NovelToon NovelToon

My Dearest Wife

Adrian

Adrian Wiguna. Begitu nama pria tampan nan rupawan itu. Seorang pengusaha muda yang sangat sukses. Selain memiliki tambang batubara, dia juga merambah bisnis perhotelan dan resort di Bali dan Lombok. Belum lagi bisnis properti dan bisnis lainnya. Dia sudah merintisnya sejak berusia lima belas tahun. Keadaan yang memaksanya untuk dewasa sebelum waktunya. Sejak kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil, dia terpaksa harus meneruskan bisnis keluarganya serta membesarkan adik lelakinya, Arkan, yang usianya lebih muda lima tahun darinya. Kini ia sedang menempuh pendidikan S2 kedokterannya di Amerika.

Adrian menjadi seorang pria yang dingin dan tertutup. Tidak ada seorangpun yang berani untuk melihat langsung padanya apalagi membantah perkataannya. Hanya kakeknya saja yang bisa mengendalikan emosi nya. Kakek Zein punya riwayat penyakit jantung. Ia seorang pensiunan polisi. Dulu ia sangat gagah dengan seragamnya. Ia sebenarnya ingin sekali melihat salah satu penerusnya mengikuti jejaknya. Namun keinginannya itu hanya sebatas mimpi saja. Tidak ada satupun baik anak atau kedua cucunya yang tertarik untuk menjadi polisi seperti dirinya. Namun ia tetap mendukung keputusan apapun yang mereka lakukan. Kini kakek Zein hanya bisa berdiam diri di rumah karena usianya yang tak lagi muda. Di rumah besar ini, ia terkadang sangat kesepian. Hanya Sofia, kepala pengurus rumah tangga, yang bisa dia ajak bicara. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu sudah mengabdikan dirinya di rumah itu selama dua puluh tahun lebih. Bahkan ia tidak menikah sama sekali. Adrian dan Arkan juga sudah menganggapnya sebagai ibu bagi mereka.

Adrian memulai rutinitas sehari-hari dengan berolahraga. Salah satu pengusir penatnya disela-sela pekerjaannya. Di rumah mewah itu, ia punya ruangan khusus untuk menyimpan alat-alat olahraganya.

Hari ini dia berencana akan ke luar kota selama seminggu. Romi, asisten pribadinya, telah menyiapkan semua keperluannya selama berada di sana. Setelah selesai berolahraga, ia mengistirahatkan sejenak tubuhnya untuk mengeringkan keringatnya yang sudah membanjir. Saat dirasa tubuhnya sudah lumayan kering, ia masuk ke kamarnya untuk mandi.

Kamar itu sangat luas. Ada ranjang besar yang diletakkan di tengah ruangan. Ada kamar mandi pribadi dan ruangan khusus pakaian juga di sana. Ruangan itu di dominasi warna putih karena ia memang tidak suka bermain dengan warna untuk kamarnya. Sejam kemudian ia sudah tampak rapi dengan setelan jas hitamnya. Rambutnya juga sudah tersisir rapi. Ia memang lebih suka mengurus semuanya sendiri tanpa bantuan siapapun.

Setelah selesai berpakaian, ia turun kebawah untuk menemui kakeknya yang sudah menunggu di meja makan. Ia tak lupa mencium kening kakeknya lalu ikut duduk menemaninya sarapan.

"Kau jadi pergi hari ini?" tanya kakeknya.

"Iya kakek. Aku berangkat pagi ini." Jelasnya sambil memakan roti isi yang diletakkan Bu Sofia di piringnya.

"Berapa lama?" tanyanya lagi.

"Sekitar seminggu kek." jawabnya.

"Lama sekali." gerutunya.

Adrian hanya menatap kakeknya sambil tersenyum. Ia tahu betul kenapa kakeknya menggerutu seperti itu. Karena dia kesepian ditinggal Adrian keluar kota. Orang jika semakin tua umurnya pasti akan kembali seperti anak kecil lagi.

"Seandainya saja kau sudah menikah. Pasti kakek tidak akan kesepian. Ada cucu menantu dan cicit-cicit kakek yang menemani kakek." sindirnya.

Adrian hanya diam dan menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia mulai jenuh jika kakeknya mulai membahas soal istri.

"Kakek!" serunya.

"Apa!"

"Aku akan usahakan pulang secepatnya. oke!" ucapnya.

"Saat pulang jangan lupa sertakan calon istrimu." godanya.

"Kakek. Berhenti membahas tentang istri. Oke!" pintanya.

"Apanya yang berhenti. Kau itu sudah kepala tiga. Sudah waktunya untuk mempunyai keluarga. Kau masih normal kan?"

"Astaga. Tentu saja aku normal kakek! Aku hanya belum kepikiran untuk menikah. Lagipula aku masih tiga puluh tahun." bantahnya.

"Apanya yang masih tiga puluh tahun. Kau tahu cucunya teman kakek yang seumuran denganmu bahkan sudah punya dua anak. Sementara kau menikah saja belum." gerutunya.

Adrian sungguh merasa lelah jika kakeknya mulai berdebat tentang masalah pernikahan dengannya. Jika ia terus meladeni kakeknya, bisa-bisa ia harus menunda keberangkatannya hari ini.

Ia pun menyelesaikan sarapannya dengan segera. Setelah selesai, Ia berpamitan pada kakeknya.

"Kakek jangan pergi kemana-mana ya. Tetap di rumah hingga aku kembali. Apa kakek mengerti?" perintahnya.

"Iya! Iya! Kakek bukan anak kecil yang harus diingatkan berkali-kali." keluhnya.

"Baiklah. Aku pergi dulu ya kek!" pamitnya sambil mencium pipinya.

Romi membukakan pintu mobil untuk atasannya itu. Mereka segera berlalu dari sana. Karena semakin cepat ia pergi, maka akan semakin cepat pula ia kembali.

___________

Saat ini kakek Zein sedang beristirahat di kamarnya setelah meminum obatnya. Tak lama kemudian terdengar suara ponselnya berdering dengan sangat nyaring.

Ia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Tak lupa ia mengenakan kacamata bacanya untuk melihat siapa orang yang menghubunginya. Tidak ada nama yang tertera di layar ponselnya. Hanya ada nomor. Tapi dia tetap menjawabnya.

"Halo! Siapa ini?" tanyanya.

Hening sejenak. Hanya terdengar suara nafas diseberang.

"Halo!" sapa nya lagi.

Tapi tidak ada jawaban. Saat ia ingin mengakhiri panggilannya, terdengar suara diseberang sana.

"Halo Zein! Ini aku Kirana. Apa kau masih ingat padaku?" tanya wanita itu gugup.

"Kirana! Apa ini benar-benar kau?" tanya pria tua itu memastikan bahwa itu adalah wanita yang dikenalnya.

"Iya. Ini aku! Syukurlah jika kau masih mengingatku." ucapnya.

"Kau ada dimana sekarang? Kenapa tidak pernah memberi kabar padaku?" tanyanya.

"Hmm... ceritanya panjang. Nanti aku akan menceritakannya padamu. Aku sebenarnya ingin minta tolong padamu."

"Jadi karena kau butuh pertolonganku, baru kau menghubungiku setelah bertahun-tahun." keluhnya.

"Bukan begitu. Aku hanya belum ada waktu untuk menghubungimu." jelas Kirana.

"Huh! Baiklah! Bantuan apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya.

Kirana tampak menjelaskan masalahnya padanya. Ia menyuruhnya untuk mengunjunginya ditempat tinggalnya. Zein tampak berpikir. Ia akhirnya menyetujuinya.

"Baiklah! Aku akan menunggumu. Sampai ketemu besok." ucap Kirana mengakhiri pembicaraannya.

Kakek Zein menatap layar ponselnya. Ia bingung harus mencari alasan apa untuk mengelabui cucunya yang pasti tahu kemana saja ia pergi. Tapi ia juga tidak bisa mengingkari janjinya. Besok ia akan tetap pergi apapun yang terjadi.

Ia memanggil Sofia melalui telepon kamarnya. Lalu menyuruhnya untuk mempersiapkan helikopter besok pagi dan juga keperluannya untuk seminggu. Karena sejujurnya ia tidak tahu berapa lama ia akan. berada di sana. Sofia juga akan ikut bersamanya. Setidaknya saat Adrian kembali nanti sebelum dirinya kembali ke rumah, cucunya tidak akan terlalu cemas karena Sofia menemaninya.

"Tuan besar! Kau suka sekali mencari masalah dengan cucumu." ledek Sofia.

"Biar saja. Ia akan berterima kasih padaku suatu hari nanti." ucapnya sambil tersenyum.

-Adrian

_________________

Anindya

Gadis manis berusia 20 tahun. Ia tinggal di sebuah perkampungan kecil di pinggiran kota. Ia tinggal bersama neneknya, Kirana. Ibunya sudah meninggal saat ia masih berusia 10 tahun. Sementara ayahnya pergi begitu saja meninggalkan ia dan ibunya.

Andini hanya lulusan sekolah menengah atas. Ia tidak kuliah karena tidak ada biaya. Sehari-hari ia hanya ikut membantu Bu Sari berjualan ikan dipasar. Bu Sari sudah seperti saudara baginya dan neneknya. Perkampungan mereka sangat dekat dengan pantai. Sebagian besar warga disana menjadikan pantai sebagai mata pencaharian utama sebagai nelayan. Suami Bu Sari juga seorang nelayan. Mereka punya seorang putri yang usianya jauh lebih muda dari Anindya. Namanya Ayu, dia masih duduk di kelas lima sekolah dasar.

Hari ini seperti biasa, Anindya sibuk membantu Bu Sari berjualan. Banyak ikan segar yang didapatkan suaminya kemarin malam. Ikan-ikan ini sebelumnya sudah disortir terlebih dahulu berdasarkan jenisnya dan ukurannya.

Sejak pagi buta , kondisi pasar sudah sangat ramai. Anindya setiap harinya bangun jam empat pagi lalu segera ke pasar bersama Bu Sari. Sementara neneknya masih tidur. Ia selalu kembali kerumah saat neneknya bangun. Nenek Kirana punya riwayat penyakit diabetes. Sehingga dia tidak bisa lagi bekerja terlalu berat.

Anindya selalu pulang pukul setengah tujuh untuk mengurus nenek nya. Terkadang Bu Sari yang mengingatkannya. Bu Sari juga memberikannya beberapa ikan segar untuk diolahnya. Wanita itu sudah menganggap Anindya sebagai putrinya sendiri. Ia selalu tidak tega melihat Anindya harus berusaha keras untuk sekedar menyambung hidupnya juga neneknya. Padahal biasanya gadis seusianya seharusnya masih mengejar mimpi dan cita-citanya.

Sebelum pulang kerumah, Anindya membeli beberapa bahan untuk masakannya nanti. Saat semua sudah lengkap, ia segera kembali ke rumah.

Tapi ditengah perjalanan pulang, ia berpapasan dengan seorang pria.

"Kak Rayhan kau mau kemana?" tanyanya pada pria itu.

"Aku baru saja ingin menemuimu dipasar. Tapi malah bertemu disini." jelas Rayhan.

Rayhan adalah salah satu temannya. Sehari-hari ia membantu ayahnya mengurus toko material milik ayahnya. Usianya lima tahun lebih tua darinya. Sehingga ia selalu menganggapnya sebagai kakaknya. Namun yang dirasakan Rayhan justru sebaliknya. Ia diam-diam memendam perasaan suka pada gadis manis itu.

"Ada apa?" tanyanya lagi.

"Aku ingin pamit padamu."

"Pamit. Memangnya kau akan pergi kemana?" tanyanya bingung.

"Aku diterima bekerja di salah satu hotel terkenal di kota sebagai manajer." ucapnya.

"Oh ya. Wah selamat ya. Aku turut senang untuk kakak." ucapnya.

"Iya. Terima kasih. Apa kau tidak keberatan jika aku pergi?" tanyanya sedikit berharap.

"Kenapa aku harus keberatan. Aku malah senang jika kau bisa sukses dan berhasil membuktikan kemampuanmu pada ayahmu." jelasnya Anindya sambil menepuk pundaknya.

"Begitu ya." ucapnya sedikit kecewa.

Gadis itu begitu polos. Ia bahkan tidak bisa menyadari kesedihan pria itu yang akan pergi jauh darinya.

"Baiklah. Jika begitu. Aku pamit ya." pamitnya.

"Iya. Hati-hati ya. Semoga kau sukses disana. Jika sudah sukses nanti jangan lupakan aku ya." pesannya.

"Aku tidak akan pernah mungkin melupakanmu." ucapnya. Karena kau adalah cinta pertamaku. batinnya.

"Kau akan tetap disini menungguku kan?" tanya Rayhan memastikan sebelum ia pergi.

"Tentu saja. Memangnya aku akan pergi kemana. Rumahku kan disini. Kau ini ada-ada saja." jelasnya.

Entah apa dia paham dengan maksud Rayhan atau tidak.

Pria itu pergi dengan membawa harapan. Bahwa suatu hari ia akan kembali membawa kesuksesannya lalu menikahi gadis yang dicintainya itu.

__________

"Nenek. Ayo bangun. Sarapannya sudah siap." ucap Anindya sambil membangunkan neneknya.

Entah kenapa akhir-akhir ini neneknya semakin hari semakin suka tidur. Biasanya Anindya bahkan tidak perlu membangunkannya. Karena wanita baya itu sudah bangun dan duduk manis di kursi goyang favoritnya sambil menyulam saat dirinya kembali dari pasar. Menyulam adalah satu-satunya kegiatan yang diizinkan oleh Anindya untuk dilakukannya.

Nenek Kirana bangun dengan perlahan.. Anindya tampak membantunya duduk. Anindya lalu memapah nenek Kirana ke kamar mandi untuk membantunya membersihkan tubuh.

Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia membantu untuk mendudukkan neneknya dikursi meja makan.

Ia selalu menyiapkan sarapan khusus untuk neneknya, dikarenakan riwayat penyakit diabetes nya. Anindya bahkan sampai menanyakan pada dokter tentang makanan apa saja yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh neneknya.

Neneknya terlihat sangat menikmati masakan cucunya yang manis itu. Anindya juga ikut sarapan bersamanya.

"Anin." panggilnya.

"Iya nek. Ada apa?" tanyanya.

"Ehm... jika nenek pergi apa kau akan baik-baik saja?" tanyanya balik membuat Anindya bingung.

"Memangnya nenek mau pergi kemana?" tanya gadis itu lagi.

"Tidak. Seandainya nenek tiba-tiba pergi. Apa kau akan baik-baik saja?"

"Nenek ini bicara apa. Aku tidak mengerti. Pagi-pagi sudah bicara sembarangan. Ayo selesaikan sarapan nenek. Aku mau kembali ke pasar." perintahnya.

Nenek Kirana hanya tersenyum. lalu melanjutkan sarapannya. Terbesit sedikit kecemasan dihatinya pada cucunya.

Anindya hanya memiliki dirinya sekarang. Bagaimana jika Tuhan juga memanggilnya suatu hari nanti. Bagaimana dengan cucunya itu.

____________

Siang hari sepulang dari pasar, Anindya biasanya selalu menemani neneknya dirumah. Ia juga mengistirahatkan sejenak tubuhnya yang sudah lelah karena sejak pagi buta ia sudah melakukan aktivitas fisik yang berat dipasar. Rasanya sangat melegakan bisa meluruskan kakinya di atas kasur tipis miliknya yang ia gelar diruang tamu. Rumah itu sangat kecil. Hanya ada satu kamar disana dengan ranjang kecil yang dipakai neneknya. Anindya terbiasa tidur di ruang tamu setiap harinya.

Ia masih sangat muda. Tapi begitu banyak kesusahan yang harus ditanggungnya. Ia terkadang merindukan ibunya yang telah pergi sepuluh tahun yang lalu karena sakit.

Tapi karena neneknya, ia bisa melalui semuanya dengan mudah. Ia tidak tahu bagaimana hidupnya kelak tanpa adanya nenek Kirana disampingnya.

Anindya terlelap dalam tidurnya. Rasanya lelap sekali.

________

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Anindya sudah mandi dan mengganti pakaiannya tadi yang sudah bau amis. Ia mengurus neneknya terlebih dahulu sebelum pergi kerumah Bu Sari untuk membantunya menyortir hasil tangkapan suaminya malam nanti.

Setelah selesai mempersiapkan hidangan untuk makan malam dan mengurus neneknya. Anindya pamit untuk pergi kerumah Bu Sari sebentar.

Tapi sebelum ia pergi, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu rumahnya.

Ia pun segera membuka pintu. Terlihat seorang pria tua bertongkat dan seorang ibu paruh baya berdiri didepan pintu rumahnya.

"Maaf. Apa benar ini rumah nyonya Kirana?" tanya pria tua itu.

"Iya benar. Tuan dan nyonya ini siapa ya?" tanya Anindya heran.

Pria tua itu hendak menjawab tapi langsung disela oleh neneknya.

"Zein. Apa itu kau?" tanya nenek Kirana yang terlihat kesusahan menghampiri mereka.

Anindya dengan cepat memapah tubuh neneknya. Membantunya untuk berdiri.

"Iya ini aku." jawabnya pria tua itu sambil tersenyum.

Sementara Anindya terlihat bingung apa hubungan antara neneknya dengan pria tua itu.

-Anindya

___________

Ini up untuk hari ini. Semoga suka ya. Yang suka dengan cerita boleh kasih like dan komen nya ya. Terima segala kritik dan saran juga. Biar lebih semangat up lagi.

Terima kasih 🙏

Kakek Zein

Anindya merasa bingung dengan kedatangan kedua orang yang belum pernah dilihatnya selama ini.

Apa hubungan mereka dengan nenek? Kakek ini bukan pacar gelap nenek kan? batinnya menerka-nerka.

Ia seketika tertawa geli membayangkan jika kakek ini benar-benar berpacaran dengan neneknya.

"Kenapa kau tertawa seperti itu? Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Kirana heran menghampiri cucunya didapur yang sedang membuatkan minuman untuk tamunya.

"Tidak. Aku tidak memikirkan apa-apa. Oh ya nek! Sebenarnya siapa kakek itu, nek?" tanya Qiara penasaran.

"Nanti kau juga akan tahu. Kau tidak memakai gula yang biasa kan untuk tehnya?" tanyanya memastikan.

"Tidak. Nenek tenang saja aku memakai gula khusus kok." jawabnya.

Anindya mengantarkan minuman itu kedepan. Ia semula ingin ikut duduk disana bersama mereka, tapi neneknya malah mendesaknya untuk pergi.

"Tapi! Aku mencemaskan nenek." Anindya bersikeras untuk tetap tinggal.

"Memangnya apa yang kau cemaskan. Mereka kan tidak mungkin menculik nenek ataupun menyakiti nenek. Kau lihat pria itu, dia bahkan berdiri harus ditopang dengan tongkat." ledeknya pada Zein.

Pria itu tertawa kecil mendengarnya. "Hei! Aku masih kuat untuk berlari." sahutnya.

"Sudah pergilah. Sari pasti sedang menunggumu. Sudah cepat pergi sana!" perintah pada cucu kesayangannya itu.

Akhirnya Anindya mengalah dan pergi dari sana. Meninggalkan mereka bertiga untuk berbicara disana.

Setelah memastikan Anindya pergi, Kirana mulai terlihat berbicara serius pada Zein.

"Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba memintaku datang kemari?" tanyanya penasaran.

Kirana seketika melirik ke arah Sofia yang masih berada disana. Zein sepertinya tahu apa yang dipikirkan Kirana saat melihat orang kepercayaannya itu.

"Kau tidak perlu cemas. Sofia adalah orang yang paling kupercaya setelah kedua cucuku. Ia sudah seperti anakku sendiri. Ceritakan saja semuanya." jelasnya.

Kirana tampak ragu. Tapi ia akhirnya ia mulai menceritakan masalahnya.

"Aku... ingin kau menjaga Anindya setelah aku pergi nanti." ucapnya ragu.

"Apa maksudmu? Memangnya kau akan pergi kemana?"tanyanya bingung.

"Bukan itu. Aku tidak akan pergi kemana-mana. Kau tahu aku merasa jika waktuku akan segera habis. Aku sudah merasa jika umurku tidak akan lama lagi."

"Apa yang kau bicarakan. Jangan pernah bicara seperti itu lagi. Apa kau tidak kasihan dengan cucumu."

"Aku tahu Zein. Tapi apa kau tidak lihat keadaanku sekarang. Aku bahkan sudah tidak mampu untuk berdiri dan mengurus diriku sendiri. Tuhan bisa memanggilku kapan saja." jelasnya.

"Aku tahu. Tapi kenapa harus aku? Apa dia tidak punya keluarga lain? Bagaimana dengan orangtuanya?" tanyanya heran.

"Anindya tidak punya siapapun selain aku Zein." jelasnya lirih.

"Apa yang terjadi pada orangtuanya?" tanyanya.

Kirana mulai menceritakan semuanya pada Zein.

Flashback on

Seorang gadis kecil tampak berlari dihalaman rumahnya yang luas. Gadis kecil itu sangat lucu dan menggemaskan. Ia tampak sedang bermain dengan ayahnya. Gadis kecil itu kira-kira berusia empat tahun.

Seorang wanita tampak menghampiri mereka, dan ikut bermain bersama mereka. Pria itu lalu menggendong gadis kecil itu dan mendudukkannya diatas pangkuannya. Mereka bertiga duduk diatas rumput yang membentang sepanjang halaman rumahnya.

"Anin! Jika kau besar nanti, kau mau jadi apa?" tanyanya pria itu.

"Aku ingin jadi princess, ayah!" ucapnya polos.

"Oh ya! Kenapa Anin ingin jadi princess?" tanyanya lagi.

"Karena p**rincess punya banyak gaun yang indah dan sepatu yang bagus" jawabnya polos.

Mereka berdua seketika tertawa melihat kepolosan anak gadis mereka. Mereka tampak sangat bahagia.

"Baiklah. Nanti ayah akan membelikan banyak pakaian dan sepatu yang bagus untuk Anin." ucapnya menyenangkan hati anaknya.

"Jangan menjanjikan sesuatu pada Anin, nanti jika kau tidak bisa menepatinya dia akan kecewa." jelas Arini, nama wanita itu.

"Kau tidak perlu cemas. Aku pasti akan menepati janjiku." ucap Rian.

Arini tersenyum mendengarnya. Mereka terlihat sangat bahagia dengan keluarga kecil mereka.

Flashback off

"Tapi kebahagian itu tidak bertahan lama. Karena tiba-tiba, Rian mengalami masalah diperusahaannya. Perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar. Emosinya kadang menjadi tidak terkendali. Ia sering melampiaskan kemarahannya pada Arini dan Anindya. Tapi Arini masih memaklumi atas perubahan sikap Rian padanya. Hingga suatu hari__" jelasnya mencoba mengingat kembali kejadian saat itu.

Flashback on

"Sayang! Kau sudah pulang? Apa kau lelah?" Arini menyambut kepulangan suaminya dengan senyuman.

Tapi pria itu sama sekali tidak bisa menampakkan raut wajah bahagia sekalipun hanya sandiwara. Ia hanya diam dan melewatinya begitu saja.

Arini berusaha untuk tetap bersabar menghadapi sikap suaminya itu yang semakin lama semakin menghindarinya. Ia hanya tidak ingin menambah beban pikirannya.

"Ayah! Kapan ayah membelikan pakaian yang indah untukku? Ayah bilang, ayah akan membelikan banyak pakaian dan sepatu untukku." Anindya tiba-tiba menghampirinya bertanya dengan polosnya.

Tapi ia tidak menjawab. Ia malah memarahinya dan membentak gadis kecil itu.

"Setiap hari hanya itu saja yang kau tanyakan. Apa kau tidak bisa diam. Apa kau tidak tahu jika aku sedang pusing." bentaknya sambil mendorong tubuh kecil gadis itu hingga terjatuh kelantai.

Arini segera menghampiri dan memarahi suaminya itu.

"Apa kau sudah tidak waras. Kenapa kau memperlakukannya seperti itu. Dia masih kecil, dia belum mengerti apa-apa. Kenapa kau jadi seperti ini?" tegurnya sambil memeluk anaknya itu.

"Aku memang sudah tidak waras. Lalu kau mau apa? Mau meninggalkanku? Pergilah! Aku tidak membutuhkan istri sepertimu." bentaknya sambil menghempaskan tubuhnya.

Arini hanya bisa menangis melihat perlakuan suaminya itu. Tapi ia bisa berbuat apa. Ia berusaha untuk menenangkan anaknya.

"Maafkan ayah ya sayang! Ayah hanya lelah karena pekerjaannya." ucapnya sambil mendiamkan anaknya yang tidak berhenti menangis.

Hari demi hari terus berlalu. Setiap hari hanya terdengar pertengkaran yang menghiasi rumah itu. Anindya selalu bersembunyi didalam lemari pakaiannya jika melihat ayahnya mulai memarahi ibunya seperti orang yang tidak waras.

Hingga suatu hari keadaan perusahaan mulai normal. Dan keuangan keluarganya mulai stabil. Tapi hal itu tidak juga merubah sikap suaminya pada dirinya dan juga putrinya. Ia selalu menyalahkan Arini atas semua hal yang dilakukannya. Seakan-akan ia sudah merasa bosan hidup dengan istrinya itu.

"Kenapa sikapmu terus menerus seperti ini kepadaku? Bukankah semuanya sudah kembali normal seperti dulu."

"Diam kau! Bukankah sudah kukatakan dari dulu. Jika kau tidak suka dengan sikap dan perlakuanku, kau bisa pergi dari sini. Aku sudah bosan hidup bersamamu." bentaknya.

"Kenapa kau jadi berubah seperti ini? Tolong jangan bersikap seperti ini. Apa aku punya salah padamu?" tanyanya.

"Kau bertanya apa salahmu? Salahmu adalah karena kau adalah wanita yang tidak berguna. Kau bahkan tidak bisa membantuku menyelesaikan masalahku. Sekarang aku minta kau dan anakmu segera pergi dari rumah ini. Aku sudah muak melihatmu dan anakmu itu." ucapnya sambil mendorong tubuh wanita itu hingga jatuh kelantai.

"Kau mungkin bisa mengusirku, tapi bagaimana mungkin kau tega mengusir Anindya. Bagaimanapun juga dia adalah darah dagingmu. Dia putri kandungmu." bentaknya.

"Diam! Aku tidak perduli sekalipun dia putri kandungku atau tidak. Aku mau kalian berdua segera pergi dari sini!"

Pria itu tampak kalap. Ia mencari Anindya di dalam lemari pakaian. Ia membuka pintu lemari itu dengan kasar hingga mengagetkan gadis kecil itu. Ia tampak sangat takut. Ia memeluk kedua lututnya dengan erat. Lalu Rian menggendongnya dengan kasar dan membawanya keluar. Ia juga menyeret paksa istrinya. Rian lalu membawa mereka keluar dari rumahnya. Ia menghempaskan tubuh istrinya itu kelantai serta melemparkan gadis kecil yang sedang digendongnya ke pelukan ibunya. Ia lalu masuk kedalam rumahnya dan mengunci pintu itu tidak membiarkan kedua orang yang pernah disayanginya masuk.

Ia bahkan tidak memperdulikan istri dan anaknya yang tengah menggendor pintu rumahnya dengan harapan jika pria itu akan membukakan pintu untuk mereka.

Flashback off

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!