Brak!
Ragel mendobrak pintu ruang guru hingga engsel dari pintu itu patah. Cowok itu menatap nyalang kearah guru dengan gaya sok muda itu. Semakin Ragel emosi saat melihat guru itu malah mengulas senyum kearahnya.
Senyum bodoh.
"Ragel, kenapa malam-malam kamu kesini? Mau ketemu sama saya?" tanya guru tersebut.
Ragel membalas senyum bodoh itu. Berjalan perlahan mendekati guru tersebut. Lalu, tanpa aba-aba, Ragel meninju pipi kiri guru tersebut sekuat tenaga.
Hingga guru tersebut terpental jauh, menabrak meja guru.
Guru tersebut meringis memegangi pipi kirinya yang ngilu. Berusaha untuk berdiri.
"Apa-apaan kamu Ragel--"
"Elo yang apa-apaan!" sentak Ragel semakin emosi. "Lo mau ngancurin reputasi sekolah ini, hah?! Mau bikin sekolah ini hancur karena ulah bajingan lo!!" bentak Ragel. Cowok itu berjalan mendekati guru tersebut.
"Ragel! Apa yang kamu bilang, hah?! Saya nggak pernah punya niat buat ngancurin reputasi sekolah! Jangan mentang-mentang kamu anak pak Tama--"
"Halah, ngeles aja lo bangsat!" bentak Ragel semakin emosi. "Mau sampe kapan lo ngeles kek bunglon gitu,hah? Mau gue tunjukin hal keji apa yang lo lakuin, hah?!"
Guru tersebut semakin ketakutan saat Ragel mengeluarkan benda pipih persegi itu dari sakunya. Cowok itu mencari video yang di dapat dari temannya itu. Lalu melemparkannya kepada guru tersebut.
"Lo punya hati nggak sih, bangsat?! Punya nggak?!" bentak Ragel. "Seharusnya semua orang tau, kalau lo itu guru mesum yang pikirannya Travelling kemana-mana!"
Guru itu membulatkan matanya saat melihat video yang ada di ponsel Ragel. Di video itu, terlihat seorang guru yang memaksa siswinya untuk membuka seragam sekolah siswi tersebut. Mencoba untuk mencium bibir siswi tersebut. Walau berkali-kali siswi itu menggeleng, tetap saja, guru tersebut masih berusaha untuk mendapatkan bibir dari siswi nya.
"Itu bukan saya! Kamu bercanda Ragel!" bantah guru tersebut. Berusaha untuk membela dirinya.
"Apakah bapak melihat saya sedang bercanda?" tanya Ragel santai. Dia berjalan mendekati guru tersebut. Dengan seulas senyum yang mengerikan.
"Ragel! Saya nggak pernah melakukan hal se-keji itu!" bantah guru tersebut berusaha untuk memercayai anak dari kepala sekolah tersebut.
"Serius?" Ragel menaikkan sebelah alisnya. Semakin memajukan langkahnya. "Terus kenapa kemarin orang tua murid datang ke ruangan papa saya dan meminta klarifikasi atas meninggalnya anak mereka?" tanya Ragel.
"I ... itu, mana saya tau Ragel. Mungkin saja anak mereka depresi karena putus--"
"JELAS-JELAS ELO YANG MELECEHKAN ANAK MEREKA, BANGSAT! ANAK MEREKA FRUSTRASI KARENA DIA ITU SEDANG MENGANDUNG ANAK DARI PERBUATAN ELO!!! SADAR NGGAK LO!!! SADAR MAKANYA!!!" bentak Ragel menunjuk-nunjuk guru tersebut. Napas nya naik turun. Tangan Ragel terkepal kuat.
Kalau bukan karena orangtua murid itu ingin melaporkan tindakan pelecehan guru tersebut ke kantor polisi dan mengancam akan memenjarakan papa nya ke dalam penjara. Karena tidak becus menertibkan sekolah.
Ragel nggak akan mau mengotori mulut dan tangannya ini.
"Dia saja yang menggoda saya--"
"HEH, BANGSAT!! LO SADAR NGGAK SIH?! MURID SEPERTI MEREKA EMANG MAU MENGGODA ELO YANG TUA BANGKA? LO SADAR HARUS NYA! SADAR BANGSAT! LO PUNYA BINI! LO BISA NGELAKUIN I**TU' KE BINI LO! JANGAN NGELAMPIASIN KE MURID LO, BAJINGAN!!!" bentak Ragel habis-habisan.
Cowok itu mengeluarkan pisau cutter dari saku nya. Semakin berjalan mendekati guru bajingan itu.
"Ragel! Mau kamu apain saya?!" Guru tersebut semakin memundurkan langkahnya. Menatap Ragel ketakutan. Mata hitam kelam itu semakin mengerikan jika dilihat dari dekat. Apalagi senyum mengerikannya.
"Menurut bapak, saya akan melakukan apa dengan pisau ini ke bapak?" tanya Ragel santai, mengangkat pisau cutter tersebut tepat di depan wajah guru tersebut. Cowok itu semakin mendekat kearah guru tersebut.
"Ragel, kamu bisa di penjara kalau kamu membunuh saya! Sadar Ragel!"
"ELO YANG HARUSNYA SADAR ASU! LO UDAH MERUSAK REPUTASI PAPA GUE. LO UDAH BIKIN NAMA SEKOLAH TERCORENG KARENA ULAH BAJINGAN LO ITU!!" bentak Ragel semakin menjadi-jadi. Cowok itu semakin melebarkan langkahnya.
Hingga guru itu terpojokkan dan tak bisa kabur kemana-mana.
Ragel mengangkat pisau itu tepat di depan wajah guru tersebut. Sangat dekat. Bahkan ujung pisau itu hanya berjarak satu senti dari mata guru tersebut.
"Kayaknya cocok deh kalau gue congkel mata lo dulu. Supaya lo nggak ngeliat yang aneh-aneh," ucap Ragel tersenyim miring.
"Atau mungkin gue potong bibir lo dulu? Supaya lo nggak main asal nyosor nyium orang," lanjut Ragel mengarahkan pisau cutter tersebut ke mulut guru itu.
"Tapi gue jadi nggak puas. Gimana kalau gue congkel mata lo, terus gue potong mulut lo?" tanya Ragel memain-mainkan pisau itu naik turun, dari mata, ke mulut.
Guru tersebut menggeleng kuat. Berusaha untuk melepaskan diri dari tatapan mata kelam Ragel.
"Saya mohon, jangan ngelakuin itu. Oke, saya akan minta maaf dan akan mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Tolong jangan berbuat sejauh ini Ragel. Kalau kamu mencoba untuk membunuh saya, kamu juga akan dilaporkan ke polisi ..."
"Apakah gue peduli?" Ragel meletakkan ujung mata pisau itu tepat diantara kedua alis guru tersebut. "Oh, ten-tu ti-dak!" Mata pisau itu menyusuri hidung guru tersebut hingga ke ujung hidung itu.
Ragel kembali mengulas senyum mengerikan saat melihat darah yang mulai keluar dari jejak dimana dia sengaja menggores luka di hidung guru itu.
Guru itu membulatkan mata saat melihat darah segar mengalir di permukaan kulitnya.
Ragel gila! Benar-benar gila!
"Satu tetes darah. Waktu nya dimulai!" ucap Ragel mengambil darah di pisau tersebut lalu men-cap nya di bawah mata guru tersebut.
Ragel mengangkat tinggi-tinggi pisau tersebut. Bersiap untuk menancapkan nya tepat di mata kiri guru tersebut.
"RAGEL!"
Ragel menoleh. Melihat sang papa yang berdiri tak jauh darinya berdiri.
"Jangan melakukannya, lagi!" ucap Pak Tama tegas.
Seketika itu pula, pisau yang ada di genggaman Ragel jatuh. Cowok itu mundur beberapa langkah. Tubuhnya rasanya mati rasa. Masa lalu yang mengerikan itu ... berputar lagi di pikirannya.
Pak Tama berjalan mendekati anak semata wayangnya itu. Menahan tubuh Ragel yang hampir tumbang.
"Kan papa udah bilang. Jangan melakukannya, lagi. Papa nggak mau kamu kenapa-napa," ucap Pak Tama.
Ragel menoleh. Berusaha untuk bisa berdiri tegap. Cowok itu mengulas senyum tipis. "Papa menangani nya terlalu lama. Tangan Ragel jadi gatal-gatal pengen ngancurin--"
Pak Tama menggeleng. Tak membiarkan Ragel menyelesaikan kata-katanya. "Jangan ucapkan itu lagi, paham?"
Ragel berkedip sekali. "Okeee, papa boleh D.O Ragel dari sekolah. Jangan istimewa kan anakmu ini," ucap Ragel menepuk pelan bahu Pak Tama.
"Papa hanya men-skors kamu 3 hari. Papa tau kamu melakukan ini demi menjaga reputasi sekolah dan Papa. Jadi Papa nggak akan men-D.O orang seperti kamu yang jelas-jelas berusaha untuk menyelamatkan nama baik sekolah," ujar Pak Tama.
"Walau cara kamu terlalu gegabah. Tapi itu tetap di apresiasi," lanjut Pak Tama menepuk bahu Ragel dua kali. Tersenyum tipis ke arah anak semata wayangnya itu.
Cara Ragel emang salah. Cowok itu terlalu mengikuti emosi nya daripada kata hati nya. Cowok itu selalu gegabah. Cowok itu tidak pernah berpikir panjang.
Walau Ragel memiliki otak yang cerdas.
"Papaku tersayang ..." Ragel membalas senyum tipis Pak Tama. "Terlalu memanjakan anaknya ini."
"Mama ... kenapa beli kado ulangtahun Papa harus ke Swiss? Di Indonesia aja kan bisa?" tanya anak laki-laki kelas 6 SD itu. Anak laki-laki itu menyusuri kota yang kini dipijaki nya.
Bu Tama mengacak rambut Ragel gemas. Tangan mungil itu ... tidak mau melepaskan tangannya dari tangan lembut sang Mama, barang sedikitpun.
"Kemarin, waktu Papa sama Mama ke Swiss. Papa terus-terusan liat sepatu hitam yang bagus nya kelewat banget. Bahkan Papa sampai berhenti, terus ninggalin Mama berbicara sendiri seperti orang gila," ujar Bu Tama diakhiri kekehan yang merdu.
Ragel kecil ikut terkekeh. "Terus sekarang kita mau kemana?" tanya Ragel penasaran.
"Kita ke bank dulu. Mama mau ngambil uang cash. Soalnya Mama lupa bawa black card," ucap Bu Tama.
Ragel kecil hanya mengangguk menuruti saja apa yang dibilang Mama.
...
DOR!
Suara pistol itu ... mengenai salah seorang antrian di Bank tersebut. Dan yang menembak nya adalah ... Ragel kecil.
***
Ragel terbangun dari tidurnya. Keringat bercucuran di sekitar wajahnya. Dada Ragel naik turun. Mimpi buruk itu lagi.
Ragel harap, itu benar-benar mimpi buruk. Tapi nyatanya, itu adalah kenyataan yang benar-benar terjadi padanya. 5 tahun silam.
***
"Pagi!" sapa sang Papa ramah.
Ragel berdecak pelan saat melihat Papa nya yang memakai celemek berwarna pink tersebut. Celemek milik almarhum Mama nya. Celemek kesayangan sang Mama.
"Kalau pegawai, guru, dan murid Papa ngeliat Papa memakai celemek pink. Mereka pasti ragu, kalau Papa adalah orang yang tegas, berwibawa, dan selalu dihormati," ucap Ragel lebih tepatnya mengejek.
Pak Tama terkekeh kecil. Pria paruh baya itu meletakkan roti telur diatas piring, lalu menata nya diatas meja.
"Sarapan dulu," ucap Pak Tama duduk di kursi tunggal meja makan, tanpa melepas celemek nya.
Ragel duduk di tempat biasa dia duduk. Di sisi meja makan sebelah kanan.
"Tumben nggak gosong Pa," ucap Ragel mengambil roti telur tersebut. Mengigit roti telur nya. "Nggak asin juga," lanjut Ragel mengunyah roti telur tersebut.
"Yeu, Papa berusaha untuk bisa jago masak," ucap Pak Tama menggigit roti telur nya lagi.
"Udah 5 tahun Pah. Masih juga keasinan sama kegosongan. Mending Ragel aja yang buat," cibir Ragel. Cowok itu santai sekali saat mengatakannya. Tanpa ada beban aja gitu:)
"Kamu sama aja sama Papa. Sama-sama nggak pinter masak," ucap Pak Tama. Mereka berdua kompak tertawa.
Mengingat mereka memang tidak pinter masak. Yang keasinan lah, yang kegosongan lah. Hambar lah.
Pak Tama memang tak pernah lagi mempekerjakan ART. Apalagi dirumah yang seluas ini. Rumah keluarga Tama memang begitu luas.
Sangat-sangat luas.
Tapi Pak Tama tak lagi memperkerjakan ART semenjak 'hari itu'. Pak Tama memilih untuk membagi tugas saja bersama dengan putra tunggalnya ini.
Seperti saat ini, hari ini adalah tugas Pak Tama untuk beres-beres rumah. Seperti menyapu dan mengepel. Dan besok adalah tugas Ragel. Cowok itu juga hanya manut saja.
"Guru yang kemarin nyaris kamu tikam. Sudah mengakui kesalahan dan siap untuk diperkarakan ke kantor polisi," ucap Pak Tama mengambil tisu lalu mengelap nya di sekitar mulut nya.
"Hm," Ragel mengangguk kecil. "Ragel tau. Dia patut mendapatkan balasan yang setimpal dengan ulah bajingan nya itu," ujar Ragel. Membuat Pak Tama tertawa lagi.
"Kamu ya Gel. Kalau kamu tau siapa orangnya, tinggal kasih tau Papa. Jadi kamu nggak usah repot-repot buat nge-ringkus orang itu," ujar Pak Tama.
"Kesal aja Pa," ucap Ragel mengepalkan tangannya kuat. "Dia itu patut mendapatkan apa yang di perbuat. Ragel muak ngeliat muka munafik nya itu!"
"Iya iya. Papa tau." Pak Tama mengacak kepala anaknya pelan. " Tapi cara kamu nge-ringkus nya itu salah. Untung Papa yang menemukan kamu terlebih dahulu. Gimana kalau orang lain? Kamu sudah dianggap menikam orang," ujar Pak Tama.
Rahel hanya menatap Papa nya dalam diam.
***
"Eh-eh, denger-denger guru yang suka bergaya modis dan sok ganteng itu di tangkap karena sudah melecehkan siswi sini."
"Serius lo? Siswi yang waktu itu yang sengaja membiarkan diri nya ditabrak mobil di depan sekolah?"
"Iya iya, yang itu. Sayang banget,dia malah ngakhirin hidupnya dengan bunuh diri."
"Tapi nih yah, gue nggak nyangka kalau guru itu berbuat hal se-keji itu. Padahal gue mengidolakan dia karena guru nya enjoy banget."
"Yeu elo, orang kayak dia mah. Nggak usah dikagumi. Gue aja udah berhenti mengagumi guru itu."
"Kalian tau nggak, siapa yang meringkus guru tersebut?"
"Siapa emang?"
"Ragel! Keren banget sih dia."
"Wih, Ragel mah emang debest!"
Sepenjang lorong yang di lalui Olivia. Semua orang terus membahas topik yang lagi booming di permukaan. Topik yang baru saja terjadi tadi malam.
Dan ujung-ujungnya mereka akan memuji Ragel. Karena cowok itu yang menangkap guru yang sudah melecehkan siswi nya.
Tapi yang Olivia dengar. Cara Ragel menangkap guru tersebut salah. Walaupun mereka tau Ragel nyaris menikam guru tersebut. Mereka tetap memuji dan mengagumi Ragel.
Olivia mempercepat langkahnya. Pagi-pagi begini, apa perlu mereka membahas topik yang terdengar mengerikan di telinga Olivia?
Gadis itu hanya tau nama Ragel dari orang-orang yang terus membicarakan cowok itu. Bagaimana sikap Ragel dan bagaimana rupa cowok itu. Olivia bahkan tidak tau.
"Oliv!" Syera, satu-satunya orang yang mau berteman dengan Olivia dan mau duduk sebangku dengan nya itu. Melambaikan tangan kearahnya, berdiri tepat di depan pintu kelas.
Olivia semakin mempercepat langkahnya. Gadis itu membalas lambaian tangan Syera, lalu mengulas senyum.
Senyum manis yang membuat orang-orang pangling pada nya. Gadis cantik itu benar-benar begitu terkenal. Selain karena cantik dan cerdas. Gadis itu juga terkenal karena selalu membanggakan sekolah atas segudang prestasi yang dia raih.
Tapi sayang, kekurangan Olivia memang tak bisa di sembunyikan lagi. Semua orang juga tau. Gadis itu sempurna secara fisik dan otak.
Tapi Olivia, tidak sempurna ... secara materi.
"Met pagi!" sapa Syera mengangkat tangannya sebatas kepala.
Olivia hanya membalas dengan seulas senyum saja.
"Lo gedek nggak sih, denger gosip pagi-pagi?" tanya Syera memulai obrolan. Mereka memasuki kelas XII IPA 1. Olivia mengangguk dua kali sebagai respon. "Gue gedek banget tau nggak lo? Nggak ada gosip lain apa, selain gosip tentang Ragel dan hal gila nya itu? Iya sih, dia menangkap guru mesum itu. Tapi nggak gitu juga nangkap nya," celoteh Syera hingga mereka duduk di bangku masing-masing.
Olivia tertawa kecil mendengar celoteh Syera itu. "Biarin ajalah. Lagian juga hak mereka mau gosipin siapa," ucap Olivia meletakkan tas nya di sandaran kursi. "Tapi itu bukan gosip Sye, itu berita namanya. Kalau gosip itu belum tentu benar adanya. Tapi kalau berita, sudah pasti benar adanya," lanjut Olivia tertawa kecil lagi.
"Iya deh iya." Syera memanyunkan bibirnya ke depan. "Eh iya, selamat ya Liv! Lo dapat juara satu lagi dalam olimpiade kimia. Gue turut bahagia!" ucap Syera mengulurkan tangannya kepada Olivia.
Olivia menjabat tangan Syera. "Makasih Sye."
"Syera!"
Syera menoleh, mengulas senyum pada temannya itu. "Kenapa Han?" tanya Syera pada Hani.
"Temenin gue ke kantin dong," pinta Hani.
"Yaudah hayuk!"
Syera bangkit dari duduknya. Melambaikan tangan pada Olivia. "Entar lagi lanjut ngobrol nya!"
Olivia mengangguk, menatap kepergian Syera bersama dengan Hani yang mulai menjauh. Gadis itu menghela napas pendek.
Syera memang satu-satunya orang yang mau berteman dan duduk bersama dengannya. Tapi sayangnya, setiap mereka mengobrol, ada saja orang yang memutuskan obrolan mereka yang lagi seru-serunya.
"Heh, Oliv!" panggil Laura. Cewek dengan bedak tebal dan warna bibir yang terlalu kontras itu duduk diatas meja Olivia.
"Lo ... menang olimpiade lagi?" tanya teman Laura -- Sinta namanya.
Olivia mengangguk singkat. Gadis itu memilih untuk mendengarkan saja.
"Seriusan? Lho, tapi kenapa nggak diumumkan?" tanya Resa.
"Gimana mau diumumkan, orang nggak penting juga. Eh, tapi biasanya diumumkan sih. Mungkin nanti-nanti kali," ucap Sinta. Resa mengangguk menyetujui ucapan Sinta.
"Berapa emang uang tunai juara satu?" tanya Resa kepo.
"10 juga kalau nggak salah gue," Laura menjawab pertanyaan dari temannya itu.
"Widih, kalau uang sebanyak itu pasti besar banget buat lo kan Liv? Lo bisa beli ini-itu. Terus juga lo bisa beli tas sama sepatu yang lebih bagus dari tas sama sepatu lo yang usang," ujar Resa lebih tepatnya mengejek. Cewek itu sengaja menginjak sepatu Olivia yang ada dibawah meja.
Olivia mendesis pelan. Menarik kaki nya dari pijakan Resa.
"Ups, maaf. Nggak sengaja Liv!" ucap Resa menutup mulutnya pura-pura merasa bersalah.
Olivia hanya menatap Resa lamat. Gadis itu tidak ingin cari masalah.
"Eh, tapi nggak juga. Terus nanti akhir tahun kan sekolah kita ngadain camping tuh. Pasti Oliv butuh duit banyak dong? Iya kan?" tanya Sinta pada Olivia.
Lagi dan lagi, Olivia hanya diam tak menjawab cemoohan tiga orang ini.
"Iya juga yah. Yaudah deh, gimana kalau kita bertiga kasih lo tambahan duit buat nabung untuk camping akhir tahun kelas 12. Kan sayang, lo nya nggak ikut," ujar Laura membuat mereka tertawa. Padahal tak ada bagian yang lucu dari pembicaraan mereka.
"Iya deh iya. Kasihan juga kan, si cantik kelas kita nggak ikut. Nanti orang-orang pada tau lagi kalau Oliv miskin -- UPS! CANDA MISKIN!" Sinta tertawa diikuti kedua teman-temannya. Cewek bibir tebal itu sengaja menaikkan suaranya di tiga kata terakhir.
Membuat satu kelas menoleh. Dan memberikan bisikan-bisikan aneh, ada yang ikut tertawa, ada juga yang memasang wajah kasihan pada Oliv karena di bully oleh Laura and the geng.
"Jadi gimana? 100 ribu satu soal fisika. Kalau 10 soal fisika, berarti 1 juta. Kan lumayan untuk di tabung?"
Betapa Olivia benci mendapat beasiswa di sekolah orang kaya.
..."Hal yang nggak pernah gue bayangkan akan terjadi dalam hidup gue adalah ... ketika seseorang yang begitu gue sayangi pergi untuk selamanya dalam hidup gue."...
...~Ragel Shaquille Adhitama~...
Ragel memakai jaket denim nya. Melipat kedua lengan jaket itu diatas pergelangan tangan. Cowok itu mengambil kunci motornya. Melangkahkan kaki menuju pintu rumah, tak lupa cowok itu menguncinya. Lalu pergi, bersama dengan motor gede kesayangannya.
***
"Eh, Den Ragel. Gimana kabar nya Den?" tanya mang Ujang.
Ragel tersenyum tipis, mengangguk kecil pada pria paruh baya yang pernah bekerja di rumahnya itu. "Kabar baik Mang. Mamang sendiri apa kabar? Baik kan? Keluarga kabar baik juga kan?" tanya Ragel balik.
"Baik Den. Duh, mamang udah lama nggak ketemu sama Aden teh. Mening kasep pisan eu!" puji Mang Ujang. Membuat Ragel terkekeh kecil.
"Mamang juga nggak kalah ganteng," puji Ragel balik.
"Duh, si kasep kalau di puji. Malah muji balik. Mamang udah berumur Den," ucap mang Ujang malu-malu.
"Iya, walaupun udah berumur. Mamang tetap ganteng kayak Ragel," ucap Ragel masih terkekeh kecil. Mang Ujang ikut terkekeh kecil.
Anak dari mantan majikannya itu. Benar-benar bisa mencairkan suasana. Sudah lama sekali mang Ujang tidak bertemu dengan Ragel. Anak laki-laki yang selalu ceria dan cerewet itu, sekarang sudah tumbuh besar.
Rasanya dulu Ragel masih setinggi bahunya. Sekarang, malah dirinya yang setinggi bahu Ragel.
"Aden mau ke makam nyonya yah?" tanya mang Ujang.
Ragel mengangguk. "Iya mang. Kalau gitu, Ragel pamit dulu," ucap Ragel. Cowok itu berjalan memasuki gerbang TPU.
Mang Ujang memandang punggung lebar dan tegap Ragel hingga menjauh. Sudah lama dia tidak bekerja di rumah anak laki-laki itu.
Sekarang, mang Ujang harus kembali ke pekerjaan lama nya sebelum bekerja di rumah anak laki-laki.
Menjadi penjaga TPU pondok indah.
***
Ada satu permintaan yang Ragel harap itu bisa terkabul. Hanya satu,walau dia tau itu sangat mustahil.
Dia ingin Mama nya tetap hidup. Berada disisi Papa dan dirinya. Melengkapi keluarga mereka yang telah hilang karena tanpa kehadiran sang Mama.
Mungkin kalian memandang keluarga Ragel akan baik-baik saja. Setelah Mama nya pergi meninggalkan dirinya dan papa nya.
Kalian salah besar. Ragel justru semakin merasa kehilangan. Berasa ada yang kurang di dalam dirinya.
"Hai Ma! Semoga Mama baik-baik aja disana yah," sapa Ragel mengusap nisan keramik tersebut sendu.
"Ragel kangen," lanjut Ragel lirih. Pipi putih cowok itu basah karena setetes air mata.
"Udah 5 tahun yah Ma. Ragel masih nggak percaya, Mama secepat itu ninggalin Ragel sama Papa." Ragel mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Ragel menipiskan bibir. Berusaha untuk tetap tegar. "Mama kangen nggak sama Ragel dan Papa? Pasti kangen kan?"
Cowok dengan jaket denim itu mencabut rumput yang mulai tumbuh di sekitar makam Mama nya. Lalu menaburkan bunga.
"Mama tau nggak? Udah 5 tahun Mama ninggalin Ragel sama Papa. Dan 5 tahun itu juga, Ragel tumbuh tanpa kasih sayang Mama. Ragel kangen. Kangen sama masakan Mama. Kangen sama senyum Mama. Kangen ngeliat Mama jahilin Papa. Sampai Papa ngambek. Kangen dengar tawa Mama. Kangen sama cerita-cerita absurd Mama. Kangen ..." Air mata itu, terus jatuh membasahi pipi cowok dengan garis wajah tegas itu.
Ragel menunduk. Menggenggam erat tanah makam sang Mama. Tanpa peduli tangannya kotor. "Kenapa Mama harus ninggalin Ragel? Kenapa Mama ngingkarin janji? Mama bilang, Mama bakalan selalu ada untuk Ragel. Mama akan selalu ada di hidup Ragel. Mama sama Papa nggak bakalan ninggalin Ragel sendiri."
Tangan Ragel menggali tanah makam Mama nya. Air mata cowok itu semakin deras jatuh, hingga makam Mama nya basah.
"Kenapa ... kenapa mimpi itu harus muncul terus Ma? Kenapa Ragel nggak bisa tidur dengan tenang? Ragel takut. Ragel takut Mah. Ragel harus apa? Supaya mimpi itu nggak datang lagi saat Ragel tidur?"
Ragel semakin menggali tanah makam tersebut. Napas cowok itu memburu. Mata nya memerah, suara isak tangis terus keluar dari bibirnya.
"Mama kenapa harus pergi. Mama harus kembali Mah. Balik Mah! Balik! Temenin Ragel! Ragel nggak bisa tidur Mah. Ragel takut, benar-benar takut. Rasanya Ragel pengen mati aja. Ragel boleh mati kan? Kalau Ragel mati, Mama bakalan ada disamping Ragel kan? Jawab Ma! Jawab semua pertanyaan Ragel!" racau Ragel. Bibir cowok itu bergetar, tangannya tremor ketika mengingat mimpi buruk yang dia harap hanya sekedar mimpi.
Tapi sekali lagi, itu bukan mimpi buruk. Mimpi itu benar-benar nyata. Hadir dalam kehidupan Ragel berumur 12 tahun.
"Ragel harus apa? Rasanya dunia menghukum Ragel. Ragel nggak bersalah, Ragel bahkan nggak tau apa yang terjadi. Kenapa harus Ragel? Kenapa harus Ragel yang dihukum? Kenapa!" lirih Ragel, cowok itu kembali menggali tanah makam sang Mama.
"Ragel mau Mama kembali. Ragel mau Mama selalu ada disamping Ragel. Ragel nggak mau sendiri. Ragel nggak mau! Hiks, hiks, hiks,Mama harus kembali! Mama harus kembali Mah! Temenin Ragel disini! Temenin Ragel!"
Ragel berusaha untuk menggali makam sang Mama dengan tangannya.
"Ya ampun, Ragel!" pekik Pak Tama.
Pria paruh baya itu menghampiri Ragel. Mengambil tangan anak semata wayangnya yang kotor, lalu membersihkannya.
"Ragel jangan begini Gel! Istighfar Gel! Istighfar!" Pak Tama menarik Ragel ke dalam pelukannya. Menenangkan anak semata wayangnya itu.
Tadi, saat Pak Tama akan kembali pulang untuk mengambil sesuatu yang tinggal. Tiba-tiba Mang Ujang menelpon, dan memberitahukan dirinya kalau Ragel sedang di makam istrinya.
"Udah Papa bilang. Kalau kamu mau ke makam Mama. Kasih tau Papa. Jangan pergi sendiri tanpa Papa. Papa khawatir Gel. Papa nggak mau kamu berbuat seperti tadi."
"Ragel harus gimana Pah? Ragel takut, Ragel takut Pah," racau Ragel dalam pelukan sang Papa.
"Ragel! Ada Papa disamping kamu selalu. Jangan berpikir kalau kamu sendirian di dunia ini. Ada Papa!"
Ragel menggeleng kuat. "Ragel mau Mama! Ragel mau Mama kembali Pah!" Cowok itu mengangkat wajahnya, menatap sang Papa dengan mata memerah dan bibir bergetar.
"Gel! Sadar Gel! Sadar!" Pak Tama menangkup wajah anak laki-lakinya itu. "Mama udah tenang disana Gel. Mama udah tenang. Kalau kamu sedih, maka Mama akan sedih disana. Kamu udah janji sama Papa untuk nggak nangis lagi. Kamu lupa sama janji kamu, hm?"
Ragel itu ... terlihat selalu memberi senyuman cerahnya pada semua orang. Terlihat baik-baik saja. Padahal dalam dirinya, Ragel adalah orang yang benar-benar ... sangat rapuh.
***
Olivia menatap sendu dari jauh ke arah anak laki-laki yang meracau di dalam pelukan Papa nya. Gadis itu tidak begitu mendengar jelas racauan anak laki-laki tersebut.
Tapi Olivia tau, gimana hancurnya cowok itu ketika ditinggal orang yang paling dia sayangi untuk selamanya.
Olivia menoleh, menatap batu nisan putih tersebut. Gadis itu mengusap pelan batu nisan tersebut. Menipiskan bibirnya. Ingin rasanya menangis.
Tapi sepertinya percuma.
Sekuat apapun Olivia menangis. Sekuat apapun Olivia meyakinkan diri kalau Abang nya masih ada. Itu hanya akan percuma. Karena pada kenyataannya, Gilang-- Abang laki-laki Olivia.
Tidak akan kembali ke sisinya.
"Abang tau? Setiap kali Oliv datang ke makam. Anak laki-laki itu selalu saja menangis sekuat-kuatnya di depan makam ibunya." Olivia memulai cerita. Gadis itu menghapus jejak air mata di pipinya. "Oliv pengen menghampiri anak laki-laki itu. Dan bilang, kalau menangis bisa mengembalikan orang yang kita sayang berada selalu disisi kita. Maka gue juga akan melakukan hal yang sama, seperti yang lo lakukan setiap kali datang ke makam ibu lo," ujar Olivia mencurahkan isi hati nya.
Olivia terkekeh kecil. "Tapi Oliv nggak punya cukup keberanian untuk menghampiri anak laki-laki itu. Karena Oliv tau, gimana hancur nya ketika orang yang kita sayang pergi selama-lamanya meninggalkan kita disini."
Olivia mengusap wajahnya yang berlinang air mata. Berusaha untuk tetap tegar, benar-benar sakit rasanya. "Rasanya masih mimpi bang. Benar-benar seperti mimpi. Abang pergi ninggalin Oliv, ayah, dan juga ibu. Rasanya Oliv mau bangun dari mimpi yang tak pernah Oliv bayangkan. Sekalipun Oliv nggak mau membayangkan, kalau Abang pergi secepat itu."
Oliv duduk diatas tanah disamping makam Abangnya. Mengusap batu nisan putih itu lembut. Merapihkan bunga-bunga yang mulai berserakan diatas makam sang Abang.
"Tapi ini buka mimpi. Ini nyata, benar-benar nyata. Dan Oliv tidak tau, harus seperti apa menyikapinya. Kalau kenyataan pahit itu adalah ... saat Oliv sadar, kalau Abang ... nggak ada disamping Oliv lagi."
Olivia, sama rapuh nya dengan anak laki-laki tadi.
***
Heh! Yang naruh bawang di part ini siapa? Tolong, Acha sampe meneteskan air mata😭😭😭
plis, Acha mo nangis rasanya 😭😭 padahal Acha sendiri yang buat😭😭 tisu mana tisu🧻😭
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!