Ibu Ayah maaf aku harus pergi. Aku tidak bisa hidup tanpa Shawn, aku mencintai dia, Dan aku juga mencintai kalian, tapi maaf aku tidak bisa menuruti mau kalian untuk meninggalkan dia. Hatiku hanya untuk dia seorang. Jaga diri kalian baik-baik, semoga suatu hari kita bisa bertemu kembali.
...Anak Kalian...
...Shelia...
Itulah isi dari selembar surat yang di tinggalkan Shelia Jenner, untuk kedua orang tuanya. Dia memutuskan pergi dengan Shawn Flethcer ke negara S dan mulai hidup di sana sebagai sepasang suami istri.
'Mulai saat in aku Shelia Jenner, akan hidup jauh dari kedua orang tuaku.' Gumam Shelia dalam hati, walau sesungguhnya dia amat berat harus meninggalkan orangtuanya, namun dia juga tidak punya pilihan, dia terlalu mencintai Shawn.
"Selia, jangan sedih ada aku di sini." Ujar Shawn menguatkan.
"Aku tidak papa Shawn, aku hanya sedang berpikir apa yang kita lakukan ini benar?" Shelia menatap dengan pandangan sayu.
"Selia, apa kau mencintaiku?" Shawn menangkup pipi Shelia dengan kedua tangannya.
"Tentu saja, jika aku tidak mencintaimu mengapa aku mau lari ke negara asing ini bersamamu." Shelia tak terima dengan perkataan Shawn yang seolah tak percaya pada cintanya.
"Kalau begitu, jangan berpikir tindakan kita salah. Kita saling mencintai, jangan pedulikan apa pun lagi, lupakan keluargamu di sini ada aku yang akan selalu bersamamu, oke!" Shelia mengangguk sembari tersenyum lembut.
Cup...!!
Kecupan lembut mendarat di bibir Shelia, dia pun membalasnya dengan lembut pula.
Hari pun berlalu, Shelia dan Shawn Fletcher memang hidup bersama namun mereka tidur terpisah, seolah Shawn memang sengaja menjaga jarak, tapi bagi Shelia itu adalah poin penting yang di miliki Shawn yang membuatnya semakin jatuh cinta pada Pria itu. Dia bahkan tidak menaruh curiga sedikit-pun pada pria berwajah lembut itu.
Seperti biasa, Shelia tengah menyiapkan makan malam untuk Shawn. Dia menghayati perannya sebagi seorang istri, selama satu minggu, hidup dengan Shawn di Negara S ini.
Suara dering ponsel mengalihkan atensi Shelia, dengan segera ia menunda acara masaknya dan meraih ponselnya. Ternyata Shawn lah yang menelpon, dengan segera Shelia mengangkat dan menaruh ponsel tersebut di daun telinga.
'Halo Sayang, aku merindukanmu!' Ujar suara dari sebrang sana.
'Aku juga merindukanmu sayang, kapan kamu pulang?' Balas Shelia.
'Kamu datanglah ke Club XXX di jalan XXX aku tunggu kamu di sini, kita bersenang-senang malam ini!'
'Tapi--," Tut...tut... Belum sempat Shelia menyelesaikan perkataannya sambungan telpon sudah lebih dulu terputus.
Shelia berdecak kesal, "Shawn ini, tapi ada apa ya? Kenapa dia menyuruh aku datang ke tempat itu?" Pertanyaan itu, hanya dapat di jawab oleh sang penelpon tadi. Shelia pun lekas menyelesaikan masakan terakhirnya dan bergegas pergi setelah mengganti pakaian.
Suara musik keras dan bau alkohol yang pekat, menyeruak di indra penciuman Shelia. Dia sangat jarang datang ke tempat seperti ini dan minum minuman beralkohol, dia merasa sangat risih dengan aura tempat ini. Dia menyeruak di antara orang-orang yang tengah menari berpasang pasangan dengan pakaian minim, pandangannya dia edarkan ke sekeliling mencari keberadaan Shawn.
"Shelia!" Suara teriakan yang tak asing terdengar samar, mampu tertangkap di indra pendengaran Shelia, dia lantas menoleh ke asal suara tersebut.
Shelia tersenyum ketika melihat Shawn duduk di sudut ruangan dengan dua Pria berbeda usia.
Shelia lekas menghampiri Shawn dan duduk di sebelahnya, "Shawn kenapa kamu nyuruh aku datang ke tempat seperti ini?" Tanya Shelia setengah berbisik di daun telinga Shawn. Dia pun tersenyum canggung pada dua orang asing di hadapannya.
Shawn hanya tersenyum tak menjawab pertanyaan yang Shelia lontarkan.
"Tuan, ini dia gadis yang saya bicarakan waktu itu. Bagaimana, menurut Anda? Cantik bukan?" Ujar Shawn meminta pendapat pada Pria paruh baya bertubuh tambun di hadapannya. Shelia mengernyitkan dahi, dia melempar pandang penuh tanya pada Shawn, namun lagi-lagi Pria itu hanya tersenyum penuh arti.
"Pilihanmu memang tidak pernah salah Shawn! Aku suka, gadis ini memang sangat cantik dan lihat kakinya terlihat indah!" Pria tambun itu, menyeka sudut bibirnya yang nampak berair.
Ya Shelia, gadis yang sangat cantik. Dia Gadis blasteran Indonesia dan Inggris, parasnya membuat semua laki-laki yang menatapnya seolah tak bisa berpaling. Namun, karena sang Ibu berasal dari Indonesia, Ibunya banyak menerapkan norma-norma kehidupan, dan melarang Shelia hidup dengan gaya bebas. Dia sangat jarang datang ke tempat seperti ini.
Shelia melempar pandang jijik pada pria hidung belang itu, "Shawn, aku tidak nyaman berada di sini. Ayo kita pulang." Selia bangkit, namun dengan gerakan cepat, Shawn mendorong tubuh Shelia ke pelukan Pria paruh baya itu.
Pria itu mencekal tangan Shelia dan merangkul pinggangnya, "Lepaskan aku berengsek!" Plak...!! Shelia menampar pipi Pria itu dengan keras.
"Wanita sialan! Berani sekali kamu menampar tuan Jhon!" Gertak Shawn penuh amarah, dia menarik tangan Selia dengan kasar. Plak...!! satu tamparan mendarat mulus di pipi gadis itu.
"Shawn?!" Shelia terperangah sembari memegangi pipinya yang nampak memerah karena tamparan. Dia tidak habis pikir bagaimana seorang Shawn yang selalu lembut padanya bisa menamparnya di depan orang lain, padahal orang itu hampir melecehkan kekasihnya sendiri.
"Apa hah?! Jangan menatap aku dengan tatapan seperti itu, sekarang layani Tuan Jhon dengan baik!" Shawn kembali mendorong tubuh Shelia pada Pria tua itu.
"Shawn, kau gila ya! Aku wanita mu, bagaimana kau memberikanku pada orang ini?!" Shelia menaikan nada bicaranya.
Gelak tawa, terdengar dari mulut ketiga pria yang ada di meja itu, "Wanita mu?!" Shawn, kau memang pandai menjerat wanita ya! Tapi sayangnya kau tidak pernah bisa mencicipinya, sayang sekali!" Ucap Pria itu sedikit mengejek.
"Haha Tuan, aku akan bisa menikmati semua wanita yang aku mau! Tapi, adalah uang nomor satu, aku bisa membeli banyak wanita seperti dia!" Shawn mencengkram pipi Shelia dengan keras, Shelia membalas tatapan tajam dari Pria berengsek itu. Shawn hanya menyeringai Devil.
"Shawn, Billy! Bawa dia ke atas!" Perintahnya dan dia pun berjalan lebih dulu.
"Tidak Shawn, lepaskan aku! Aku tidak sudi di jual pada laki-laki itu!" Teriak Shelia histeris, dia meronta dan terus berusaha melepaskan diri. Dia di seret ke lantai atas dengan kasar, tangannya terasa sakit, tapi dia tidak peduli, yang dia pikirkan saat ini dia harus bisa melarikan diri dari cengkraman pria ini. Namun, tenaga yang ia miliki kalah besar dengan dua orang Pria dewasa ini.
Bruk...!! Shelia di tekan kelantai dengan posisi berlutut, tangannya di ikat dan di apit ke belakang.
"Shawn, kamu benar-benar bajingan! Aku tidak akan pernah mengampuni mu!" Shelia menghunuskan tatapan tajam pada laki-laki yang telah menghianati nya itu.
Shawn menyeringai, dia membawa segelas wine di tangannya, dia membungkuk dan memaksa Shelia meminum minuman itu.
Uhuk...Uhuk...!! Shelia terbatuk-batuk karena tersedak,
"Lepaskan aku berengsek!" Shelia meronta, namun beberapa saat kemudian pergerakannya kian melemah dia tergeletak tumbang ke lantai kesadarannya perlahan menghilang, pandangannya buram, pun dengan pendengarannya yang kian melemah. Tulang-tulang di tubuhnya seolah lenyap, dia bahkan tidak punya tenaga hanya untuk menggerakan telunjuk sekali-pun.
"Tuan, wanitanya sudah siap!"
"Bagus, bawa ke tempatnya sekarang!" Percakapan dua orang itulah, yang terakhir di dengar Shelia.
Sakit! Terlalu sakit jika terus di ingat, penghiantan yang telah di lakukan Shawn padanya membuat hati Shelia begitu hancur!
Dia tega menjual keperawanan Shelia pada laki-laki hidung belang. Mahkota yang selalu ia jaga, untuk Shawn selama ini, justru Shawn sendirilah yang tega menukarnya dengan uang.
"Shelia?!" Panggilan Daren membuat Shelia tersadar dari lamunannya.
"Hem!" Jawabnya tanpa menoleh. Pandangannya terfokus keluar jendela yang menampakan kendaraan lain, yang berlalu lalang dan saling mendahului satu sama lain.
"Dimana kamu kenal Shawn Fletcher?" Pertanyaan Daren sukses mengalihkan perhatian Shelia.
"Kamu kenal pria berengsek itu?" Shelia balik bertanya sembari membelalakan matanya antara terkejut dan penasaran.
"Tidak, mana mungkin aku mengenal orang berengsek seperti dia! Tapi aku pernah mendengar, banyak gadis-gadis sepertimu yang jadi korbannya. Namun, entah mengapa dia selalu saja lolos dari jeruji besi. Mungkin ada orang kuat yang menyokongnya dari belakang."
Huptt...!!
"Akulah yang terlalu bodoh! Sampai bisa percaya pada orang berengsek seprti dia. Kami kenal di negara-I tempat tinggal orang tuaku, kami sudah menjalin hubungan selama setahun." Shelia menundukkan pandangan.
"Sudahlah, jangan di pikirkan lagi." Daren tersenyum lembut.
***
Satu minggu sudah, Shelia tinggal di rumah Daren. Dia membantu Daren membersihkan rumah dan menyiapkan makanan untuknya.
Shelia bertemu Daren, saat dia sedang putus asa kala itu. Daren, membuatnya menyadari bahwa dalam hidup harus berani, dan tidak mudah menyerah.
"Shelia, sudah aku bilang tidak usah melakukan pekerjaan rumah. Akan ada orang yang membersihkannya tiap hari minggu." Ucap Daren ketika mereka menyantap makanan di meja makan.
"Tidak apa Daren! Lagi pula, aku tidak ingin hanya numpang makan dan tidur di rumahmu. Oh ya, aku sudah dapat pekerjaan! Mulai besok aku akan bekerja." Ungkap Shelia penuh semangat.
"Benarkah?!" Daren tersenyum senang.
"Hem... Gajinya lumayan, aku tidak ingin selalu merepotkanmu. Setelah aku mendapatkan uang, aku akan cari rumah kontrakan, yang sebanding dengan penghasilanku." Ucap Shelia.
"Shelia, apa kau sedang mengolok-olok aku. Aku sudah bilang, kau bisa tinggal di rumahku sampai kapan pun!" Daren meletakan sendok ia gunakan karena kesal.
"Apa yang kau katakan? Aku, sangat berterima kasih padamu Daren! Kalau tidak ada kamu yang menolongku, entah akan seperti apa hidupku ini." Shelia menggenggam tangan Daren, "tapi, aku tidak mungkin selamanya tinggal di rumahmu, Daren! Aku bukan siapa-siapa kamu, itu tidak pantas." Shelia melepaskan genggaman tangannya.
"Kalau begitu, menikahlah denganku!" Kali ini Daren lah yang menggenggam tangan Shelia.
"Hah?!" Shelia terperangah saking terkejutnya.
Pftt...!! Daren terkikik geli melihat ekspresi wajah yang di tunjukan Shelia. Sepertinya, candaannya membuat gadis itu terkejut.
"Kamu ini, aku kira serius." Shelia mematutkan wajahnya.
"Haha... Kamu ini terlalu menganggap segala hal itu dengan serius ya, aku hanya bercanda!" Daren masih belum bisa menghentikan tawanya.
"Itu tidak lucu!" Shelia memberengut kesal. Bukannya dia merasa kecewa, namun lebih merasa candaan Daren sudah keterlaluan.
"Sorry!" Daren memasang tampang memelas.
"Sudahlah, wajah seperti itu tidak cocok dengan fostur tubuhmu." Shelia melambaikan tangan.
Ya, Daren memiliki fostur tubuh tinggi tegap, dengan otot-otot yang menonjol di bagian lengan juga dada. Wajahnya, sangat tampan dengan kadar ketampanan yang lumayan tinggi, rahang tegas, hidung mancung serta alis tebal, membuatnya terlihat sangat tampan di bandingkan pria pada umumnya. Namun, ketika dia tersenyum ada lesung pipit di kiri dan kanan pipinya. Kulitnya, tidak terlalu putih, namun itulah yang membuat dia semakin manli. Dengan gayanya, yang selalu mengenakan pakaian santai, dia jarang sekali mengenakan setelan jas formal. Dia lebih sering mengenakan kaus dan sweter atau jaket hoodie di padukan dengan celana Jeans dan sepatu. Bahkan jika di rumah, dia hanya mengenakan kaus oblong dan celana boxer saja. Namun, anehnya dia selalu terlihat mempesona bagi para wanita, tapi tidak bagi Shelia. Jangan tanya mengapa, mungkin karena hati Shelia masih terluka saat ini.
"Kenapa dengan tubuhuku? Apa kau tergoda?" Ucapnya sambil cengengesan tak jelas. Shelia hanya memutar bola mata, malas menanggapi candaan Daren.
Keesokan harinya, Shelia berangkat bekerja setelah menyiapkan sarapan. Daren sempat menawarkan diri untuk mengantarkan Shelia ke tempat kerja, namun Shelia menolak! Dia tidak ingin terlalu banyak berhutang budi pada Daren.
Shelia, memasuki sebuah cafe lewat jalan belakang yang di peruntukan khusus untuk para karyawan.
"Permisi Pak Menejer, saya karyawan baru di cafe ini mohon bimbingannya!" Shelia menunduk hormat.
"Oh kamu yang kemarin melamar kerja di sini ya?" tanya Menejer laki-laki kira-kira berusia tiga puluh lima tahunan.
"Iya Pak! Saya Shelia Jenner, yang kemarin baru di terima kerja di cafe ini!"
"Ya sudah, kamu ganti pakaian dulu pake seragam, selebihnya kamu tanya Anna saja, dia yang akan memberi tahu kamu apa pekerjaan di sini!" Ujarnya lantas berlalu.
Selepas mengganti pakaian, Shelia pun menemui Anna dan menanyakan pekerjaan. Semua di jelaskan Anna dengan rinci, Anna orang yang baik dan ramah. Dalam waktu singkat mereka menjadi teman dekat.
***
Satu bulan berlalu, Shelia bekerja di tempat ini. Dia pun kini sudah tinggal di rumah kontrakannya sendiri. Walau Daren melarangnya, namun Shelia bersikukuh dan tetap ingin hidup mandiri.
"Shelia, kamu kenapa?" Tanya Anna yang memerhatikan wajah Shelia yang tampak pucat.
"Aku gak papa ko, Anna. Hanya sedikit pusing, dan akhir-akhir ini aku gak enak makan, susah tidur lagi." Shelia memijat keningnya yang terasa pening.
Mereka saat ini, tengah membersihkan meja bekas para tamu yang makan tadi.
"Kamu pasti sakit karena kecapean Shelia, sebaiknya kamu ijin dulu dan istirahat beberapa hari." Ucap Anna memberi saran.
Shelia berpikir sejenak, jika dia libur kerja beberapa hari, gajinya pasti akan di potong, dia butuh uang untuk makan sehari-hari, juga membayar kontrakan.
"Shelia, mau aku yang ijinkan?" Tanya Anna lagi, karena tak mendapat respon dari Shelia.
"Ada apa ini?" Tanya Menejer Charlie yang tiba-tiba hadir dan menegur mereka.
"Ini Tuan, Shelia sedang sakit. Saya menyarakan untuk dia minta ijin libur pada Tuan!" Ucap Anna menerangkan.
"Anna aku gak papa." Shelia berbisik, sambil menyikut lengan Anna.
"Kamu sakit?" Tanya Menejer yang bernama Tuan Charlie itu, Selia mengangkat kepala. Tanpa menjawab pun, Pak Menejer sudah bisa melihat wajah pucat Shelia karena kulitnya yang putih.
"Ya sudah, kamu pulanglah dan periksa diri ke dokter! Oh, ya kamu gak perlu masuk kerja dalam tiga hari istirahat saja di rumah."
"Tapi Tuan--," belum sempat Shelia menyelesaikan ucapannya, perkataannya di potong seketika oleh Tuan Charlie.
"Tenang saja, gaji mu tidak akan di potong. Apa kamu senang?" Tuan Charlie, mengangkat kaca matanya.
"Terima kasih banyak Tuan!" Shelia menuduk hormat.
"Sudah pulang sana!" Menejer Charlie melambaikan tangan dengan eksperesi wajah jengah, menurut Shelia. Padahal memang tampangnya seperti itu, hehe.
"Anna, aku balik dulu ya." Shelia menepuk pundak Anna pelan.
"Oke, hati-hati di jalan!" Anna melambaikan tangan sambil tersenyum.
Shelia, berjalan setelah turun dari bis menuju kontrakan kecil tempat ia bernaung. Jarak dari halte ke kontrakannya, memang tidak terlalu jauh tidak sampai lima menit berjalan kaki.
Namun hari ini, mungkin karena Shelia tengah sakit jalan ke rumahnya seakan terasa berpuluh-puluh kilo meter jauhnya. Kepala Shelia terasa pusing, pandangannya mulai buram, dan langakhnya terasa berat.
"Shelia! Kamu kenapa?" Hampir saja, Shelia tumbang ke jalanan, jika Daren tidak datang dan menahan tubuhnya.
"Daren, aku--," Shelia pun jatuh pingsan.
***
Uh... Shelia menggeliat pelan, sembari memegangi kepalanya. Dia perlahan membuka mata dan mengamati keadaan sekitar.
"Aku dimana?" gumamnya.
"Shelia, kau sudah bangun." Daren yang semula berdiri menghadap jendela, kini datang menghampiri dan menanyakan keadaan Shelia.
"Apa aku di rumah sakit?" Tanya Shelia sembari mengedarkan pandangan ke sekitar.
"Iya, tadi kamu pingsan. Aku bawa kamu ke rumah sakit. Shelia...." Ucap Daren dengan ragu.
Shelia, menatap dengan penuh tanda tanya, karena Daren seperti ingin menanyakan suatu hal yang penting.
"Apa kau tau, kalau kau... Sedang--," Daren menjeda ucapannya.
"Sedang apa?" Desak Shelia tak sabar.
"Hamil!" Tambahnya lagi.
"A--aku, hamil?!" Shelia membulatkan mata dengan mulut menganga.
Seiring berjalannya waktu, Shelia berusaha menerima janin dalam rahimnya. Dia tidak ingin menghabisi bayi yang tidak berdosa ini, meski dia mendapatkannya dari kemalangan.
Anna yang hendak mengantar pesanan, berhenti ketika melihat Shelia kesakitan.
"Kamu kenapa Shelia?"
"Pe--perutku Anna, perutku sakit." Keluh Shelia sembari meringis menahan sakit di perutnya.
"Sa--sakit?! Apa sudah akan melahirkan?" Anna membulatkan matanya dengan wajah khawatir.
"Entahlah, seharusnya bulan depan kalau menurut perkiraan dokter." Ucap Shelia pelan, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
"Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" Anna memapah tubuh Shelia yang membungkuk menahan sakit.
Se-sampainya di sana, Shelia lekas di bawa ke-unit gawat darurat. Anna hanya bisa berdiri sambil mondar-mandir di depan ruangan tersebut.
"Daren! Ya, aku harus menghubungi dia." Anna menyalakan layar ponselnya dan menghubungi Daren, yang tengah berada di luar kota mengurusi cabang Cafe miliknya, karena di sana sedang di renovasi.
Tuuut...Tuuut...!! Suara nada telpon tersambung!
"Halo Anna! Ada apa?" Tanya Daren dari sebrang telpon.
"Tuan Daren, Shelia sepertinya akan melahirkan." Ucap Anna langsung pada intinya.
"Hah? Bagaimana bisa, bukankah perkiraan dokter masih satu bulan lagi?" Pekik Daren setengah berteriak.
"Aku tidak tahu, Tuan. Tadi perut Shelia mengalami kontraksi dan aku lekas membawanya ke rumah sakit." Ucap Anna jujur.
"Hem... Kerja bagus Anna, kamu melakukan hal yang benar! Nanti saya akan kasih kamu bonus." Anna hanya diam, bukan itu yang ia inginkan. Seandainya, dia bisa mendapatkan perhatian Daren seperti Shelia, alangkah bahagianya dia. Tapi, itu semua tidak lah mungkin.
"Terus kabari saya, oke. Saya akan pulang sekarang juga, jaga Shelia dengan baik." Anna hanya mengiakan dan Daren pun memutus sambungan telponnya.
Huft...!!
Anna menghela nafas berat, dia lantas kembali mengintip keadaan Shelia dari balik kaca pintu ruang unit gawat darurat.
Ceklek...!! pintu pun terbuka, seorang dokter wanita paruh baya keluar, lantas berkata.
"Keluarga pasien, atas nama Shelia Shen?!"
"Saya! Dokter, saya Anna temannya Shelia. Su--suaminya sedang di luar kota." Ucap Anna dengan berat hati.
"Oh begitu! Begini, Nona Shelia mengalami kontraksi dini, sebenarnya ini belum waktunya dia melahirkan, namun kondisinya sangat menghawatirkan. Kami terpaksa, harus melakukan tindakan oprasi sesar padanya. Kemungkinan, bayinya juga akan lahir Prematur, dan--," Dokter wanita itu menjeda ucapannya. Ia menghela nafas berat.
"Dokter, tolong lakukan yang terbaik! Saya ingin Ibu beserta bayi nya lahir dengan selamat." Anna berucap penuh penekanan.
"Kami akan berusaha semampu kami, Nona!" Dokter itu pun berlalu.
'Kamu harus baik-baik saja Shelia.' Anna menopang dahi dengan tangannya.
Siang perlahan berganti malam, namun lampu ruang operasi masih terlihat menyala. Daren pun belum nampak batang hidungnya, membuat Anna semakin dilanda kecemasan yang luar biasa. Rasa lapar dan dahaga tak ia hiraukan, saat ini dalam benaknya hanya ada Shelia dan Bayinya.
Ditengah ketegangan dan pergolakan batinnya, seseorang hadir bak air di padang pasir.
"Anna bagaimana keadaan Shelia?!" Tanya Daren dengan wajah panik, nafasnya berhembus tak beraturan. Sepertinya dia lari untuk segera sampai ke ruangan ini dari tempat parkir yang lumayan jauh.
"Shelia masih di ruang operasi." Ucap Anna dengan wajah datar.
Daren terlihat khawatir, tampak beberapa kali dia berusaha mengintip dari lubang kunci, namun tentu saja semua itu hanya hal yang sia-sia. Pintunya tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Dia seperti seorang Ayah yang menanti kelahiran buah hatinya sendiri. Dia duduk dan bangkit kembali, lantas mondar-mandir tak karuan.
Anna menatapnya dengan tatapan sendu, seandainya yang di khawatirkan Daren adalah dia betapa bahagianya, tapi kembali lagi ke kenyataan itu hanya seandainya saja. Shelia lebih dulu mengenal Daren, dan Daren pun nampak menaruh hati padanya.
'Sadarlah Anna, kau hanya orang luar di antara mereka! Meski Shelia berkata, kalau dia dan Daren hanya sebatas teman biasa, namun Daren menganggapnya berbeda. Buang perasaanmu jauh-jauh itu akan lebih baik.' Batin Anna bergumam.
Beberapa saat kemudian, lampu ruang operasi pun mati, menandakan operasi telah selesai. Daren lekas berdiri menunggu di depan pintu dengan wajah tak sabar.
Ceklek...!! Pintu pun terbuka, menampakan wajah Dokter tadi tersenyum ramah.
"Selamat, Ibu dan Anak lahir dengan selamat dan sehat!"
***
Lima tahun kemudian!!
"Nici! Jangan terus bermain komputer Nak, mari makan!" Ucap Shelia dengan nada lembut.
"Sebentar Mami, nanggung!" Jawabnya dari balik kursi putar.
"Anak ini, selalu saja begitu. Sebenarnya apa yang selalu dia lakukan akhir-akhir ini?" Gumam Shelia, lantas datang menghampiri Nici yang tengah duduk menghadap komputer.
"Nici, kamu main game apa?" Tanya Shelia sembari mencondongkan tubuh menilik layar komputer.
"Ini hanya game biasa Mami." Jawabnya canggung, sembari lekas mematikan komputer tersebut. Berusaha menyembunyikan sesuatu yang tengah ia cari-cari di internet.
Shelia menatap jagoan kecilnya yang lucu dengan tatapan curiga.
"Kamu gak boong sama Mami, kan?" Nici menggeleng pelan.
"Nicholas Jenner, awas saja kamu kalau ketahuan boong, Mami akan menggelitik kamu sampe ngompol di celana, seperti Bayi." Shelia menyeringai jahil. Sembari mengarahkan kedua tangannya ke perut kecil Nici.
Ya, Anak kecil yang berusia hampir menginjak lima tahun itu, bernama Nicholas Jenner, Shelia biasa memanggilnya Nici. Anak kecil yang lucu dan tampan, memiliki warna mata seperti Shelia dan wajah tampan yang entah mirip dengan siapa.
Nici, menggelengkan kepalanya pelan, "Ancaman Mami tidak bermutu." Dia memberikan jempol terbalik pada Ibunya sembari berlalu.
"Hey, dasar Anak nakal!" Shelia berkecak pinggang, namun tidak di hiraukan olen bocah kecil itu sama sekali.
Shelia, menyusul Nici ke-ruang makan. Dia sudah nampak duduk di kursi faporit nya, sembari menunggu Shelia menghidangkan makan malam untuknya.
"Mami, kapan Papi ke sini?" Bibir mungilnya berucap, sembari mengunyah makanan.
"Nici, sudah mami bilang jangan panggil Papi, panggil dia Om Daren!" Shelia sampai bosan mengingatkan pada Nici agar memanggil Daren, Om, bukannya Papi.
"Papi bilang tidak masalah." Nici berucap tak peduli, dengan suara cadelnya yang khas.
Shelia menghela nafas berat, "ya terserah kamu sajalah. Mami memang tidak pernah menang jika berdebat denganmu."
Ting...Tong...!!
Bell pun berbunyi, Shelia hendak berdiri dan membuka pintu, namun Nici melarangnya, "Biar aku saja Mami!" Ucapnya sembari melompat dari kursi.
Shelia mengurungkan niatnya dan kembali duduk, membiarkan bocah kecil yang akan menginjak usia lima tahun itu membukanya.
"Mami, lihat Papi datang!" Celotehnya, sembari bergelayut manja di leher Daren.
"Nici, apa yang kau katakan, panggil Om Daren, bukan Papi!" Shelia menaikan nada bicaranya.
"Shelia sudahlah, dia hanya Anak kecil. Kamu jangan bersikap keras padanya, memangnya kenapa jika Nic ingin memanggil aku dengan sebutan Papi. Aku memang Papanya, ya kan Nic?"
"Yaps! Papi yang terbaik!" Ucapnya dengan senang sembari mengecup pipi Daren. Shelia hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Selepas makan malam, Nici pun berlalu ke kamar hendak tidur. Tapi, apa benar dia tidur? Tentu saja tidak, dia berdiri di balik dinding sembari mengintip dua orang dewasa yang tengah duduk bersama di ruang tamu. Yaitu, Mami nya Shelia dan Daren, yang dia panggil sebagai Papi itu.
'Hehe, Papi aku beri kamu kesempatan untuk medekati Mami! Semoga kamu berhasil!' Gumam Nici dalam hati. Sambil memasang senyum liciknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!