Surabaya, Sabtu, 31 Desember 2000. Jam 23:30 Waktu Indonesia Barat.
"Kak Randy! Ayo nyalain kembang apinya! Itu yang disana udah pada main juga Kak! Ayo buruan!" seru seorang anak perempuan di teras rumahnya.
"Iya tunggu Rain! Sabar dong! Bentar lagi Kakak ke situ!" jawab Sang Kakak.
Kedua anak itu adalah dua bersaudara yang bisa dibilang sangat rukun. Sang kakak berusia 12 tahun, namanya Randy. Dan adik perempuannya yang masih 9 tahun, namanya Raina. Kedua kakak-beradik itu sedang bermain kembang api, menunggu detik-detik pergantian tahun.
Di luar, di dekat pagar rumah mereka, seorang anak laki-laki sedang bersembunyi di balik dinding dan semak-semak, lalu mencuri-curi pandang dan diam-diam melihat apa yang dilakukan oleh dua bersaudara itu. Usia anak itu seperti tak jauh berbeda dengan Raina dan kakaknya. Tak ada yang menyadari kehadiran anak itu. Ia pandai sekali menyembunyikan dirinya. Sampai ketika Randy menyalakan kembang api dan benda itu meledak di langit di atas mereka, bocah laki-laki itu terkejut dan spontan berteriak.
"Aaa!!" teriak bocah itu kaget dan melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Mendengar teriakan bocah laki-laki di tengah sorakan seru Randy dan Raina, semua orang di rumah itu langsung melihat ke sumber suara. Dan mereka melihat bocah itu.
"Hei Nak! Kenapa berdiri di situ?! Ayo masuk! Masuk aja!" seru ayah Raina dan Randy, memanggil anak laki-laki untuk melihat lebih dekat, kembang api yang mereka mainkan.
Tapi bukannya mendekat, anak laki-laki itu malah lari ketakutan. Ia bertingkah seolah ia telah melakukan kejahatan. Dan seakan-akan ia akan dihukum karena bersembunyi di balik dinding pagar rumah itu.
"Hei! Ayo main sama kita!" seru Randy mengejar bocah itu sampai beberapa meter dari pagar rumahnya.
Tapi bocah itu pergi begitu saja. Meski ada sedikit rasa sedih karena tak sempat mengajak 'teman' mereka itu bermain, Randy dan Raina kembali bermain kembang api. Mungkin kalau bukan hari ini, besok mereka akan bertemu lagi dengan anak itu.
Di tempat lain, bocah laki-laki itu berlari menuju rumah kecilnya di sebuah gang kecil, tak jauh dari rumah dua bersaudara itu. Jalanan sempit itu sudah sepi. Tak seorang pun di sana yang punya keinginan untuk merayakan pergantian tahun malam itu. Bagi mereka, semua hari sama. Hidup mereka akan tetap sulit sepanjang tahun.
Tapi bocah itu tak seperti kebanyak orang di kampungnya. Ia merasa kalau di luar sana ada yang bisa dia lakukan yang mungkin tidak bisa ia lakukan di rumahnya. Bocah itu pergi ke komplek rumah Raina dan tak sengaja melihat anak perempuan itu dan kakaknya, sedang bermain kembang api.
Setelah berlari cukup jauh, bocah itu akhirnya berhenti dan duduk terengah-engah di depan rumahnya. Rumah kontrakan kecil yang hanya memiliki satu dapur kecil, kamar mandi yang cukup hanya untuk satu orang, dan dua kamar tidur dengan lorong sempit penghubung semuanya.
"Rendra! Dari mana kamu?!” teriak seorang pria yang sudah berdiri menunggu di depan pintu rumah itu. Bocah laki-laki itu ternyata bernama Rendra.
“Anu Pak. Ehmm.. Anu, Rendra dari…” ucap bocah itu ketakutan. Pria itu ternyata adalah ayah dari bocah itu, yang ia panggil Bapak.
“Dasar ndableg! Kamu kira Bapak nggak tahu kamu dari komplek. Udah dibilang jangan ke sana, masih nggak nurut kamu ya?! Kalau omongan Bapak aja nggak kamu dengerin, omongan siapa lagi yang mau kamu dengerin?! Hah!" Bapak keluar dari rumah dan menarik telinga bocah itu.
"Bapak! Ampun, Bapak! Lepasin Pak! Sakit Pak! Bapak!" seru Rendra kesakitan.
"Kamu makin lama, makin nggak bisa diatur ya! Ayo sini, tak kasih pelajaran kamu ya. Biar kapok kamu!" seru Bapak marah.
Bapak membawa Rendra ke kamar mandi rumahnya yang sempit dan menyiram anak itu dengan air dari dalam bak mandi. Semalam itu, di siram air dingin. Tentu saja anak itu kedinginan setengah mati.
"Bapak! Dingin, Pak!" seru Rendra gemetar karena kaget dan kedinginan.
"Biar kapok kamu! Udah Bapak bilang, jangan ke komplek. Masih bandel aja kamu. Masih bagus kamu nggak diusir dari sana. Kalau Bapak ngomong itu di dengerin! Jangan masuk kuping kanan keluar kuping kiri! Ngerti kamu?! Nih, dingin, dingin kamu!" Bapak terus menyiram Rendra dengan air. Sedang Rendra, ia terus berontak gemetar karena kedinginan.
"Bapak, udah to Pak! Udah kedinginan itu anaknya!" seru Ibu Rendra yang datang saat mendengar keributan itu.
Tapi Bapak tidak mau mendengarkan siapapun, ia masih terus menyiram badan Rendra dengan air.
"Bapak! Udah!" teriak Ibu lebih kencang lalu memaksa masuk dan membawa Rendra keluar. Seorang anak laki-laki
lainnya datang dan membawakan handuk. Diberikannya handuk itu pada Ibu dan Rendra memakainya.
"Kamu bela aja terus anak kamu! Lihat! Gara-gara kamu bela terus, makin lama makin nggak bisa dibilangi!" seru Bapak jengkel lalu meninggalkan tempat itu.
Rendra hanya diam menunduk. Sebenarnya ia sangat marah. Memang apa salahnya dia datang ke komplek orang-orang kaya itu? Toh ia juga merasa tak mengganggu. Tapi Bapaknya selalu bersikap seolah pergi ke tempat itu adalah sebuah dosa. Dan kata-kata Bapaknya juga yang membuatnya lari ketakutan saat ketahuan bersembunyi di rumah Raina tadi.
"Sudah, Ndra. Jangan dipikirin omongan Bapak. Kamu kan tahu to Bapakmu gimana orangnya." Ibu membelai rambut Rendra dan berusaha memberi ketenangan untuk putra sulungnya itu. Rendra hanya mengangguk pelan. Kepalan tangannya yang tadi begitu keras, kini sudah lepas. Anak itu jarang sekali menangis, apalagi kalau urusan seperti ini. Ia marah, tapi ia paham betul kalau yang Bapaknya lakukan adalah demi dirinya sendiri.
"Udah malem. Nanti kamu masuk angin. Sana masuk ke kamar, ganti baju." Ibu menyuruh anak itu masuk ke kamarnya. Rendra mengangguk dan berjalan ke kamarnya. Di belakang, adik laki-lakinya yang hanya beda satu tahun dengannya, mengikuti Rendra dari belakang.
"Mas Rendra, kamu dari mana to tadi? Sampe Bapak marah-marah gitu," tanya Gilang, adik laki-laki Rendra.
"Kamu tahu rumah pagar hijau yang ada mobilnya? Yang dekat gerbang komplek. Tahu nggak?" jawab Rendra balik
bertanya.
"Haa iya. Tahu. Kamu ke situ, Mas?" lanjut Gilang.
"Iya, aku tadi ke situ. Mereka main kembang api. Tapi tadi aku ketahuan ngintip mereka main. Aku lari cepet-cepet pulang. Eh di rumah, Bapak udah nunggu di depan. Wes habis. Kena marah aku," Rendra bicara dengan kesal. Mendengar Bapaknya sudah kembali, mereka segera memasang posisi tidur.
Rendra dan Gilang mulai bersiap untuk tidur. Karena rumah mereka yang kecil, sangat tak mungkin mereka punya kamar sendiri-sendiri. Jadi mereka tidur bersama di satu kamar.
***
Halo teman-teman,
Alea Lee balik lagi sama cerita baru untuk teman-teman. DI cerita Author yang ini, bakal ada beberapa bagian yang pakai Bahasa Jawa ya, jadi kalau ada teman-teman yang nggak paham bisa cari di internet atau tanya teman ya artinya apa, hehe.
Semoga teman-teman suka ya. Jangan lupa baca sampai tamat ya. Like sama comment juga. Dan kalau teman-teman juga mau baca cerita Author yang lain, boleh banget loh ya. Selamat membaca teman-teman. Have a nice day... :)
Keesokan harinya, dalam rangka perayaan tahun baru dan lagi ini juga hari Minggu, daerah dekat pasar tempat Bapak Rendra berjualan dijadikan tempat semacam Pesta Rakyat. Jalan besar itu menjadi begitu ramai, penuh dengan orang. Bapak Rendra adalah seorang pegawai di toko kecil di dekat jalan besar di kota itu. Melihat kesempatan dimana tokonya bisa ramai pengunjung, Bapak tak mau ketinggalan. Pagi-pagi benar, ia mengajak Rendra ke toko untuk membantunya membuka dan menjaga toko itu.
"Rendra! Buka rolling door-nya!" seru Bapak menyuruh Rendra membuka pintu depan toko mereka. Membuka pintu itu bukan hal sulit sebenarnya, tapi yang membuat jengkel adalah pintu itu sudah tua, untuk membukanya agak sulit sering macet. Hal ini membuat Rendra atau kadang juga Gilang merasa kesal sendiri.
Rendra berjalan menuju ke pintu. Suasana di luar sudah ramai sekali. Ratusan bahkan ribuan orang sudah berlalu lalang di jalan besar itu. Anak-anak kecil dengan sepeda berkeliling bersama orang tua mereka. Sedang Rendra hanya bisa melihat dan berharap suatu hari dia akan punya sepeda yang sama.
Dari jauh, melihat putra sulungnya memandang penuh harap ke arah sepeda itu, Sang Bapak hanya bisa merenung. Penghasilannya dari toko ini hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jangankan beli sepeda, beli sepatu baru untuk kedua anaknya saja sudah hal yang sangat jauh tampaknya.
Demi membuat anak lelakinya itu tak lagi bersedih, Bapak yang mungkin terlihat keras, kasar, dan pemarah itu, berusaha mencari cara untuk menghibur anak itu. Ia tahu benar kalau anak sulungnya itu sangat menyukai susu.
"Hei, Rendra! Sana ambil susu!" seru Bapak menunjuk ke kulkas.
"Beneran Pak?" tanya Rendra antusias. Raut sedih sudah tak lagi ada di wajahnya.
“Ya. Sana! Daripada ngelamun di situ. Ambil sana!” sahut Bapak sambil tersenyum tipis.
Rendra segera berlari, mengambil sekotak susu di kulkas dan meminumnya. Suasana hatinya sudah benar-benar berubah. Marahnya pada sikap Bapak semalam, sedihnya melihat anak-anak bersepeda, dan kesalnya harus membantu Bapak di toko. Semua itu lenyap, hanya dengan sekotak susu. Memang tak sulit untuk membuat senang anak kecil. Tapi satu memori buruk saja bisa terus ia bawa sampai mati.
Bapak hanya tersenyum melihat Rendra asyik meminum susunya. Hari ini, Gilang tak ikut ke toko bersama mereka. Ibu memintanya membantu untuk membuat kue di rumah. Jadi hanya Rendra yang ikut ke toko.
"Bapak! Susunya udah abis! Rendra disuruh ngapain lagi?!" seru Rendra dari depan toko. Anak itu menjadi begitu
bersemangat untuk membantu Bapaknya, setelah ia mendapat sogokan susu kotak itu.
"Duduk aja situ! Kalau ada pelanggan, layani dulu!" jawab Si Bapak.
Rendra duduk di dekat pintu dan diam menunggu saja. Matanya diam-diam memperhatikan sekitar. Mencari-cari kalau saja ada sepeda bagus yang lewat.
Saat pandangannya sedang menyapu jalanan besar itu, tiba-tiba bola mata Rendra terhenti di satu titik. Ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti dan melebarkan matanya. Seorang anak perempuan sedang
berjalan sambil membawa gulali. Beberapa meter dari kiri, seorang pengendara motor tampak membawa kencang motornya dan tak mungkin sempat mengerem.
"Awassss!!!" teriak Rendra spontan sambil berlari ke arah anak perempuan yang sudah berada tepat di jalan pengendara sepeda motor itu.
Di waktu yang tepat, Rendra mendorong anak itu. Anak perempuan itu jatuh, ia hanya terluka gores kecil saja di tangannya. Tapi ia berhasil terhindar dari kecelakaan itu.
"Aawww!" seru anak itu melihat luka gores di tangannya.
"Raina?!" Ternyata anak itu adalah Raina, gadis kecil yang semalam bermain kembang api di halaman rumahnya.
Ayah, Bunda, dan Randy, kakaknya segera berlari mendekati gadis kecil itu. Mereka tampak panik dan khawatir. Tapi beruntung tidak ada keadaan yang perlu dikhawatirkan dari anak itu. Tapi tiba-tiba, terdengar teriakan lain.
"Aaaaaa!!!!" teriak Rendra.
"Rendra!" seru Bapak dari arah toko, terkejut melihat putranya yang sudah tergeletak di jalanan aspal itu.
Meski berhasil menyelamatkan anak perempuan itu, Rendra tak bisa menghindar untuk dirinya sendiri. Motor itu justru menabrak dirinya dan membuatnya terpental cukup jauh dari posisi awalnya.
"Rendra!!" seru Bapak terkejut melihat putranya jatuh tertabrak sepeda motor itu. Bapak berlari dan segera mengangkat tubuh Rendra.
Anak itu terluka cukup parah rupanya. Kepalanya terbentur aspal jalan dan berdarah. Tangannya juga terluka. Lututnya juga berdarah.
"Rendra, sabar. Rendra, tenang. Sabar." Bapak mencoba menenangkan putranya itu supaya tak panik.
"Bapak, perih Pak!" keluh Rendra meski tak menangis.
Bapak mencari kain dan mencoba menekan luka Rendra supaya darahnya berhenti. Beberapa orang mencarikan angkutan untuk membawa Rendra ke rumah sakit. Tapi Bapak menolak, karena ia tahu kalau ia tak ada uang untuk membayar biaya perawatan di rumah sakit.
"Pak, bawa ke rumah sakit aja Pak. Kasian itu," saran seorang pengguna jalan yang kebetulan lewat.
"Nggak usah Mas. Saya bawa pulang aja." Bapak bersikukuh menolak membawa Rendra ke rumah sakit. Rendra hanya diam saja, ia sudah kesakitan. Sudah tak peduli lagi dengan situasi sekitarnya. Anak laki-laki itu hanya meringis kesakitan.
Beberapa orang sempat memaksa Bapak membawa Rendra ke rumah sakit. Karena risih dan merasa terdesak, Bapak akhirnya menggendong Bara masuk ke dalam toko.
"Rendra, denger Bapak. Kamu nggak usah panik. Diem, tahan sedikit. Biar Bapak obati lukanya. Tahan ya," pinta
Bapak pada putra sulungnya itu.
Ketika Bapak sedang membersihkan luka di kepala Rendra, tepi kemudian beberapa orang datang ke tokonya.
"Permisi Pak, saya ayah dari anak perempuan yang tadi diselamatkan oleh anak Bapak. Saya ucapkan banyak terima kasih. Kalau Bapak tidak keberatan, biar saya bawa anak Bapak ke rumah sakit." Rupanya Raina sekeluarga yang datang dan menawarkan Rendra dibawa dan dirawat di rumah sakit.
"Maaf Pak, bukannya saya nggak mau, tapi..." Bapak menunduk. Bapak masih berpikir soal biaya. Akan sangat
sulit baginya untuk menutup biaya rumah sakit. Toh luka-luka Rendra sepertinya juga bisa diobatinya sendiri.
"Sudah Pak. Bapak nggak usah khawatir. Urusan biaya, biar saya yang tanggung. Sebagai bentuk ucapan terima kasih saya. Saya takut ada apa-apa sama anaknya," tambah ayah Raina, memotong ucapan Bapak.
"Tapi Pak," sahut Bapak masih ragu-ragu.
"Bapak!" seru Rendra kesakitan.
"Sudah Pak. Bapak tenang saja. Anak sulung saya akan saya tinggal di sini, dia boleh disuruh bantu-bantu juga. Biar anak Bapak saya bawa. Nanti kalau sudah selesai, saya kembalikan lagi ke sini." Ayah Raina bicara lebih tegas dan sigap, apalagi melihat Rendra mengeluh kesakitan seperti itu.
"Randy, kamu tunggu di sini dulu nggak apa-apa ya, Sayang? Nanti Ayah balik lagi. Kamu harus bantu Bapak ini ya," imbuh Ayah kepada Randy.
"Siap Ayah, hati-hati!" seru Randy. Anak itu memang sudah mandiri dan selalu bisa mengerti keadaan di sekitarnya.
Tanpa banyak berpikir, ia langsung menyanggupi permintaan ayahnya.
"Mari Pak, biar saya bawa dulu. Kami permisi." Ayah Raina menggendong Rendra dan segera membawanya pergi ke rumah sakit.
"Hati-hati Pak! Terima kasih banyak! Hati-hati Ndra!" seru Bapak pada Ayah Raina lalu pada putranya, Rendra.
Bapak terlihat sangat khawatir. Ia takut ada sesuatu yang buruk pada Rendra. Meski tampak cuek, keras, dan pemarah, sebagai Bapak, ia selalu berusaha yang terbaik untuk menjaga keluarganya. Melihat Rendra terluka, sedih juga hati Bapak.
Sedang di toko Bapak masih penuh dengan rasa khawatir, di mobil Rendra mengeluh sakit. Raina hanya bisa melihat dan dengan ragu-ragu, ia memegang pundak anak laki-laki itu. Berbeda dengan Rendra yang sedikit sulit untuk akrab dengan orang baru, Raina bisa dengan mudah bersikap ramah pada siapapun bahkan yang belum ia kenal.
"Sakit ya? Kamu jangan nangis ya." Raina mencoba bersikap ramah dan membuat anak laki-laki yang ada di depannya itu menjadi lebih tenang. Rendra masih kesakitan, tapi mendengar perkataan Raina, ia menjadi lebih tenang.
"Sabar ya Nak. Sebentar lagi kita sampai kok. Sabar ya," ucap Ayah Raina sambil terus menginjak pedal gas mobilnya.
Hanya beberapa menit saja, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Ayah Raina menggendong Rendra keluar dari mobil menuju ke ruang penanganan gawat darurat.
"Suster! Dokter! Tolong!" seru Ayah Raina, mencari pertolongan.
Suster dan dokter keluar lalu membawa Rendra masuk. Rendra masih meringis kesakitan, tapi ia tak lagi mengeluh. Ia juga tidak menangis. Ia hanya melihat ke arah Raina.
"Jangan nangis ya!" seru Raina melambaikan tangan dari gendongan bundanya.
Rendra dibawa masuk oleh para perawat dan tindakan segera dilakukan.
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang penanganan. Tak ada ekspresi yang mengkhawatirkan di wajah dokter itu, ia tersenyum santai saja. Tapi demi memuaskan rasa keingintahuannya, Ayah Raina bertanya pada dokter tentang kondisi Rendra.
"Bagaimana Dok, keadaannya? Apa ada sesuatu yang berbahaya?" tanya Ayah Raina khawatir.
"Tenang Pak, Bu. Anak itu baik-baik saja. Memang ada luka terbuka di kepala dan di kaki. Tapi kami sudah tangani
semuanya. Ada sekitar dua jahitan di kepala dan empat di kaki. Untuk tulang semua normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Dokter menjelaskan semuanya.
"Baik Dok. Kalau begitu, kami sudah boleh ketemu sama anaknya?" tanya Ayah Raina. Kali ini dengan nada dan suasana yang jauh lebih lega.
"Tentu Pak. Boleh, silahkan. Semua sudah bisa masuk. Oh ya, untuk administrasi bisa ikut perawat ya Pak." Dokter
menunjuk seorang perawat yang berdiri di belakangnya. Perawat itu mengajak Ayah Raina ke tempat pembayaran.
Raina dan bundanya masuk untuk melihat kondisi Rendra. Mereka tampak begitu senang melihat Rendra sudah pulih, meski mereka belum mengenal anak itu, bahkan nama pun mereka belum tahu.
"Halo. Gimana kamu, Nak? Udah nggak sakit kan?" tanya Bunda Raina, sambil duduk di samping tempat tidur Rendra dan tersenyum begitu menenangkan.
"Masih sakit tapi cuma sedikit kok Tante," jawab Rendra singkat sambil tersenyum tipis.
"Oke, nggak apa-apa. Nanti pasti cepet sembuh kok. Oh iya. Kamu namanya siapa? Kita sampai belum kenalan." Bunda Raina bicara dengan begitu lembut dan ramah.
"Rendra," jawabnya singkat.
"Oh namanya Rendra. Ayo Raina salaman. Kenalan sama Rendra." Bunda menyodorkan tangan Raina untuk berkenalan dengan Rendra.
"Halo Rendra. Aku Raina." Raina menjabat tangan Rendra dan tersenyum begitu ramah. Gadis kecil yang menggemaskan. Ia selalu antusias untuk berkenalan dan bertemu dengan orang-orang yang baru.
"Halo Raina," sahut Rendra singkat.
Rendra memang terkenal anak yang baik, ramah, dan ceria. Tapi faktanya adalah dia cenderung pemalu di depan orang-orang baru. Kalau bicara dengan orang yang baru dia kenal, ya seperti ini jadinya. Jawabannya selalu singkat, padat, dan jelas. Berbeda dengan ketika ia bicara dengan teman-temannya yang sudah lama saling mengenal.
"Kamu kok malu-malu sih?" tanya Bunda Raina bercanda. Tapi, Rendra hanya tersenyum kecil saja.
"Permisi Bu," sapa seorang perawat yang baru saja masuk ke ruang tempat Rendra dirawat.
"Iya Sus? Ada apa?" jawab Bunda.
"Bisa ikut saya sebentar untuk mengambil obat. Nanti saya tunjukkan cara mengaplikasikannya juga." Perawat itu
hendak menunjukkan beberapa obat dan cara memakainya.
Bunda mengikuti perawat itu. Sedangkan di dalam, hanya tersisa Raina dan Rendra saja.
"Makasih ya." Raina tiba-tiba menyodorkan tangannya hendak menjabat tangan Rendra. Rendra hanya tersenyum
tapi tampak bingung dengan Raina yang tiba-tiba mengucapkan terima kasih.
“Makasih buat apa?” tanya Rendra singkat.
“Kan kalo nggak ada kamu, aku yang ditabrak sama sepeda motor yang tadi.” Raina menjelaskan alasannya mengucapkan terima kasih. Rendra tersenyum dan mengatakan sama-sama.
Raina tersenyum, tapi kemudian ia seperti mengingat-ingat sesuatu. Ekspresi wajahnya yang sedang berpikir membuat Rendra ikut bingung melihatnya.
"Kamu yang kemarin malam berdiri di pagar rumahku kan?" tanya Raina tiba-tiba.
Mendengar itu, Rendra terkejut. Bagaimana Raina bisa tahu kalau itu dirinya? Bisa-bisa dia dikira pencuri, sama seperti kata Bapaknya. Rendra ketakutan.
"Emm, eng-enggak kok. Bukan aku," jawab Rendra mencoba berbohong karena takut dikira pencuri.
“Kamu bohong, aku inget banget muka kamu. Kamu takut ya? Kenapa takut? Padahal kemarin Kak Randy mau ajak kamu main kembang api juga. Kamu malah pergi." Raina menunduk sedih.
"A-aku... emmm... aku kira nanti ayahmu marah. Aku takut dimarahi, jadi aku pergi. Kata Bapakku, orang kaya seperti kalian nggak suka kalau ada anak kayak aku main di dekat kalian." Rendra akhirnya mengaku juga.
"Ah kamu. Aku sama Kak Randy kan mau ngajak kamu main. Orang kemarin juga nggak ada yang mau marah-marah kok." Raina tampak kesal.
Melihat Raina kesal, Rendra tak tahu harus bagaimana. Ia tak pernah bicara dengan anak-anak komplek seperti Raina. Apalagi anak perempuan. Ia bingung bagaimana harus bicara dengan anak perempuan itu.
"Oh ya! Kalau gitu, sekarang kan kamu udah tahu kalau Ayah nggak akan marahi kamu. Jadi sekarang, kamu harus mau main sama kita. Kamu nggak boleh lari ya!" seru Raina kini bersemangat. Raut kesal di wajahnya sudah hilang.
"Yang bener kamu? Nanti aku dimarahi." Rendra tak yakin dengan ucapan Raina.
"Nggak akan ada yang marahin kamu. Ayah itu baik banget, dia nggak mungkin marah sama kamu. Pokoknya sekarang kamu harus jadi temen aku. Kamu harus mau main sama aku, sama Kak Randy juga. Awas aja kalau kamu lari lagi." Raina memasang muka ngambek.
"Iya, jangan ngambek. Nanti aku dimarahi." Rendra menengok ke kanan dan kiri, melihat kalau saja ada orang yang melihat Raina ngambek.
"Oke! Kalau gitu, sini jari kelingking kamu mana?" Raina menyodorkan jari kelingkingnya. Rendra bingung tapi juga
menyodorkan jari kelingkingnya, meski ia tak tahu apa yang hendak anak perempuan itu lakukan.
"Kamu harus janji, kita harus temenan. Oke?" kata Raina, lalu melingkarkan jari kelingkingnya di jari kelingkin
Rendra.
Rendra agak sedikit ragu, tapi kemudian juga membalas Raina dengan melingkarkan kelingkingnya.
"Pinky swear!" seru Raina senang sekali.
Rendra hanya tertawa kecil. Baru kali ini ia melihat pertemanan dimulai dengan sebuah janji macam satu ini.
Derr
“Aaaa!” Raina berteriak sambil menutup telinganya.
Ternyata di luar sedang hujan. Suara keras yang membuat Raina terkejut sampai berteriak ketakutan itu adalah suara guntur. Raina memang sangat takut dengan suara Guntur. Rendra yang juga terkejut, menjadi lebih terkejut setelah mendengar teriakan Raina.
“Tenang, tenang, Raina. Jangan takut.” Rendra mencoba menenangkan Raina.
Mendengar Rendra, Raina mulai melepaskan tangannya dari telinga dan membuka matanya.
“Kamu takut sama petir ya?” tanya Rendra. Raina hanya mengangguk pelan.
Rendra mengambil sesuatu di saku celananya. Ternyata ia mengeluarkan gembok kecil yang sebenarnya itu adalah gembok celengannya. Celengan itu baru tadi ia buka bersama Gilang, untuk membeli mobil mainan. Ia belum sempat mengembalikan gembok itu ke celengannya. Sekarang, tak ada yang tahu apa yang hendak ia lakukan dengan gembok itu.
Tapi kemudian, Rendra menyodorkan gembok itu pada Raina. Gadis kecil itu bingung melihat Rendra menyodorkan gembok itu.
“Ini buat apa?” tanya anak perempuan itu heran.
“Kamu kan takut sama petir. Sekarang aku mau masukin takutnya kamu ke gembok ini. Terus aku kunci,” ucap Rendra sambil memutar kunci dan mengunci gembok itu agar tidak terbuka lagi. Raina masih tidak mengerti apa yang hendak Rendra lakukan.
“Sekarang takutnya udah dikunci di sini. Kuncinya kamu yang bawa. Gemboknya aku,” lanjut Rendra sambil memberikan kunci gembok itu pada Raina.
“Terus ini buat apa?” tanya Raina polos.
“Sekarang kamu nggak boleh takut lagi, soalnya takutnya udah digembok di sini. Aku yang bawa gemboknya biar takutnya ga bisa keluar lagi. Jadi kamu nggak takut lagi deh. Kuncinya kamu yang bawa biar gemboknya nggak bisa aku buka.” Rendra menjelaskan ide polosnya itu pada Raina.
Raina tersenyum dan menggenggam kunci itu di tangannya. Kedua bocah kecil itu tersenyum satu sama lain.
"Wah ada yang udah temenan nih," ucap ayah Raina yang tiba-tiba masuk bersama Bunda.
"Ayah?!" Raina melompat dan berlari ke pelukan ayahnya.
Mereka berjalan mendekat ke Rendra. Anak itu sudah jauh lebih baik dan bisa bangun. Rendra memposisikan dirinya duduk di tempat tidur itu.
"Halo! Kata Bunda, kamu namanya Rendra ya? Gimana, kamu udah baikan?" tanya ayah.
"Iya Om," jawab Rendra singkat.
"Kalau gitu, sekarang kita udah bisa bawa kamu pulang. Tapi ingat, di rumah kamu harus minum obatnya. Nanti Om yang bilang sama Bapak kamu ya." Ayah Raina memegang kaki Rendra.
Rendra hanya mengangguk saja. Mereka membantu Rendra turun dari tempat tidur dan membawanya pulang. Hanya perjalanan beberapa menit saja, mereka sudah kembali ke toko, tempat Bapaknya Rendra bekerja.
"Rendra?!" seru Bapak saat melihat Rendra turun dari mobil.
"Ayah! Bunda!" teriak Randy menyambut orang tuanya.
Mereka keluar dari toko dan menuju ke keluarga masing-masing. Randy memeluk Bundanya. Bapak membantu Rendra masuk dan duduk di toko.
"Bapak, Ibu, terima kasih banyak sudah mau membantu kami. Maaf merepotkan." Bapak menunduk, berterima kasih pada orang tua Raina.
"Pak, Rendra sudah menyelamatkan nyawa putri kami. Sudah seharusnya kami juga membantu mengobati Rendra. Harusnya kami yang berterima kasih." Ayah Raina tersenyum teduh.
"Oh iya Pak. Ini obatnya Rendra. Semua diminum sesudah makan. Ini juga ada salep untuk luka yang di kaki. Pemakaiannya sehari satu kali saja," tambah Ayah Raina dan memberikan sekantong obat pada Bapak.
"Baik Pak. Sekali lagi, terima kasih banyak." Bapak kembali mengucapkan terima kasih.
"Sama-sama Pak. Kalau begitu kami pamit pulang dulu. Rendra, Om pulang ya. Banyak istirahat. Cepat sembuh ya Nak," ucap ayah Raina mendekat ke Rendra.
"Makasih Om," sahut Rendra.
"Rendra! Kalau udah sembuh, kamu harus main ke rumahku ya! Jangan lupa!" seru Raina melambaikan tangan.
Rendra tersenyum dan mengangguk pelan. Sebenarnya ia tak berani karena ada Bapak yang mendengarnya. Ia takut Bapak memarahinya lagi karena ia bermain ke rumah Raina yang ada di dalam komplek.
Raina dan keluarganya berjalan menuju mobil. Raina yang sedang digendong oleh ayahnya, melihat ke belakang dan menatap teman barunya itu. Ia menunjukkan kunci yang Rendra berikan padanya lalu tersenyum dan melambaikan tangan.
Rendra juga tersenyum dan melambaikan tangannya pada Raina. Raina membalikkan badannya kembali dan ayah memasukkannya ke dalam mobil. Rendra hanya tersenyum melihat Raina dan gembok kecil yang ia pegang. Tak lama kemudian, mobil Raina melaju meninggalkan toko itu.
"Kamu tunggu di sini ya Ndra. Bapak tutup dulu tokonya, terus kita pulang," ucap Bapak lalu berjalan masuk ke dalam toko.
"Iya Pak," jawab Rendra.
Rendra kembali melihat gembok kecil itu dan tersenyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!