NovelToon NovelToon

Suamiku Anak SMA 2

Prisa Kinara Prameswari

Prisa Kinara Prameswari, gadis cantik berumur 18 tahun, yang sering di sapa Kinar itu, menengadahkan wajahnya ditengah derasnya hujan yang tengah mengguyur kota tersebut, ia mengepalkan tangan dengan amarah yang meluap-luap.

Baru saja dia mendatangi kakek dari sang ayah dan berharap bisa membantu kesulitan yang tengah di alaminya saat ini.

Namun, tanpa belas kasih sang kakek mengusirnya dari rumah megah bak istana tersebut.

Dengan perasaan berkecamuk, ia pun mulai menyeret kakinya melangkah untuk kembali menuju Rumah sakit, tempat dimana ibunya sedang di rawat.

Ckittt....

Kinar terlonjak kaget, kala mendengar suara decitan mobil tepat di hadapannya, ia terlalu larut dalam lamunannya, hingga tak menyadari jika dirinya sedang berada ditengah jalan, yang seharusnya tidak ia lewati.

Seorang pengendara mobil yang hendak menabraknya keluar dengan sedikit tergesa.

"Kamu nggak apa-apa dek?" ucapnya, hendak menyentuh bahu bergetar milik seorang gadis dihadapannya, namun urung, karena gadis itu sudah ambruk mengenai kakinya.

"Yaampun, kamu kenapa dek?" ditengah kepanikan yang melanda ia berusaha untuk membangunkannya, namun gadis itu tak kunjung bangun.

Dengan diliputi rasa khawatir, tanpa berpikir panjang ia pun segera membawanya masuk kedalam mobil mewahnya, lalu mengendarainya menuju tempat kediamannya.

"Mang, tolong bantu saya ngangkat gadis ini, saya udah nggak kuat ngangkat sendiri, pinggang saya encok nya kambuh." ucapnya, pada mang Baron penjaga rumahnya yang sudah bekerja selama 5 tahunan ini.

"Eh, baik pak!" dengan gesit ia pun segera membantunya untuk mengangkat gadis tersebut.

"Ini siapa pa, malam-malam begini bawa anak perempuan, basah kuyup, mana pingsan lagi!" seru sang istri yang tak lain adalah mama Sarah.

"Aduuhh, mama jangan berpikir yang nggak-nggak dulu, panjang ceritanya, nanti deh papa jelasin!"

"Sekarang papa mau mandi dulu, dan ini, mama tolong gantiin baju gadis ini, kasian dia kedinginan." cerocosnya, tanpa mempedulikan sang istri yang menatapnya bingung.

"Iya," balasnya, setelah menyadari sang suami telah berlalu.

Mama Sarah pun mengganti baju gadis itu, yang dibantu oleh bi Salma.

"Kalau dilihat-lihat, anaknya cantik banget ya bi." ucap mama Sarah pada bi Salma anak ART nya yang dulu.

"Iya bu, kira-kira anaknya siapa ya,?"

"Entahlah bi," balasnya lalu mulai membuka tutup minyak kayu putih, dan mengarahkannya pada hidung gadis tersebut.

Gadis itu mengerjap, sembari memegangi kepalanya yang berdenyut.

Samar-samar ia melihat 2 wanita paruh baya sedang berdiri disamping tempat ia berbaring.

"S-saya dimana?" ucapnya lirih, namun masih terdengar oleh mama Sarah dan bi Salma.

"Kamu sudah sadar nak, ayo minum air hangat dulu." mama Sarah membantunya agar duduk, dan meminumkan air hangat padanya.

"Saya dimana, dan ibu siapa?" ulangnya.

"Kamu dirumah saya, sudah jangan banyak gerak dulu, istirahatlah lagi." ucap mama Sarah seraya menutupi tubuh gadis itu dengan selimut.

"Maaf bu, tapi saya harus pergi, ibu saya sendirian dirumah sakit, dia pasti mencari saya."

"Ini sudah malam nak, lagi diluar sedang hujan deras, saya janji besok pagi-pagi langsung antar kamu menemui ibumu."

"Tapi bu."

"Sudah ya, istirahat!" lanjut mama Sarah lembut.

Akhirnya kinar pun hanya bisa menunduk pasrah, dan berdoa agar ibunya baik-baik saja.

..

"Gimana ma, sama anak gadis tadi udah sadar?" seru papa Abidzar sembari memakai kaos oblong kesayangannya.

"Udah pa, barusan dia ngerengek mau pulang, katanya ibunya lagi dirawat dirumah sakit." balas mama Sarah sembari mendudukan dirinya dipinggir kasur, dikamarnya.

"Papa dimana sih nemuin gadis itu, kok bisa sama papa?"

Papa Abidzar Pun menceritakan tentang kejadian yang dialaminya tadi.

"Jadi papa itu nggak sengaja hampir nabrak gadis itu?" seru mama Sarah, setelah mendengarkan cerita suaminya.

"Iya ma, terus pas papa keluar dari mobil, tiba-tiba dia langsung pingsan gitu, syok mungkin!"

"Tapi mama, kok kaya pernah ngelihat gadis itu sebelumnya, tapi kira-kira dimana ya pa?" ujar mama Sarah sambil berpikir.

"Ah mungkin itu perasaan mama saja, oh iya ma, besok pagi papa ada meeting sama Ando, jadi papa minta tolong, anterin gadis itu kerumah sakit ya!"

"Yaudah nggak apa-apa, sekalian mama mau jengukin ibunya juga."

..

Keesokan harinya, mama Sarah benar-benar mengantar gadis itu menuju rumah sakit, dimana tempat ibu Kinar di rawat.

"Semalam kita belum sempat kenalan kan, kenalin nama saya Sarah, panggil saja saya oma Sarah." seru mama Sarah sembari tersenyum lembut kearahnya.

"Saya Prisa Kinara Prameswari oma, biasa di panggil kinar," ucapnya dan balas tersenyum.

"Cantik sekali namanya, secantik orangnya." lanjut mama Sarah, yang tak berhenti tersenyum.

"Ah terima kasih oma!" balasnya tersipu.

"Kinar masih sekolah?"

"Udah nggak oma, Kinar udah lulus 3 bulan yang lalu, sekarang udah kerja di sebuah Cafe."

"Memangnya umur Kinar berapa tahun, terus kenapa kerja, kenapa nggak kuliah aja, oma lihat kamu masih sangat muda lho, kan sayang!"

Kinar meringis, "18 tahun oma, Kinar bukan orang berada oma, dan ibu kinar sakit-sakitan, kalau Kinar maksain kuliah, lalu siapa yang akan bekerja untuk pengobatan ibu." balas Kunar sendu.

"Yaampun, maaf ya sayang, oma tidak bermaksud buat kamu sedih begini."

"Eh tapi, kayaknya kamu seumuran sama cucu ke tiga oma deh, tapi dia laki-laki namanya El, kapan-kapan oma kenalin deh ke dia, anaknya ganteng tapi agak jutek gitu kalau sama orang baru, tapi oma pastikan kalau udah kenal deket, dia itu baik banget." cerocos mama Sarah.

Sedangkan Kinar ia hanya meringis, bingung mau menjawab apa.

.

.

"Ayo oma!" Kinar menarik lembut tangan mama Sarah agar mengikutinya.

"Safira, kamu Safira kan?" ucap mama Sarah ketika pintu ruang rawat inap itu sudah terbuka lebar.

"Bu S-sarah." ucap Safira dengan suara lemah.

"Oma kenal ibu saya?" tanya Kinar heran.

"Safira ini anaknya Warti teman seperjuangan Oma, dia juga yang paling berjasa membantu Oma dulu."

"Ibu apa kabar?" Safira memaksakan senyum, dengan bibir pucatnya.

"Baik, sangat baik, saya turut berduka cita ya Fir, atas meninggalnya Warti, maaf waktu itu saya tidak datang, karena anak saya sedang melahirkan."

"Iya bu, tidak apa-apa."

"Maaf ya bu, semalem Kinar nggak pulang." ucap Kinar memeluk sang ibu.

"Nggak apa-apa sayang."

"Dari mana kamu bisa kenal bu Sarah nak?"

"Euhm_"

"Semalem suami saya nggak sengaja hampir nabrak Kinar katanya." potong mama Sarah.

"Nar?!" Safira menatap putrinya dengan tatapan bertanya.

"Maaf bu, semalem Kinar nggak hati-hati."

"Ibu makan dulu ya, Kinar suapin." lanjut Kinar, mengambil makanan yang sudah disediakan suster disana.

Prisa Kinara Prameswari

Sebuah permintaan

Setelah menyuapi sang ibu untuk makan dan minum obat, Kinar pun segera berpamitan pada sang ibu dan mama Sarah, untuk berangkat bekerja.

"Ibu nggak apa-apa kan, kalau hari ini Kinar tinggal, Kinar janji akan pulang lebih cepat." ucapnya, sembari mengulurkan tangan untuk menyalami ibunya.

Safira mengangguk, "Hati-hati nak!"

"Iya bu, Kinar berangkat dulu,"

"Oma, Kinar berangkat dulu ya!" meraih dan mencium tangannya.

"Iya sayang, hati-hati ya!"

"Iya Oma."

Setelah kepergian Kinar, mama Sarah yang kini sering di sapa Oma Sarah itu, menatap iba kearah Safira, putri dari sahabatnya itu.

"Ceritakan pada saya, sebenarnya apa yang terjadi Fir?"

Safira terdiam, namun detik kemudian ia mulai terisak, "Saya dan Kinar di tendang dari keluarga Wijaya, karena saya tidak melahirkan anak laki-laki seperti yang mereka harapkan."

"Mana bisa begitu Fir?" Oma Sarah memekik tak percaya.

"Lalu bagai mana dengan suamimu, apa dia sama sekali tidak membelamu didepan orang tuanya?"

Safira menggeleng, "Dia sempat membela, namun sepertinya dia tak bisa berbuat apa-apa, karena pak Adiguna sudah mengancamnya, dengan alasan akan mencabut seluruh aset yang mas Surya miliki."

"Sudah gila kali ya, si Surya itu, masa lebih memilih mempertahankan harta di banding anak istrinya, ini sih namanya keterlaluan Fir." nada bicara Oma Sarah naik satu oktaf.

"Sudahlah bu, lagi pula dia sudah menikah lagi dengan gadis pilihan ayahnya."

"Kamu kok diam aja sih diperlakukan begini Fir?"

"Lalu saya harus bagaimana bu, wanita rendahan seperti saya ini tidak bisa berbuat banyak, selain menerima dengan hati yang lapang."

"Saya sudah ikhlas bu, hanya satu yang kini menjadi beban dalam hati saya, kalau seandainya saya meninggal dalam waktu dekat ini, bagai mana dengan nasib putri saya si Kinar, dia tidak punya siapa-siapa lagi selain saya." ucap Safira dengan suara yang semakin terisak.

"Kalau saya jadi kamu, mungkin saya nggak bisa sekuat itu Fir,"

"Kmu tidak boleh berbicara seperti itu, kamu pasti sembuh, saya akan usahakan agar Dokter menangani kamu segera."

"Ibu tidak usah melakukan apapun untuk saya, hanya satu yang saya pinta dari ibu, titip Kinar putri saya, ibu boleh menyuruh apapun padanya, tenaganya tidak usah diragukan, karena dari kecil dia sudah banyak belajar tentang kerasnya hidup."

"Tapi Fir?"

"Saya mohon bu."

"Bukan masalah kamu mau menitipkan Kinar pada saya Fir, justru saya akan merasa sangat senang jika Kinar putri cantik dan Ramah itu tinggal bersama saya, tapi saya juga ingin kamu sembuh Fir, kamu harus sembuh."

Lagi-lagi Safira menggeleng, "Terimakasih bu, mau menerima putri saya." Safira meraih tangan Oma lalu di genggamnya.

Oma Sarah, kembali menatap mata Safira dalam, ada perasaan lain dalam hatinya, ketika memandang wajah pucat pasi yang sedang terbaring lemah dihadapannya kini.

"Saya janji, akan merawat dan menjaga putrimu dengan sebaik-baiknya Fir, kamu tidak perlu khawatir lagi memikirkan dia ya, kalau begitu kamu beristirahatlah, saya akan datang lagi besok untuk menjengukmu."

"Baik bu, terimakasih banyak!"

Oma Sarah mengangguk, lalu melangkah keluar ruangan Safira dengan perasaan gundah.

..

Pukul 15:45 Kinar kembali kerumah sakit, gadis itu benar-benar menepati janjinya yang akan pulang lebih cepat.

"Ibu udah makan?" ucap Kinar Riang, Sedangkan Safira membalasnya dengan senyuman, senyuman yang begitu berbeda dari biasanya bagi Kinar.

"Kinar, ibu mau tanya sesuatu boleh nak?"

Kinar tersenyum, "Tentu saja boleh ibu, ibu mau bertanya soal apa, Kinar pasti jawab kok!" ucapnya antusias, Kinar yang merasa ibunya terlihat lebih segar dari biasanya, kian merasa sangat bahagia.

"Menurut Kinar, Oma Sarah baik nggak?"

"Baik, meskipun udah berumur tapi orangnya asik kok buat di ajak ngobrol, memangnya kenapa bu?" Kinar meraih tangan ibunya, lalu kemudian diciumnya, dan ditempelkannya diwajahnya, begitu seterusnya.

"Berarti kalau ibu suruh Kinar tinggal sama Oma Sarah, Kinar mau?"

"Kok tinggal sama Oma Sarah, maksudnya gimana bu, Kinar nggak ngerti."

"Yasudah jangan terlalu di pikirkan, istirahatlah nak, kamu pasti kecapean, karena seharian ini sibuk bekerja."

Meski masih kepikiran dengan kata-kata ibunya barusan, namun pada akhirnya Kinar memilih diam.

.

.

Esok harinya seperti biasa, setelah menyuapi dan memberi obat untuk ibunya, Kinar sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju Cafe tempatnya bekerja selama 3 bulan ini.

"Ibu, kinar berangkat dulu ya."

"Iya nak, hati-hati anak ibu."

"Kinar!" ucapnya, ketika Kinar tengah berjalan hendak membuka pintu.

Kinar pun kembali membalikan badannya, "Kenapa bu?"

"Sini nak, sebentar." Safira merentangkan kedua tangannya, meminta agar Kinar mendekat padanya.

"Ibu kenapa?" ucap Kinar yang merasa tubuh ibunya bergetar ketika memeluknya.

"Ibu cuma lagi pengen peluk Kinar aja." mengusap sudut matanya yang berair.

"Ibu boleh minta sesuatu pada Kinar?"

"Ibu mau apa, bilang sama Kinar, Kinar bakal usahain nyari buat ibu."

"Ibu minta beliin bunga mawar ya nak, tapi yang udah di rontokin, jangan sama tangkainya."

Mendengar permintaan sang ibu yang terasa aneh membuatnya kini mendadak kaku, pasalnya permintaan sang ibu kali ini terasa sangat berbeda dan aneh tentunya.

Namun karena tak ingin membuat sang ibu kecewa, akhirnya ia pun mengiyakan permintaannya.

"Yaudah pulang kerja kinar bakal cariin pesenan ibu ya, sekarang ibu istirahat dulu, biar cepat sehat." menyelimuti tubuh sang ibu dengan selimut.

..

"Hai Kinar," Sapa Mia sahabat baik sekaligus partner di tempat kerjanya.

"Hai Mi, cantik banget kamu hari ini." puji Kinar, karena tidak biasanya gadis itu berdandan mencolok seperti itu.

"Hehe, aku lagi belajar dandan nih, kata ibuku anak perempuan itu harus pintar merawat diri, biar nggak jadi perawan tua." kekehnya.

Sedangkan Kinar ia hanya menggelengkan kepala mendengar ocehan sahabatnya tersebut.

"Percuma elo mah Mi, mau di make up in setebal apa juga, hasilnya nggak bikin seorang Mia jadi cantik, mirip badut iya!" Fahmi yang baru datang ikut menyambar sambil tergelak.

"Eh dasar ya, awas aja entar lo tergila-gila sama gue!" balas Mia tak terima.

"Mimpi!" sahut Fahmi bergegas melangkah pergi, sebelum Mia melayangkan sepatu ketsnya kearah kepalanya seperti biasa.

"Aku heran deh sama kalian, tiap ketemu bawaannya Berantem terus, Kalian berdua tuh kapan akurnya_"

"Nggak akan!" jawab mereka serempak, rupanya Fahmi pun sudah kembali dengan membawa lap di tangannya.

"Elaahhh si duo curut, kalau udah jatuh cinta aja lo, entar bucinnya kebangetan," timpal Arkan yang sedang merapikan meja dan kursi.

"Mana ada gue jatuh cinta sama dia, cih Najis!" Mia mengetuk kepalanya dua kali, seolah mengatakan amit-amit jangan sampai perkataan Arkan itu menjadi kenyataan.

"Eh lo pikir gue mau sama badut, model elo!" kini Fahmi melempar lap ditangannya kearah wajah Mia.

yang seketika membuat Mia meradang, dan melemparkan kata-kata pedas, yang membuat Arkan dan Kinar tertawa melihat aksi keduanya.

"Ihs, kamu dari tadi ketawa terus, kamu pasti lagi ngetawain aku sama si curut itu ya?" ucap Mia dengan bibir mengerucut.

"Lagian kamu tuh lucu banget kalau lagi berantem sama si Fahmi, kaya gimana gitu!" balas Dara sembari memegang perutnya yang terasa melilit akibat terus tertawa.

Tanpa ia sadari kesedihan besar sedang menantinya..

.

.

Permintaan terakhir

Oma Sarah yang berniat untuk menemui kembali Safira pagi ini ia urungkan, karena harus menemani cucu perempuannya, menonton film kartun kesukaannya, si kembar botak pemangsa ayam goreng.

Sedangkan Nada, harus mengikuti rapat orang tua murid, disekolah anak bungsunya, Emily Cantika putri, yang kini berusia 10 tahun itu.

Bibi yang biasa bekerja dirumah nya sedang cuti, karena orang tuanya sedang sakit keras.

"Oma, pacaran itu apa sih?" tanya Cantika tiba-tiba dengan polosnya.

"Apa sih sayang, masih kecil nggak boleh ngomong pacar-pacaran ah, pamali!" oma Sarah mengelus kepala cucu kecil nya itu.

"Lagian siapa sih yang bilang begitu, hm?"

"Bang Satria yang bilang, katanya pacaran itu enak, Tika kan jadi penasaran pengen nyobain Oma, bang Satria pelit nggak pernah ngasih tika." ujar gadis itu dengan bibir mengerucut.

Sontak Oma Sarah pun membelalakan mata, kekacauan apa lagi yang di buat si Satria batinnya menggerutu. "Tika sayang dengar Oma nak, Pacaran itu hanya untuk orang dewasa, anak kecil seperti Tika ini belum di perbolehkan."

"Begitu ya Oma?" tanyanya kembali dengan polosnya.

"Betul sayang."

..

"Abanggg!" Cantika Berlari memeluk sang abang yang baru saja menyembul dari balik pintu.

"Etdah napa tu bocah!" ucap Satya yang berjalan di belakang Satria.

"Kenapa sih lu dek, peluk-peluk abang segala, abang tahu nih, pasti ada mau nya kan?" karena biasanya sang adik tidak mau berdekatan dengannya kecuali dengan El, kakak tertuanya.

Satria kemudian menunduk, mensejajarkan tubuhnya dengan sang adik, yang porsi tubuhnya sangat jauh berbeda.

"Ihs, apaan sih abang, suudzon deh," menepis tangan sang abang yang berada dikedua pundak nya.

"Terus apa, halaahh.. ngaku aja deh!" Satria bersikukuh.

"Ihs abang kaya bocah!" Cantika mengerucut kan bibir nya, kesal pada sang abang.

"Dih, bocah ngatain bocah, abang udah gede kali dek, udah punya pacar!" balas Satria sembari melangkahkan kakinya menuju sofa, lalu mendudukan dirinya Disana.

Sedangkan Satya sudah terlebih dulu pergi entah ke Mana?

"Abang, kata Oma masih kecil itu nggak boleh pacaran, nanti aja kalau udah dewasa." Cantika ikut mendudukan diri Disamping sang kakak.

"Iyalah bocil ngapain pacaran, kalau abang emang udah gede, Dan udah boleh pacaran."

"Masa sih, bang El aja belum pernah pacaran?" gadis kecil itu memutar bola mata, layaknya sedang berpikir keras.

"Nggak usah dipikirin bocil, kalau soal bang El, itu sih dia jomblo!" Satria mencubit pipi sang adik gemas.

"Jomblo itu apa sih bang?"

"Udah ya dek, abang lagi males ngobrol, entar kalau Tika udah dewasa juga tahu kok."

bersamaan dengan pintu yang kembali terbuka, menampilkan sosok sang kakak yang baru saja pulang sekolah.

"Abang udah pulang?" dengan mata berbinar, cantika memeluk sang kakak dengan erat, sedangkan Satria mulai asik dengan benda pipih ditangannya.

Laki-laki yang sering di sapa El itu Mengusap pelan rambut sang adik, lalu mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi, hingga membuat sang adik tertawa Riang.

"Bunda kemana dek?"

"Lagi masak bang."

"Yaudah abang nemuin bunda dulu ya!" mencolek hidung sang adik menggunakan telunjuknya, lalu berjalan kearah dapur.

..

..

Sore kembali menyapa, Kinar pun segera bersiap-siap untuk pulang Dan menemui ibunya di Rumah sakit.

Sepanjang melewati koridor Rumah sakit ia tak berhenti untuk tersenyum, sembari menenteng sebuah plastik yang berisi kelopak mawar pesanan sang ibu.

"Ibu Kinar Dat_"

Seketika ucapannya terhenti, kala mendapati ruang inap sang ibu telah kosong.

Namun, tak ingin putus asa ia pun bergegas membuka kamar mandi yang berada di ruangan tersebut, akan tetapi hasilnya nihil, semuanya kosong!

Dengan perasaan yang berkecamuk, Kinar pun berlari untuk mencari keberadaan suster yang mengecek Keadaan ibunya tadi pagi.

"S-sus, ibu saya di pindah kemana?" tanyanya dengan tubuh bergetar.

Sedangkan suster itu menatap iba pada gadis yang berdiri di hadapannya kini, ada rasa tak tega untuk memberitahunya, namun cepat atau lambat ia pun harus segera memberitahunya.

"Mari ikut saya!"

Dengan sedikit ragu, Kinar pun mengikuti langkah sang suster, dan ia terus berdoa dalam hati, berharap saat ini ibunya sedang dalam Keadaan baik-baik saja.

Kamar Jenazah

Begitulah tulisan yang terpampang jelas di atas pintu di hadapannya, ketika suster itu menghentikan langkahnya Disana.

Kinar menggeleng lemah, tidak mungkin, pasti ia salah lihat batinnya.

"Ayo dek, silahkan!" suster itu menggiring tubuh Kinar yang sudah mulai gontai, dengan kedua kakinya yang mulai lemas.

Perlahan sang suster mulai membuka penutup kain putih yang terbentang di atas salah satu brankar yang berjejer di ruangan tersebut.

"Maaf dek, ibu anda sudah meninggal 3 jam yang lalu, pihak kami sudah berusaha menghubungi tadi, tapi sepertinya nomor ponsel anda sedang tidak aktif." terang suster.

Kinar menutup mulutnya tak percaya, ketika mendapati sosok yang begitu ia cintai telah terbujur kaku, dengan wajah yang pucat pasi.

"Tidak, dia bukan ibu, itu tidak mungkin ibu!" ucapnya lirih, bersamaan dengan air matanya yang berjatuhan membanjiri pipi putihnya.

Tubuhnya luruh seketika, Terduduk lemas diatas lantai dengan wajah menunduk, hatinya kini menjerit sakit yang tiada duanya.

"Tidak ibu," gadis itu berdiri sekuat tenaga, memandang kembali wajah pucat pasi yang terlentang diatas brankar.

Tangisnya seketika pecah, lalu mengguncang-guncang tubuh sang ibu, berharap bisa terbangun kembali, lalu memeluknya seperti biasa.

Ia terus menangis, hingga hal yang terakhir ia rasakan adalah kepalanya pening Dan terasa berputar.

.

Kinar mengerjap, sembari memegangi sisi kepalanya yang Berdenyut nyeri, lalu ia menatap sekeliling memperhatikan ruangan yang ber cat putih, serta melihat adanya beberapa peralatan medis disana.

Ia yakin saat ini Ia sedang berada di sebuah rumah sakit, Ia meringis kembali memegangi kepalanya, mengingat mimpi yang terasa begitu nyata.

Tiba-tiba seseorang datang Dan membuka pintu, Ia tersenyum Ramah kearahnya.

"Kinar sudah bangun nak?"

Kinar mengangguk, "Oma kok disini?"

Oma Sarah menggeser kursi plastik yang berada Disamping Kinar, lalu mendudukan diri Disana.

"Kata suster tadi Kinar pingsan,"

Oma Sarah terdiam, menjeda ucapannya sebentar.

"Oma turut berduka ya nak, Kinar yang ikhlas yang sabar ya nak, doakan ibumu agar mendapatkan tempat terbaik di sisiNya."

Seketika tubuh Kinar kembali membeku, benarkah ternyata bayangan yang melekat dalam ingatannya itu bukanlah sebuah mimpi, melainkan kenyataan yang sebenarnya.

Ia pun kembali menangis dalam pelukan Oma Sarah yang juga ikut menangisinya.

..

Awan hitam yang menggantung di langit, menambah suasana duka semakin terasa, Dan suasana mendung itu terus mengiringi prosesi pemakaman Safira hingga selesai di kebumikan.

Kinar menatap nanar pada tumpukan tanah merah, yang berhiaskan kelopak mawar yang dibelinya kemarin sore atas pesanan ibunya.

Ia semakin terisak di pelukan sang Oma yang terus menemani Dan menyemangatinya.

Tak menyangka jika itu adalah sebuah permintaan terakhir dari sang ibu.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!