NovelToon NovelToon

Remember Me

Jumat, 13 Maret 2020

Happy Reading

****

Melody Entertainment, Los Angeles. 04.15 PM. Jumat, 13 Maret 2020

"Cukup." ucap Cassandra melalui mic interkom kepada Jay-Z, penyanyi yang tengah melakukan perekaman lagu untuk persiapan album barunya. Jay-Z bersama pemusiknya tiba-tiba terdiam saat mendengar suara datar Cassandra, produser musik mereka. Semua mata tertuju pada Cassandra yang memijit pelipisnya yang berkerut dan wajahnya menunjukkan bahwa wanita itu tidak dalam mood yang baik.

"Aku sudah katakan ribuan kali, berhenti menyeret suaramu saat bagian reff-nya." Cassandra berucap dengan nada geram, tangannya yang satu mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu.

"I'm sorry." ucap Jay-Z dengan nada sedikit bergetar. Dia sudah mengulangi lagu ini hingga lima kali dan tetap saja Cassandra tidak puas akan suaranya. Entah harus bagaimana lagi dia bernyanyi agar wanita itu puas.

"Hah.." Cassandra mendesah lelah, "Waktu kita hanya dua minggu lagi dan kita baru menyelesaikan lima dari sembilan lagu dari albummu." Dia mengetuk-ngetuk jari telunjuknya ke meja dengan kesal. Perusahaan sudah terus menagihnya album ini agar segera tercetak dan Cassandra tidak hanya mengurus satu artis saja, tapi dia mengurus tiga artis sekaligus yang akan melakukan pencetakan album comeback. Baginya, kesalahan seperti ini tidak dapat diterima. Apalagi kesalahan yang dilakukan Jay adalah kesalahan yang sama yang dilakukan berulang kali.

"Lusa.. Lusa aku tidak mau mendengar kesalahan apa pun lagi. Okay?" ucapnya dengan nada serius.

Jay menelan ludahnya dengan susah payah, "Yah." ucapnya pelan. Dia benar-benar ketakutan saat ini.

Jay benar-benar bingung dengan standar dari Cassandra padahal dia sudah berusaha melakukan apa yang dikatakan wanita itu. Namun, semua orang tahu bahwa Cassandra adalah produser, komposer, dan pencipta lagu yang sangat handal. Cassandra melahirkan berbagai musisi yang begitu sukses. Hanya saja.. Yah begitu, standar Cassandra benar-benar tinggi. Dia sosok yang cukup keras dan serius dalam bekerja hingga dia mendapat julukan The Witch

"Okay. Cukup hari ini. Sampai jumpa lusa depan," Cassandra berdiri dari duduknya dan membereskan barang-barang dalam keadaan kesal

"Thank you for today, Miss.."

Cassandra tidak menjawabnya dan hanya beralih dari studio rekaman. Seluruh ruangan segera mendesah lega sesaat setelah Cassandra keluar. Semuanya merasa segan dan takut saat berdekatan dengan Cassandra.

"Ah.. Dia benar-benar tak kenal ampun," ucap seorang penata musik sembari menyandarkan tubuhnya di punggung kursi.

"Makanya semua orang menjulukinya Penyihir," timpal yang lain.

"Walaupun begitu, Cassandra tidak pernah gagal dalam melahirkan musisi yang sangat sukses."

"Oh Jay..." panggil si penata suara pada Jay yang masih duduk dalam studi rekaman.

"Yah?"

"Aku tahu ini berat, nak. Namun, bertahanlah. Cassandra tahu yang terbaik untukmu."

Jay masih berumur 18 tahun, tapi kemampuannya dalam bermusik membuatnya dilirik orang perusahaan rekaman. Dia berpikir bahwa hidupnya akan berjalan lebih mudah sejak dia menandatangi kontrak, tapi ternyata tidak. Masih banyak anak tangga yang perlu dia lewati untuk bisa menjadi musisi yang dia impikan. Apalagi saat ini, rasanya dia tidak sanggup lagi mendengar omelan Cassandra. Ingin rasanya dia berhenti saja. Namun, tidak bisa. Kontrak sudah ditandatangani dan dia sudah melangkah hingga sejauh ini.

"Yes, Sir.." hanya itulah yang bisa dia katakan.

"Jangan tegang begitu. Pulang dan beristirahatlah lalu kembali lagi latihan hingga bisa memenuhi standar Nona Penyihir kita."

Jay tersenyum kecil, merasa tersemangati dengan kata-kata itu

"Thank you.."

****

"Nampaknya ada yang tengah membicarakanku," bisik Cassandra pada dirinya sendiri sembari menggaruk telinga kirinya yang terasa gatal.

Dia tengah berdiri sendirian di dalam lift menuju lantai bawah. Kakinya diketuk-ketuk dengan tidak sabaran ke arah lantai lift.Lift berhenti dan pintunya terbuka sehingga tiga orang masuk ke dalam lift. Cassandra bergeser ke sudut lift, berusaha menjaga jarak dari orang-orang itu.

Di saat yang bersamaan, ponselnya yang berada dalam saku blazer-nya berdering. Cassandra merogoh sakunya dan melihat layar ponsel. Miranda, kakaknya lah yang menghubunginya.

"Kau di mana?" ucap Miranda dari seberang tanpa menyapa terlebih dahulu.

"Di dalam lift."

"Aku sudah menunggu di lobi kantormu."

"Mmm.." balas Cassandra dengan nada malas.

"C'mon, girl.. Bukankah kau sudah janji untuk menemaniku berbelanja hari ini?"

Yah. Dia sudah berjanji dan dia suka berbelanja. Hanya saja... Huff.. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk Cassandra bersenang-senang. Tubuhnya meminta beristirahat untuk hari ini.

"Cassie..." Cassie adalah nama pendeknya, "Ayolah.. Aku perlu berbelanja untuk pesta besok."

"Pesta?"

"Yah. Pesta perayaan rumah baru Catherine dan suaminya untuk besok. Kau tidak mungkin melupakan itu, bukan?"

Ah.. Pesta itu. Cassie benar-benar menyukai pesta, tapi tidak untuk saat ini. Satu-satunya hal yang dia inginkan adalah menikmati waktu akhir pekan-nya untuk beristirahat sebelum kembali bekerja dan mengejar semua deadline-nya.

"Cassie... C'mon. Kau sudah lama tidak keluar untuk bersenang-senang. Kumohon pergilah bersamaku, okay?" sambung Miranda dengan suara memelas.

"Okay.. Okay.." ucap Cassandra akhirnya setelah pintu lift terbuka. Dia melangkahkan kakinya keluar dari lift dan sampai di bagian lobi perusahaan.

"Kau di mana?" tanya Cassie melalui ponsel seraya matanya menatap lobi yang padat.

"Di sini!"

Cassie bisa mendengar suara Miranda melalui ponsel dan juga secara langsung. Dia memutar tubuhnya mencari sumber suara dan mendapati saudarinya tengah berjalan ke arahnya seraya melambaikan tangan. Cassie tersenyum kecil, memutuskan sambungan ponsel, dan melambai kembali padanya.

"Kau kelihatan sangat kelelahan.." ucap Miranda seraya menggandeng tangan adiknya itu dan mulai berjalan meninggalkan lobi perkantoran.

"Maka dari itu aku butuh istirahat."

"C'mon.. Hanya sesekali kita memiliki waktu bersama seperti ini. Aku yang akan mengendarai mobilmu."

"Kau tidak bawa mobilmu?"

"Mogok jadi aku pakai taxi ke mari."

Cassie memasukkan tangannya ke dalam handbag-nya dan merogoh kunci mobilnya.

"Ini," ucapnya seraya memberikan kunci mobilnya kepada Miranda.

"Okay... Tunggu di sini. Aku akan mengambil mobilmu."

Cassie menatap Miranda menuruni enam buah anak tangga teras lobi menuju parkiran. Matanya kemudian berpindah ke arah seorang office-boy yang tengah mengepel lantai. Dia menatap lantai yang mengkilap itu dalam diam.

"Cassie.. Ayo." Miranda berteriak dari dalam mobil yang berhenti di depan teras lobi. Cassie tersadar dari lamunannya dan segera melangkah untuk menuruni anak tangga.

Namun, dia melupakan fakta bahwa lantai itu baru saja dipel sehingga permukaan lantai licin. Miranda kehilangan keseimbangan tubuhnya, ditambah dengan tumit sepatunya yang tinggi semakin membuat kesempatannya untuk menyeimbangkan tubuhnya kembali semakin kecil.

"Cassie!"

****

Miss Foxxy

Hallo 😬

Selasa, 1 September 2020

Happy Reading

*****

Rumah Sakit Barlow, Los Angeles. 01.00 PM. Selasa, 1 September 2020

Suara monitor jantung bergerak dalam ritme pelan yang teratur. Grafik garis EKG bergerak selaras dengan detak jantung pasien wanita yang terbaring lemah di atar ranjang. Berbagai selang penunjang kehidupan pun tampak terpasang di tubuhnya.

Dadanya bergerak lembut. Tubuhnya tampak begitu rapuh bagaikan lembaran es tipis yang begitu rentan pecah. Tampak lemah seolah dapat diremukkan dengan mudah. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari...

Kini genap sudah 17 hari wanita itu terbaring tak sadarkan diri setelah operasi panjang yang harus dia jalani. Wanita itu menjalani serangkaian operasi berat setelah kecelakaan mobil yang dia alami.

"Dia tidak akan pernah bangun lagi.." ucap Barbara sedih. Wajahnya pucat, kantong matanya begitu hitam, dan keadaanya benar-benar kacau. Padahal, wanita berusia 48 tahun itu selalu berpenampilan rapi ke mana saja. Tubuhnya selalu terawat dengan baik. Namun, tidak kali ini sejak kecelakaan yang menimpa putrinya, Cassie.

"Mom.. Stop it. Kau tidak boleh berkata seperti itu." timpal Miranda, putri tertuanya yang segera duduk di sampingnya dan melingkarkan tangan kanannya di sekitar tubuh sang Ibu. Miranda pun merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan Barbara, tapi dia merasa tidak pantas ikut menunjukkan kesedihannya. Setidaknya, seseorang dalam keluarga ini harus bertindak kuat agar keadaan tidak semakin suram.

"Aku tidak pernah melihat Cassie dalam keadaan selemah ini. Tidak pernah..." Barbara mulai meraung dalam tangisannya. Air matanya tak kunjung keluar karena sudah terlampau seringnya Barbara menangis.

"Mom..Jangan menangis lagi. Please..." Barbara meremas lembut bahu Barbara. Digigit bibir bawahnya, menahan diri tidak ikut hanyut dalam emosi kesedihan. Dadanya bergemuruh dan air mata nampak mendesak ingin menetes dari matanya yang sudah berkaca-kaca.

"Please, Mom.. Jangan menangis lagi.." suara dan bibirnya bergetar saat mengucapkan itu. Pertahanannya untuk terlihat kuat akhirnya runtuh saat dia mengedipkan matanya. Tetesan air mata besar mengalir dari kedua matanya, mengalir dan menganak sungai di pipinya.

"Oh... Cassie..." Barbara meraung semakin keras, begitu histeris. Rasa sakit di dadanya tidak tertahan lagi dengan seiring waktu yang terus berjalan. Barbara tidak akan mampu lagi menahan rasa sakit ini.

Rasanya Barbara rela melakukan apa pun agar putri-nya tersebut bangun. Dia rela bertukar tempat dengan Cassie. Barbara tak sanggup lagi melihat Cassie dalam keadaan seperti itu. Dia benar-benar rindu dengan senyum Cassie. Rindu wajah Cassie yang penuh dengan kehidupan. Merindukan komentar Cassie yang begitu sakartis. Merindukan putrinya yang begitu dan selalu melankolis.

"Aku juga, Mama... Aku juga."

Tangisan dan raungan itu terdengar begitu keras hingga mampu mengusik mimpi Cassie. Terdengar mengerikan hingga membuat dia harus terbangun dari mimpinya yang tenang. Ah.. Rasanya dia tidak rela terbangun, tapi raungan itu tidak tertahankan lagi.

Cassie menggerakkan jemari telunjuk tangan kanannya yang terasa berat karena alat pulse Oxymentry. Bulu matanya bergerak -gerak saat dia berusaha membuka kelopak matanya yang entah mengapa terasa berat. Terasa berat untuk dia buka.

Cassie pun langsung merasakan lelah luar biasa hanya untuk membuka matanya yang tak kunjung berhasil. Sial. Umpatnya dalam hati. Raungan itu benar-benar tidak tertahankan, tapi dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya atau mengeluarkan suara untuk menghentikan raungan mengerikan itu.

Matanya akhirnya setengah terbuka. Fokus matanya menatap buram ke atas rumah sakit yang putih. Perlahan, matanya mulai menatap jelas atap rumah sakit itu. Raungan tangisan itu masih terdengar dan itu benar-benar menganggu Cassie. Ribut!

Cassie membuka mulutnya, berusaha menghentikan raungan mengerikan itu. Shut up! Dia ingin berteriak demikian, tapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Suara yang keluar dari mulutnya adalah suara serak yang tertahan.

"A--A.." hanya itu yang keluar. Suaranya begitu serak dan pelan.

Miranda yang masih menangis dalam hening memeluk Ibunya yang terus meraung sedih. Dilingkarkan kedua tangannya dengan erat di sekitar tubuh Barbara. Kemudian matanya bergerak dari wajah Ibunya ke arah Cassie hanya untuk menambah rasa sedihnya, tapi nampaknya apa yang tengah dia lihat tidak akan memperparah kesedihannya.

Miranda terdiam dari tangisnya menatap gerakan kecil dari jemari Cassie. Dia mendorong tubuh Barbara dari pelukannya dan berdiri. Barbara berhenti menangis dan menatap heran putrinya yang tiba-tiba mendorong tubuhnya.

Apakah putri pertamanya tidak menyanyanginya lagi? Pikirnya seraya sesegukan kecil.

"Dia bangun," bisik Miranda saat menatap mata Cassie yang setengah terbuka.

"What?" kata Barbara dengan nada sesegukan. Matanya tetap mengikuti Miranda yang berjalan mendekat ke arah Cassie.

"Dia bangun, mom! Dia bangun!!" sekarang Miranda berteriak setelah yakin bahwa yang dilihatnya ini bukanlah mimpi. Adiknya! Adiknya sudah bangun. Barbara yang mendengar itu segera berdiri dan berjalan sempoyong ke arah ranjang Cassie untuk melihatnya sendiri.

"CASSIE!!" dia berteriak sejadinya saat melihat mata putrinya sudah terbuka.

"CASSIE!!" Miranda ikut berteriak kembali, saling menyahut dengan teriakan ibunya.

Sedangkan Cassie masih berteriak dalam pikirannya untuk menghentikan teriakan dan raungan gila dari Ibu dan saudaranya. Dia berpikir jika gendang telinganya bisa pecah jika mendengar teriakan mengerikan dari mereka berdua.

Shut up, guys!

****

Miss Foxxy

Hallo we! Yeah.. New Story and New Problem. Hope you like it. Novel kali ini aku pake alur maju-mundur jadi mungkin agak sedikit membingungkan nantinya maka dari itu aku buatin tanggal kaya di atas. Semoga pembaca enggak bingung silakan di pahami dan dibaca pelan-pelan. Thank you

Jumat, 13 maret 2020

Happy Reading

*****

Los Angeles. 03.00. Jumat, 13 Maret 2020

"Aku akan pergi sekarang untuk memeriksa proyek CW." Christoval bangkit dari kursinya seraya memakai jaket kulitnya. Tiga orang timnya, Josh, Dylan, dan Mia segera berdiri dari duduk mereka.

"Yes, Mr. Connel," ucap mereka berbarengan karena situasi seperti ini sudah mereka lakukan ratusan kali selama bekerja pada Christoval O'Connel.

"Kalian bisa pulang jika sudah waktunya. Apa yang kalian kerjakan tentang gambar bangunan untuk proyek Apartemen Swift bisa kalian kirim ke emailku."

"Yes, Sir." ucap mereka lagi berbarengan.

Christoval mengangguk kecil dengan senyum kaku, "Okay.. Kalau begitu aku pergi. Selamat berakhir pekan."

Ketiganya memandang kepergian Christoval hingga akhirnya hilang di balik pintu. Ketiganya segera menjatuhkan diri di atas kursi dengan wajah lelah.

"Apa itu berakhir pekan?" tanya Mia, tangannya melepas kacamata yang membingkai wajahnya dan matanya menatap muak ke berbagai kertas proyek, buku-buku berisi hitungan, dan banyak lagi alat gambar.

"Akhir pekan adalah sebuah privilage yang tidak bisa didapat oleh kaum seperti kita," timbal Dylan dan melanjutkan diri berkutat di depan layar i-pad miliknya untuk melanjutkan pekerjaannya.

Josh menggoyang-goyangkan pensil di tangannya, "Aku masih tetap bertanya-tanya bagaimana bisa Mr.Connel tetap nampak segar walau dia memiliki jam kerja yang jauh lebih tinggi dari kita?" Matanya melihat kedua rekan kerjanya tersebut, tidak terawat, kantung mata tebal, wajah nampak sepuluh tahun lebih tua, miskin, dan benar-benar mengerikan.

"Hm..." Mia menaruh kepalanya dalam posisi miring, "Kau benar. Bagaimana bisa dia tetap kelihatan tampan dan keren. Aku berharap dia melirikku sekali saja..."

"Dia tidak akan," jawab Dylan dengan cepat, matanya melirik Mia, "Kau sudah dengar sendiri banyak beredar kabar bahwa Mr. Connel itu ga y."

Mia menegakkan tubuhnya dan menatap Dylan, membuat keduanya bertemu pandang. Dylan buru-buru mengalihkan tatapannya ke layar i-pad. Leher dan kupingnya memerah karena kontak mata yang hanya berdurasi seper sekian detik tersebut.

"Kau benar. Tak pernah sekali pun aku mendengar dia berkencan. Ah.. Betapa sedihnya jika itu benar apa adanya."

"Dia tidak ga y pun tidak akan melirikmu."

Mia menatap marah pada perkataan pedas Josh.

"You f-uc-king as-sho-le..."

Dylan terbatuk keras, mendengar umpatan kasar dari Mia. Bukan kali pertamanya dia mendengar Mia berbicara kasar, tapi tetap saja terasa mengejutkan untuk Dylan. Di tambah image wajah Mia yang tampak seperti wanita baik-baik nan polos.

"You f-uc-king bi--"

"Stop... Mari bekerja kembali, "Dylan memotong Josh yang sedang berbicara, "Mr.Connol mungkin saja menaruh penyadap atau sesuatu dalam ruangan ini sehingga dia bisa mengawasi kita."

"Mm.. Mungkin saja. Baiklah. Mari kita bekerja lagi..." Mia mengepalkan kedua tangannya dan mengangkatnya ke atas, "Semangat para pemburu dollar!"

Dylan menyembunyikan senyumnya di balik i-pad, merasa senang dengan semangat membara dari Mia.

Di sisi lain, Chiristoval yang sudah keluar dari ruangan dicegat oleh sekretarisnya yang berdiri di balik meja kerjanya,

"Mr.Connol..."

"Ah.. Yah?"

"Anda tidak lupa dengan janji acara anda untuk besok malam, bukan?"

Christovel memandang sekretarisnya dengan tatapan heran, "Pesta?"

"Perayaan Rumah Baru keluarga Brood. Anda yang menangani proyek untuk rumah mereka."

Christov menutup matanya saat ingatannya tentang acara itu muncul dalam otaknya. Dia mendesis pelan dan menyesali kenapa dia menerima undangan dari keluarga Brood itu? Betapa bencinya dia menghadiri pesta seperti ini. Penuh detuman musik yang keras, minum-minuman, dan orang mabuk.

"Kirimi aku alamat dan undangannya melalui email."

"Yes, Sir."

"Thank you, Elisabeth." setelah kata-kata itu, Christovel beralih dari sana.

Sembari menunggu pintu lift terbuka, Christovel memikirkan hadiah semacam apa yang harus dia bawa untuk ke acara seperti itu? Dia berdecak lidah, merasa kesal sendiri dengan apa yang berusaha dia pikirkan. Kenapa? Kenapa dia perlu repot-repot memikirkan itu? Kenapa dia menerima undangan itu?

Namun, Brood sialan itu memohon-mohon padanya agar menghadiri pesta. Entah apa motif-nya sampai-sampai melakukan itu padanya. Hubungan mereka hanya sebatas kolega bisnis.

Aku akan pulang sesegera mungkin setelah memberi hadian dan menyapa mereka, batin Christov.

Hadiah macam apa yang harus dia berikan pada keluarga yang memiliki segalanya? Sebotol wine dan karangan bunga? Yah.. Hanya itu yang dapat terpikirkan Christov. Pintu lift terbuka dan Christov melihat Dabbie, wanita yang bekerja sebagai petugas kebersihan di gedung ini.

"Good night," sapa Christov dengan senyum hangat pada wanita itu.

"Ah.. Good night, young man.. Basement?"

"Yes, please.."

Debbie menekan tombol lift menuju lantai basement untuk Christov..

"Apa bisnismu akhir-akhir ini bagus?"

Christov mengangguk kecil. Awal bulan ini saja dia sudah menerima tiga proyek. itu adalah jumlah yang besar untuk Christov dengan ke-empat pekerjanya.

"Well.. Banyak bisnis lain di gedung ini yang tutup. Kau tahu Usaha Asuransi di lantai 13 itu?"

Sejujurnya, Christov tidak tahu, tapi dia mengangguk.

"Usahanya hancur, seharian ini banyak orang-orang yang dapang ke tempatnya untuk meminta ganti rugi. Sayangnya pemiliknya sudah melarikan diri..."

"Perekonomian akhir-akhir ini memang tidak bagus..."

Suara lift terdengar melenting diikuti dengan pintu lift yang terbuka.

"Kalau begitu aku pergi dulu anak muda... Aku berharap usahamu berjalan baik-baik saja. Jika tidak, harapanku bekerja di sini akan semakin kecil..."

"Pasti, Debbie,"

Debbie menarik keranjang tempat alat pembersihnya dan berjalan keluar dari lift. Sekarang, hanya Christov seorang diri di sana. Saat pintu lift terbuka menuju basement, ponselnya yang berada di saku jaket berdering. Tangan kanannya merogoh saku lalu melihat layar ponsel untuk melihat siapa yang menghubunginya. Mama.

"Hallo, Mom?" jawabnya setelah menerima panggilan itu sembari berjalan menyusuri basement yang sepi menuju mobilnya.

"Apa kau sudah mengunjungi Dokter?"

Ah.. lagi-lagi. Pikirnya

"Sudah.." jawab Christov singkat walau sesungguhnya dia belum pergi ke Dokter. Dia hanya terserang flu biasa, tapi Ibunya benar-benar suka melebih-lebihkan sesuatu.

"Seriusan? Apa Ibu perlu datang ke tempatmu untuk--"

"Mom.." potong Christov, "Aku sudah berusia 27 tahun, Mom.. Aku bisa mengurus diriku sendiri."

"Aku hanya merindukanmu, Nak.. kau sudah lama tidak datang mengunjungi orang tuamu,"

Ibunya berbicara seolah-olah sudah setahun lebih Christov tidak mengunjungi mereka. Faktanya, Christov baru mengunjungi mereka sebulan lalu.

"I know, Mom..." Dia membuka pintu mobilnya dan masuk, "Minggu depan aku akan mengusahakan untuk mengunjungi kalian. Aku harus pergi kerja. Sampaikan salamku pada Dad. Bye.. I love you."

"Love you too, son.."

Dengan itu, Christov menutup panggilan dan menaruh tas kerja serta ponselnya di kursi samping. Dinyalakan mesin mobil sehingga layar GPS menyala dan suara komputer bernama Siri bertanya padanya.

"Kemana tujuan anda?"

"Proyek CW.."

Layar navigasi berubah menjadi denah dan Christov mulai melajukan mobil keluar dari basement.

"Anda ingin mendengar saran lagu hari ini?"

"Aku ingin mendengar mozart.."

"Here is your music. Nikmati perjalanan anda.."

Setelah itu suara Siri digantikan dengan piano milik Mozart. Musik semacam inilah yang bisa diterima Chirstov dan dia tidak terlalu menikmati musik zaman sekarang karena tidak sesuai dengan seleranya.

Setelah lima judul musik berlalu, akhirnya Christov sampai pada tujuannya. Dia memarkirkan mobilnya di tepi jalan lalu mematikan mesin mobil. Christov mengganti jaket yang dia pakai dengan rompi kuning yang tergantung di bagian kursi penumpang diikuti dengan topi kuning proyek, masker, dan penutup wajah dari plastik bening.

Keamanan kerja adalah yang paling utama.

Yakin dengan keamanannya, Christov keluar dari mobil dan berjalan ke pintu masuk proyek bangunan di tengah kota itu. Gerbang seadanya yang terbuat dari papan dilapisi plastik terpal melingkari seisi proyek bangunan. Bunyi-bunyi mesin, palu, traktor, dan lainnya berpadu dengan suara lalu lintas membentuk keributan yang memekakkan telinga. A normal day in LA.

Sudah berjalan dua bulan dan kerangka bangunan itu sudah mulai nampak. Target mereka adalah lima bulan dengan satu bulan masa uji coba sebelum akhirnya dapat digunakan. Bukankah itu gila? Bangunan setinggi 25 lantai di bangun dengan target waktu enam bulan.

Dia berjalan menuju gerbang masuk dan penjaga di sana menghambatnya. Christov menunjukkan name tag-nya yang terkalung di lehernya. Penjaga berkepala botak itu mengangguk kecil dan membukakan pagar pembatas. Setelah masuk, semua bunyi bangunan itu terdengar semakin jelas.

Christov memasang air-plug di kedua telinga, tapi dikejauahn , dia bisa melihat rekan kerjanya di bagian kontruksi berjalan bersama dengan pemilik proyek ini. Christov buru-buru melepas satu air plug-nya dan berjalan ke arah mereka.

"Mr. Connel, " sapa Mr.West, pemilik proyek, dengan suara kencang.

"Maafkan saya terlambat, Mr.West," Christov pun berbicara dengan suara kencang, berusaha melawan suara bising proyek bangunan.

"Kami bahkan belum memulai melihat perkembangan hari ini.. Mari."

Christov berjalan dengan tim dan pemilik proyek ini. Mulai dari tim konstruksi, 2 tim arsitektur, dan tim proyek tekniknya. Christov merancang bentuk bangunan ini bersama tim lain karena ini benar-benar proyek besar. Setidaknya ada delapan arsitek yang bergabung dalam proyek ini.

Mereka menaiki tangga dengan langkah perlahan untuk berjalan ke atas. Tidak ada dinding di sana dan hanya ada pagar pembatas seadanya dari besi tipis berbentuk bulat. Sembari seseorang dari tim proyek tekniknya berbicara sudah seberapa jauh bangunan di kerjakan, Christov berusaha mendengar suara mereka hingga dia kehilangan fokus pada langkah kakinya.

Kaki kirinya tidak berpijak sepenuhnya pada lantai beton dan membuat dia kehilangan keseimbangan tubuhnya. Semua seolah berjalan perlahan. Semua orang yang di sana melihat Christov yang kehilangan keseimbangan dengan wajah penuh keterkejutan. Tangan Christov berusaha meraih sesuatu, tapi tubuhnya semakin miring ke arah luar bangunan hingga akhirnya tubuh Christov terjatuh melewati pagar pembatas itu.

"No!"

***

Miss Foxxy

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!