Sella melangkah ke toilet, sambil mendengus kesal, karena bajunya kotor terkena tumpahan saus. Ia berniat untuk mengganti pakaiannya di sana. Beberapa saat kemudian, ia keluar dengan memakai pakaian seragam pegawai kebersihan, milik Rere--sahabatnya, yang bekerja di gedung tempat mereka sedang bertemu sekarang.
Di saat yang bersamaan, ada dua pria berwajah tampan, baru saja keluar dari lift. Mereka berjalan di koridor sambil berbicara soal bisnis.
Namun, beberapa menit kemudian, mereka bertabrakan dengan seorang perempuan.
Brukk!
"Maaf, Tuan!" Sella berkata dengan gugup sambil membungkuk ke arah dua pria yang tak lain adalah Alrega dan asisten setianya, Zendaka yang akrab dipanggil Zen.
Kebetulan lokasi toilet itu berada di koridor yang sama dengan pintu lift yang menuju ke best men gedung.
Seketika Alrega melihat ke arah gadis bertubuh mungil di hadapannya. Tubuh mereka terpaut beberapa centi meter, tinggi Alrega dan Zen hampir sama sedangkan, Sella hanya sebatas pundaknya saja.
Alrega sempat tertegun sejenak, tapi kemudian ia mengabaikannya. Lalu, pergi begitu saja.
"Kamu, hati-hatilah lain kali kalau berjalan!" kata Zain sebelum melangkah mengikuti sang majikan.
"Baik!" kata Sella masih dengan kegugupannya.
Sementara itu, Alrega kembali bicara pada Zain sambil berjalan menuju mobil. "Kamu sudah berhasil menemukan orang itu, Zen?" kata Alrega, dia masih memikirkan perempuan yang baru saja menabraknya.
Dia pria berkulit putih, rambutnya lurus yang selalu disisir rapi kebelakang. Sosoknya begitu berwibawa dengan stelan jas hitam yang dikenakannya.
"Belum, Tuan. Sudah sepekan, ponselnya tidak aktif," jawab Zen tenang. Ia laki-laki yang setia pada Alrega, memiliki dedikasi tinggi pada sang Bos yang dihormatinya. Hari itu mereka sama-sama memakai stelan jas warna hitam.
Sementara itu, Sella menunggu Rere dengan bersandar, sambil membaca buku novel kegemarannya.
Gadis itu tidak menyadari, ada dua pria berjalan kearahnya.Tepatnya ke arah mobilnya yang terparkir disana, tepat disamping Sella berada.
"Apa kamu kenal dengan perempuan itu? Dia seperti pengangguran yang tidak punya kerjaan saja!" kata Alrega begitu melihat Sella. Ia mengira, gadis itu adalah pegawai di kantornya.
Alrega tidak salah, karena mereka sama-sama berada di Gedung Art Design, dan ia adalah pemiliknya. Sementara perempuan yang dilihatnya itu memakai pakaian petugas kebersihan dan sedang menganggur.
Saat itu, tiba-tiba saja mereka mendengar Sella tiba-tiba tertawa, mungkin karena novel lucu yang dibacanya.
"Hei. Kamu!" Bentak Alrega mengagetkan Sella.
Sontak saja gadis berambut ikal itu menoleh dan melihat ada dua pria asing yang tadi bertabrakan dengannya. Pada saat yang sama, otak Sella teringat kejadian di mana dia pernah berbuat sebuah kesalahan sebelumnya.
Apakah laki-laki itu, dia? Kenapa wajahnya mirip sekali dengan laki-laki itu? Ahh, bukan! Mungkin dia hanya mirip saja. Pikirnya.
"Eh, maaf ... " Kata Sella lirih, sambil melangkah menjauh dan pindah posisi. Namun, Alrega mendekati dan kembali berkata, dengan suara kerasnya.
"Apa kamu pengangguran?!"
"Saya?" Tanya Sella sambil menunjuk dirinya sendiri dan Alrega mengangguk, dengan tatapan matanya tak beralih dari Sella.
"Bukan, saya bukan pengangguran. Apa saya mengganggu anda, Tuan?" Sella menjawabnya malas.
'Berani sekali perempuan ini'
"Iya. Kamu merusak pemandangan!"
"Ck! Memangnya pemandangan apa di sini?"
'Menyebalkan.'
Bagi Sella, kedua orang itu bukan siapa-siapa. Ia melihat penampilan Alrega dan Zen dengan sebelah mata. Seandainya Sella tahu kedudukan dua laki-laki itu, tentu ia tidak akan berani bersikap demikian.
Alrega melirik pada Zen sekilas, laki-laki itu memahami maksud Tuannya, hingga ia mengusir Sella dari tempatnya saat itu juga. Sementara Alrega tak melepaskan tatapan matanya dari Sella, hingga gadis itu hilang dari pandangannya.
Kedua pria itu kini sudah berada dalam mobil mewah, yang jendelanya dibiarkan terbuka. Mobil itu berjalan dengan perlahan ketika keluar area gedung.
Alrega menoleh kearah Sella, saat mobil melintas di depannya. Gadis itu berdiri di trotoar, dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Tanpa sengaja, tatapan mereka saling beradu. Sella membalas tatapan tajam Alrega sambil membenarkan letak topi hitam yang menutupi dikepalanya.
Alrega kembali menatap gadis itu lekat dengan ekspresi wajah yang serius, gurat tajam di alis matanya seolah menebal, sehingga jarak antara mata dan alisnya seolah menempel.
Tatapan mereka tetap bertahan dan mengunci, sampai kendaraan berlalu menjauh dari tempat itu.
"Kau tahu siapa wanita itu, Zen?" Tanya Alrega pada Zen, yang mengemudikan kendaraan dengan kecepatan sedang, membelah jalanan.
"Wanita yang mana, maksud Tuan?" Tanya Zen sambil melihat Alrega dari balik spion depan.
"Wanita gembel tadi?" Jawab Alrega sambil menutup jendela mobil kembali.
"Oh, wanita itu? Saya kurang memperhatikannya. Maaf, Tuan."
"Apa kau tidak melihat name tag dibajunya?"
'Dia memang memakai seragam pegawai kebersihan, tapi aku belum pernah melihatnya selama ini'
''Tidak, Tuan. Apa ada yang menarik?"
"Dia mirip wanita hamil itu," jawab Alrega sambil menyandarkan kepala dan memejamkan matanya.
"Wanita hamil yang mana maksud, Tuan. Tidak ada wanita hamil, yang berurusan dengan Anda, kan?"
"Ada, kalau kau masih ingat, kejadian dua tahun yang lalu." Alrega berkata sambil mengusap wajahnnya.
'Apa? Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa kebetulan seperti ini. Delisa juga kembali.'
"Apa anda bisa yakin?" Tanya Zen sambil melirik Alrega lagi.
"Dari matanya, itu tatapan mata yang sama,* jawab Alrega lirih.
Tatapan mata seperti sebuah jendela yang jadi jembatan antara orang yang ditatap dengan telaga segala rasa, yang ada di dihatinya. Ia akan menarik siapapun untuk masuk kedalamnya, tapi disaat ia mulai terjebak di sana, maka tak seorang pun mampu menyelaminya.
"Anda selalu teliti seperti biasanya."
"Bawa wanita itu besok keruanganku. Aku ingin bicara dengannya."
"Apa kesalahannya akan Tuan buktikan, kali ini?"
"Ya. Aku tidak akan melepaskan dia lagi."
"Baik, tuan." Zen berkata dengan ragu tapi ia tetap harus menuruti perintah tuannya.
Ia berkata lagi untuk memastikan agar ia tidak salah langkah.
"Apa yang akan Anda lakukan padanya, dulu Anda menyuruh saya untuk melepasnya, kenapa sekarang Anda ingin menemuinya?"
"Apakah Deli kembali?" Alrega balik bertanya.
'Bagaimana Tuan bisa tahu, padahal aku sudah menyembunyikan berita itu? Aku yakin perempuan brengsek itu tidak akan berani berhadapan dengan Tuan lagi'
"Sudah, tuan."
"Hmm..."
"Saya yakin, Delisa tidak akan berani menemui Tuan lagi."
"Kau seyakin apa? Ingat, kau tetap harus waspada, jangan sampai kau lupa, dia perempuan seperti apa?"
'Ck! Kalau melihat kelakuannya selama ini, dia pasti akan mengganggu Tuan lagi, kelakuannya menjijikkan, seharusnya dia malu kalau masih punya hati'
"Baik, saya akan lebih berhati-hati," jawab Zen sambil mempercepat laju kendaraan.
-
Di trotoar depan gedung Art Design Group. Sella menerima panggilan dari ponselnya. Ia berkata setelah benda pipih itu menempel ditelinga.
"Halo. Rere. Aku di trotoar depan."
"Kenapa kau kesana?" Tanya suara dibalik ponsel.
"Aku diusir orang tadi. Ayo pulang, sudah sore "
"Baiklah," kata suara diseberang telepon, setelah itu telepon ditutup.
Tak lama Rere, berjalan mendakat. Ia seorang perempuan yang sudah memiliki seorang bayi, ia berambut sebahu dan berwajah bulat.
Ia menghampiri Sella dan tersenyum manis, dan berkata.
"Ini, bajumu. Kembalikan bajuku besok ya?" Ia mengasongkan baju Sella yang sudah ia bersihkan di ruang kebersihan gedung. Baju itu terkena tumpahan saus saat mereka menikmati makanan di pinggir jalan.
"Ck! Mana bisa. Aku kembalikan kapan-kapan saja, besok ada banyak barang yang harus kuantar," sahut Sella, sambil memasukkan bajunya ke dalam tas kain, yang ia selempang kan dipundaknya.
"Kau selalu punya alasan."
"Aku akan mengembalikan bajumu besok, tapi kau bayar hutangmu. Oke?" Kata Sella dengan kedipan mata jahilnya.
Rere biasa berhutang beberapa barang kebutuhannya pada Sella diakhir bulan. Sella bekerja dengan menjalani usaha membuka satu toko yang menjual bahan-bahan pokok. Ia mengikuti perkembangan zaman dan menjual barang dagangan secara online.
Saat Rere berhutang, Sella akan mengantark pesanannya ke tempat Rere bekerja. Sella melakukan semua itu karena Rere adalah sahabat lamanya, ibu mereka juga berteman dengan baik.
"Ah, lupakan. Kembalikan bajuku kapanpun kau mau. Dasar pemeras!"
"Siapa yang memerasmu, Nona? Aku menyayangimu, sampai-sampai aku membiarkanmu selalu berrhutang padaku. Bahkan aku ingin menciummu!"
"Ciumlah, asal aku tidak perlu membayar hutangku." Rere menjawab sambil memajukan wajahnya mendekat pada Sella.
"Sialan! Ayo pulang. Kalau sudah malam aku tak akan mengantarmu pulang."
Sella biasa mengatarkan Rere pulang kalau kebetulan ia memesan barang padanya. Kedua sahabat itu seperti ibu dan anak saja.
"Baiklah." Rere mengikuti langkah Sella ke halaman parkir, tampat motor tua milik Sella berada.
Dua sahabat itu mengendarai motor yang melaju dijalanan, menuju rumah Rere sambil berpelukan. Kalau saja tidak ada kejadian dua tahun yang lalu, mungkin Sella masih bekerja di sana bersama sahabatnya itu.
Sesampainya di rumah Rere, mereka disambut dengan suara tangis anak kecil, yang merengek ingin digendong ibunya. Anak kecil itu berlari kearah Rere dan memeluknya. Rere hidup bersama dengan keluarganya yang bahagia, terdiri dari ibu, suami dan seorang anak perempuan.
"Jadilah ibu yang baik, jangan meninggalkan anakmu terus dengan neneknya. Ibumu bukan pengasuh," kata Sella, ia tidak turun dari motornya.
"Kalau aku tidak bekerja siapa yang akan membeli susunya? Kami juga masih harus membayar uang sewa." Rere cemberut, rumahnya memang masih mengontrak.
"Kau bisa membuka usaha sepertiku. Jadi kau tidak perlu meninggalkan anakmu."
"Ya, aku juga mau seandainya aku punya modal sendiri."
'Ah, seandainya kamu tahu bagaimana aku mendapatkan modal usahaku, mungkin kamu tidak mau berteman dengan orang sepertiku.'
Sella teringat sekilas tentang perbuatannya dua tahun yang lalu. Saat itu ia melakukan sebuah penipuan karena terpaksa, tapi kejahatan tetaplah kejahatan apapun alasannya.
"Re, aku hanya teringat ibuku. Sekarang, setelah aku tidak lagi bekerja diluar rumah. aku lebih bisa mengawasinya dengan baik. Aku hanya tidak mau ibuku sakit terus menerus. Hanya dia orang tuaku"
"Kau masih punya dua adik yang menyayangimu, kan? Jangan lupakan mereka." kata Rere sambil menggendong anaknya masuk. Ia mengemasi beberapa barang pesanannya yang ditaruh dalam kantong plastik.
Mendengar kata-kata Rere, Sella tertawa. Kadang ia suka lupa kalau adik-adiknya, yang ia anggap merepotkan itu juga menyayangimya.
"Terimakasih ya. Salam buat ibumu!' Kata Rere mengakhiri obrolan mereka.
Rere masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sella yang akan memacu sepeda motornya, ia juga akan segera pergi.
Sella seorang gadis berhati lembut, ia selalu memikirkan orang lain lebih dari memikirkan dirinya sendiri. Semua pengalam pahitnya dimasa lalu yang menempa kepribadiannya menjadi gadis yang ramah dan kuat. Tapi ia selalu waapada bila berhubungan dengan lawan jenis, seolah-olah ia memiliki antena dikepala.
Bersambung
Ban 2. Pria Yang Berbeda
Sella melihat kembali makanan yang tergantung di motornya, itu makanan dari ibu Rere, wanta itu selalu memberi Sella makanan bila ia mampir ke rumahnya. Setiap ibu selalu memiliki kasih sayang yang sama.
Sella teringat percakapan mereka tadi, saat wanita itu memberinya sebungkus makanan. Ia belum sempat menyalakan mesin motornya, saat ibu Rere mendekat.
Ia berkata, "Ini, untuk adik dan ibumu. Aku membuatnya sendiri."
"Apa ini, bu?" tanya Sella.
"Brounies kering, ini enak ... Bawalah."
"Terimaksih."
Sella menerima dengan senang hati, ia tersenyum sambil melambaikan tangan pada keluarga kecil yang bahagia itu. Kemudian ia melajukan motornya kembali dijalanan menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, Sella meletakkan bungkusan makanan di meja, yang langsung diserbu oleh adik perempuannya.
"Nah ini, cemilan kesukaanku yang enak, kakak beli, ya?" Kata Runa sambil menikmati cemilannya.
"Tidak. Ibu Rere yang membuatnya," jawab Sella sambil mengibas-ngibaskan topi ke wajahnya yang memerah karena gerah.
Itu kebiasaannya, menggunakan topi yang ia dipakai, menjadi kipas. Ia selalu memakai topi kemana pun ia pergi, untuk menutupi rambut ikalnya yang susah diatur.
"Oh, aku kira ada laki-laki yang menyukaimu lalu memberi kakak hadiah ini," kata Runa.
"Oh, ternyata serendah itu penilaianmu tentang jodohku, dengan laki-laki yang hanya memberikan cemilan seperti ini sebagai hadiah?" Sella melirik adik perempuannya dengan kesal.
"Haha. Bukan ... bukan begitu kakak, tapi boleh juga standar kakak soal laki-laki yang bakal jadi suami."
"Aaah, diam kau. Aku sudah bilang kan, aku tidak butuh laki-laki di dunia ini dan aku benci mereka, selamanya!"
"Kakak. Apakah itu berarti kakak membenciku juga selamanya?" kata Rejan yang tiba-tiba muncul dari balik kamarnya dengan wajah cemberut. Ia adik laki-lakinya.
"Kamu adalah adikku. Mana mungkin aku membencimu," sahut Sella, seraya berdiri dengan cepat dan memeluk pundak adik laki-lakinya dengan tangan kanannya.
"Tapi aku juga laki-laki," kata Rejan menepis tangan Sella dan kembali masuk ke kamarnya.
Sella mencebikkan bibir dan mengangkat kedua bahunya, lalu duduk kembali di sofa.
"Sese, rubahlah prinsip konyolmu itu," kata Flina. Wanita yang sudah melahirkan tiga orang anak itu, menepuk-nepuk bahu Sella.
Flinna duduk berdampingan dengan kedua anak perempuannya, sambil membelai rambut Sella yang terburai panjang sampai kepinggang.
Sella sangat menyayangi ibunya. Banyak sudah pengorbanan yang dilakukannya demi wanita itu. Ia seorang janda yang ditinggal suaminya pergi, demi wanita lain, yang lebih cantik dan lebih muda dari dirinya.
"Tidak semua pria sama seperti ayahmu, belum tentu juga nasibmu akan sama sepertiku. Jadi bukalah hatimu, agar kamu bisa bertemu dengan laki-laki yang baik dalam hidupmu," kata Flinna penuh kasih sayang. Wanita yang senang berkebun itu tersenyum manis.
"Ibu, kak Sese punya standar tinggi pada laki-laki ... wajar ia tidak mau menikah kecuali ...." kata Runa sambil menahan tawa.
"Apa?!" Kata Sella.
"Kecuali dengan laki-laki yang bisa memberimu segalanya," sahut Runa.
"Mana ada laki-laki seperti itu?" Kata Sella sambil menepuk keras punggung Runa
"Jangan berhayal terus, belajar sana yang rajin, sebentar lagi kamu ujian, apalagi kamu mau kuliah, kan?"
Pengalaman buruk yang Sella alami saat ditinggal sang ayah, membuatnya takut pada laki-laki sekaligus membencinya. Ia menganggap semua laki-laki akan seperti ayah, yang menyakiti ibunya.
Ia tak ingin disakiti juga seperti yang terjadi pada ibunya. Sikap buruk sang ayah, mengakibatkan ibunya depresi, membuat ia harus berusaha bertahan hidup dan menyelesaikan sekolahnya sendiri.
Adik-adiknya masih kecil saat semua itu terjadi. Ia bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya seorang diri, tanpa kehadiran seorang laki-laki.
Karena itulah Sella kemudian bertekad, tidak akan menikah selamanya. Ia merasa mampu menghidupi ibu dan adik-adiknya, walaupun dengan penghasilan seadanya. Bahkan ia sering kelaparan karena makanan yang ia dapatkan, ia berikan semua pada adik-adiknya.
"Baik, tuan putri Sese yang galak, aku akan sangat rajin belajar biar aku dapat beasiswa. Jadi tuan putri galak, tidak perlu membiayai kuliahku." Runa berkata sambil beranjak meninggalkan Sella dan ibunya, melangkah ke kamarnya.
"Bagus. Itu baru adikku," sahut Sella sambil mengacungkan jempolnya, tapi Runa menyambut dengan menjulurkan lidahnya.
***
Keesokan harinya di ruangan Alrega.
Laki-laki berwajah bersih dan memakai kemeja putih itu, duduk tenang di kursi kerjanya sambil membolak balikkan file di atas meja. Ekspresi wajahnya berubah-ubah, saat membaca isi file ditangannya.
Ia menoleh kearah pintu, saat terdengar suara ketukan.
"Masuk!" Katanya seraya kembali melihat berkas di tangannya, setelah tahu siapa yang datang.
Zen masuk dan menutup pintunya kembali, ia mendekwti Alrega dengan wajah pias dan berkeringat.
"Mana ... Apa kau tidak menemukan perempuan itu?" tanya Alrega, sambil mengernyitkan keningnya. Heran melihat Zen yang datang sendiri tanpa seseorang yang dicarinya.
"Maafkan saya, tuan," hanya itu yang bisa dikatakan Zen.
Pagi itu, ia mengumpulkan semua petugas kebersihan yang ada dan mencari perempuan yang kemarin ditemuinya di halaman parkir bawah gedung. Tapi perempuan itu tidak ada.
Zen menyesal, kenapa ia tidak melihat gadis itu dengan teliti? Ia tidak melihat tanda pengenal, yang biasanya menempel disemua pakaian petugas kebersihan perusahaannya.
Seharusnya ia memperhatikan atau mencatat nama perempuan itu, ia harus menghukum pegawai, yang sudah bersantai saat jam kerjanya masih berlaku.
"Apa kau tidak salah kali ini?"
"Maafkan saya, tuan."
"Apa kemampuanmu sudah hilang?" kata Alrega, seraya menatap Zen dengan raut muka masam.
Zen diam, meminta maaf juga percuma karena apa yang diinginkan Alrega, tidak dapat dipenuhinya kali ini.
Sebagai orang yang menjadi tangan kanan Alrega, biasanya ia akan cukup handal. Tapi sekarang sepertinya kesabarannya masih diuji.
Zsn mempunyai beberapa kemampuan yang melebihi kemampuan Alrega. Baik itu ilmu beladiri, kemampuan menyelidiki, atau berbagai macam disiplin ilmu lainnya, yang bisa mendukung pekerjaannya.
Walaupun begitu, ia tetap memilih untuk setia pada Alrega dan keluarganya. Mungkin kalau ia mau, akan seumur hidup melakukannya, demi membalas budi dari kebaikan keluarga Alrega pada kedua orang tuanya.
"Saya akan membawanya besok, tuan." Zen berjanji.
"Sebelum makan siang kau sudah harus menemukannya."
"Baik, tuan." jawab Zen yang kemudian kembali ke ruangannya sendiri.
Alrega menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Matanya terpejam memikirkan sesuatu.
'Ini kebetulan sekali, aku menemukan perempuan itu saat Delisa kembali. Dia rang yang tepat.'
Semua tentang Sella sudah ia ketahui, hanya saja alamat rumah yang ada dalam file itu berbeda. Ia akan mengutus seseorang untuk mencarinya.
Sementara itu, disebuah ruangan yang tidak jauh dari ruangan Alrega.
Zen tengah menghubungi seseorang yang menjadi kepercayaannya, untuk mencari Sella. Ia tengah melihat dari CCTV yang ada dalam gedung dan mencari tahu ada keperluan apa Sella disana.
Setelah beberapa waktu berlalu, Zen menerima sebuah panggilan, ia berbicara ditelepon sambil beranjak pergi. Pria itu menuju sebuah ruangan di lantai dasar, menemuinya Rere, sahabat Sella.
Dalam ruangan itu, Zen duduk dengan menumpuk kedua pahanya secara bersilang di hadapan Rere, yang berdiri dengan tegang. Ia meremas tangannya sendiri, sedangkan kakinya terlihat gemetar. Ia tidak tahu kesalahnnya hari itu, hingga ia dibawa seorang petugas keamanan, dan sekarang ia harus berhadapan dengan orang yang paling disegani di perusahaan.
"Kau punya teman, kan. Katakan siapa temanmu yang kemarin?"
'Temanku yang kemarin, siapa?'
"Teman yang mana, tuan?"
Ia tahu kalau laki-laki yang duduk dihadapannya ini adalah orang yang lebih mengerikan, daripada bos besarnya di perusahaan. Bila bos besar mengatakan sesuatu, maka orang inilah yang akan mengeksekusinya. Bagi Zen, kata-kata Alrega adalah perintah.
Sebagai karyawan rendahan, Rera belum pernah bertemu secara langsung, dengan petinggi perusahaan seperti saat ini.
Ketika membersihkan ruangan bosnya, ia hanya bertugas diluarnya saja. Ada tim khusus yang bertugas membersihkan ruangan mereka. Ketampanan Alrega dan Zen sebagai bos, selalu menjadi pusat perhatian di perusahaan tempatnya bekerja.
"Namanya Sella. Apa kamu kenal dia?"
'Oh, Sese ... Tapi tunggu, darimana dia tahu namanya Sella, ada urusan apa dia mencari Sese, apa aku salah kemarin membawanya masuk ke dalam gedung? Mati aku!'
"Aku lihat dari CCTV, kamu membawa orang yang bukan pegawai di sini, masuk gedung tanpa izin, ini sebuah pelanggaran. Apa kamu lupa peraturan itu, ha?"
"Maaf, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi." Rere berkata sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.
"Kamu pikir kesalahan bisa dihapus hanya dengan meminta maaf. Kamu pikir memaafkan itu mudah, ha?" Suara Zen meninggi.
Kalau memang memaafkan itu mudah, tidak ada gunanya manusia membuat berbagai peratutan di mana pun mereka berada. Tanpa peraturan, maka manusia tidak akan mendapatkan hukuman, bila setiap kali berbuat kesalahn.
Disetiap tempat memiliki aturan dan hukum yang berbeda-beda. Bahkan Tuhanpun membuat peraruran untuk manusia, menciptakan surga dan neraka sebagai balasan atas perbuatannya.
"Tapi, apakah saya akan dipecat hanya karena kesalahan ini?" Rere mulai ketakutan.
Kata dipecat adalah kata yang lebih menakutkan dari pada melihat hantu, saat ia sendiri di malam yang gelap.
"Kau bilang hanya? Apa kau anggap kesalahan ini kecil sampai kau bilang, hanya?"
"Maafkan saya, Tuan. Apa yang bisa saya lakukan untuk menebusya?" Rere mulai menitikkan air mata.
"Hubungi dia," sahut Zen tegas.
Sebenarnya Zen hanya mencari sebuah kepastian, tentang bagaimana kepribadian Sella dari mulut sahabatnya.
"Apa?!"
'Tapi untuk apa? Sella tidak salah. Bahkan dia bukan anak buahnya'
"Hubungi temanmu itu, suruh dia kemari!"
"Baik, baik, saya akan menelponnya," jawab Rere gugup setengah mati.
Heran campur sungkan. Bagaimana ia bisa membawa Sella kemari, alasan apa yang akan ia katakan nanti.
"Berikan nomor ponselnya padaku!" Kata Zen.
Permintaan Zen kali ini lebih mengherankan lagi bagi Rere, meskipun begitu, ia tetap memberikan apa yang Zen minta, memberikan nomor Sella padanya.
Bersambung
Zen menatap Rere dengan penuh keseriusan. Tapi Rere seolah berada dalam mimpi, ia masih bingung harus berkata apa pada Sella. Ketakutan menjalari hatinya, kalau Sella akan mendapatkan akibat dari kecerobohannya. Hal yang ada dalam pikiran Rere kemarin adalah menolong Sella membersihkan bajunya. Itu saja.
"Apa kamu mendengarku?" kata Zen dengan suara pelan kali ini. Tapi justru suara itu terdengar lebih menakutkan.
"Eh, ini. Silahkan tuan." jawab Rere menunjukkan ponselnya.
Setelah menerima ponsel Rere yang sudah menyala, Zen menggeser layar ponsel mencari nama Sella.
"Kau namai apa temanmu itu disini?" tanya Zen tanpa mengalihkan pandangan pada ponsel.
"Emm... Sese." kata Rere pelan. Ia malu, karena nama itu menurutnya lucu untuk julukan Sella.
"Panggil dia." kata Zsn setelah ponsel tersambung.
Ia memberikan ponsel Rere pada pemiliknya. Dan ia sibuk mengetik nomor Sella pada ponselnya sendiri.
Sejenak terdengar suara nada sambung, yang cukup nyaring dalam ruangan itu. Mereka yang ada disana tentu bisa mendengar apapun yang dikatakan Sella.
"Halo, Rere. Apa kau merindukanku?" kata sebuah suara yang cukup merdu dibalik ponsel.
Blush! Wajah Rere memerah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Sella. Tentu saja Sella disana tidak tahu kalau bukan hanya Rere yang bisa mendengar suaranya.
'Ya Tuhan. Sella...memalukan!'
"Sese...bisakah kamu ke tempat kerjaku sekarang?"
"Apa? Jangan mimpi. Aku sibuk. Kecuali kamu akan membayar hutangmu. Oke?" kata Sella dibalik ponsel, untuk kedua kalinya membuat Rere malu.
'Memalukan... Ia mengatakan soal hutang.'
"Ah, bukan begitu. Aku hanya membutuhkan bajuku. Ini penting." sahut Rere.
"Kau pikir aku percaya? Kecuali kamu akan membayar dengan tubuhmu. Haha..." kata Sella sambil tertawa lebar.
"Apa maksudmu bicara seperti itu, Sese.. " kata-kata Rere terpotong oleh Sella yang berkata,
"Kamu bilang menyukaiku, kan? Jadi kapan kita akan menyewa kamar, dan menghabiskan waktu bersama, sayang?" kata Sella dengan suara yang dibuat-buat manja, lalu tertawa lagi.
"Untuk apa harus menyewa kamar. Memalukan. Sese, cepatlah kemari!" kata Rere mulai panik.
Zen dan seorang pengawal keamanan yang ada di sana menahan tawanya mendengar obrolan Sella dan Rere yang menggelikan. Mereka sempat berpikir kalau Rere punya kepribadian menyimpang.
'Memalukan sekali. Bisakah aku kabur saat ini?'
"Kamu pikir untuk apa. Aku akan memotong-motong dirimu, tau? Makanya jangan berhutang!" kata Sella kembali terbahak-bahak.
Rere berharap ia berubah menjadi semut dan masuk ke dalam lubangnya saat ini juga.
"Kamu ada dimana sekarang. Mampirlah sebentar. Aku ingin mengatakan sesuatu." kata Rere.
"Apa yang akan kamu katakan? Apa kau akan bilang kalau bosmu akan menikahiku?" masih dengan tertawa.
Sella kembali berkata, "Aku jauh dari gedung itu. Sekarang aku masih ada di jalan Acuan Maya. Jauh kan? jadi lupakan saja kalau ingin menjodohkan aku. Aku tidak tertarik pada laki-laki." kata Sella.
Kata-kata Sella sempat membuat kening Zen berkerut. Tapi ia kembali tenang, seolah tak ada apapun yang ia dengar.
"Sese...tolong kemarilah..." kata Rere memohon.
"Sebenarnya, ada apa ini Re. Kenapa kamu begitu memaksa? Tidak biasanya." kata Sella masih dibalik ponsel.
"Aku akan membayar hutangku," kata Rere dengan ragu.
'Entah aku harus membayarnya dengan apa.'
"Oh, tidak perlu. Maaf. Aku hanya bercanda. Aku tahu kamu belum punya uang. Besok aku akan kesana. Jangan kuatir bajumu sudah kucuci," kata Sella yang membuat Zen menggerakkan tangan memberi isyarat agar Rere menyudahi panggilannya.
"Baiklah, aku tunggu kamu besok. Pagi-pagi ya. Sebelum aku mulai bekerja." kata Rere mengakhiri obrolan dengan Sella dan menutup ponselnya.
"Ceritakan padaku tentang temanmu itu." kata Zen begitu Rere memasukkan ponselnya ke dalam saku.
'Kenapa tuan Zen tertarik dengan Sella. Sebenarnya ada apa?'
"Semuanya, tuan?' tanya Rere ragu.
"Iyaa, semuanya. Sejak kapan kamu mengenalnya, apakah dia gadis yang baik?" tanya Zen, menghunjamkan tatapan yang tajam pada Sella.
"Sese? Wah, tentu saja dia baik, sangat baik. Dia sering memberikan saya pinjam... Eh, maaf tuan," kata Rere bersemangat, karena selama ia berteman dengan Sella, selalu ada hal baik yang ia rasakan bersamanya.
"Teruskan saja, jangan sungkan. Kau bebas menceritakan keburukannya juga."
"Itu.. kalau soal keburukannya Sese hanyalah masa lalunya, tekadnya yang aneh karena sejak ditinggal ayahnya, ia jadi membenci semua laki-laki yang ia anggap senang menyakiti dan egois. Maaf, tuan." kata Rere takut Zen akan tersinggung karena dia juga seorang laki-laki dan terkenal galak pada bawahan.
"Bahkan dia tidak akan menikah seumur hidupnya." kata Rere lagi, sambil mengalihkan pandangan.
'Apa?'
"Teruskan." sahut Zen sambil menarik nafas.
"Sese sangat menyayangi ibunya, bahkan ia mengurus ibunya yang depresi sendirian. Ia tak pernah mengeluh. Atau meminta bantuan orang lain. Bahkan ia merasa bahwa laki-laki tidak perlu ada di dunia ini." kata Rere lagi.
Sella begitu bekerja keras di masa remajanya, ia merasa tidak perlu tergantung pada orang lain seperti ibunya yang tergantung pada ayahnya. Apabila orang itu pergi maka ia akan seperti gunung yang runtuh dan menjadi rata.
'Kalau memang benar seperti itu pengalaman hidup perempuan itu, maka akan sangat bagus kalau tuan Rega tahu. Apakah mungkin tuan akan menikahi gadis yang sudah menipunya? Atau karena demi nyonya?'
"Ck! Apa dia pikir dirinya bisa hadir didunia ini tanpa seorang laki-laki? Tekad yang aneh." sahut Zen dengan senyum smirknya.
"Benar, tuan. Menurutku juga begitu. Padahal dia juga punya seorang adik laki-laki. ini lucu." kata Rere tanpa sadar ia berjalan mendekati Zen, seolah mereka sudah sangat akrab. Tapi raut wajah Zen seketika berubah keruh, membuat Rere kembali berdiri tegak.
Rere pun menceritakan semua tentang Sella, bagaiman pertemuannya, bagaimana pengalaman dan pekerjaannya, dan juga sifat-sifatnya. Hingga tanpa terasa waktu sudah lebih dari satu jam berlalu.
Rere menghentikan ceritanya saat Zen menerima panggilan penting pada ponselnya. Lalu mengangguk pada Rere dan berkata,
"Baiklah, aku sudah mengambil kesimpulannya. Kalau kau mau selamat, kau hanya perlu memastikan ia kemari, besok. Ingat itu." kata Zen sambil berdiri.
"Tapi tuan, apa yang akan tuan lakukan padanya? Dia tidak bersalah. Saya yang sudah membawanya masuk." kata Rere hampir menangis.
"Lihat saja, apakah tuan Rega mau memaafkan gadis itu."
'Saya yang salah. Tapi aku juga tidak mau dipecat. Dan kenapa harus dengan tuan Alrega, si?'
Zen meninggalkan Rere yang mematung dalam ruangan itu sendiri, diikuti pengawalnya. Sedangkan Rere masih memikirkan hal yang paling mengerikan baginya, dipecat.
***
Sella memasuki rumahnya tempatnya beristirahat yang juga menjadi tempatnya mencari uang. Rumah yang tidak begitu besar, namun memiliki sebuah garasi di sampingnya yang dijadikan toko bahan-bahan pokok rumah tangga. Ia memulai usaha ini sejak setahun yang lalu.
Letak rumah yang cukup strategis karena berada di sisi jalan lintas menuju kota, yang selalu ramai juga sering dilewati angkutan umum kota. Meski demikian, rumah itu tak meninggalkan kesan asrinya, ada tanaman hias yang cukup banyak dan terawat dengan baik. Bahkan Flinna sering menjual tanaman-tanaman hias itu bila ada yang berminat.
Hari sudah menjelang sore ketika Sella duduk di sofa ruang tamu. Ia melihat ibunya, Runa dan Rika juga duduk dengan wajah yang menyiratkan rasa khawatir. Sementara Rejan belum pulang dari sekolah. Adik laki-laki Sella itu anak yang aktif dan senang mengikuti banyak kegiatan disekolah.
"Ada apa dengan kalian? Ibu, Runa, ada apa?"
Mereka semua saling pandang dan Flinna yang terlihat sangat ketakutan. Sebentar-sebentar melihat kearah luar jendela.
"Rika, apa kamu sudah tidak ada pekerjaan di toko?" tanya Sella.
Rika adalah asistant Sella yang membantunya mengurus toko. Gadis manis berkulit gelap itu tetangganya yang sudah tidak lagi bersekolah, dan ia sangat senang membantu Sella. Mereka sudah seperti saudara saja.
"Ada. Aku hanya khawatir saja." jawab Rika.
"Apa yang kamu kuatirkan?" tanya Sella heran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!