“Ini tempat apa, Mel?” Alif menoleh ke kanan-kiri, memperhatikan sebuah tempat yang begitu asing baginya, tak banyak cahaya di tempat itu, tetapi bisa terdengar jelas ingar-bingar musik dari dalam sana. Di bagian parkir, banyak berjajar mobil-mobil dengan merek terkenal.
Alif merasa tak nyaman berada di tempat yang baru beberapa detik lalu dia pijak. Di hadapannya berdiri dengan megah sebuah gedung berlantai dua, dengan baliho seorang DJ yang sedang memainkan musik, dan satu lagi seorang gadis dengan pose seksi terpampang di salah satu bagian dinding. Di depan pintu masuk tempat itu juga ada dua orang penjaga, yang entah apa guna mereka di sana, karena hampir semua orang bebas keluar-masuk ke tempat itu.
“Aduh, lo katro banget, sih, Lif? Ini tuh namanya klub malam. Tempat nongkrong yang asyik,” jawab Amel, sepupu Alif, sambil menarik tangan lelaki itu masuk.
Bukannya menuruti kemauan Amel, Alif justru menahan dirinya untuk melangkah dan membuat sepupu perempuannya hampir saja terjatuh. Alif begitu terkesiap mendengar ucapan Amel tentang klub malam. Walaupun, selama hidupnya, baru kali ini dirinya menginjakkan kaki di klub malam, tetapi bukan berarti dia tak pernah mendengar apa itu klub malam.
Dilihatnya ke sekeliling tempat itu, banyak gadis yang keluar-masuk hanya dengan mengenakan baju seksi dan terlihat seperti kekurangan bahan, dengan tanpa lengan, dan bagian bawahnya berada di atas lutut.
“Astaghfirullah ... ampuni aku, Tuhan.” Alif mengangkat kedua telapak tangan, lalu meletakkannya di wajah untuk menutupi matanya agar tak melihat keindahan yang bukan miliknya.
Amel berdecih kesal melihat tingkah Alif. “Lif, ayo ... gue udah ditunggu temen-temen gue di dalem.”
“Mel, lebih baik sekarang kita pulang. Ini tempat nggak bener. Apa kata orang tuamu nanti, kalau mereka tahu kita ke sini?” ajak Alif sembari menarik lengan Amel untuk pulang. Akan tetapi gadis itu enggan ikut dengannya.
Amel memutar bola matanya, kemudian menepuk dahi. Dia tak pernah membayangkan jika akan memiliki sepupu seperti Alif, yang baginya kini sungguh menyebalkan.
“Justru karena gue nggak mau bonyok marah, makanya gue ajak lo ke sini, supaya mereka percaya kalau gue akan baik-baik aja di sini,” ucap Amel sambil menunjukkan senyum yang dipaksakan.
“Udah, ayo buruan masuk!” lanjut Amel sambil kembali menarik lengan sepupunya itu.
Perdebatan kembali terjadi antara dua sepupu itu, tetapi akhirnya Alif mengalah setelah mereka bersepakat bahwa Amel akan langsung pulang setelah menemui teman-temannya di dalam sana.
Alif berjalan perlahan di belakang Amel. Sambil menunduk dan meletakkan telapak tangannya di samping wajah, takut jika kesucian matanya akan kembali ternoda.
“Mbak Amel, tumben pakai jaket?” sapa salah seorang penjaga.
Amel terhenti sejenak, membalas sapaan itu seraya memperhatikan pakaiannya yang masih terbalut jaket. Sedangkan Alif, dengan sigap bersikap seolah seperti seorang pengawal.
Amel kemudian melepas reseleting jaketnya dan menampakkan pakaiannya yang terbuka di bagian bahu. Setelah itu, dengan meliukkan tubuh, perlahan gadis itu melepas jaket itu dan membuat Alif membelalakkan mata.
“Astaghfirullah ... Amel! Pakai lagi jaketmu,” bentak Alif seraya berusaha memakaikan kembali jaket itu pada sepupunya.
Amel yang mulai kehabisan kesabarannya, mulai melawan perlakuan Alif. Gadis itu mulai membentak Alif agar tak lagi mencampuri urusannya. Akan tetapi, dia kembali terdiam dan lagi-lagi harus menuruti perkataan Alif, karena sang sepupu berhasil mengancam akan memberitahukan hal itu pada orang tuanya. Sungguh, perdebatan keduanya berhasil membuat kedua penjaga itu tersenyum, hingga gadis yang baru saja lulus dari bangku SMA itu pun merasa malu.
Sumpah, ya ... gue nyesel udah bawa Alif ke sini. Awas aja lo, Lif. Pasti gue bales, batin Amel sambil melirik tajam ke arah Alif yang sejak kejadian di luar, terus saja memegangi bahunya yang terbalut jaket.
Mereka berdua masuk ke diskotik, di mana kedua teman Amel sudah menunggunya. Suasana tak nyaman makin menyelimuti hati Alif, suara musik yang menggelegar di seluruh penjuru ruangan yang cukup besar, dan lebih gelap dibanding di luar, karena hanya mengandalkan lampu sorot yang berputar.
Di sana, lelaki itu tak dapat melihat dan mendengar dengan jelas. Bahkan, untuk berbicara dengan Amel pun, dirinya harus berteriak. Bau alkohol yang menyengat juga begitu mengganggu penciuman Alif hingga dirinya merasa pusing. Akan tetapi, dia tak bisa pergi, tanggung jawab menjaga Amel masih harus dia lakukan.
“Mel, beneran nggak lama, ya. Aku pusing,” teriak Alif yang direspons dengan wajah jutek oleh Amel.
“Itu temen-temen gue. Kita ke sana dulu. Kalau urusan gue udah kelar, baru kita pulang,” sahut Amel dengan ketus.
Amel berjalan sambil melambaikan tangan ke arah gadis lain yang duduk di bar yang berada di salah satu sudut diskotik. Dan, gadis itu juga melakukan hal yang sama pada Amel.
“Ekhm ... dia siapa, Mel? Sweet banget, sampai pegangin jaket lo gitu. Pacar baru, ya?” ledek Gisel sambil tetap menggoyangkan tubuhnya, mengikuti irama musik.
“Ya kali, gue pacaran sama sepupu sendiri,” dengkus Amel yang kemudian duduk di kursi sebelah Gisel dan memesan sebuah soft drink untuk dirinya.
“Jadi, itu sepupu lo? Masih single, nggak? Kenalin, dong!” pinta Gisel sambil melirik, lalu mengedipkan sebelah mata pada Alif.
“Astaghfirullah ....” Dengan segera Alif memalingkan wajahnya dari Gisel, dan itu tentu membuat Gisel tertawa gemas melihatnya.
“Hai, gue Gisel. Nama lo siapa?” Gisel mengulurkan tangannya, mengajak Alif berkenalan, tetapi dengan cepat Amel menepis tangan sang sahabat.
“Aku Alif,” sahutnya sembari menyatukan kedua telapak tangan di depan dadanya.
“Percuma lo ajak kenalan. Dia alergi sama cewek,” ketus Amel.
“Sepupu lo lucu banget, Mel,” ujar Gisel sambil tertawa.
Sedangkan, yang diajak bicara merasa jengah dan malas dengan keberadaan Alif yang terlalu protektif padanya.
“Jihan mana?” tanya Amel yang kini juga mulai ikut menggerakkan tubuhnya.
Gisel menunjuk seorang gadis yang berada di samping DJ yang sedang memainkan musik di atas panggung. Penampilannya sangat kacau, rambut dan baju pun berantakan akibat gerakan tubuhnya yang juga tak beraturan, mengikuti irama musik.
“Terus nanti dia beneran nggak pulang?” tanya Amel.
Gisel berhenti menggerakkan tubuhnya, lalu menoleh pada Amel sambil meneguk minuman berjenis vodka yang sudah dia pesan sebelumnya.
“Kayanya gitu. Tadi dia bawa koper, dan kopernya sudah ada di mobil gue sekarang. Dia diusir sama bokapnya, dan semua fasilitas ditarik.”
“What? Separah itu? Gue nggak kebayang punya bokap kaya bokapnya Jihan. Kayanya, udah dari dulu gue bakal kabur kalau jadi dia,” ucap Amel sambil menyambit segelas soft drink yang dipesannya tadi.
Gisel tersenyum sinis. “Alif nggak pesen minum juga? Aku pesenin, ya? Mau apa? Cocktail? Vodka? Wine? Atau ....”
“Air putih aja,” jawab Alif dengan segera.
Gisel tertegun seketika mendengar jawaban itu. Sedetik kemudian tertawa terbahak, hingga aroma alkohol dari mulutnya begitu menyengat indra penciuman Alif, dan membuat lelaki itu merasa sedikit mual.
Astaga ... bau apa ini? Baunya nggak enak banget. Rasanya aku ingin muntah, batin Alif.
Alif sudah benar-benar merasa pusing berada di tempat itu. Namun, dia tetap harus menjaga kesadarannya untuk menjaga Amel. Dia terus saja menundukkan kepala, meletakkannya di atas lipatan tangan yang dia buat di atas meja bar.
“Eh, Jihan, Jihan ... lo nggak pa-pa, kan?” teriak Amel sambil memapah tubuh seorang gadis lain.
Teriakan tersebut tentu saja mengagetkan Alif dan membuatnya terperanjat dari tempat dia duduk. Lelaki yang mengenakan kemeja kotak berwarna biru dengan lengan terlipat itu hendak menolong gadis yang tak lain adalah Jihan.
“Lo siapa? Berani nyentuh pacar gue,” ucap sinis seorang laki-laki lain sambil mengangkat kerah baju Alif, hingga membuat Alif yang awalnya hendak merunduk, kini kembali berdiri tegak, dan menatap lelaki itu.
“Daniel, Daniel, stop! Dia sepupu gue. Mending sekarang lo bantu gue bawa Jihan keluar dari sini,” teriak Amel.
Kini mereka menjadi tontonan karena Jihan yang tiba-tiba ambruk dan tak sadarkan diri. Bahkan, semua kegiatan di tempat hiburan itu berhenti seketika. Tak bisa dipungkiri, Amel begitu panik melihat kondisi Jihan yang sangat kacau. Berbeda dengan Amel, Gisel hanya berdiam diri melihat semua kejadian itu.
“Gue nggak bisa, bentar lagi gue harus perform lagi,” ujar Daniel yang tak merasa cemas sedikit pun dengan kondisi Jihan saat itu.
Alif yang mendengar hal itu langsung mendelik tajam ke arah Daniel. Dia tak menyangka bahwa laki-laki yang mengaku pacarnya Jihan, bisa-bisanya lebih mementingkan aktivitasnya daripada mengkhawatirkan keadaan sang kekasih.
Wajah Amel tak kalah terkejut mendengar ucapan Daniel. Diangkatnya kepalanya, mata bulat nan indah itu pun langsung melayangkan tatapan tajam ke arah Daniel.
“Bisa-bisanya lo ....”
Belum selesai Amel berbicara, tiba-tiba Alif mengangkat tubuh Jihan yang saat itu kepalanya berada di pangkuan Amel.
“Ayo, Mel, kita harus cepet bawa dia ke rumah sakit,” ucap Alif sambil membopong tubuh Jihan keluar dari tempat itu, dan diikuti Amel di belakangnya.
Daniel hendak menghalangi Alif, tetapi langkahnya terhenti saat Gisel menahan lengannya.
“Kamu perform aja. Urusan Jihan, biar aku yang handle,” ucap Gisel sambil mengelus lembut pipi Daniel.
“Tapi ...,” sanggahnya.
“Dengerin ucapanku. Jihan pasti baik-baik aja,” sahut Gisel dengan cepat. “Aku pergi dulu. Nanti aku akan telepon kamu.”
Gisel pergi meninggalkan Daniel yang tiba-tiba mematung, menyusul Amel dan Alif keluar dan berencana membawa Jihan ke rumahnya.
Di luar gedung, Alif mulai merasa lelah membopong tubuh Jihan yang bobotnya sekitar lima puluh kilogram. Namun, dia juga tak mungkin menggeletakkan tubuh Jihan begitu saja.
“Aduh, temen kamu masih lama, nggak sih, Mel? Berat ini,” keluh Alif yang mulai merasakan tegang dan kebas di lengannya, tepat di depan mobil Honda Jazz berwarna merah.
“Eh, pamali tahu, bilang berat saat lagi gendong cewek. Untung aja Jihan nggak sadar, coba kalau sadar, udah pasti dia bakal ngegaplok mulut lo!” jawab Amel dengan nada kesal.
“Mana, sih, Gisel? Lama bener,” gerutu Amel sembari melipat kedua tangannya di depan dada, karena embusan angin malam itu mulai menusuk kulit mulusnya.
“Guys, sorry lama. Barusan masih ke toilet. Yuk, langsung masuk aja. Lo ke sini tadi nge-Grab, kan?” tanya Gisel sembari berlari ke arah mobilnya, lalu membukakan pintu untuk Alif dan Jihan.
Amel mengangguk, lalu bergegas masuk ke mobil dan duduk di jok depan di samping jok sopir atas permintaan Gisel. Setelah itu, Gisel mengemudikan mobilnya keluar dari tempat hiburan malam itu.
“Kita bawa Jihan ke rumah gue dulu, ya. Setelah itu, baru gue antar kalian pulang,” ujar Gisel.
“Nggak usah, biar aku dan Amel naik taksi online aja,” sahut Alif dengan cepat dari jok belakang.
Alif yang berada di samping Jihan, merasa sangat risih, saat gadis itu mulai meracau, menyebut nama Daniel dan memeluk dirinya, bahkan menyandarkan kepalanya di pundak Alif. Berkali-kali Alif mencoba menjauhkan Jihan darinya, tetapi gadis itu, tetap saja melakukan hal itu lagi.
“Ya Tuhan ... tolong jauhkan aku dari wanita-wanita seperti ini,” gumam Alif seraya mendorong kepala dan tangan Jihan menjauh darinya.
“Yang sabar, ya, Lif. Jihan emang gitu kalau lagi mabuk. Tapi, ya, nikmati ajalah, kapan lagi, kan dipeluk cewek cantik,” ledek Gisel sambil tertawa.
“Astaghfirullah, kenapa kalian begitu bangga membuka aurat bahkan memeluk laki-laki lain yang bukan mahram kalian?” sahut Alif yang sudah mulai stres menghadapi sepupu dan kedua temannya itu.
“Eh, nggak usah ceramah, deh. Kalau mau ceramah tuh, di masjid, bukan di mobil,” ketus Amel.
Gisel hanya tersenyum melihat tingkah kedua sepupu itu sambil fokus menyetir. Namun, tiba-tiba dirinya merasa pusing dan perut yang yang diputar-putar. Gisel pun menghentikan laju mobilnya secara mendadak. Beruntung saat itu jalanan sangat sepi.
“Lo kenapa, Sel? Kenapa berhenti mendadak?” tanya Amel.
Tanpa menjawab dengan perkataan, Gisel memberi kode dengan mengangkat tangannya dan mengarahkan telapak tangan kirinya pada Amel, sedangkan tangan kanannya menutupi mulut manisnya yang sedang mual.
Dengan cepat gadis itu turun dari mobil dan berlari ke sebelah trotoar, memuntahkan semua isi perutnya di sana. Hingga saat Gisel merasa bahwa tubuhnya sudah membaik, dirinya langsung menuju tempat duduk Amel. Dirinya mengetuk jendela, dan meminta sahabatnya itu untuk keluar.
“Kenapa, Sel?” tanya Amel yang merasa kebingungan.
Pasalnya, Amel tahu betul jika sahabatnya itu sangat tahan dengan minum-minuman beralkohol, dan jenis Vodka adalah favoritnya.
“Perut gue mual banget. Tolong lo gantiin gue nyetir dulu, ya,” pinta Gisel dengan suara lesu.
Amel pun mengiakan permintaan itu, karena tak mungkin membiarkan Gisel tetap mengemudikan mobil dalam keadaan seperti itu, atau nyawa mereka semua berada dalam bahaya.
Selama perjalanan, hanya hening. Gisel yang tertidur, dan Alif yang masih sibuk menjauhkan tubuh Jihan darinya.
“Mel, kamu kalau cari temen yang bener, dong. Jangan yang suka minum-minum dan buka aurat seperti ini,” keluh Alif.
“Mereka berdua itu cewek baik-baik. Jangan asal judge orang deh lo!” protes Amel membela kedua temannya.
“Wanita baik-baik tidak akan pernah masuk ke tempat haram kaya gitu,” sahut Alif.
“Jadi, maksud lo, gue bukan cewek baik?” tanya Amel dengan kesal.
Alif merasa salah tingkah sendiri mendengar pertanyaan Amel. Lelaki lulusan pesantren di desa kecil daerah Bandung itu tak ada maksud sedikit pun menyindir sang sepupu, karena dia tahu betul bahwa Amel adalah gadis yang baik.
Tak lama, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah berlantai dua milik keluarga Amel dengan pagar berwarna coklat kayu di depannya. Di samping pagar itu terdapat sebuah pos satpam.
Amel membunyikan klakson, dan dengan segera seorang satpam membukakan pintu gerbang. Dengan cepat Amel memasukkan, lalu memarkirkan mobil tepat di depan pintu garasi rumah yang terlihat mewah itu.
“Gisel, bangun ... kita sudah sampai,” ucap Amel perlahan sambil mengguncangkan pundak Gisel.
Gisel yang tak kunjung sadarkan diri membuat Amel begitu cemas, hingga akhirnya dirinya turun dari mobil dan memanggil Pak Usman—satpam di rumah Amel—, untuk membantunya membopong tubuh Amel ke kamarnya. Satpam itu pun dengan cepat melakukan permintaan Amel, membawa masuk sang anak majikan ke kamarnya.
Sedangkan Alif, masih berkutat dengan Jihan, yang masih enggan untuk digendong, dan dengan terpaksa lelaki itu harus memapahnya perlahan. Gadis itu terus meracau tak jelas, hingga akhirnya dia tiba-tiba berhenti lalu menguap dan mengeluarkan isi perutnya ke tubuh Alif.
Bau alkohol kembali menyengat setelah muntahan itu. Tentu, hal itu membuat Alif kembali merasa pusing dan sedikit jijik.
“Astaga ... kamu tuh, ya. Huft, punya dosa apa aku? Sampai-sampai harus bertemu dengan gadis-gadis seperti ini di hari keduaku berada di Jakarta,” gerutu Alif.
Amel keluar dari rumah itu setelah memastikan Gisel tertidur dengan nyaman di kasur empuknya. dengan niat memastikan keadaan Jihan. Dia merasa aneh karena kedua manusia berlainan jenis itu tak kunjung masuk.
Suara tertawa keras terdengar di telinga Alif, dia pun menoleh ke asal suara yang ternyata itu adalah sepupunya sendiri, Amel.
“Bantuin, dong, Mel. Malah ketawa,” protes Alif yang masih sibuk membersihkan bajunya sambil tetap memapah tubuh Jihan yang kini sudah tak sadarkan diri.
Amel yang melihat Pak Usman keluar, langsung meminta satpam itu untuk membantu Alif dan membawa Jihan ke kamar Gisel juga. Dengan sigap, pria paruh baya itu melaksanakan titah Amel.
“Ya udah, ayo ikut gue ke dalam. Bersihin baju lo dulu,” ajak Amel pada Alif.
Amel menunjukkan kamar mandi yang terletak di samping dapur pada Alif, agar sepupunya itu membersihkan diri. Kemudian, dirinya pergi ke sebuah kamar kecil di belakang dapur, mengetuk pintu dan memanggil si empunya kamar agar dia keluar.
“Mbak Amel, ada apa?” tanya Bi Minah, seorang Asisten Rumah Tangga yang bekerja di rumah Gisel.
“Bi, Jihan malam ini nginap di sini, terus Amelnya lagi mabuk. Tolong, ya, Bi urus mereka. Aku nggak bisa nginap di sini juga soalnya. Kalau ada apa-apa, tinggal telepon aku, ya,” ujar Amel dengan lembut.
“Baik, Mbak Amel,” sahut Bi Minah.
“Papa-Mamanya Gisel, kapan pulang?” tanya Amel.
“Kurang tahu juga, Mbak. Biasanya kan juga sebulan sekali. Tapi, ini sudah dua bulan mereka nggak pulang. Katanya lagi sibuk banget,” jawab Bi Minah.
Sungguh, jawaban yang menyayat hati Amel. Sebagai sahabat, dia tahu betul bagaimana rindunya Gisel pada kedua orang tuanya. Salah Gisel memang, karena saat orang tuanya mengajak pindah, gadis itu menolak, dengan alasan sudah lelah harus berpindah-pindah rumah, mengikuti kesibukan sang papa.
“Ya udah, Bi. Kalau gitu aku pulang dulu, aku titip Gisel dan Jihan, ya, Bi.”
Bi Minah mengangguk, dan hanya melihat punggung Amel yang makin lama makin menjauh.
Pagi menjelang, matahari telah menampakkan sinarnya melalui celah tirai, ia menyusup dan cahaya yang menyilaukan itu sukses membuat Jihan mengerjap-ngerjapkan matanya. Perlahan, mata indah itu terbuka, sembari menyesuaikan netranya dengan cahaya yang menyusup dari balik tirai.
Jihan mendudukkan tubuhnya, lalu melihat sekeliling ruangan bercat putih, tatanan semua barangnya begitu rapi, di beberapa sisi dinding ruangan itu terpampang jelas foto salah satu sang sahabat, Gisel, dengan berbagai pose. Di salah satu sudut juga terdapat koper miliknya Jihan yang bersanding dengan sebuah lemari milik Gisel. Aroma oceanic air yang sangat menyegarkan, juga berhasil membuat tubuh dan pikiran Jihan terasa lebih relax.
Jihan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan sambil sedikit menguap.
“Jadi, gue ada di rumah Gisel?” gumamnya sambil menutup mulutnya yang tengah menguap lagi.
Gadis itu perlahan turun dari kasur yang telah membuatnya tidur nyenyak semalaman, sedikit melupakan semua permasalahan yang terjadi pada dirinya. Jihan lalu membereskan tempat tidur itu, kemudian membuka tirai dan jendela kamar, dan terakhir mematikan lampu dan AC.
“Gisel ke mana, ya?” tanyanya pada diri sendiri sambil melangkah keluar kamar menuju dapur.
Tak ada tanda-tanda keberadaan Gisel di mana pun, bahkan di dapur hanya ada Bi Minah yang sedang memasak. Jihan menghampiri wanita yang sudah bekerja di rumah sang sahabat sejak kecil itu, dan menawarkan diri untuk membantunya memasak.
“Jangan, Mbak Jihan, nanti kalau Mbak Gisel tahu, Bibi yang kena marah,” sela Bi Minah saat Jihan hendak mengupas bawang. “Mending Mbak Jihan mandi dulu saja, terus nanti sarapan beres, tinggal makan, deh.”
Seketika Jihan langsung mengendus ketiak dan baju yang dia kenakan sejak kemarin sore. Benar saja, tercium bau asam dan alkohol yang begitu mengganggu indra penciuman gadis itu.
Jihan tertawa setelah mencium aroma tubuhnya. “Bibi jadi kebauan, ya? Maaf, ya, Bi. Ya udah deh, Jihan mandi dulu. Kalau nanti Bibi masaknya belum kelar, aku bantu, deh.”
Jihan bergegas kembali ke kamar Gisel, lalu mandi dan bersiap untuk sarapan. Gadis itu berencana akan segera mencari indekos di dekat kampus barunya, untuk menghemat pengeluarannya nanti.
Usai mandi dan berdandan, Jihan kembali ke dapur, berniat membantu asisten rumah tangga sahabatnya itu memasak lagi. Namun, dirinya harus kecewa, karena Bi Minah rupanya telah selesai memasak pun menatanya di atas meja makan.
“Yah, kok udah selesai, sih, Bi? Aku kan mau bantuin,” ucapnya dengan nada kecewa yang hanya mendapat respons sebuah senyuman dari wanita paruh baya tersebut. “Oh ya, Bi. Gisel ke mana, ya? Kok dari tadi aku nggak lihat dia?” Jihan menoleh ke beberapa ruangan depan, memastikan bahwa sahabatnya itu memang benar-benar tidak berada di rumah.
“Oh, Mbak Gisel tadi pagi udah keluar, Mbak. Katanya mau lari pagi,” jawab Bi Minah.
Jihan mengangguk, kemudian duduk di kursi dan menyiapkan piring untuk makan. Ya, baik Jihan, Gisel, maupun Amel tak pernah sungkan saat berada di rumah satu sama lain. Mereka bertiga sudah menganggap rumah sahabatnya, seperti rumah mereka sendiri, pun dengan orang tua masing-masing, mereka juga sudah sangat akrab.
“Bi Minah temenin aku makan, ya. Nggak enak tahu, makan sendirian,” pinta Jihan saat Bi Minah hendak pergi dari meja makan itu.
“Tapi, Mbak Jihan ....”
“Nggak ada tapi-tapian. Ayo duduk di sini.” Dengan segera Jihan motong ucapan Bi Minah, lalu berdiri dan mempersilakan wanita itu untuk duduk di sampingnya.
Tak lupa, Jihan juga mengambilkan sepiring nasi, lengkap dengan lauknya untuk Bi Minah. Setelah itu, dirinya mengambil makanan untuk dirinya dan kembali duduk.
“Nah, kalau gini, kan enak. Makan ada yang nemenin, walaupun bukan pacar,” ucap gadis yang mengenakan Tank Top berwarna putih dibalut dengan Cardigan berwarna dongker, sambil tersenyum lalu melahap makanannya.
Di tengah sarapan pagi Jihan dan Bi Minah. Wajahnya begitu pucat dengan perut yang terasa seperti diaduk-aduk. Aroma makanan itu makin membuat Gisel ingin mengeluarkan isi perutnya.
“Gisel, ayo sini, makan bareng kita,” ajak Jihan.
Bukannya menjawab dengan kata-kata, Gisel langsung pergi dan masuk ke kamar mandi yang berada di dekat dapur, sambil menenteng sebuah plastik yang entah apa isinya. Gisel menguap dengan sangat keras, hingga sahabat dan asisten rumah tangganya yang sedang makan, mendengar suara itu.
Jihan menoleh kepada Bi Minah, seolah menanyakan apa yang sedang terjadi.
“Kita lihat Gisel yuk, Bi. Takut dia kenapa-kenapa,” ajak Jihan yang langsung diiakan oleh Bi Minah.
Mereka berdua menyusul Gisel ke kamar mandi itu, tetapi pintunya dikunci dari dalam.
“Gisel, lo kenapa? Lo sakit?” tanya Jihan sambil mengetuk pintu.
Gisel terus saja menguap tanpa menghiraukan panggilan dan gedoran pintu yang dilakukan Jihan dan Bi Minah. Sebaliknya, dia justru mengeluarkan sesuatu dari plastik yang dibawanya.
“Gue harus memastikan,” ucapnya sembari menatap sebuah alat tes kehamilan yang baru saja dia keluarkan.
Setelah beberapa menit menunggu tanpa memedulikan Jihan dan Bi Minah yang masih saja menggedor pintu, akhirnya hasil itu pun dapat terlihat jelas. Muncul dua garis merah di alat panjang nan pipih itu, yang menandakan bahwa hasil tes kehamilan yang dilakukan Gisel adalah positif.
Mata gadis itu membulat sempurna. Dia betul-betul tak menyangka bahwa pergaulannya yang terlalu bebas, justru siap menghancurkan hidupnya.
Gisel menggeleng kepala perlahan. Matanya berkaca-kaca. Lututnya lemas, hingga menopang tubuh sendiri begitu sulit. Gadis itu terduduk, hatinya masih syok. Air mata mulai mengalir, dia merasa hidupnya kini telah hancur.
Gue nggak akan pernah ninggalin lo, gue cinta sama lo.
Gisel teringat ucapan laki-laki itu saat mereka sedang melakukan hubungan terlarang itu. Dirinya kemudian bangkit sambil menghapus air mata, dan memasukkan alat tes kehamilan itu ke dalam saku celana training miliknya.
“Mbak Gisel, Pak Usman dobrak, ya, pintunya,” ucap satpam rumahnya.
Akan tetapi, saat tubuh Pak Usman hendak menyentuh pintu itu, tiba-tiba saja Gisel membukanya dan membuat lelaki tua itu hampir terjatuh.
“Astaga, Mbak Gisel, bilang dong kalau mau buka pintu. Gimana coba, kalau Pak Usman malah nyusruk, gimana coba!” protes Pak Usman yang langsung ditertawai oleh Jihan dan Bi Minah.
“Ya, lagian Pak Usman ngapain di situ?” tanya Gisel dengan nada lemas.
“Sorry, tadi gue sengaja panggil Pak Usman untuk dobrak pintunya. Karena, lo dipanggil nggak nyahut-nyahut, sih. Ya, gue pikir lo pingsan,” sahut Jihan dengan cepat, sebelum Gisel memarahi para satpam dan asisten rumah tangganya itu.
“Mbak Gisel nggak kenapa-napa? Yuk, sini duduk dulu,” ajak Bi Minah yang langsung menghampiri Gisel, lalu merangkulnya untuk duduk di meja makan.
“Lo sakit, Sel?” tanya Jihan sambil menyentuh kening dan leher sang sahabat. “Eh, tapi nggak panas. Tapi, kenapa wajah lo pucet banget?”
Jihan benar-benar bingung, apa yang sedang terjadi pada Gisel. Tak biasanya gadis itu dalam kondisi seperti itu.
“Kita ke dokter aja gimana?” usul Jihan.
“Nggak, nggak perlu. Gue baik-baik aja. Iya, gu-gue baik-baik aja.” Gisel dengan cepat menolak ajakan itu.
Gadis itu benar-benar takut jika orang lain mengetahui kehamilan dirinya. Apalagi, jika orang itu adalah Jihan, dan apa yang akan terjadi jika sahabatnya itu mengetahui siapa laki-laki yang telah menghamilinya. Sungguh, dia tak bisa membayangkan tentang hal itu.
“Lo yakin?” tanya Jihan memastikan.
Akan tetapi, perut Gisel lagi-lagi seperti diaduk-aduk tatkala bau makanan yang ada di meja itu masuk ke hidungnya. Dengan cepat gadis itu berlari ke kamar mandi, dan lagi-lagi memuntahkan isi perut yang sebetulnya kosong.
Gisel kenapa, ya? Kok aneh gitu? batin Jihan sambil menunggu sahabatnya itu keluar.
Tak lama, Gisel pun keluar dengan wajah yang makin pucat dan terlihat lemah.
“Bi, anterin aku ke kamar, yuk. Kayanya aku masuk angin. Nanti sekalian dikerokin, ya,” pinta Gisel yang langsung dituruti oleh Bi Minah.
“Kalau gitu, Pak Usman balik ke pos dulu, ya, Mbak. Takut ada tamu,” pamit satpam yang dijawabi anggukan oleh Gisel.
Seperginya Pak Usman, Gisel pun masuk ke kamar dengan ditemani Jihan dan Bi Minah. Namun, entah mengapa saat itu, hati Jihan merasa tak tenang, tetapi dirinya masih enggan untuk mengatakan apa pun, mengingat keadaan Jihan yang seperti itu.
“Sel, nanti lo, gue tinggal sendiri nggak pa-pa? Soalnya gue mau cari kos-kosan deket kampus,” ucap Jihan.
“Lo nggak mau tinggal di sini aja sama gue? Gue di sini sendirian. Bokap-nyokap gue juga jarang pulang,” bujuk Gisel yang sudah duduk berselonjor di kasur empuknya.
“Gue nggak mau ngerepotin lo,” ucap Jihan dengan tulus.
“Gue lagi sakit, seenggaknya, lo di sini dulu beberapa hari, temenin gue,” pinta Jihan.
Gue harus mastiin kelanjutan hubungan Jihan dan Daniel. Gue nggak akan biarin Jihan lepas dari pengawasan gue dulu, batin Gisel.
Jihan terlihat berpikir sejenak. Dalam hatinya, dia betul-betul tak ingin merepotkan Gisel, tetapi kondisi sahabatnya itu juga tak memungkinkan untuk ditinggalkan sendiri.
“Mmm, baiklah. Gue akan tinggal di sini dulu sampai kondisi lo baik-baik aja.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!