NovelToon NovelToon

WIYATI

Episode Satu

Start : 26 Agustus 2021

Finish : -

WIYATI.

...Episode 1 : Ada Apa Dengan Elshanum?...

Pengumuman:

Bagi siswa-siswi harap berkumpul di lapangan pada jam istirahat. Tidak terkecuali. Semua akan di absen sesuai kelas, dan bagi yang tidak berkumpul akan di kenakan denda oleh pihak sekolah.

Di manding-manding sekolah terpampang pengumuman yang harus dilaksanakan. Bahkan guru pun telah mengumumkan di speaker sekolah yang berada di masing-masing kelas.

"Apaan sih?! Gue bener-bener nggak ngerti! Ngapain juga ngumpul di lapangan? Mana pas istirahat, kan panas anjir!" keluh Silvi.

Seorang perempuan bersuarai hitam sebahu---Cassia menyahut, "Gue yakin, sih. Ini pasti pekara anaknya Pak Jaiz yang habis di anu sama orang."

"Elshanum? Dia kenapa?"

"Perkiraan gue sih di perkosa," jawab Cassia

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menggema dari sudut kelas. Evita gadis dengan surai cokelat pekat panjang itu tertawa. "Menurut gue enggak. Bisa aja dia kecapekan, terus ya gitu, belum sempet bangun udah ditemuin sama Bu Arista, kan ke-gep jadinya."

"Itu mah alasan dia doang sok-sok habis diperkosa," lanjut Evita.

"Lo kan kemarin absen. Jadi nggak usah berasumsi buruk tentang keadaan Shanum kalau lo nggak lihat dia dengan mata kepala lo sendiri," sahut Cassia.

Ketua kelas. Aji terlihat geleng-geleng dan menyahut, "Nggak-nggak. Gue setuju sama, Cassia. Coba lo pikir Vit, Shanum itu anaknya Pak Jaiz, Adiknya Bima sama Kak Sambara, gue yakin dia nggak mungkin mau di ajak begituan apalagi di sekolah. Harga diri, Vit. Lagi pula keluarga Citaprasada itu religius. Walau si Shanumnya belum hijab, tetep aja gue yakin dia nggak mungkin gitu."

Evita lagi-lagi tertawa seolah tak percaya dengan segala logika yang ucap oleh Aji. "Ketua kelas, open your eyes! Bima aja nakal apalagi adiknya. Kakak adik nggak jauh beda, Sayang!"

"Nakalnya Bima apaan aja sih, Vit?" sahut Cassia dengan memandang Evita lekat-lekat, kemudian ia menumpu dagunya pada tangan. "Tawuran sama gonta-ganti cewek doang kan?"

"Lagian juga nggak ada bukti si Bimasena itu nge-hamilin anak orang," lanjut Cassia, lagi. Kemudian Cassia menengok kebelakang menatap Natasha. "Sha! Lo mantannya Bima kan?"

Natasha tampak bingung saat tiba-tiba saja Cassia memangilnya. Padahal sekarang ia sedang sibuk mengecat kuku. "Iya. Kenapa emang?"

"Lo pernah ngegugurin anaknya Bima nggak?" tanya Cassia sekenanya.

Spontan netra Natasha melebar. Kutek yang tadinya ter-cat rapi lurus, seketika mengores ke samping dan menjadi jelek. "Lo gila?! Lo pikir selama gue pacaran sama Bima ngelakuin hal aneh-aneh? Nggak, anjir! Otak gue masih utuh, Cas! Dan gue masih waras! Pacaran ya pacaran! Pendidikan tetep nomor satu bagi hidup gue. Nggak ada yang namanya tiba-tiba gue hamil anak orang!"

"Tuh! Lo dengerin Vit, ucapan langsung dari mantannya Bima," sahut Aji dengan senyum jahilnya mendengar Natasha mengomel.

"Gaes, Bu Arista mau masuk kelas! Sha simpen kutek lo cepat, catoknya Silvi juga masukin," perintah Bagas---laki-laki sawo matang dengan tinggi 163 cm yang selalu bertugas melihat keadaan luar.

Seperdetik Bagas memberi informasi. Aristawidya. Guru seni dengan pakaian gamis hitam hingga kerudung senada, serta outer abu-abu memasuki kelas XII A.

"Selamat pagi anak-anak."

Arista melihat satu persatu muridnya. Mulai dari ujung kiri ke kanan, dari depan ke belakang. Tidak ada yang aneh-aneh normal, dan masalah cat meng-cat rambut di normalkan di sekolah ini.

"Seperti yang kalian tahu. Ada musibah yang menimpa teman kalian, Elshanum. Dan pihak sekolah serta polisi, benar-benar membutuhkan bantuan kalian untuk mengetahui siapa pelakunya. Jadi Ibu minta tolong ... untuk berkumpul di lapangan saat jam istirahat," jelas Arista.

Tiba-tiba Cassia mengangkat tangan. "Permisi, Bu. Mau mengajukan pertanyaan."

Arista mengangguk. "Silakan."

"Kenapa harus semua murid? Kenapa nggak siswa-siswi yang berada di sekolah itu tepat beberapa menit sebelum kejadian?"

Arista menatap Cassia. Ia yang semula duduk kini berdiri. "Kejadiannya pukul 15.15 WIB dan itu tepat lima belas menit semua murid meninggalkan kelas, bukan meninggalkan sekolah."

"Tapi Bu, gimana kalau nyatanya si pelaku pergi sebelum jam sekolah berakhir?" Seorang siswi kuncir kuda menyahut.

Arista terlihat menimbang-nimbang. Apa yang dikatakan oleh Mega ada benarnya. Bisa saja si pelaku pergi sebelum jam sekolah berakhir. "Itu diluar kendali, Mega. Semua cctv sekolah akan segera polisi periksa. Dan bantuan kalian sangat dibutuhkan."

"Terus yang kemarin absen nggak masuk. Tetep di interogasi, Bu?" Evita menyahut.

Arista mengangguk. "Iya."

Evita yang semula bersandar kini duduk dengan tegak. "Ngapain juga, Bu? Kan nggak adil banget, bagi saya dan anak-anak lain yang nggak masuk kemarin. Pakai di curigai segala."

Arista menunduk sejenak kemudian berjalan ke bangku belakang di mana Evita duduk. "Letak tidak adilnya di mana?"

"Udah jelas, Bu. Kami yang nggak masuk berarti nggak ikut terlibat. Terus ngapain di interogasi segala?"

Tangan Arista terangkat membenarkan anak rambut yang menutupi telinga Evita. "Menurut Ibu itu adil, Evita. Dan akan menjadi tidak adil apabila kamu dan anak lain yang tidak masuk pada hari itu tidak mau menjalani interogasi."

Cassia yang semula menyimak saja dengan manggut-manggut, tiba-tiba berucap, "Saya setuju sama, Ibu. Semua orang yang terlibat di sekolah ini patut untuk di curigai, dan wajar di interogasi."

"Toh, kalau kita nggak terlibat ngapain takut?" lanjut Cassia dengan menatap Evita.

Arista mengalihkan tatapannya kepada Cassia yang duduk di bangku pojok depan. "Ibu harap kalian semua mengerti. Cukup jalani saja interograsinya."

Evita menatap kesal Cassia, terkadang-kadang ia ingin sekali mencakar sepupunya itu. Namun lagi-lagi ia mencoba menyadarkan diri bahwa martabat diri lebih penting dari segalanya. Evita tidak mau masalah-masalah di sekolah mengakibatkan hal-hal buruk dalam keluarganya. Apalagi sampai ada adegan cakar mencakar dan tarik menarik rambut. Sangat tidak bermoral.

"Mengenai pertunjukan teater yang akan dilakukan dua bulan lagi Ibu memutuskan untuk di undur, sampai kasus ini selesai.  Dan Ibu minta maaf untuk anak-anak yang telah terpilih dan sudah berlatih keras. Semoga masalah ini cepat usai dan kita bisa melanjutkan teater sesegera mungkin," ucap Arista.

Tiba-tiba saja speaker kelas berbunyi dan semua murid spontan terdiam. "Panggilan kepada Ibu Aristawidya, mohon segera ke kantor yayasan."

Arista membisu, dengan dipanggilnya ia kekantor pasti untuk membahas masalah mengenai Elshanum. Seorang guru pria pengganti, Djoko memasuki kelas. "Bu Arista, saya akan menggantikan anda untuk mengajar atas perintah Pak Hermawan."

Arista menatap Djoko sejenak, kemudian mengangguk lantas berbalik mengambil barang-barangnya di atas meja. Dan menatap siswa-siswi sejenak. "Anak-anak untuk sementara waktu Pak Jo akan mengajar menggantikan Ibu. Semangat belajar. Ibu permisi."

Arista berjalan menuju kantor yayasan sesegera mungkin. Dan saat ia melewati ruang seni, tempat di mana segala karya anak-anak di pajang dan sekaligus tempat di mana Elshanum terkapar tak sadarkan diri. Spontan saja jantungnya berdetak kencang, sungguh ia masih mengingat jelas keadaan Elshanum saat itu.

Setelah berjalan satu menit lebih. Tertulis; ruang pimpinan yayasan, di depan pintu abu-abu. Sebelum mengetuk pintu Arista mengambil napas sejenak dan membuangnya. Ia siap dan mengetuk pintu perlahan.

"Masuk."

Terdengar suara lirih dari dalam, Arista membuka kenop pintu perlahan dan masuk. Lantas netranya langsung bertatapan dengan Hermawan Upasama, selaku kepala yayasan.

"Silakan duduk Bu Arista," ucap Hermawan.

Arista duduk di sofa abu-abu pekat bagian kiri pojok. Ia baru sadar bahwa ada dua orang pria di depannya yang satu adalah alumni sekolah, Bimasena Citaprasada. Dan yang satu lagi, Arista tidak mengenalnya.

"Ini, Pak Sambara. Kakak tertua Bima dan Shanum, beliau kemari mewakil Pak Jaiz ingin berbicara langsung dengan anda Bu Arista," ucap Hermawan.

Sambara Citaprasada?

Pria bernama Sambara itu menatap Arista dengan intens. "Jadi anda yang menemukan adik saya pertama kali?"

Episode Dua

...Episode Dua : Siapa Dalangnya? Dan Siapa Yang Terlibat?...

"Jadi anda yang menemukan adik saya pertama kali?"

Arista mengangguk. "Iya."

"Bagaimana keadaannya saat anda menemukan adik saya?"

Bimasena yang semula diam dan menunduk, kini menengok menatap Sambara. "Kak Sam, kan aku udah bilang keadaan Shanum saat itu. Jadi Kakak nggak perlu---"

"Perlu, Bima. Kakak perlu tahu secara langsung dari guru ini. Jadi, kalau kamu nggak bisa diam, tunggu di luar," ucap Sambara sekenanya.

Spontan Bima berdiri. Ia terlihat sangat kesal dan sedikit menunduk berpamitan kepada Hermawan serta Arista, kepada Sambara tidak.

"Apa saya perlu mengulangi pertanyaan?"

Arista menggeleng. "Tidak perlu."

"Jadi, saya harus menjawab dengan detail segala pertanyaan anda? Dari waktu saya menemukan Shanum dan bagaimana saya memanggil guru-guru untuk membawanya ke rumah sakit?" lanjut Arista.

Tatapan mata Sambara terlihat mengintimidasi. "Itu yang saya butuhkan."

Arista menyentuh lehernya yang terbalut kerudung hitam sejenak. Kemudian netranya mengedar menatap Hermawan dan beralih pada Sambara. Ia sedikit gelisah saat mengingat-ingat kejadian itu lagi.

"Saya ke ruang seni lagi. Untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal dan saat saya ingin pergi, tiba-tiba dari kursi pojok terlihat sebuah tangan. Lalu setelah saya mencoba memastikan, ternyata itu adalah Elshanum," jelas Arista.

"Dia pingsan. Dan keadaannya tidak baik, tiga kancing bajunya terbuka, ada beberapa memar di wajah dan pergelangan tangannya dan---"

"Cukup," sanggah Sambara.

Sambara terdiam, ia merasa sesak mengingat-ingat keadaan adik perempuannya. Bagaimana bisa ada seseorang yang tega melakukan hal biadab kepada keluarganya? Bahkan Shanum tidak mau menjawab segala pertanyaan yang di ajukan padanya, adiknya itu selalu diam dan ingin sendiri.

"Itu yang saya ketahui, Pak."

Sambara tersadar. Kemudian Ia berdiri setelah mendengar penjelasan itu. "Terima kasih atas penjelasan anda."

Hermawan mendekat. "Pihak sekolah akan mencari tahu siapa dalang dari semua ini Sambara."

"Itu yang saya mau, Pak Hermawan. Saya permisi."

Saat Sambara hendak sampai di ambang pintu, tiba-tiba ia berbalik menatap Arista dengan sendu. "Ibu Arista, saya mengundang anda ke rumah untuk menemui Shanum. Karena dari yang Bima katakan, anda dekat dengan adik saya. Mohon kesediaannya untuk datang."

Arista tidak memiliki jawaban selain mengangguk.

"Terima kasih. Sabtu Bima akan menjemput anda atas izin saya," ucap Sambara.

"Tidak perlu sabtu, Sambara. Ibu Arista mendapat izin dari pihak yayasan untuk menyelesaikan dan ikut andil dalam kasus ini. Kalau dengan datangnya Bu Arista bisa membantu Shanum berbicara, kenapa tidak sesegera mungkin?"

Sambara setuju. Lebih cepat, maka lebih baik. "Sekarang? Anda bisa?"

"Se-karang?"

Sambara tersenyum hampa "Jika anda tidak bisa---"

"Saya bisa."

...•••...

Bagi siswa-siswi XII A cara mengajar Djoko tidak semenyenangkan Arista. Bapak guru ini agak galak, sedikit tersenyum, sedangkan Arista sepanjang mengajar selalu melukis senyum dalam raut wajahnya.

Bahkan rasa-rasanya suasana kelas saat ini sangat canggung. Aji ketua kelas yang selalu semangat mengikuti mapel seni tiba-tiba saja merasa bosan, menunggu jam istirahat mengapa lama sekali?

"Pak Jo!" seru Bagas dengan mengangkat tangan kanannya.

"Ada apa, Bagas?"

Bagas berdiri di tempat. "Izin ke toilet, Pak."

"Haruskah ke toilet jam pelajaran seperti ini? Dan sepagi ini juga Bagas?"

Bagas tersenyum miring. Gurunya ini---Djoko selalu saja melarang muridnya ke toilet. Apa untuk membuang air kecil dan besar bisa di diatur dan dikondisikan? Padahal hal-hal semacam ini datang tiba-tiba. "Harus, Pak. Karena saya perlu," jawab Bagas.

"Tujuh menit. Kamu harus sampai di kelas secepatnya," ucap Djoko.

Bagas mengangguk. "Iya, Pak. Permisi."

Setelah Bagas keluar. Natasha mengangkat tangan.

"Ada apa, Natasha? Kamu mau ke toilet juga?"

Natasha menggeleng. "Enggak, Pak. Saya izin ke UKS karena merasa kurang sehat."

"Kalau kurang sehat. Kenapa harus masuk? Kamu ini merepotkan."

Alis kiri Natasha terangkat. Dirinya yang sakit kenapa harus Djoko yang kerepotan? Padahal jelas-jelas ia hanya meminta izin. "Saya meminta izin ke UKS bukan meminta Bapak mengantar saya ke rumah sakit. Jadi letak saya merepotkan Bapak itu di mana?"

"Kamu---"

Ucapan Djoko tertahan saat jam istirahat berbunyi lebih cepat dari biasanya. Seperdetik kemudian speaker masing-masing kelas aktif terdengar salah seorang guru perempuan berucap, "Mohon untuk siswa-siswi dari kelas sepuluh sampai dua belas segera berkumpul di lapangan. Ingat. Tanpa terkecuali. Semua akan di absen sesuai kelas."

"Tunda ke UKS. Segera berkumpul di lapangan," ucap Djoko dan pergi meninggalkan kelas.

"Akhirnya pergi juga guru datar itu. Mana kalau ngajar suka ngelarang-ngelarang! Gue berpikir Pak Djoko itu kayaknya nggak pernah senyum, pembawaannya dia serem banget, gaes. Aura-aura nggak bersahabat sama orang, tapi beda kalau sama Bu Arista bawaannya senyum-senyum aneh gitu," ujar Silvi.

Cassia memukul pelan tangan Silvi. "Udah! Gitu-gitu guru lo, Sil. Tanpa mereka kita nggak bisa jadi apa-apa."

"Gue ralat, Cassia. Tanpa orang tua gue, gue nggak bakalan jadi apa-apa. Toh, sekolah gue bayarkan?" Silvi tersenyum remeh, dan melirik Cassia sekilas. "Lo mana tahu, kan keluarga lo yang punya yayasan sekolah ini."

"Tetep aja bayar anjir! Lo pikir duit nggak di pakai muter ini itu?" sahut Aji.

Lagi-lagi Silvi tertawa. "Upasama terlalu kaya untuk muterin duit buat ini itu. Kalau mau apa-apa tinggal gesek, nggak perlu nunggu cuan dari sekolah perbulan. Iya kan, Ca?"

Cassia sudah terbiasa mendengar Silvi berucap dan seperti biasa pula ia hanya mengangguk. Kemudian pandangan Silvi beralih ke belakang pojok tempat Evita duduk. "Lo setuju juga kan, Evita?"

"Hm."

Mega berdiri dari kursinya menghampiri Natasha yang duduk dengan kepala yang ditidurkan di atas meja. "Lo baik-baik aja, Sha?" tanya Mega.

"I'm fine. Cuma sedikit pusing aja," jawab Natasha dengan menyentuh kepala kiri dan kanannya.

"Itu tandanya lo nggak baik-baik aja, bego. Sok-sok an bilang fine fine. Udah ayo ke UKS!" sahut Bagas yang tiba-tiba datang duduk berjongkok di samping Natasha.

"Apasih lo Bagas! Orang gue lagi sakit di bego-begoin! Lembut dikit nggak bisa lo? Gue aduin ke Kak Mahen tahu ra---"

Bagas berdiri tersenyum jahil dan mengacak-acak rambut Natasha. "Mahendra? Kakak lo itu temen gue, dan gue pastian dia lebih percaya sama temennya di bandingkan elo, adik yang manjanya kebangetan. Mana sok-sok an kuat lagi!"

"Bagas!" seru Evita tiba-tiba.

Bagas menengok ke bangku belakang tempat Evita duduk dan mengerut. "Apa?"

"Bucin lo kelihatan banget. Sok-sok an nistain Natasha nyatanya lo suka, kan?"

Raut wajah Bagas berubah kesal saat tahu ada orang yang bisa membaca bahasa tubuhnya. "Apasih lo, Vit!"

"Gengsi lo emang gede banget," sahut Cassia.

Aji tiba-tiba mendekat. Dan melihat keadaan Natasha. "Gaes, ayo ke lapangan cepat! Biar Natasha bisa cepat-cepat istirahat, kasian kan, Gas? Gebetan lo?"

"Apaan sih lo pada nggak jelas!" elak Bagas.

Cassia berbalik menatap Evita. "Lo nggak berdiri? Sebelum ke lapangan lo ke yayasan dulu, di panggil sama Pap---maksud gue Pak Hermawan."

Setelah mengatakan itu Cassia pergi terlebih dahulu. Dan setengah jalan di depan toilet Evita menarik lengannya pelan. "Gue nggak buat masalah, Ca. Lo ngadu apa lagi ke Bokap lo itu?"

"Om, Evita. Panggil Om. Jangan sebut Papa gue pakai kata Bokap lo Bokap lo, nggak sopan," ralat Cassia.

Cassia melipat tangannya di dada dan berucap, "Lagian Vit, gue nggak ngadu apa-apa. Lo suka banget berprasangka buruk ke gue. Lo lupa kita saudara? Lo lupa kita sama-sama keturunan Upasama? Nggak baik lo nethink terus ke gue, jatuhnya entar dosa," jelas Cassia.

Evita tertawa remeh, tangan kirinya mengibas surai cokelat pekatnya ke belakang. "Kebanyakan omong lo! Mentang-mentang Bokap lo yang memimpin di yayasan sekolah ini, lo pikir bisa seenaknya?"

"Seenaknya gimana, Evita? Lo lupa peraturan bagi setiap keturunan Upasama?" tanya Cassia.

Netra Evita terlihat memerah menahan amarah serta air mata. Ia selalu merasa kalah dihadapan Cassia.

"Kuasa orang tua nggak berarti apa-apa bagi keturunan Upasama. Salah tetap salah dan yang benar tetap benar," lanjut Cassia.

Evita mendorong Cassia, dan memilih sesegera mungkin pergi sebelum amarahnya semakin meledak-ledak dan ia akan mencakar serta menarik rambut sepupunya itu.

"Tunggu," ucap Cassia saat berhasil menangkap lengan Evita. Cassia sedikit menunduk, tangannya menyelipkan rambut di belakang telinga Evita. Kemudian Cassia mendekatkan bibirnya kepada daun telinga Evita dan berbisik lirih, "Dari yang gue denger. Lo suka nyari ribut sama Shanum. Tebakan gue, lo terlibat 'kan?"

Netra Evita melebar. "Lo!"

"Semakin lo marah, semakin memperjelas semuanya. Jadi ... tebakan gue bener?" ucap Cassia.

Note:

Marga keluarga yang akan di cantumkan sampai episode selanjutnya:

Upasama

Citaprasada

Keduanya sejajar dalam kekayaan.

Episode Tiga

...Episode Tiga : Terlahir Dari Keluarga Kaya?...

"Semakin lo marah, semakin memperjelas semuanya. Jadi ... tebakan gue bener?" ucap Cassia.

Evita hendak mendorong Cassia lagi. Namun tiba-tiba  saja sebuah tangan besar mencengkram pergelangan tangannya. "Abhimata?"

"Lo mau apain Cassia?" ucap Abhimata dengan tatapan tajamnya.

"Bukan urusan lo! Lepasin tangan gue!" sentak Evita.

Abhimata melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Evita. Tatapannya beralih pada Cassia yang terlihat kesal, dan seperdetik kemudian Cassia pergi. Maka tidak ada pilihan bagi Abhimata selain menyusul kekasih hatinya dan meninggalkan Evita sendirian.

"Cassia, tunggu!" seru Abhimata.

Tepat dibelokan lorong Abhimata berhasil menarik lengan Cassia. "Abhi, lepas!"

"Lo masih berpikir gue terlibat, Cas?"

Cassia mendongak menatap lelaki remaja satu tahun lebih tua darinya dengan kecewa. Jari telunjuk kanannya terangkat menunjuk dada bidang Abhimata. "Gimana gue bisa berpikir lo nggak terlibat, Abhi? Jelas-jelas lo sama kembaran lo itu brengseknya nggak jauh beda. Kalian sama!"

Abhimata menyentuh pergelangan tangan Cassia. Lorong ini sepi, bahkan ia siap untuk memeluk Cassia tanpa takut Hermawan Upasama melihatnya dan keluar dari kantor yayasan.

"Jangan peluk gue!"

Usai sudah niatnya. Abhimata menunduk sejenak dan berucap lembut menatap Cassia. "Tolong berhenti samain gue sama Abhimana, Cas. Gue bukan dia. Dan dia nggak akan pernah jadi gue."

"Gue tahu Abhi, keluarga gue sama Citaprasada dalam dunia bisnis nggak pernah akur sama Adiwangsa. Tapi tolong ... untuk hal-hal semacam ini. Apa lo nggak bisa berhenti berbuat buruk? Entah Abhimana, entah Kakak lo Rajendra bagi gue kalian sama!"

"Kalian sama jahatnya!" lanjut Cassia.

Abhimata menggeleng cepat, di raihnya tangan Cassia dan di genggamannya dengan erat. "Darah Adiwangsa emang ngalir di tubuh gue, Cas. Tapi apa lo pikir, pemikiran-pemikiran buruk bisa diwariskan? Nggak Cas, enggak. Dari kecil sampai sekarang, gue cukup bisa membedakan mana yang baik dan buruk."

"Pembohong."

Setelah mengucap itu Cassia berbalik, ia perlu ke toilet. Namun lagi-lagi lengannya di tahan oleh Abhimata. "Abhi, lepas!"

"Untuk pertama kalinya gue ngerasa nyesel. Terlahir dari keluarga kaya yang penuh harta, nggak sepenuhnya membahagiakan. Karena akhirnya pun lo tetep ngejahuin gue, Cas," ucap Abhimata lirih.

Dada Cassia terasa sesak, dengan cepat ia menyetak lengannya hingga terlepas genggaman tangan Abhimata di lengan. Sesegera mungkin ia pergi, berlari ke arah toilet. Sungguh Cassia begitu beruntung karena lorong-lorong yang ia lalui sepi, dan ia bisa sampai di toilet secepatnya.

"Anak-anak mohon segera berkumpul bagi yang telah menyelesaikan makan. Supaya tidak memperpanjang tugas polisi."

Suara speaker yang terdengar lirih di dalam toilet, Cassia abaikan. Ia menghidupkan keran wastafel dan menunduk membasuh mukanya dengan air beberapa kali. "Abhi, apa lo pikir semudah itu gue lupain lo?"

"Sebagian kecil hati gue berpikir lo nggak mungkin terlibat. Tapi sebagian besarnya, gue nggak bisa percaya sama lo. Gue nggak bisa percaya Abhimana, atau pun sekadar aja percaya sama keluarga lo. Gue nggak bisa, Abhi."

Cassia menghela napas panjang. Air matanya mengalir di sisi kiri dan kanan makin deras. "Keluarga Adiwangsa nggak pernah baik dalam pandangan orang-orang. Termasuk dalam pandangan gue."

Gawai Cassia bergetar di saku. Mungkin ada yang memanggil. Secepatnya ia melihat siapa gerangan yang menghubungi dirinya?

"Evita?" gumam Cassia dengan menekan tombol hijau dan meletakkan ponsel di telinga kanannya.

"Lo nggak ke lapangan?"

Cassia terdiam mendengar suara Evita dari seberang. "Habis ini."

"Gue peringatin, Ca. Upasama nggak akan pernah bersatu sama Adiwangsa. Jadi baiknya lo jauhin Abhimata, dia sama bajingannya sama Abhimana."

Tangan kiri Cassia menghapus sisa-sisa air matanya dan mematikan keran air. "Tanpa lo kasih tahu pun. Gue udah paham, Evita."

"Gue serius. Sekalipun lo ngeselin. Lo tetep keluarga gue, lo bagian dari Upasama. Jadi berhenti nuduh gue seakan-akan gue terlibat sama kasusnya Shanum."

"Nyatanya elo---"

"Kenapa lo nggak curiga sama Abhimata? Keluarga dia kan suka bikin masalah. Lo lupa dulu lo sempat mau di tid---"

"Stop, Evita!"

Setelah menyeru dengan sangat keras, Cassia memutuskan panggilan secara sepihak. Napasnya yang semula tenang menjadi tersengal-sengal karena lagi-lagi Evita mengingatkannya tentang kejadian buruk yang ingin dilupakannya.

"Penyesalan terbesar dalam hidup gue adalah kenal sama lo, Abhi!"

Cassia meletakkan gawai di samping wastafel. Kemudian merogoh saku dalam almamater sekolahnya, dan mengambil lipstick merah serta memakainya tipis-tipis. "Lumayan. Seenggaknya, gue nggak sepucat tadi."

"Gue harus cepat-cepat ke lapangan, sebelum Papa nelpon dan marah-marah nggak jelas," monolog Cassia.

...•••...

Di sisi lain anak-anak berkumpul di lapangan. Arista telah sampai di kediaman Citaprasada dengan Sambara dan juga Bimasena. Saat turun dari mobil Alphard hitam Sambara dan Bimasena disambut oleh salah satu pelayannya.

"Tuan muda Sambara," ucap salah satu pelayan dengan surai yang beruban digelung rapi---Bibi Lia.

"Ada apa, Bibi Lia?"

Bimasena sudah melenggang masuk. Sedangkan Arista mematung di tempat seolah-olah menunggu Sambara selesai bicara. Padahal sebenarnya ia hanya menunggu dipersilakan masuk.

"Tuan Jaiz telah sampai di rumah satu jam yang lalu. Dan beliau tidak istirahat, terus berdiri menunggu di depan pintu kamar Nona Shanum," jelas Lia.

Mendengar itu Sambara langsung masuk tanpa memperdulikan Arista yang tengah menunggu persetujuannya untuk di izinkan masuk.

"Silakan masuk, Ibu guru," ucap Lia.

Beliau tahu aku adalah guru? batin Arista. Dan segera melangkahkan kaki memasuki rumah dengan nuansa putih abu-abu pekat yang nampak sangat minimalis dan elegan.

"Anda tidak perlu duduk. Jika bersedia apa anda bisa langsung ikut saya ke kamar Shanum?" ucap Sambara saat hendak menaiki tangga dan meloloskan niat Arista untuk duduk.

"Tentu."

Tiga tangga terakhir, Arista mendengar suara lirih kedua laki-laki berbicara. Apakah itu Bima? Dan ... Papanya? Jaiz Citaprasada? Saat telah berhasil melewati anak tangga terakhir, Arista mengikuti di mana arah Sambara berjalan dan dalam jarak lima meter terlihat Bima sedang membujuk Jaiz, agar berhenti mengetuk pintu kamar Shanum.

"Papi cukup. Sambara akan membujuk Shanum," ucap Sambara dengan menuntun Jaiz untuk berdiri.

Sedangkan Bima memegang sisi kiri punggung Jaiz perlahan. "Beliau guru Bima, Pi. Bu Arista. Beliau yang akan membujuk Shanum untuk makan dan mau membuka pintu. Insya Allah bisa, Pi. Jadi Bima mohon Papi istirahat," lirih Bima.

Pria paruh baya itu menggeleng cepat, bahkan air mata telah luruh di ekor mata kiri dan kanannya. "Ini salah Papi, Nak. Papi nggak bisa jaga Shanum. Bahkan Papi nggak mau dengerin Shanum bicara tentang apapun. Papi selalu sibuk, Papi---"

"Cukup, Pi. Shanum akan segera pulih, percaya sama Sambara." Netra Sambara beralih tatap kepada Bima dan berucap, "Kamu bawa Papi ke kamar."

Bima memapah Jaiz dengan perlahan dan di bantu oleh pelayan laki-laki. Sesaat setelah Bima dan Jaiz tidak terlihat, Sambara menatap Arista dengan sendu.

"Anda tahu semenyedihkan apa kehidupan keluarga kami," lirih Sambara.

Arista menunduk menghindari tatapan netra Sambara. "Semua manusia memiliki kesedihannya masing-masing. Bahkan hal-hal semacam itu, tidak bisa manusia duga kapan datang dan perginya."

"Anda benar, Bu Arista. Maka jika saya bisa meminta, kurangilah sedikit saja kesedihan keluarga kami, dengan membuat Shanum makan dan berbicara," ucap Sambara dengan memberikan makanan yang terletak di samping meja dekat kamar Shanum. Kemudian Sambara lanjut berucap, "Saya pergi. Saya tidak mau mengganggu bagaimana cara sesama wanita membagi kesedihan. Anda cukup berusaha semampu anda, jika pada akhirnya Shanum tidak membuka pintu pun tidak apa-apa."

Arista hanya bisa mengangguk. Karena sampai kapan pun ia tidak akan pernah bisa memahami kesedihan tiga laki-laki yang merasa gagal menjaga satu putri di dalam keluarganya. Sungguh pasti sakit. Bahkan seakan-akan tiada lagi kesedihan yang lebih menyesakan saat melihat keadaan Shanum saat ini.

Arista mencoba mengetuk pintu perlahan. "Shanum, ini Ibu. Bu Arista."

"Kamu mau membuka pintu untuk Ibu?"

Arista meletakkan nampan berisi makanan di meja kembali. Kemudian mengetuk pintu lagi. "Ibu hanya mau kamu membuka pintu. Ibu nggak bakalan tanya apa-apa ke kamu. Ibu nggak bakalan bicara kalau kamu nggak ngizinin Ibu. Ibu akan---"

Ucapan Arista tertahan, saat pintu kamar Shanum terbuka sedikit, terlihat celah gambaran kamar Shanum berwarna biru dan putih. "Assalamualaikum, Ibu masuk, Shanum."

Setelah mengambil nampan berisi makanan, Arista melangkahkan kaki memasuki kamar Shanum dan disambut hawa sejuk dari AC, serta wangi lavender ruangan ini. Arista meletakkan nampan di atas meja abu-abu kamar Shanum, kemudian berbalik menutup pintu. Dan kembali menatap kepada Shanum yang duduk di tepi ranjang membelakanginya. Surai hitam pekat yang biasanya di ikat setengah kini tergerai lurus indah tanpa apa-apa.

Arista mendekat, hendak mengambil duduk di bawah ranjang. Namun lengannya ditahan oleh Shanum.

"Jangan duduk di bawah, Bu," lirih Shanum.

Arista mengerti. Maka ia mengambil duduk di samping Shanum dan setelah itu di raihnya tangan Shanum. "Kamu makan. Ibu suapi, ya?"

Shanum menatap lurus keluar jendela, tidak berniat sedikit pun membalas tatapan Arista. Bahkan di ekor matanya terlihat sisa-sisa air mata yang telah mengering, dan memar masih belum hilang di kedua pergelangan tangan Shanum.

"Gimana bisa aku nelan makanan, Bu? Saat aku sendiri pun nggak bisa memastikan jejak laki-laki itu sudah hilang atau belum."

Arista tidak bisa menjawab. Bibir Arista kaku untuk berucap, karena apa-apa yang ia katakan tidak akan pernah berbuah baik untuk Shanum.

"Ini salah aku, ya Bu?"

Shanum menghela napas dan lanjut berucap, "Sebagai seorang perempuan, aku nggak bisa jaga diri. Apa pakaian yang aku gunain terlalu mengundang, Bu? A-apa aku ini kelihatan kayak perempuan murahan? Cuma karena a-aku nggak punya Ibu?"

Nggak punya Ibu? Apa Ibunya pergi? batin Arista dengan menatap Shanum lekat-lekat. Sedikit pun ia tidak ingin berbicara, karena sungguh Shanum butuh untuk di dengarkan saja.

"Bahkan terlahir dari keluarga yang penuh harta pun nggak menjamin hidup manusia baik-baik aja. Buktinya uang nggak bisa buat aku bahagia, Bu. Bahkan dengan nama belakang keluarga ku pun, nggak bisa buat orang-orang berhenti berbuat keburukan kepada keluarga kami."

Shanum melepaskan genggaman tangan Arista. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya dan terisak-isak "Rasanya aku mau mati aja, Bu."

"Astaghfirullah. Istighfar, Shanum. Apa yang kamu ucap, Nak? Semua ini memang nggak bisa kembali. Tapi semua ini bisa diperbaiki---"

"Apa yang bisa di perbaiki lagi, Bu?" sanggah Shanum.

"Semua ini nggak akan pernah bisa diperbaiki. Nama baikku dan segalanya yang ada dalam diriku nggak bisa kembali, Bu. Semua udah hancur!"

Arista meraih tangan yang menutupi wajah Shanum. Kemudian menarik Shanum dalam pelukannya. "Berhenti, Shanum. Jangan bicara apa-apa lagi."

"Aku mohon sama Ibu. Tolong berhenti tanya siapa laki-laki itu. Ka-karena aku se-ndiri pun nggak tahu siapa dia. Aku ... aku nggak mau inget-inget itu lagi, Bu. Aku takut, a-aku nggak mau nemuin Papi, Kak Sam sama Kak Bima karena aku takut, Bu. Aku malu, aku---"

Di tepuk-tepuknya punggung Shanum dengan lembut. "Berhenti, Shanum. Jangan bicara. Ibu mohon berhenti."

"Aku harus gimana, Bu?"

Note:

Kasta tertinggi dimenangkan oleh keluarga Adiwangsa. Tetapi keluarga ini punya begitu banyak catatan hitam. Jika dibutuhkan marga-marga dari keluarga lain akan dicantumkan, namun ketiga marga; Citaprasada, Upasama dan Adiwangsa yang akan sering bermunculan.

Saya harap kalian sudah memahami jalan ceritanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!