, membesarkanmu dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi wanita cantik. Ikut menangis ketika kamu bersedih, ikut bahagia ketika melihatmu tersenyum, bangga ketika kamu berhasil. Itulah seorang ibu, Bi. Tidak perlu melahirkan untuk menjadi seorang ibu, karena pada kenyataannya banyak ibu yang hanya melahirkan saja, kemudian menelantarkan anaknya begitu saja, bahkan ada yang menjualnya dan menyiksanya. Apa seseorang seperti itu layak disebut seorang ibu? Sedangkan ibu sambungmu begitu menyayangimu teramat sangat, meskipun dia tidak melahirkanmu.”

Bentari terdiam mendengar penuturan ibu kandungnya. Dia memang beruntung karena mendapatkan seorang ibu sambung yang sangat menyayanginya, tapi boleh kan dia kecewa?

“Jangan menjadi anak yang tidak tahu berterima kasih. Mamah tidak pernah mengajarkan itu kepada kakak dan adikmu, dan sekarang mamah mengajarkan itu kepadamu. Kecewa boleh, tapi jangan sampai kamu meninggalkan dia karena kekecewaanmu hingga melupakan jasanya selama ini.”

Karena itulah Bentari memutuskan tetap tinggal di Surabaya, dan hanya pergi Jakarta sebulan sekali ketika dia merindukan bu Mega, Kirana, Oka juga Danish keponakannya yang sangat menggemaskan.

“Teteh, Danish mana?” tanya Anggi seketika video callnya diangkat oleh kakaknya. Setelah Kirana menikah Bentari ikut memanggil Kirana dengan panggilan teteh seperti Oka, bu Mega dan keluarga besar Caraka.

“Tuh!” Kirana memerlihatkan Danish yang hari ini terlihat lucu mengenakan jumpsuit berwarna biru tua dengan gambar apolo dan planet, dia terlihat sedang berjalan seperti robot dengan tangannya memegang mobil-mobilan.

“Daniiiish … aaah, aunty kangeeen pengen ciuuum.” Bentari mendekatkan mulutnya ke arah layar sedangkan Danish kini telah duduk sambil mengigit mobil-mobilan membuat Kirana langsung berteriak.

“Oooh, no no no, Baby, tidak boleh gigit itu!” Kirana langsung merebut mobilannya yang sudah basah oleh air liur membuat Danish merengek, tapi langsung diam setelah Kirana memberikan mainan berisi air yang memang untuk digigit. “Gigit ini saja.”

“Hahaha … giginya mau tumbuh ya?” tanya Bi setelah melihat kehebohan kakaknya.

“Iya … giginya mau empat, lucu kaya kelinci … Baby! Iiiii … giginya mana giginya, lihatin sama aunty.”

“Iiiii …” Danish langsung nyengir memerlihatkan giginya yang baru dua di atas dan di bawah.

“Aaaaah … lucuuu … jadi pengen ke Jakarta.”

“Sini dong … nginep yang lama kalau di Jakarta bukan cuma sehari-dua hari doang.”

“Hehehe iya, Teh, nanti aku ke Jakarta. Eh, Kak, tahu nggak masa Oka nyebelin banget.”

“Hahaha … baru tahu? Dia memang nyebelin.”

“Ckkk … dia nyuruh aku hapus postinganku pakai bilang jelek segala.”

“Hahaha … memang foto apa?”

“Cuma foto OOTD biasa saja, Teh. Padahal aku sudah jarang juga upload-upload foto di medsos.”

“Itu tandanya kalau dia sudah peduli sama kamu, Bi.”

Bentari menghempaskan tubuhnya di atas kasur sambil menghela napas. “Tapi dia masih menjaga jarak dariku, padahal aku sudah berubah bukan lagi Anggi Santoso yang dulu.”

“Bukannya Oka tidak tahu, tapi belum yakin saja.”

Kirana berhenti sebentar karena Danish kembali merengek. Terlihat Kirana memberikan biscuit bayi yang membuat bayi berumur 13 bulan itu kembali terdiam dan mulai asyik dengan snack nya.

“Ya bagaimana dia bisa yakin kalau bertemu kamu saja jarang, jadi dia tidak bisa melihat kamu yang sudah berubah. Lagian kebiasaan selama dua puluh tahun tidak mungkin bisa diubah dalam sekejap mata, buktinya kamu terkadang masih dengan kehidupanmu yang dulu kan?”

Yang dikatakan Kirana benar. Bentari kembali kepada kehidupan glamornya, pergaulannya dengan kalangan atas, juga kebiasaan berfoya-foyanya, semenjak …

“Jadi menurut, Teteh, aku harus bagaimana?”

“Hmmm … apa kamu pernah berpikiran untuk tinggal beberapa waktu dengan mamah dan Oka? Merasakan hidup sederhana seperti kami? Mungkin dengan begitu Oka bisa melihat kesungguhan kamu untuk berubah.”

Bentari terdiam sesaat.

“Tinggal bersama mereka?”

“Iya, kenapa tidak? Selama ini kamu kalau ke sini cuma beberapa hari saja kan, jadi bagaimana bisa Oka melihat perubahanmu. Yang dia lihat cuma postinganmu di medsos yang masih saja mengumbar kemewahan.”

“Tapi aku sudah jarang upload foto di medsos.”

“Tetap saja, lagian yang kamu upload itu apa sih, Bi? OOTD yang memerlihatkan pakaian dan tas brandedmu? Mobil barumu? Tempat makan kelas atas? Liburan ke beberapa tempat yang hanya jadi impian untuk sebagian orang? Apa yang kamu cari dari itu semua? Jumlah like dan juga pujian dari pengikutmu yang bahkan sebagian besar tidak kamu kenal?”

Bentari terdiam mendengarkan kakaknya yang kini terlihat mengejar Danish yang jalan entah kemana.

“Kamu itu boleh dibilang influencer. Apapun yang kamu upload, apapun tindakanmu akan memberi pengaruh kepada masyarakat luas. Setidaknya berilah pengaruh yang positif, bukan hanya memamerkan kekayaan saja, walaupun itu hak kamu, tapi ingat ada tanggung jawab yang kamu emban di sana.”

Lagi-lagi yang dikatakan kakaknya itu benar membuat Bentari hanya terdiam.

“Jadi bagaimana Oka bisa melihat perubahanmu kalau ketemu saja jarang dan apa yang kamu upload di medsos-pun belum ada perubuhan apa-apa, sedangkan hanya medsos tempat Oka bisa melihat perubahanmu.”

“Jadi … apa aku perlu tinggal sementara di Jakarta?”

“Ya, terserah kamu … wa’alaikumsalam.” Terdengar suara Caraka mengucap salam. “Eeeh! Jangan gendong dulu! Jangan cium dulu! Cuci kaki, cuci tangan, ganti baju dulu kalau mau mandi sekalian, baru boleh gendong sama cium Danish.” Protes Kirana membaut Bentari tersenyum karena mendengar Caraka yang hanya bisa berdecak pasrah.

“Kalau begitu cium ibunya saja dulu,” ucap Caraka yang langsung mencium Kirana.

“Woi!!! Halloo … ada jomblo di sini! Trus itu coba ya, di depan anaknya jangan main nyosor gitu!”

“Hahaha.”

Caraka hanya tertawa mendengar protes Bentari. Kirana terlihat memerah sambil memukul lengan Caraka.

“Makanya jangan jomblo mulu, move on dong, move on!” seru Caraka yang wajahnya muncul di layar ponsel.

“Ckkk … dikira move on itu kayak nahan pipis, tinggal ke toilet dan … selesai.”

“Kamu tidak bikin rencana yang aneh-anehkan untuk menggagalkan pernikahan Birendra kan?”

“Enggalah! Kapok aku, bagaimana kalau calon istrinya dia ternyata kakakku atau adikku yang beda ibu?”

“Hahaha, terus kamu pikir ayah selingkuh gitu?”

“Ya, siapa tahu.”

“Hahaha.”

Beberapa menit kemudian Bentari mengakhiri pembicaraan dengan kakaknya karena sepertinya Danish sudah mengantuk dan mulai rewel.

Bentari terdiam, matanya menerawang menatap langit kamar-kamarnya. memikirkan kisah asmaranya yang seolah tak pernah mulus. Birendra pria yang dia pikir bisa mencintainya seperti Caraka mencintai Kirana, ternyata lebih memilih perempuan lain. Berawal dari kesalah pahaman bu Mega yang mengira kalau Birendra adalah kekasih Bentari, kisah mereka berlanjut walau tak pernah ada ikrar di antara keduanya.

Mengingat Birendra yang memang diam tak pernah banyak bicara dan cenderung tanpa ekspresi membuat Bentari memaklumi ketika kata cinta tak pernah ke luar dari mulutnya. Bentari hanya percaya dengan melihat sikap, perlakuan dan tatapan matanya yang selalu menatap lembut. Namun ternyata diamnya Birendra, dengan kata cinta tak pernah ke luar dari mulutnya memiliki makna lain.

Beberapa hari Birendra seolah menghilang membuat Bentari khawatir karena tak bisa menghubunginya. Persiapan aqiqah Danish waktu itu menglihkan perhatian Bentari, untuk sesaat dia tidak memikirkan ketidak hadiran Birendra sampai akhirnya pada hari aqiqah, Birendra mencarinya membuat Bientari terkejut sekaligus senang karena akhirnya Birendra telah kembali, tapi yang Bentari terima hari itu adalah berita tentang pernikahannya.

“Aku telah menemukan perempuan yang ku rasa cocok menemani hidupku. Aku akan menikahinya,” ucap Birendra hari itu membuat Bentari terdiam tak mengerti dengan apa yang diucapkannya. “Kamu tak perlu lagi aku menjadi tamengmu untuk menutupi perasaanmu pada Caraka kan?”

“Apa maksudmu?” Sesaat Bentari bingung mendengar penuturan Birendra yang masih tanpa ekspresi menatapnya.

“Sandiwara kita … apa bisa kita akhiri sekarang?”

“Sandiwara?”

“Iya, bukankah selama ini kita hanya bersandiwara untuk menutupi masa lalumu dengan Caraka di depan ibumu?”

Bentari tidak bisa berkata apa-apa, hatinya terasa sakit mendengar ucapan Birendra. Dari semua orang Birendra seharusnya paling tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya kepada Caraka. Ya, Bentari memang pernah menyukai Caraka, terobsesi lebih tepatnya, tapi itu dulu ketika dia masih menjadi Anggi Santoso sebelum dia mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Dan kini perasaan itu benar-benar sudah tidak ada selain rasa hormat kepada kakak ipar.

“Sandiwara?” Suara Bentari bergetar, bibirnya menyunggingkan senyum namun matanya menyorotkan perasaan yang terluka. “Ya, sandiwara … hidupku memang tak ayalnya panggung sandiwara.”

Bentari mendengus menertawakan jalan takdir hidupnya sebelum akhirnya kembali menatap Birendra.

“Jadi kamu mau menikah?”

Birendra terdiam menatap Anggi yang masih menyunggingkan senyum dengan mata terluka.

“Selamat, semoga semuanya lancar. Terima kasih karena telah menadi partner sandiwaraku yang luar biasa selama ini.”

Bentari pergi meninggalkan Birendra yang terdiam menatap kepergian Bentari. Walaupun gadis itu berusaha berjalan dengan punggung tegak meninggalkannya, namun Birendra tahu gadis itu tengah menahan air matanya sebelum akhirnya luluh lantah di dalam kendaraannya yang terparkir di depan café dimana mereka tadi bicara.

“Lupakan! Lupakan! Lupakan!” Bentari menepuk-nepuk pipinya ketika kembali mengingat hari terakhir dia bertemu Birendra dan menjadi kali pertamanya dia patah hati.

Dulu bahkan ketika Caraka membatalkan perjodohannya dia tak merasa patah hati, dia hanya merasa harga dirinya sedikit terluka, tapi ketika dengan Birendra... dia merasakan nangis selama berhari-hari, untung saja kejadiannya di Jakarta jadi Kirana dan Siska selalu menghiburnya.

“Kenapa lelaki sangat merepotkan?” tanya Bentari pada dirinya sendiri sambil memeluk gulingnya dalam posisi miring.

“Asoka Danubrata, kamu juga sangat merepotkan!” Bentari menutup wajahnya menggunakan guling.

“Lihat saja, akan ku buat kamu bisa menerimaku sebagai kakakmu!”

Bentari kembali dalam posisi telentang, matanya kini mentap atap kamar tidurnya yang tinggi, perlahan api seolah berkobar di matanya sebelum akhirnya dia tersenyum.

“Baiklah! Okaaa … I’m coming!” Serunya dengan penuh keyakinan dan niat yagn kuat.

Dan beberapa hari kemudian Bentari sudah berdiri di depan rumah tipe 36 pinggiran kota Jakarta Timur, dengan kaca mata hitam, pakaian dan sepatu branded yang melekat pada tubuhnya. Dua koper besar yang berada di belakangnya membuat bu Mega dan Oka menganga tak percaya

.

“Mamah!” Bi mencum pipi bu Mega yang masih terkejut. “Hallo little brother, mulai hari ini kita akan tinggal serumah,” ucap Bentari dengan senyum lebar membuat mata Oka membulat dan mulut menganga.

“WHAT?!”

*****

*Ha**lo, apa kabar semuanya*? Sehat-sehat kan yaaaa ...

*Cuma m**au bilang terima kasih, hatur nuhun matur suwun, thank u buat sambutan yg luar biasa untuk Oka dan Bi ini ... kaget, terharu, dan juga* excited melihat antusias dari teman-teman semuanya, hingga sempat menduduki posisi sepuluh besar di minggu kemarin!!!! 👏👏👏👏👏 💓💓💓💓

*Sekali lagi t**erima kasih banyak, semua tercapai karena dukungan teman-teman semua 🙇‍♀️😘😘*

Oh, iya baca komen banyak yg nanya ini kisahnya siapa? Oka atau Bi? secara di Prolog itu ada Kang mas Birendra, dan bab 1 nya ada Abang Oka ... insyaallah kita bahas 22nya, Oka dan Bi 😍

Ada yang nanya juga .. dulu kayanya Bi manggilnya Mas Rendra deh bukan Mas Abhi, kenapa ganti? Hmmm ... karena satu dan lain hal, dan karena ada yg cocokologi 😅 di kisahnya Kang kopi tentang "Rendra" ini, jdnya kita ganti aja ya sama Mas Abhi, mudah"an setelah ganti nama tidak ada lagi yang cocokologi di antara kita 😅😅😅

Tapiiii ... yg paling banyak adalah yang salfok sama KAYAS 🤣🤣🤣 banyak yang ngira kalau Kayas itu laki-laki 🤣🤣🤣 salah saya sih tidak menjelaskan dari awal 🤭🤭.. maaf yaaa 😁😁😁 KAYAS itu adalah nama warna dalam bahasa Sunda yang artinya MERAH MUDA alias PINK, jadi tau dong ya kalau pink itu warna yang identik untuk perempuan, jadi fix ya Kayas gendernya P 😁😁 cuma si Kayas ini walaupun namanya ciwi bangat, tp kelakuannya setengah cewek untung aja Sakha mau 😅😅😅

Untuk yang kesekian kalinya saya ucapkan terima kasih banyak atas dukungan dan doa baiknya untuk saya ... saya aamiini setiap doanya dan berdoa yang sama untuk semuanya 😘😘😘

Nb: Kalau ada yg mau ditanyakan boleh tulis di komentar, PC, atau DM saya dan para mimin ya 😍

Love

A.K

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!