NovelToon NovelToon

Antara Aku Dan Dia

Episode 01: Awal Poligami Itu Terjadi

Poligami tidak di haramkan. Tapi, banyak wanita yang tidak sanggup dengan poligami, meski itu di sahkan oleh agama.

“Aku Ingin, kamu menikahi gadis itu!!!,” Ujar Andira, tegas.

Andira Almaira, putri tunggal dari Bapak Ahmad, dan Ibu Anisa. Usia pernikahannya sudah berjalan lima tahun. Tak pernah terpikir sedikit pun, bahwa pernikahannya akan di poligami. Tapi, sebuah kesalahan yang di lakukan Alfin Aldiano, yang akrab di panggil Alfin, membuat dia harus membayarnya. Bukan hutang budi, bukan pula hutang uang. Tapi, nyawa seseorang yang telah tanpa sengaja di tabrak saat melintas. Seorang laki-laki berumur 60 tahun, bernama Bapak Ilham, karena terpental dan kepalanya terbentur trotoar, maka terjadilah pendarahan hebat.

Alfin membawa Bapak Ilham kerumah sakit, bersama Andira yang saat itu juga ada didalam mobil. Sesampainya di rumah sakit, Alfin langsung memanggil Suster untuk membawa Bapak Ilham ke UGD.

Semua sudah terjadi, polisi juga sudah datang untuk menangkap Alfin. Saat itu Andira merasa sangat terpukul, dan tidak menyangka mendapatkan nasib buruk. Tapi, sebelum Alfin di bawa polisi, seorang dokter memanggil Alfin.

“Yang menabrak Bapak tadi siapa?” Tanya Dokter.

“Saya Dokter,”

“Bapak ikut dengan saya, dan Bapak polisi mari ikut juga kedalam.”

Hanya Andira yang tidak ikut kedalam UGD, dia tidak tahu nasibnya untuk kedepannya seperti apa.

Di dalam ruang UGD, Bapak Ilham yang sudah sadar dan pendarahannya sudah berhenti, ingin berbicara dengan Alfin yang sudah menabraknya.

“Apakah kamu yang sudah menabrakku?” Tanya Bapak Ilham gugup karena masih belum stabil keadaannya.

“Iya, Pak,”

“Pak polisi, jangan tangkap dia, saya ingin dia bebas.”

“Tapi dia bersalah pak.”

“Saya akan patuhi hukum yang berlaku, saya ikhlas di penjara.” Jawab Alfin.

“Tidak perlu, cukup penuhi permintaan terakhir Bapak. Karena Bapak merasa tidak bisa hidup lama, saya maafkan kesalahanmu Nak. Saya berdamai, yang salah saya karena tidak menoleh saat menyebrang.” Ujar Bapak Ilham terputus-putus.

“Apa yang Bapak inginkan dari saya, baiklah saya kabulkan.” Ujar Alfin.

“Pak polisi, jadilah saksi dari pemintaan terakhir saya. Dan tolong jangan penjara dia.”

“Baiklah, apa permintaan Bapak?” tanya Polisi.

“Nikahi putriku,” Permintaan Bapak Ilham seperti petir yang datang menyambar tubuh Alfin.

“Maaf pak, saya sudah punya istri, mintalah yang lain.” Jawab Alfin yang sangat mencintai istrinya, Andira.

“Hanya itu kemauan Bapak,” Ujarnya yang langsung kritis dan meninggal.

Alfin bingung dengan semua yang terjadi, dia keluar menuju Andira dan memeluknya.

“Sayang, Kamu yang sabar ya. Semoga masih ada titik terang dari kejadian hari ini.” Ujar Andira sedih.

Polisi yang ikut menjadi saksi akhirnya angkat bicara terkait permintaan korban tabrakan itu.

“Saudara Alfin. Anda tinggal pilih, masuk penjara atau menikahi putri Bapak Ilham, sebagai permintaan terakhirnya.”

“saya memilih di penjara Pak.” Jawab Alfin pasrah.

Andira belum mengerti dengan yang dimaksud polisi tersebut.

“Tidak Mas, kamu tidak boleh masuk penjara, biarkan aku saja,”

“Hanya satu syarat yang bisa membebaskan suami anda,”

“Apa itu pak?”

“Menikahi putri Pak Ilham,”

Seketika itu juga Andira bagai di sambar petir, tubuhnya terasa di hantam batu besar, sakit sangat sakit. Tapi, Andira mencoba tenang, demi Alfin suami tercintanya.

“Maksudnya apa?” Andira masih belum percaya dengan apa yang di katakan polisi.

Polisi pun menjelaskan semuanya, setelah Andira tahu, paham dengan semua yang terjadi, akhirnya Andira memilih diam. Tidak ada yang mampu memberikan komentar apapun. Alfin memeluk Andira, merasa bersalah akan semua yang terjadi.

“Aku mau di hukum saja, sayang. Biarlah semua ku tebus dengan hukum yang berlaku,” ujar Alfin sedih

Andira masih tetap diam, air mata yang mewakili semua jawabannya, bahwa dia sedang beduka. Alfin Putra tunggal dari Bapak Ilyas, dan Ibu Ani, kini kebingungan yang sedang di rasakan.

Andira tidak ingin egois, disisi lain, kehamilan Andira masih berusia 2 bulan, sedang Bapak Ilyas sedang sakit-sakitan, tidak mungkin Alfin di biarkan masuk penjara, masih banyak yang harus dipikirkan.

“Aku ingin, kamu nikahi gadis itu,” Ujar Andira pelan.

“Tidak, aku lebih memilih dipenjara, aku tidak mau menyakiti kamu Andira,” Jawab Alfin marah, kesal, sedih, yang berkecamuk jadi satu dalam dirinya.

“Kamu akan menyakiti Papa, dan Mama jika kamu di penjara, dia akan tersakiti jika melihatmu mendekam di tahanan.” Jawab Andira seperti wanita kuat yang tidak sakit hati.

“Aku tahu, akan banyak yang tersakiti, tapi lebih sakit hati adalah dirimu Andira, aku mohon untuk mengerti aku, biarkan aku menyelesaikan semuanya dengan hukuman penjara.”

“Tidak Mas, aku lebih ikhlas jika dirimu menikahi putri almarhum yang kamu tabrak. Lakukan demi calon bayi kita dan demi kebahagiaan kita.” Andira seperti mengemis persetujuan Alfin.

Uraian air mata masih terus mengalir, tidak mampu menahannya. Semua akan terluka dan sakit hati, jika harus berbagi suami dan berbagi cinta. Tapi lihat lagi masalah yang ada, keadaan memaksa Andira untuk melakukan semua itu. Keadaan memaksa untuk setuju atas apa yang terjadi.

Ibu Ani, dan Bapak Ilyas, sudah sampai di rumah sakit. Mendengar kabar bahwa anaknya sudah menabrak seseorang sampai mati, membuat ibu Ani sangat sedih. Ibu Ani langsung memeluk Alfin.

“Bagaimana keadaan kamu Nak? Kenapa bisa seperti ini Nak,” Tanya Ibu Ani yang tidak mampu menahan tangisnya.

“Sudah Ma, Alfin baik-baik saja, ini sudah taqdir, Alfin harus ikhlas.” Jawab Alfin pasrah.

“Pak polisi tolong jangan hukum anak saya, berapapun saya bayar,” ujar Ibu Ani sedih.

“Semua sudah di bicarakan Bu, tidak ada yang akan di penjara, jika putra ibu bersedia menikahi putri almarhum Bapak Ilham. Korban yang di tabrak putra ibu,” jelas polisi.

“Benarkah? Tapi bagaimana dengan Andira, bukankah dia sangat mencintai Andira, begitu juga Alfin.” Ujar Bapak Ilyas, bingung.

“Saya sudah ikhlas Pa, Ma, ini yang terbaik.”

Ibu Ani langsung memeluk Andira.

“Terimakasih Nak, kamu sudah membebaskan Alfin dari hukuman, Kamu wanita mulia yang dikirim Tuhan untuk memudahkan ini semua.” Ujar Ibu Ani.

“Sama-sama Ma. Bukan kah Andira tidak boleh egois, semua sudah terjadi, Andira akan berusaha menerima dengan hati lapang.”

“Nak, Papa bangga padamu,”

Alfin terdiam, dia tahu apa yang di rasakan Andira, diamnya Andira adalah kecewa, ikhlas nya Andira adalah luka dan kesabaran Andira adalah ujian. Semua terasa seperti mimpi, dicubit terasa sakit, tapi tetap saja bagai mimpi yang tidak di sangka-sangka.

Saat semua benar-benar terjadi, dan akhirnya Andira harus kalah mempertahankan rumah tangga yang utuh tanpa orang ketiga, apalagi dia berjuang saat Andira sedang hamil.

Tak lama putri Bapak Ilham datang, gadis muda yang masih berumur 19 tahun. Karena orang tidak mampu, dia tidak melanjutkan sekolah. Ibunya telah tiada, gadis itu bernama Hanin. Tangisnya pecah saat tahu Bapaknya telah tiada. Dan polisi menjelaskan semua, tanpa berbicara apapun, Hanin tetap diam, di dekat jenazah Bapak Ilham. Tapi tangisnya tetap mengiringi kepergian sang Ayahnya.

“Mulai besok kamu tinggal bersama kami, dirumah Alfin.” Ujar Ibu Ani.

Andira menoleh, saat mertuanya mengatakan bahwa Hanin disuruh tinggal bersam Andira.

“Ya, Allah. Apakah ini adalah taqdir hamba, akan mempunyai madu, dan siap tinggal satu rumah bersama gadis ini, sanggupkah Hamba Ya Allah,” Ujar Andira dalam hati.

Hanin hanya mengangguk, bertanda dia setuju dengan apa yang akan terjadi. Menjadi istri kedua, dan siap di poligami.

Andira, pamit ke toilet. Bukan niat kepentingan ke toilet tapi ingin menangis, menumpahkan segala rasa sakitnya. Sangat mudah untuk menjawab iya atau tidak, tapi semua itu akan sangat menyakitkan.

Yuk di Like, biar semangat nulisnya. jangan lpa terus ikuti ya. masukkan ke daftar favorit mu oke.

Episode 02. Ikhlas Berbagai

Seikhlas apapun, jika berurusan dengan hati, maka akan sulit untuk ikhlas. Berbagi suami bukan sebuah mainan, akan tetapi perasaan yang menjadi taruhannya.

Sudah hampi 30 menit Andira di kamar mandi, dia menangis meratapi semua masalah hidupnya. Meski Andira tahu, poligami tidak diharamkan, tapi sangat sakit di rasakan. Sebentar lagi, akan berubah, cintanya akan terbagi menjadi dua, di kehamilannya yang masih muda, Andira sudah mendapat cobaan yang berat.

Tok tok tok tok.. pintu kamar mandi di ketuk.

“Siapa?” Andira membersihkan wajahnya dan mengusap air matanya.

“Kamu sudah lama sekali dikamar mandi sayang, apakah kamu baik-baik saja?” ternyata Alfin yang datang.

“Iya Mas, Andira baik-baik saja. Hanya saja sejak tadi Andira sakit perut.” Jawabnya berbohong.

“Jenazah sudah selesai di mandikan, dan sebentar lagi akan dibawa ke makam.”

Andira tidak menjawab, dia langsung keluar. Alfin menatap wajah Andira, dia tahu, jika, Andira hanya pergi menangis. Matanya bengkak, dan merah. Alfin memeluk Andira, mereka tanpa sadar menangis bersama.

“Sayang, izinkan aku masuk penjara. Aku tidak sanggup melihatmu menangis. Tangismu adalah duka, melihat kamu seperti ini, aku tidak tega. Sekarang aku butuh jawaban kepastian kamu, jika terbaik aku di penjara maka aku lebih baik di penjara.” Ujar Alfin, membelai kepada Andira.

“Mas, aku tahu ini sakit, tapi aku percaya kamu akan adil membagi waktu antara aku dan dia. Aku tidak mau kamu masuk penjara, kasihan Mama dan Papa. Ayo kita kedepan, biar mereka tidak mencari kita.

“Kamu tahu apa yang terjadi jika aku menerima dia sebagai istri keduaku, tapi kenapa kamu justru membuatku semakin tidak bisa menolak dengan keinginan kamu,’’

“Segala sesuatunya telah aku pikirkan, ini semua demi mereka orang yang kita sayang.”

“Baiklah, aku akan pasrah dengan taqdirku,”

Akhirnya mereka menuju ke tempat pemulangan jenazah. Disana sudah menunggu untuk pergi ke pemakaman. Mungkin hanya Andira yang merasakan sakit hati, badannya terasa lemas, tidak mungkin juga Andira pulang lebih awal, karena andira menghormati suaminya yang sudah menabrak pak Ilham. Proses pemakaman selesai, Hanin masih menangis di sisi batu nisan ayahnya. Ibu Ani menghampiri Hanin, yang masih meratapi kepergian ayahnya.

“Ayo, ikut pulang dengan kami, ayahmu sudah tenang disana,” ujar ibu Ani.

Hanin akhirnya ikut dengan Ibu Ani, sedangkan Alfin dan andira naik mobil lain. Andira tidak banyak bicara, dia lelah sangat lelah. Alfin juga tidak banyak bicara, pikirannya bingung, dan kacau. Tak lama kemudian mereka sampai dirumah, Andira segera turun, karena akan membersihkan kamar untuk Hanin. Meski berat sangat berat sekali melakukan itu, tapi janji tetaplah janji, tidak akan ada yang mampu menggantikan sebuah janji, karena janji harus di tepati sendiri.

Andira segera membereskan kamar itu, setelah selesai, andira langsung keluar menunggu Ibu Ani yang sedang menuju kerumahnya. Dan tak lama setelah itu, Ibu Ani datang. Mereka turun, dan masuk ke rumah milik Alfin.

“Hanin, kamu istirahat dulu, jangan bersedih, semua sudah kehendak sang maha kuasa,”

Hanin tetap diam, dia hanya mengangguk, Andira langsung mengajak Hanin menuju kamarnya, meski dadanya teras mau meledak, menahan rasa sakit karena harus tinggal satu rumah dengan calon istri suaminya. Tidak ada wanita yang sanggup menahan sakit jika harus berbagi suami dan satu rumah dengan istri baru suaminya, kecuali wanita yang siap untuk melihat suaminya berpoligami.

“Hanin, aku harap, kamu dan aku bisa akur, dan semoga kamu sabar dengan keadaan ini.” Ujar Andira.

“aku hanya seperti boneka Mba,”

“kenapa kamu mengatakan seperti itu?” Andira heran.

“Karena aku tahu, aku mengecewakan orang lain, tapi aku diam saja, karena harus mengikuti keinginan ayah.’’ jawabnya sedih.

Andira merasa kasihan melihat Hanin, tapi dia ada pada posisi yang tidak memungkinkan. Sudah di pasrahkan pada orang lain dan harus memenuhi keinginan orang tuanya. Hanin sudah hidup sebatangkara, dia merasa bersedih, jika harus tinggal sendiri. Dan jalan satu-satuny menurut dan patuh pada sebuah keinginan.

Perjalanan hidupnya sudah digariskan menjadi istri kedua, dan mau tidak mau harus menerima taqdir itu. Andira duduk di dekat Hanin, dia akhirnya paham, kalau Hanin juga merasa sedih dan terpaksa dengan pernikahan itu.

“Saat ini, aku hanya pasrah, karena permintaan ayahmu, tapi hanya satu yang aku pesankan, jadilah istri yang bisa menerima poligami ini, dan kita harus kompak, agar pernikahan ini akan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah.”

“Iya, Mbak. Tapi, jujur Mbak, aku tidak bisa terima dengan keadaan ini, Mbak. Sangat sulit, tapi aku akan berusaha menerima semua keadaan ini demi almarhum Ayah.” Ujar Hanin sedih dengan linangan air mata.

Andira memeluk Hanin, sedikit demi sedikit Andira memahami keadaan itu, dan sadar jika Hanin juga tertekan dengan keadaannya.

“Istirahatlah kamu pasti lelah,” Andira tersenyum melihat Hanin, setelah itu Andira pergi meninggalkan hanin sendiri.

Andira keluar dari kamar Hanin, langsung ke dapur membuaat kopi untuk Papa dan Mama mertuanya. Pikirannya masih kacau, hanya raganya yang berdiri tegak, tapi sebenarnya dia sudah sangat hancur bagai kepingan gelas pecah lantai. Ketidak sanggupan dirinya membuat harus bisa bertahan demi laki-laki yang dicintai dan demi calon bayi yang di kandungnya.

Kopi sudah siap, langsung Andira bawa ke ruang tengah, dimana sudah duduk Alfin juga disana, membicarakan hal serius.

“Kopinya Pa, Ma.”

“Duduk dulu Dira,” suruh ibu Ani.

“Iya Ma,” Andira pun duduk di dekat Alfin. Matanya yang sembab karena selesai menangis.

Alfin tidak mampu berkata apapun, sepertinya sudah terkendali oleh Ibu Ani dan Pak Ilyas.

“Andira, begini ya, karena sudah sama-sama sepakat, ibu mau perrnikahan ini di percepat. Karena Ibu takut jadi omongan tetangga kalau terlalu lama, apalagi polisi terus memata-matai Alfin. Jadi Ibu mau cepat di laksanakan pernikahannya.” Ujar Ibu Ani, seperti tidak mempunyai beban pikiran, dan mengerti tentang perasaan Andira.

“Andira terserah Mama sama Papa, kapan waktu yang pas. Tapi boleh usul!”

“Apa?” Tanya Pak Ilyas.

“Masih mau usul apa? Kamu mau suami kamu di penjara,” Ujar ibu Ani dengan wajah marah.

“Ma, tolong dengarkan usul Andira, dia berhak berpendapat,” Jawab Alfin melihat mata Andira yang langsung berkaca-kaca.

“Iya sudah, mau usul apa?” Ujarnya datar.

“Tidak jadi Ma, semua terserah Mama. Andira sebaiknya diam, dari pada nanti salah bicara.”

“Nah gitu, itu akan lebih baik.” Ujar Ibu ani ketus.

Andira meyakinkan hatinya, bahwa yang terjadi pasti ada hikmahnya.

“Tolong kamu urus baju pernikahan Hanin dan Alfin, di tempat kamu pesan baju penganti yang dulu, Ra’.”

Andira ingin berteriak, kenapa harus Andira pikirnya, yang harus menyiapkan baju pernikahannya.

“Dan jangan lupa urus juga surat pernikahannya.”

Deg...

Terimakasih Sudah mau mampir, lanjut lagi ya. jangan lupa like and komennya. kasik masukan ya.

Episode 03. Mengikhlaskan Suami Menikah Lagi

......Sesakit apapun, jika Allah sudah berkendak, kita harus ikhlaskan karena yang datang dan pergi itu hanya sebuah titipan.

......

Andira menarik nafasnya, seakan sesak di dadanya. Perintah Ibu Ani seolah pedang yang mencambuk tubuhnya, sakit sekali. Tidak dapat menolak, dan memang harus di lakukan, karena itu demi Alfin, suami yang Andira sangat sayangi.

“Baik, Ma. Besok Andira akan urus semuanya.”

Alfin menoleh kearah Andira, rasa bersalah yang teramat dalam, tapi itu juga kemauan Andira, memaksa Alfin untuk melakukan ini semua.

“Kamu yakin sanggup?” Bisik Alfin, merasa tidak tega melihat Andira.

“Insyaallah, aku sanggup Mas.”

“Sudah tidak perlu bisik-bisik lagi, Mama mau minggu depan sudah siap, dan kamu Ra’, jangan coba-coba untuk berubah pikiran. Karena aku tidak mau anakku masuk penjara.” Ujar Ibu Ani ketus.

“Iya, Ma.”

“Ya sudah Mama pulang, kalian jangan nyakiti hati Hanin, kalau tidak ingin di laporkan ke polisi.” Ujar Ibu Ani lagi.

Andira tidak menjawab,sudah merasa capek dengan ucapan Ibu Ani, yang seakan terus menyakiti. Memilih diam dan terlihat bodoh, itu yang Andira lakukan.

Ibu Ani dan Bapak Ilyas sudah meninggalkan rumah Alfin dan Andira, kini dua insan itu sama-sama diam, seakan orang asing uang tidak kenal. Seperti ada pembatas yang membuat hubungan itu berubah dingin.

Andira pergi kekamarnya, diikuti oleh Alfin. Sesampainya di dalam kamar, Andira langsung masuk kamar mandi. Sedangkan Alfin duduk di sofa kamar itu.

“Maafkan aku Andira, tidak ada niatan untuk seperti ini. Andai waktu bisa di putar, aku ingin lebih berhati-hati lagi.”

Tak lama Andira keluar dari kamar mandi. Dan mengambil handuk kecil, mengusap wajahnya yang baru selesai berwuduk.

“Mas kita Sholat berjamah dulu.” Ajak Andira pelan.

“Iya, tunggu sebentar.”

Alfin langsung pergi berwuduk, sedang Andira menyiapkan baju Alfin untuk sholat. Saat mengelar sejadah, tanpa terasa Andira meneteskan air mata lagi.

“Apakah kita masih bisa berjamaah Mas. Atau kita akan semakin jauh. Ah, aku takut membayangkan, jika seandainya kamu berubah setelah menikah.”

Mendengar pintu kamar mandi terbuka, Andira segera menghapus air matanya. Setelah berganti baju langsung sholat berjamaah. Selesai salam, Alfin berdoa.

》Ya Allah, jika kebahagiaan hamba memang dengan cara ini, maka beri ketabahan kepada Andira dan hamba. Ujian cinta ini sangat berat, tapi Hamba yakin Engkau akan memberi jalan terbaik untuk keluarga Hamba. Tapi, jika Hamba boleh memilih, Hamba lebih baik di penjara, Karena dengan cara itu Hamba tidak akan menyakiti Andira. Jadikan Ikhlas dan sabar sebagai penguat cinta Hamba dan Andira, Amin.

Andira juga berdoa untuk kebahagiaannya dan ketabahan dalam menghadapi masalah yang datang.

》Ya Allah, yang hidup akan mati, yang sedih akan ada masa untuk bahagia. Yang bahagia juga ada masa untuk terluka. Jika kehadiran Hanin adalah penyempurna ibadah kami, maka beri Hamba ketabahan, kesabaran, dan beri keikhlasan untuk Hamba, agar Hamba bisa menjalani semua ini Ya Allah.

Ya Allah, jadikan keluarga Hamba sakinah mawadah warohmah dan jadikan calon istri suami Hamba wanita yang Sholehah, yang bisa berbakti kepada Mas Alfin. Dan menjadikan pernikahannya untuk menambah iman dan taqwanya. Amin, amin, amin.

Alfin menoleh mengulurkan tangannya, Andira langsung menyalaminya. Tidak lupa Alfin mencium kening Andira.

“Mas, aku mau temui Hanin, dia mungkin belum sholat atau tidak punya mukenah.”

“Iya, aku tunggu kamu disini.”

“Tapi kita belum makan malam, Mas. Aku mau masak kesukaan kamu,”

“Kita pesan aja,”

“Baiklah terserah Mas Alfin saja.”

Andira langsung pergi kekamar Hanin. Setelah sampai di depan kamar Hanin, Andira mengetuk pintunya.

Tok tok tok, pintu terbuka, Hanin tersenyum tap masih terlihat sedih dan baru selesai menangis.

“Ada apa Mbak.”

“Kamu sudah sholat,”

“Belum Mbak, saya tidak ada mukenah.”

“Di dalam lemari itu ada mukenah, kamu boleh pakai, kalau sudah selesai sholat kita makan ya, aku tunggu di ruang makan.” Ujar Andira sudah lebih tenang setelah selesai sholat

“iya, Mbak.”

Andira pergi menyiapkan piring dan minum di meja. Karena makanan sudah di pesan, tinggal menunggu ojek onlien saja yang membawanya.

Tidak lama, ada bunyi bell berbunyi, Andira langsung buru-buru buka pintu. Pesanan pun datang, setelah di bayar, ojek onlien itu pergi.

Andira menyajikan makananya, kini dimeja itu ada tiga piring, Andira berusaha tenang demi Alfin. Karena Andira tidak ingin Alfin sedih.

Setelah siap, Andira memanggil Alfin, kemudian memanggil Hanin. Kini satu meja itu ada dua wanita dan satu laki-laki. Dan sebentar lagi akan menjadi madu dalam kehidupan Andira, keputusan apapun akan tetap sama, poligami tujuannya.

Hanin tidak banyak bicara, dia menunduk, Andira tahu kalau Hanin malu dan merasa canggu. Tapi suasana berubah karena Andira berusaha tenang.

“Hanin makanlah, kamu tidak sungkan. Setelah makan kamu boleh istirahat.” Ujar Andira berusaha tersenyum dan biasa saja.

“Iya, Mbak.” Jawab Hanin pelan.

Alfin tidak menyaut atau minta di ambilkan nasi, dia mengambil sendiri dan secepat mungkin menghabiskan makan, lalu pergi terlebih dahulu.

Andira sadar, semua itu tidak mudah untuk Alfin, karena semua masih seperti mimpi dan terasa asing. Hanin membantu membersihkan meja, sedangkan Andira mencuci piringnya.

Tidak ada pembantu yang terlihat di rumah itu. Karena Andira yang tidak menginginkan hal itu. Bagi Andira mengurus suami dan rumah adalah kewajibannya, dan selama masih bisa di urus sendiri, Andira tidak akan mencari pembantu rumah tangga.

Rumah tinggal pun sederhana, lantai satu, tapi luas. Ada lima kamar dan taman yang Andira rawat dengan cinta, sehingga taman itu begitu indah. Banyak bermacam-macam bunga angrek, suasana taman itu terlihat sejuk dan banyak teman juga saudara betah duduk santai di rumah itu.

Alfin sangat mencintai Andira, meski jabatan sudah tinggi, tapi tidak pernah makan di luar saat jam kantor, setiap harinya, Alfin meminta Andira untuk mengantarkan makan siang kekantor. Andira tidak pernah lelah setiap hari rutin dilakukan, sejak baru menikah sampai saat ini. Tapi, akan ada masa dimana semua akan berubah, dan di uji, karena ujian itulah penguat cinta mereka berdua, itupun jika Andira dan Alfin sanggup menjalaninya.

Masih sanggupkah Andira menjalani semua itu, karena Andira pikir kehamilannya adalah awal kebahagiaannya, tapi ternyata, itu akan menjadi sebuah awal rasa sakit di bangunnya. Tidak dapat berpikir panjang, entah mampu bertahan atau akan mengalah. Andira ikhlas dan pasrah dengan semuanya.

“Mbak, mana lagi yang perlu aku bersihkan?” Tanya Hanin pelan.

“Sudah selesai, kamu tidak apa-apa istirahat dulu. Bawa air minum, biar kamu kalau haus tidak usah capek ambil kedapur.

Tiba-tiba saja ada ketukan pintu, segera Andira keluar sedang Hanin sudah kembali ke kamarnya.

Andira heran jam sudah menunjukkan pukul 21.00 masih ada tamu, tidak biasanya. Saat pintu terbuka, Andira terkejut melihatnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!