"Woyy!!"
"Eh busett. Ngagetin aja lu!" Angga tersentak dari lamunannya.
"Nah lu. Segitunya banget ngeliatin dewi kampus sampai ga sadar kalau temennya dateng," ujar Beno sahabat Angga sambil terkekeh.
"Yaelah bos. Merusak kesenangan aja lu, anjir." cibir Angga senewen.
"Wkwkwk..nasib penggemar rahasia. Cuma bisa memandang, tak berani terus terang, apalagi memegang.." imbuh Beno semakin terbahak.
"Diem lu. Suka suka gua lah!" Angga melotot sensi. Beno hanya menatap sambil senyam-senyum jahil.
Angga, bernama lengkap Pujangga Delta. Mahasiswa tingkat akhir jurusan Kesehatan Masyarakat di sebuah universitas ternama di kota Surebay. Pemuda berusia 23 Tahun ini memiliki perawakan tinggi dan atletis. Hidungnya mancung dan wajah yang tampan seolah semi kearab-araban. Padahal dari garis keturunan orangtuanya tak ada satupun darah arab yang mengalir disana.
Angga berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang penjahit, dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Angga adalah anak satu-satunya dari keluarga tersebut.
Lawan bicara Angga adalah Beno, lengkapnya adalah Beno Hariyadi. Sahabat terdekat Angga yang juga berkuliah satu jurusan dengan Angga. Wajah Beno tak kalah tampan dibanding Angga. Hanya saja wajah Beno cenderung ramping dan imut. Jenis wajah baby face unyu-unyu.
"Nay, apa kabar hari ini?. Makin cantik aja deh kamu.." sapa Beno saat seorang gadis cantik melintas didepan mereka.
"Hai. Kabar baik. Haha makasih om atas pujiannya," jawab pemilik nama Naya dengan riang.
"Lah..om katanya, asem tenan!" Beno pura-pura manyun.
"Haha sori canda, iye maaf mas bro.." lanjut Naya sambil berlalu meninggalkan Beno.
"Eh Nay, dapet salam dari penggemarmu.." teriak Beno.
"Siapa?" Naya menghentikan langkahnya.
"Nih om-om ganjen disebelah gue haha.." ujar Beno iseng. Merasa menjadi bahan guyonan, Angga melotot sadis. Namun Beno cuek saja seolah tak peduli pada ancaman mata Angga.
"Bisa aja lu bro. Salam balik deh hehe. Udah ya, gue buru-buru nih dipanggil dekan, bye.." Naya tersenyum manis dan berlalu. Beno masih cengengesan menatap Angga. Sebaliknya, Angga terbengong-bengong setelah mendapatkan salam balik plus senyum manis dari sang primadona kampus.
Inaya Kartika Dewi, gadis cantik dari keluarga kaya raya. Ia anak seorang CEO perusahaan besar di Indonesia. Wajahnya cantik seperti barbie, hidung yang mancung, kulit putih, rambut panjang sedikit bergelombang, ditunjang postur tubuh dengan tinggi dan berat badan yang proporsional. Wanita berusia 22 Tahun ini adalah idola nomer wachid di kampus. Dari mahasiswa hingga dosen memuji kecantikannya. Secara alami ia telah dinobatkan sebagai dewi idola kampus. Naya berasal dari jurusan Humas, berbeda dengan jurusan dimana Angga dan Beno berada.
"Eh Ben, tau Naya ga?" seorang gadis cantik bernama Rena bertanya kepada Beno. Rena adalah sahabat satu jurusan dengan Naya.
"Kasih tahu ga ya.." goda Beno.
"Ish lu yah!!" bentak gadis lain bernama Sisi. Ia juga sahabat Naya satu jurusan.
"Ups..selow mbak bro. Ga usah esmoni, apalagi erosi hahaha. Naya ke ruang dekan katanya." Ucap Beno santai.
"Ok makasih, Ben." Balas Rena dan segera berlalu bersama Sisi menyusul Naya ke ruang dekan.
"Eh lu ya, Ngga. Saran gue nih ya. Buruan PDKT ke Naya kalau emang lu naksir ama dia. Penggemar Naya itu ribuan tau ga. Kalau keduluan orang bisa gigit semvak lu!" tatapan Beno kearah Angga kali ini terkesan serius.
"Gigit jari kalee.." sanggah Angga.
"Udah umum. Yang belum ada tuh gigit semvak. Lebih asyik dengan aroma yang spesifik wkwkwk," tawa Beno kembali menyeruak. Angga tak menanggapi. Ia kembali terdiam memikirkan saran sahabat terbaiknya tersebut. Tapi lagi-lagi rasa minder menggelayuti hati Angga.
"Jangan kelamaan mikir. Keburu tua lu." Imbuh Beno.
"Dicari kemana-mana eh kalian disini rupanya.." Fikri muncul didepan Angga dan Beno. Fikri adalah sahabat Angga dan Beno. Mereka menamai kekompakan yang ada dengan sebutan trio gatoloco. Entah apa yang melatarbelakangi penggunaan nama tersebut. Namun yang pasti mereka bertiga adalah sahabat sejak SD dan sudah sangat akrab layaknya saudara.
Fikri mungkin tak terlalu tampan dibanding Angga dan Beno. Meski berhidung mancung, kulitnya terkesan lebih gelap dibanding dua sahabatnya. Namun Fikri adalah pemuda yang smart. Hampir disetiap semester ia memimpin puncak klasemen perolehan nilai akademis tertinggi di jurusan yang sama dengan Angga dan Beno.
"Ada apa, Kri?" tanya Angga penasaran.
"Kita dipanggil Pak Herson. Ada hal penting yang harus disampaikan katanya.." lanjut Fikri.
"Ya udah yuk kita kemon bro," ajak Beno untuk memenuhi panggilan dosen mereka.
***
"Jadi begini saudara-saudara. Ada undangan dari Dinas Kesehatan untuk mendukung acara kunjungan mereka ke pulau Biwian. Bapak Rektor mengutus beberapa perwakilan dari jurusan Kesehatan Masyarakat dan Humas untuk mengikuti acara tersebut.." seorang dosen patologi bernama Herson menyampaikan maksud dan tujuan mengapa ia memanggil trio gatoloco. Sejenak ia membetulkan letak dudukan kacamata sebelum melanjutkan penjelasannya.
"Anda bertiga ditambah dengan Nila dan Gayatri dari jurusan Kesehatan Masyarakat ditunjuk sebagai perwakilan. Penunjukan ini bukan tanpa alasan. Nilai kalian berlima yang selalu menduduki peringkat 5 besar menjadi satu alasan utama. Saya harap anda bersedia mengikuti acara ini," sambung Pak Herson berwibawa.
"Kami siap, Pak. Sebuah kehormatan mewakili kampus ini dan membawa nama baik almamater ke dunia luar. Kira-kira kapan berangkatnya, dan siapa saja selain kami yang ikut, Pak?" Angga mewakili kedua sahabatnya menyanggupi permintaan pihak kampus. Tanpa meminta persetujuan kedua rekannya terlebih dahulu, ia cukup yakin jika mereka akan setuju atas keputusannya. Sudah menjadi kelumrahan bagi mereka bertiga untuk selalu kompak dimanapun berada. Ada satu orang, maka dua lainnya akan ikut ada. Terkecuali jika mengalami uzur seperti sedang sakit atau keadaan urgensi lainnya.
"Setelah ini anda silahkan berkumpul di aula. Disana anda akan bertemu dengan rekan dari jurusan lain dan komponen kampus yang akan ikut dalam kegiatan ini." pungkas Pak Herson mengakhiri penjelasan.
"Siap, Pak." Jawab ketiganya kompak.
***
"Saudara sekalian. Disini saya akan menjelaskan tentang rencana dan persiapan untuk mengikuti kegiatan Dinas Kesehatan ke pulau Biwian.." Pak Gatot sebagai Rektor kampus dengan lugas memberikan pengarahan kepada semua yang hadir di aula.
"Kegiatan ini adalah terkait penyuluhan kesehatan, pemberian bantuan kesehatan, serta wawancara dengan penduduk lokal. Kegiatan akan memakan waktu 3 hari, dimulai dengan keberangkatan besok pagi. Anda semua silahkan berkumpul di pelabuhan kota Grassick besok maksimal pukul 7 pagi karena kapal feri akan segera berlabuh pukul 8 tepat. Dari jurusan Kesehatan Masyarakat kami menunjuk Angga, Beno, Fikri, dan Nila dan Gayatri sebagai perwakilan. Dari jurusan Humas kami menunjuk Inaya, Serena, Sisi, Jaka, dan juga Ridho. Sedangkan dari Fakultas teknik kami melibatkan Candra, Gino, dan Sisca untuk ikut mendukung. Sebenarnya Fakultas teknik adalah diluar wacana kunjungan. Namun saya melihat bahwa perkembangan pembangunan di pulau Biwian juga perlu untuk diamati dan dapat kita gunakan sebagai bahan studi materi perkuliahan. Sampai disini ada pertanyaan?" Pak Gatot memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk bertanya.
"Ya, silahkan." Fikri mengangkat tangannya dan dipersilahkan oleh Pak Gatot untuk bertanya.
"Kita memiliki agenda kegiatan sendiri atau mengikuti program kegiatan dari Dinas, Pak?" tanya Fikri.
"Tempatkan posisi anda seolah sebagai mahasiswa magang. Anda semua diperbantukan untuk mendukung acara Dinas terkait. Terkecuali perwakilan dari Fakultas Teknik, memiliki program sendiri untuk mempelajari kondisi bangunan, jalan raya, dan semua komponen teknik disana." terang Pak Gatot mendetail. Di lain sisi, sekilas nampak tatapan tidak suka Beno kearah tiga mahasiswa teknik.
"Pak. Makan dan tidurnya bagaimana?, saya takut kelaparan hehe.." Jaka dari pihak mahasiswa Humas dengan lucu bertanya. Semua menjadi riuh akibat pertanyaan Jaka.
"Hahaha..anda tidak akan tidur di emperan toko tentunya!" canda Rektor. Semua ikut tertawa, kecuali tiga mahasiswa teknik yang sepertinya merasa asing disana.
"Perwakilan dosen ada yang ikut, Pak?" tanya Rena.
"Akan ikut serta bersama anda adalah Pak Herson sebagai perwakilan dosen dan Pak Bagaskara sebagai perwakilan keamanan kampus. Informasi dari mereka, sepertinya istri Pak Herson dan anak dari Pak Bagaskara akan ikut juga." Lagi-lagi Pak Gatot menjawab.
"Baiklah jika tidak ada pertanyaan. Kita cukupkan pertemuan sampai disini. Hari ini anda akan dipulangkan lebih awal agar bisa melakukan persiapan dan berpamitan kepada orangtua di rumah. Saya harap besok pagi anda dapat datang tepat waktu di pelabuhan. Satu lagi pesan saya, jaga nama baik kampus kita di mata masyarakat. Baiklah, selamat jalan untuk anda semua. Jaga kesehatan dan semoga selamat hingga kembali nanti." Pak Gatot mengakhiri penjelasan dan bergegas pergi meninggalkan aula.
"Ish ish.. dewi persik ikut-ikutan berangkat nih. Ati-ati lu pingsan dijalan hahaha.." cibir Sisca dari Fakultas teknik. Sisca dan dua perwakilan teknik lainnya adalah tiga bersaudara. Sisca adalah adik dari Candra. Sedangkan Gino adalah sepupu Sisca. Mereka bertiga terkenal sebagai biang onar di kampus. Keahlian Gino dalam beladiri ditunjang arogansi Sisca dan Candra, membuat mereka terbiasa congkak dan sombong.
"Jaga mulut lu!!" mata Naya memandang tajam ke arah Sisca.
"Udah deh. Ga usah digubris lah para manusia lemah ini. Buang-buang energi saja!" ucap Gino jumawa. Candra memberi isyarat dengan gerakan kepalanya untuk mengajak meninggalkan tempat itu.
"Beuh, sombong kalee. Udah berasa hebat tuh mereka.." rutuk Sisi jengkel. Diseberang mereka nampak Angga dan Beno memperhatikan sekilas perseteruan antara kubu Humas dan kubu Teknik. Dalam hati Angga juga mengamini ucapan Naya dan Sisi. Tingkah laku trio sombong memang benar-benar menjengkelkan.
"Ehm..berarti total ada 17 orang ya dari pihak kampus, termasuk istri Pak Herson dan anaknya Pak Bagas," ucap Angga kepada Beno dan Fikri mengkonfirmasi.
"Iyee. Makanya lu disana jangan macem-macemin Naya ye. Tar kita pulangnya jadi 18 wkwkwk.." canda Beno.
"Wohh. Sontoloyo!" semprot Angga sewot.
"Eh bro. Kira-kira apa ya motif dari istri Pak Herson dan anak Pak Bagaskara kok bisa ikut di acara ini?. Secara, ini kan kegiatan kampus," ungkap Fikri Akbar penasaran.
"Mungkin ada kegiatan mereka yang juga bersamaan disana, atau mungkin punya sanak keluarga di pulau itu, atau..."
"Hop..stop!" belum selesai Angga menanggapi ucapan Fikri, kalimat Angga sudah dipotong paksa oleh Beno.
"Halah terlalu serius lu pada. Mikirnya kejauhan. Nih gue kasih tau ye, motif mereka cuma satu!" ucap Beno sotoy.
"Apaa?" paduan suara Angga dan Fikri kompak. Namun sayangnya fals tak tertolong.
"Kurang Piknik. Wkwkwk."
***
Pagi yang cerah. Hamparan permadani biru terbentang luas nun jauh diatas sana. Tak ada secuilpun putih kapasnya menampakkan wujud. Sulur cahaya kuning keemasan memulaskan coretan indah diantara tebaran dominasi si biru. Basah embun didedaunan memantulkan kerling mentari. Riak buih bermunculan ditepian jajaran kapal yang sedang berbaris rapi di Pelabuhan Grassick.
"Udah lengkap semua Ben perbekalan lu, ga ada yang lupa?" tanya Angga sesaat mereka bertemu di pelataran pelabuhan.
"Rebes, Sob." jawab Beno singkat.
"Lu, Ri. Bekal nasi dari nyokap ga lupa kan?. Kebiasaan lu kalau perut kosong suka muntah tanpa permisi gitu!" ucap Angga lagi namun kali ini kepada Fahri yang berjalan mengekor dibelakang Beno.
"Nyokap kurang enak badan bro. Gapapalah tar bisa beli nasi dikapal," balas Fikri ringan.
Dilain sudut terlihat Naya, Rena, dan Sisi juga tengah berkumpul.
"Udah siap nih Bu CEO ikut kegiatan lapangan? Haha," goda Rena kepada Naya.
"Huss..bokap noh yang CEO. Aku mah apa atuh. Cuma rontokan bumbu mi instan." Tampik Naya.
"Mie korea dong. Ga jamannya sekarang makan mi instan hihi," seloroh Sisi menimpali.
"Apaan sih..hahahaha" ketiganya tertawa bersama mendapati obrolan mereka yang ga jelas. Bertiga mereka akhirnya berjalan menuju kursi tunggu pelabuhan. Seiring dengan trio gatoloco yang juga sedang mengarah kesana.
"Halo selamat pagi semua. Perkenalkan, saya dokter Frans dari Dinas Kesehatan yang akan memimpin sekaligus sebagai penanggung jawab selama kegiatan di Pulau Biwian. Selamat datang kepada adik-adik perwakilan Universitas Airgangga beserta Bapak Ibu dosen pendamping. Sejenak kita akan melakukan briefing sebelum memulai kegiatan," diruang tunggu pelabuhan, dokter Frans memimpin koordinasi.
"Sedikit wacana untuk semua. Pulau Biwian terletak 4-5 jam perjalanan feri diutara Kabupaten Grassick. Pulau ini masuk sebagai bagian dari Kabupaten Grassick. Dari pengalaman observasi beberapa tahun yang lalu ditemukan beberapa kelangkaan dan keterpencilan. Sebagai contoh adalah ketika terjadi sakit, maka pasien hanya akan ditangani dilevel puskesmas semaksimal mungkin. Disana tidak ada rumah sakit. Jadi separah apapun penyakitnya, pasirn harus cukup puas ditangani puskemas. Kita semua tahu bahwa kecepatan feri yang menyeberang adalah 4-5 jam. Itu artinya bahwa misal dilakukan rujukan ke rumah sakit di kota Grassick maka pasien harus kembali bersabar terombang-ambing di lautan dalam beberapa jam. Dan mirisnya lagi, jadwal kapal feri ke arah sana atau sebaliknya tidaklah setiap hari. Anda semua dapat membayangkan betapa sulitnya harapan ketika terjadi sakit. Contoh berikutnya adalah mayoritas penduduk laki-laki disana terbiasa merantau ke luar pulau atau bahkan ke luat negeri untuk bekerja. Jarak pulau Biwian ke negara Malaysia di semenanjung pulau Cumamantan jauh lebih dekat ketimbang jarak pulau Biwian ke induk kota Grassick. Praktis hanya tersisa mayoritas kaum hawa di pulau Biwian. Kegiatan seperti distribusi alat kesehatan, mobilitas bagi pasien, dan sebagainya menjadi cukup menurun. Belum lagi SPBU disana hanya ada di satu tempat untuk melayani satu pulau." Sejenak dokter Frans berhenti dan mengatur napas.
"Oleh karena itulah hari ini kita akan datang kesana. Memberikan bantuan terutama untuk kebutuhan kesehatan. Memberikan penyuluhan kesehatan yang tepat yang mengena. Wawancara dan jajak pendapat juga diperlukan untuk mengakomodasi jeritan masyarakat disana. Kami dari Dinas Kesehatan diwakili oleh 20 orang termasuk saya. Silahkan adik-adik mahasiswa nanti saling berkenalan sendiri karena briefing ini bukanlah acara halal bihalal haha. Demikian yang dapat saya sampaikan. Lebih lanjutnya silahkan intensif berkoordinasi selama acara berlangsung." Dokter Frans mengakhiri sambutannya. Sedikit humor segar ia sisipkan untuk mengeliminasi ketegangan terutama bagi para mahasiswa yang baru kali pertama mengikuti kegiatan.
Setengah jam berikutnya seluruh tim sudah berada diatas kapal feri yang perlahan bertolak meninggalkan Pelabuhan Grassick.
"Wah indahnya, Nay." senyum Rena riang sambil menatap hamparan laut yang bergelombang lembut. Naya ikut tersenyum. Rena, Naya, dan Sisi sedang berdiri di tepian feri sambil menatap takjub.
"Diatas perahu, memandang keindahan alam, ditemani kekasih tersayang..uuh pasti nyaman," ucap Sisi berimajinasi.
"Yaelah, aturan cari dulu kekasihnya. Baru deh berimajinasi. Kalau jomblowati hanya bisa berandai-andai itu namanya halu, hahaha.." seloroh Naya menggoda Sisi.
"Cariin napa.. tapi yang cakep yah. 11-12 oppa korea gitoh hihi," sambut Sisi semakin menghalu.
"Hahaha...tiga orang cewek manja, ga guna banget ikut acara beginian. Cuma jadi beban aja." Tiba-tiba Sisca muncul bersama kedua saudara sombongnya. Sontak suasana riang dari ketiga dara menjadi terkacaukan.
"Bukan urusan lu!" bentak Rena galak.
"Ish ish ish. Dari kemarin cuma bisa ngomong, bukan urusan lu. Haha.. dasar bego." balas Sisca tak mau kalah.
"Hei..kalian kenapa cuma bisa gangguin orang sih?!" Jaka yang juga teman satu jurusan dengan ketiga dara muncul ingin membantu ketika melihat tiga kawanan pengacau mengusik ketenangan teman-teman Jaka.
"Eh lu udik, ga usah ikut campur dah. Gua beri juga lu tar!" Candra menimpali sembari mengisyaratkan kepalan tangannya ke arah Jaka.
Jaka tersenyum kecut, tak berani membalas ucapan Candra. Siapa yang tak tahu Candra bersaudara di kampus?. Tukang bikin onar. Suka membully mahasiswa lainnya. Preman pasar berkedok jas almamater.
"Wait..wait. Ada apa ini ha?" demi melihat keributan di sisi kapal, trio gatoloco segera merapat diantara para mahasiswa yang sedang bersitegang. Beno angkat bicara menengahi. Namun, Jaka hanya diam. Ia tak mampu lagi berkata-kata ketika menerima tatapan mengancam dari Candra.
"Hahaha..trio kutu buku mo ikut-ikutan jadi pahlawan?" cibir Candra sok hebat. Ia belum pernah tahu bagaimana kiprah Angga di bidang beladiri. Selama ini trio gatoloco cenderung menghindari perkelahian dan kekerasan. Mereka hanya ingin belajar dengan tenang di kampus. Sudah lelah kiranya berlangganan keluar masuk ruang Bimbingan Konseling selama masa bangku sekolah dulu.
"Bukan begitu bro. Gue hanya mengingatkan. Kita ini tamu disini. Tuan rumahnya adalah Dinas Kesehatan. Jangan bikin malu Pak Herson lah.." lanjut Beno dengan tenang. Meski ia tak sehebat Angga dalam ilmu beladiri, tapi ia masih merasa mampu untuk mengatasi seorang Candra. Lain cerita jika yang bergerak adalah Gino hehe. semua penghuni kampus sangat paham bahwa Gino yang mahir dalam ilmu beladiri. Sisca dan Candra hanya bermodal omong besar serta bersembunyi dibalik ketiak Gino.
"Sudah bro. Lebih baik kita menyingkir," ajak Gino. Bukan Gino takut, tapi lebih pada insting. Gino merasakan bahwa ada ahli beladiri lainnya diantara mereka. Untuk saat-saat ini ia tak ingin mencari masalah.
"Makasih, Ben. Untungnya kalian datang. Makin hari makin ngelunjak aja tuh pada," Rena merasa terbantu dengan kehadiran Beno dan teman-temannya. Tanpa ada yang mengetahui, Angga dan Naya saling bertatapan mata. Tak ada kata, hanya kedalaman jiwa yang meraba.
"Widiih..jempol buat kalian yang berani melawan Candra an the genk. Mulai sekarang kita pren ya bro..hehe," Jaka ikut berbicara. Nampaknya ia kini memiliki pelindung dari gangguan trio sombong.
Kapal feri berlabuh kian jauh meninggalkan kota Grassick. Untuk menjaga suasana tetap kondusif, kini trio gatoloco bergabung bersama kelompok Naya dan Jaka. Dengan kebersamaan mereka merasa lebih kuat.
"Huekk..."
"Lah lah Fikri, napa lu muntah segala. Yaelah dodol. Malu-maluin aja lu.." Beno berteriak panik. Fikri yang sebelumnya selalu diam tiba-tiba saja mengalami mabuk laut. Tapi Angga tak peduli. Terlihat ia sibuk berbicara berdua dengan Naya.
"Oh kamu aslinya Kedili to. Wah sama seperti papaku, beliau juga asli sana," antusias Naya menanggapi obrolan bersama Angga.
"Lho, Kedili mana?" tanya Angga lebih lanjut.
"Pari." jawab Naya.
Waktu terus berjalan. Kedekatan demi kedekatan merebak bersemi diantara Angga dan Naya. Tunbuh rasa nyaman ketika mereka berdua berteman. Selama ini mereka tak pernah ada komunikasi. Jangankan menyapa, sekilas tersenyumpun mereka tak pernah melakukannya. Berbeda jurusan, berbeda tingkat ekonomi, berbeda teman bergaul membuat mereka tak pernah mengenal satu sama lain meskipun ada tumbuh rasa simpatik hanya dari sekedar pandangan mata.
"Asoy...itu pulau Biwian sudah terlihat!" teriak Jaka antusias. Semua segera menoleh pada aeah yang ditunjukkan Jaka. ini kali pertama bagi mahasiswa melihat pulau Biwian secara langsung.
***
"Angga. Saya berpesan. Jagalah komunikasi yang baik dan tetap dalam kekompakan. Saya melihat bahwa anda yang paling superior dan tenang diantara semua mahasiswa yang ikut. Saya harap anda dapat berkoordinasi dengan saya lebih baik." Pak Herson perlahan mendekati tempat dimana Angga dan Naya sedang berbicara sesaat sebelum kapal bersandar ke dermaga pulau Biwian. Naya ikut memperhatikan apa yang sedang Pak Herson sampaikan. Ia paham bahwa beban harga diri kampus sekarang ada di pundak Pak Herson karena beliaulah satu-satunya perwakilan dosen yang ikut serta. Sedangkan kehadiran Pak Bagaskara hanyalah andil dalam hal keamanan dan akomodasi.
"Baik, Pak. Terimakasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya. Mohon bimbingannya," jawab Angga santun.
"Oya buat Naya. Anda dan teman-teman anda lainnya saya harap bisa mendengarkan apa yang Angga sampaikan nantinya. Anggap saja Angga adalah wakil saya disini. Saya paham, anda merasa tidak nyaman dengan kehadiran anak-anak Teknik. Saya juga sering melihat bagaimana upaya mereka mengganggu rekan sesama mahasiswa di kampus. Tapi bagaimanapun juga kita harus mengikuti apa yang telah diatur oleh Bapak Rektor. Beliau yang meminta adanya keikutsertaan Fakultas Teknik. Jadi saya harap anda bisa maklum. Anggap saja mereka tidak ada jika itu bisa membuat anda semua nyaman," nasehat Pak Herson kepada Naya mewakili teman-temannya.
"Siap, Pak. Syukurlah saya sudah ada komunitas dengan Angga tadi. Sebelumnya saya ini tidak kenal dengan Angga loh, Pak." ucap Naya sembari melirik lembut ke arah Angga.
"Ayo semua, siapkan bawaan anda. Kita akan segera turun!" teriak dokter Frans dari kejauhan.
***
Nyiur melambai. Gemerisik suara dedaunan dihembus angin sepoi lepas menyuguhkan nuansa orisinilitas keelokan alam. Kemurnian sebuah pulau yang belum tersentuh asap pabrik dan roda metropolitan terpampang di depan mata.
Angga dan semua tim baru saja singgah ke sebuah hotel kecil untuk check-in dan menyimpan barang perbekalan mereka sebelum kemudian terlihat sibuk di aula sebuah kantor kecamatan untuk mengadakan penyuluhan kesehatan.
"Nanti Dik Angga dan mahasiswa jurusan kesehatan masyarakat silahkan membantu timnya Bu Septa di meja penyuluhan. Sedangkan tim Dik Naya bersama tim humas dinas akan duduk di seberang sana," instruksi dokter Frans.
"Siapp." jawab mereka serempak.
Tampil sebagai juru bicara adalah dokter Frans. Dibelakang dokter Frans berjajar beberapa meja konsultasi yang ditempati 6 orang dari Dinas. Angga dan rekannya dari jurusan kesehatan masyarakat juga dibagi satu per satu mendampingi masing-masing meja tersebut. Di seberang meja dimana Angga bertugas, berjajar pula beberapa meja yang lain sebagai pusat informasi dan wawancara. Naya dan rekan satu jurusannya duduk disana untuk menjaring berbagai informasi dan keluhan masyarakat.
"Bro.. masyarakat disini sangat ramah dan baik ya. Nih lihat, gue abis dikasih gelang akar bahar sama bapak yang duduk disana," ucap Fikri kepada Angga dengan bangga.
"Tapi gelang segede apapun ga bakalan ngefek buat penangkal muntah bro wkwkwk," canda Beno yang duduk selang satu meja setelah Angga. Bu Septa yang duduk satu meja dengan Beno jadi ikut tersenyum melihat candaan mereka.
"Lah lu ga tau, nih lihat batu mulia kecubung pengasihan.." Angga menunjukkan sebuah cincin dalam genggamannya.
"Wihh keren. Dikasih bapak yang mana lu bro??" Beno celingukan seolah mencari seseorang, berharap ia juga bisa seberuntung Angga dan juga Fikri.
"Kagak. Gue bawa dari rumah hehe.." balas Angga dengan wajah tanpa dosa.
"Anjirr. Ga asik lu!" Beno sewot. Bi Septa semakin terpingkal melihat kelucuan mereka.
Waktu terus berjalan, tak terasa usai sudah acara penyuluhan mereka hari itu. Wajah-wajah lelah tergambar dari setiap orang. Perjalanan laut disambung kegiatan penyuluhan cukup menyita energi mereka hari itu.
Malam harinya para mahasiswa mengisi malam dengan berjalan-jalan di sekitaran hotel. Angga, Beno, dan Fikri melilih sebuah warkop untuk ngopi dan bersantai. Sedangkan Naya, Rena, Sisi lebih suka mencari kuliner untuk memanjakan lidah.
"Bro, kalau gue lihat nih ya. Si Naya beberapa kali curi-curi pandang ke arah lu. Kayaknya dia tertarik deh," ucap Beno membuka obrolan.
"Haha..yang bener aja lu. Gue mah mana level ama anaknya orang kaya seperti Naya. Gengsi dong dia kalau gue jadi cowoknya," jawab Angga minder.
"Ya jangan gitu sob. Namanya jodoh siapa yang tahu. Bisa saja kan misal lu jadi jodohnya Mak Painem penjaga kantin kampus, jandanya Babe Karyo," Fikri ikut nimbrung.
"Parah lu. Amit-amit.. jangan jodoh yang kayak begitu dong. Ah lu doa yang bener nape!" Angga ketakutan. Sebaliknya Fikri dan Beno terkekeh.
"Makanya itu. Jodoh ga ada yang tahu kan. Jadi ga perlu lu takut apalagi minder. Siapa tahu juga malah Naya itu jodoh gue bro..hahaha," lagi-lagi Fikri menasehati sekaligus menggoda.
"Yah yah..jangan dong, lu sama yang lain aja napa..haisst, kelepasan ngomong," Angga yang terbiasa tenang dan tegas, kali ini terlihat salah tingkah tatkala berbicara tentang cinta.
"Ciee..ada yang ga rela nih ceritanya, wkwkwk." Beno tergelak, pun begitu juga dengan Fikri.
Tak jauh dari warkop dimana Angga berada, terlihat Naya bersama Rena dan Sisi sedang menikmati bakso.
"Nay, lu itu ya. Secara lu kan dewi kampus nih. Cowok di kampus yang suka ama elu udah ga keitung lagi jumlahnya. Dari OB sampai dosen, dari mahasiswa tingkat pertama sampai tingkat akhir, ada semua gilak. Masa ga ada satupun yang nyantol jadi cowok lu?" bibir monyong Sisi yang kepedesan bakso terlihat nyerocos tiada henti.
"Ya belum ada yang cocok aja, Sis.." balas Naya tenang.
"Segitu banyaknya ga ada yang cocok?, yang bener aja lu!" Rena jadi ikut penasaran oleh jawaban Naya.
"Iyah ga ada." lanjut Naya sambil tersenyum melihat kedua temannya yang mangap megap-megap efek dari kaget sekaligus kepedesan.
"Coba deh lu pikir lagi, Nay.." kejar Sisi.
"Si Niko anaknya Pak dekan?"
"Atau Marsel yang punya BMW.."
"Si itu tuh, Arcy yang mirip bintang drakor hehe,"
"Atau si Bambang ketua BEM,"
"Anton aja, pebisnis, masa depan cerah."
Baik Rena maupun Sisi saling menawarkan beberapa pria yang sekiranya bisa jadi pertimbangan untuk Naya.
"Stop..stopp!!. Lu udah kayak orang dagangan aja. Getol banget nawarin ini itu, heran deh." Naya mulai jengah.
"Ya bukan gitu, Nay. Kita kan pengen bantu cariin. Lu aja yang primadona kampus belum bisa dapet cowok. Apalagi kita?!."
"Ooh..jadi gue dipaksa-paksa dapet cowok biar lu pada bisa dapet cowok juga, gitoh?!" sewot Naya.
"Salah satunya, hehe." Sisi tersenyum malu-malu. Tapi segera diinjak kakinya oleh Rena.
"Kita itu ga tega, Nay. Kalau kita punya cowok, tapi lu masih jomblo, kita-kita yang jadi ga enak hati," ucap Rena meluruskan.
"Ya namanya jodoh kan ga ada yang tahu. Kalau kalian yang dapet lebih dulu ya disyukuri dong. Jangan hanya karena gue belum dapet trus akhirnya lu nahan diri buat punya cowok. Atau lu punya cowok tapi jadi serba salah ke gue. Santai lah cyn. Kita itu sohib ya, tapi bukan berarti jodoh lu itu gue yang pegang kendali. Selow aja. Kalau udah waktunya dapet ya dapet aja, ga usah sungkan, apalagi malah nungguin gue dapet dulu." namanya cewek ya, cerewet itu nular hehe. Terbukti Naya yang sekarang los dol bicara ga ada remnya.
"Iye iye. Lagian lu, Nay. Tipe gimana sih yang lu cari?. Yang kaya banyak. Yang ganteng juga bejibun. Yang gaul juga ga keitung. Mau cari yang gimana lagi?" tanya Sisi penasaran.
"Gue ga nyari tipe yang gimana-gimana. Gue ga ada syarat tipe apapun," jawab Naya serius.
"Nah terus??" kejar Rena.
"Cari yang kena di hati." ucap Naya.
"Maksudnya??" Rena dan Sisi kompak bertanya.
"Mau ganteng kek, enggak kek. Kaya kek, miskin kek. Gue ga peduli. Selama hati gue klik terhadap satu cowok, maka itulah jodoh gue. Nunggu kata hati gue bilang 'nah' dulu," lanjut Naya.
"Ah ribet ah. Ga paham." proses Sisi.
"Ya deket dulu sama cowok, baru bisa bilang 'nah' gitu," Rena ikut protes.
"Ga harus gitu juga kalee. Mata, hati, dan pikiran akan berkoordinasi membuat sebuah kesimpulan dari sebuah pengamatan. Dan pengamatan itu tidak melulu harus intens dulu. Momen bisa muncul dimana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Tinggal gue pasang radar aja hehe," Naya menjelaskan layaknya seorang dosen biologi kawin silang dengan dosen fisika. Membuat yang mendengar semakin geleng-geleng.
"Mbak, maaf. sudah waktunya tutup.." saking asyiknya mereka ngobrol sampai tak sadar bahwa warung bakso sudah lewat jam tutupnya. Mereka segera membayar dan kabur dengan wajah malu.
***
Tak terasa sudah hari ke tiga di pulau Biwian. Semua kegiatan rampung dilaksanakan dan tinggal menunggu kapal feri tiba nanti sore untuk membawa kembali seluruh tim ke kota Grassick.
Masih tersisa beberapa jam menunggu saat kepulangan, tim mengisi waktu dengan berbagai hal. Sebagian ada yang asyik bersantai di hotel untuk melepas lelah sambil menunggu jam keberangkatan. Sebagian lagi ada yang berjalan-jalan mengabadikan keindahan alam dalam sebuah bingkai foto. Ada pula yang sibuk berbelanja membeli oleh-oleh untuk buah tangan.
Angga sedang berjalan sendiri menyusuri tepian aspal menuju ke sebuah Masjid. Beberapa saat lagi waktu akan menginjak Ashar. Sedianya kapal akan berangkat setelah Ashar.
"Permisi, Pak.." sapa Angga pada seorang bapak setengah baya.
"Oh iya dik. Ada apa ya?" tanya bapak tadi.
"Ehmm..boleh saya yang Adzan, Pak?" pinta Angga kepada sang bapak yang sepertinya adalah takmir dari Masjid yang dituju Angga.
"Ohh boleh. Silahkan silahkan.." sambut sang bapak ramah.
Niat Angga sore itu adalah ingin membuat sebuah kenangan tak terlupakan. Angga ingin memperdengarkan suara Adzannya kesegala penjuru pulau Biwian. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi Angga saat mampu melantunkan keindahan seruan ibadah dan terdengar hingga keujung pulau.
Bersama masyarakat setempat Angga melakukan ibadah. Ada sedikit kedukaan disana mengingat setelah itu ia akan meninggalkan pulau dan entah kapan lagi bisa datang kembali kesana. Dalam ketekunan ibadah ia doakan seluruh masyarakat pulau Biwian agar semakin makmur dan berkembang lebih baik.
"Nak, boleh kakek bicara sebentar?" Kakek yang tadi memimpin ibadah Ashar tengah menghentikan langkah Angga yang siap beranjak meninggalkan Masjid.
"Iya, Kek." jawab Angga santun.
"Kamu pasti mahasiswa yang datang bersama Dinas Kesehatan kota Grassick," ucap Kakek mengawali pembicaraan.
"Iya benar, Kek" jawab Angga. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang maksud sang kakek mengajaknya berbicara.
"Aku sudah mengamatimu sejak hari pertama kalian datang. Aku juga sering melihatmu beribadah di Masjid ini," lanjut sang kakek. Angga semakin bingung tentang arah pembicaraan tersebut.
"Begini, Nak. Kalau boleh kakek menilai ya. Kamu itu sangat berbeda dengan semua temanmu mahasiswa lainnya. Ada sinar menonjol dari dalam diri yang seolah memancar dari puncak kepalamu. Maaf kalau kamu anggap kakek membual atau sok tahu," kata kakek tersebut.
"Oh maaf sampai lupa. Perkenalkan, nama kakek adalah Mbah Restu. Kakek lahir dan hidup sepanjang umur kakek disini. Kamu siapa namanya, Nak?" sambung kakek yang bernama Mbah Restu.
"Saya Angga, Kek." jawab Angga.
"Lengkapnya??" tanya Mbah Restu.
"Pujangga Delta."
"Nama yang bagus dan kuat. Jadi begini, Nak. Melanjutkan apa yang saya sampaikan tadi. Kamu terlihat sangat menonjol. Ada cakra mahkota yang bersinar diatas kepalamu. Diluar itu saya juga mengamati bagaimana tingkah laku dan karaktermu selama disini. Mbah merasa bahwa kamu kelak akan menjadi seorang pemimpin yang sukses." ucapan Mbah Restu kali ini praktis membuat Angga terhenyak. Seumur-umur baru kali ini ia bertemu dengan seseorang yang berkata demikian.
"Terimakasih, Kek. Saya sangat bahagia mendengarnya," Angga tersenyum tulus.
"Tapi ooh. Maaf, Nak. Saya juga merasakan bahwa kamu akan mengalami banyak kesulitan dan rintangan setelah ini. Sekali lagi Mbah mohon maaf sudah lancang mengatakan ini. Perlu kamu ketahui bahwa Mbah tidak sedang meramal atau menduga-duga. Ini hanya kata hati Mbah saja setelah melihatmu dalam tiga hari ini. Semoga hanya hal baik saja yang terjadi, dan dijauhkan dari segala hal yang buruk. Pesan Mbah, kamu selalu berhati-hatilah disetiap waktu apapun kondisinya." Apa yang disampaikan Mbah Restu spontan membuat Angga tergagap kaget.
"Ya sudahlah. Silahkan kembali, karena jadwal feri bersandar tinggal beberapa saat lagi," Mbah Restu mengakhiri ucapannya dan memohon diri untuk meninggalkan Masjid tersebut.
Angga termenung sambil melangkah kembali ke hotel. Ada keraguan yang menyeruak dihatinya. Perasaan percaya dan tidak silih berganti mengisi relung jiwa.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!