Bak disambar petir Aleta harus menerima kenyataan pahit, yang mengharuskan dirinya untuk bersedia menikah dengan Damar Emilio Kyler. Pemuda kaya yang memiliki segudang perusahaan dengan cabang yang tersebar luas di berbagai Negara.
Aleta membaca satu-persatu persyaratan yang digenggamnya saat ini. Semua tampak tak masuk akal, bagaimana bisa ia membayar uang ganti rugi dengan jumlah yang sangat besar, jika saja menolak permintaan pria yang tengah duduk santai dihadapannya saat ini.
"Dasar gila, Ini semua tidak masuk akal! untuk apa juga aku menerima permintaannya, sementara aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun padanya."
Gerutunya yang masih bisa didengar jelas dari telinga Damar. Pria itu menyeringai puas dengan apa yang dibuatnya saat ini. Ia yakin wanita serendah Aleta tidak akan mampu melawan permintaanya, terlebih Ayah Aleta memiliki banyak hutang padanya.
"Cepat katakan saja apa keputusanmu, aku tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama dengan wanita serendah dirimu."
Perkataan kasar dari mulutnya, sontak membuat Aleta berdiri dari duduknya dan segera merobek kertas yang tidak ada hubungan dengannya. Bagaimanapun itu semua murni kesalahan yang dilakukan sang Ayah dan ia tidak bersedia untuk mewakilinya sebagai barang pengganti hutang itu.
"Kau pikir, aku peduli dengan semua isi ancaman di kertas ini. Gali saja pemakamannya dan minta semua hutang itu! Aku tidak ada hubungannya dengan masalah ini."
Wanita itu lantas pergi meninggalkan Damar yang tersenyum dengan smirknya disertai netra mata birunya menatap tajam punggung Aleta.
"Rupanya kau mau bermain-main denganku? Baiklah, aku akan membuatmu bersenang-senang dengan permainanku!" gumamnya tegas.
...***...
Derap langkah kaki lemas itu melewati pertokoan yang sudah tak lagi berpenghuni, tampak suasana malam begitu hening bahkan tak satupun kendaraan yang melintas seperti biasanya.
Aleta berhenti sejenak kala merasakan tetesan air hujan dari atas langit yang semakin lama kian membasahi dirinya. Ia tersenyum pelik saat air menerpa tubuhnya dengan deras. Mungkin jika orang-orang melihatnya, mereka akan beranggapan bahwa ia seorang wanita yang hilang akal.
Ia tak sama sekali menghindar dari derasnya hujan, bahkan kini mulai menikmatinya menengadahkan wajahnya sambil merentangkan kedua tangan dan bicara dalam diam.
"Bangun Aleta, bangun! Ini hanyalah mimpi buruk, segeralah bangun dan sadarlah jika hidupmu akan baik-baik saja."
Batinnya terus merapalkan kalimat yang sama berulang-ulang kali, meski kenyataannya tak sesuai yang diharapkan.
"Tidak bisakah kau mengubah jalan takdirku lebih baik. Sekali saja, aku mohon biarkan aku bahagia dengan kesendirian ini. Aku tidak ingin kembali mengulang masa lalu yang kelam dengan orang-orang yang sengaja membuang ku."
Menangis dalam diam itu yang dilakukannya saat ini. Air mata itu telah kering 5 Tahun silam. Itu sebabnya ia sulit mengekspresikan rasa di hatinya, kendati terasa begitu sakit.
Aleta membenci semua orang yang terikat dengan kedua orangtuanya. Teramat lama sekali ia mengubur kenangan pahit yang justru diingatkan kembali oleh Damar. Terlebih pria itu dengan mudah meminta dirinya untuk menikah alih-alih barang pengganti hutang.
Hatinya teriris perih menerima kenyataan bahwa dialah yang harus bertanggung jawab atas kesalahan sang Ayah, meski ia telah menjauh dari ruang lingkup keluarganya, namun bukan hal sulit bagi seorang Damar yang dengan mudah menemukan keberadaanya dan mengetahui bahwa Aleta telah mengubah semua identitas dirinya.
...♡♡♡...
..."Aku tidak ingin dilahirkan, jika akhirnya aku tidak diinginkan. Kalian membuang dan meninggalkanku, hingga membuatku mati dalam kesengsaraan."...
...________________...
Istanbul, 08.00am
Seorang wanita bergegas melangkahkan kakinya sebelum lampu penyebrangan jalan berganti. Terlihat pagi ini cukup ramai dengan pejalan kaki yang turut menyebrang bersama dengannya di jalur zebra cross.
Wanita itu menilik sekilas jam tangan yang menggantung di pergelangan tangan sebelum akhirnya, ia benar-benar berlari menyusuri jalan menuju kedai coffee tempat dimana ia bekerja.
"Sial!" umpat wanita itu saat jarum jam menunjukkan waktu keterlambatannya.
Ia tidak ingin lagi menerima teguran dari sang pemilik kedai sebab selalu mendapati dirinya telat masuk kerja.
Wanita itu bernama Aleta Quenby Elvina yang sekarang di kenal dengan nama Bora, sosok wanita pemberani dan mandiri. Ia bekerja di sebuah kedai coffee kecil di pusat kota dan ini bukan kali pertama Aleta terlambat dalam bekerja, ia sudah acap kali melakukan keteledorannya itu.
Tempat tinggal yang terbilang cukup jauh dan hanya menaiki kendaraan umum yang harus berdesak-desakkan dengan penumpang yang lain, membuat dirinya sulit untuk tiba tepat waktu.
Aleta membuka pelan pintu belakang kedai. Ia memantau untuk menghindari sang pemilik. Begitu dirasa aman, ia mengendap masuk kedalam. Langkahnya sangat hati-hati agar tidak menimbulkan efek suara sepatu, sebab pemilik kedai tersebut memiliki pendengaran yang cukup tajam.
"Ehemm"
Suara berdehem pria terdengar jelas di telinga Aleta, sehingga membuatnya bergeming. Menoleh kebelakang dan melihat sang pemilik kedai tengah berkacak pinggang sembari memasang raut wajah beringas.
Kali ini tamat riwayat Aleta, ia tidak bisa menghindar dari kemarahan bosnya itu. Ia juga sudah pasrah, bila mendapatkan hukuman darinya, lagi!
"Harus saya katakan berapa kali padamu! Saya sudah lelah memberikan hukuman untukmu. Kau bahkan tidak pernah takut dengan semua hukuman yang diberikan," tegurnya tegas.
"Saya sudah tidak tahan lagi, sebaiknya kau tidak lagi bekerja disini!" imbuhnya jenuh.
Aleta yang sejak tadi tertunduk mendengar kemarahannya, kini mengangkat wajahnya. Ucapan bosnya itu berhasil membuatnya terbelalak hebat, ia juga tak menyangka akan dipecat dari pekerjaannya, setelah berbulan-bulan lamanya bekerja disana.
"Pak, tolong jangan pecat saya! Saya janji tidak akan terlambat lagi!" Aleta memohon, meminta bosnya untuk mengurungkan niatnya.
"Saya sudah mendengar kalimat itu ratusan kali dari mulutmu," sanggahnya acuh.
"Pak, saya mohon Pak! Kali ini saja, beri saya kesempatan lagi," pinta Aleta memelas sembari mencoba menarik tangan bosnya, sebelum akhirnya ditepis kasar oleh sang empunya.
...•••...
Aleta mengedarkan pandangannya, menatap nyalang hamparan taman luas yang justru tampak sepi dan kosong, persis dengan suasana hati dan pikirannya saat ini.
Ia menghentakkan kakinya yang diikuti dengan suara gerutunya. Saking kesalnya, Aleta mengumpati sang pemilik kedai yang dinilainya tidak selektif.
"Dipikirnya aku senang bekerja di kedai itu. Cih! asal tahu saja, aku juga tak ingin bekerja di tempatnya. Aku juga tidak suka bekerja dengan bos yang tidak adil pada pekerjanya."
Aleta terduduk di rerumputan, setelah lelah menggerutu yang tak akan pernah ada habisnya. Ia menagkup wajah di atas lengannya yang sejak tadi bertengger di kedua lututnya.
Diam, itu yang dilakukannya saat ini. Namun pikirannya terus berputar, mengenai kehidupan yang akan dilaluinya setelah ini. Berpikir bagaimana ia bisa bertahan hidup di dunia ini, sementara pekerjaannya baru saja hilang dan tabungannya juga telah menipis karena membayar sewa tempat tinggalnya, bulan lalu.
Hanya berharap, jika suatu hari nanti akan ada keajaiban yang datang menghampirinya. Sebab ia tidak pernah mendapatkan semua itu, alasannya karena tidak pernah sedikit pun merasakannya.
Sejak kecil Aleta hanya tinggal di panti asuhan bersama anak-anak lainnya. Tidak sekalipun merasakan dekapan hangat kedua orangtuanya, bahkan sang pemilik panti asuhan dan penjaga panti tak pernah mengurusnya dengan baik. Ia benar-benar melakukan semuanya sendiri.
Sampai akhirnya Aleta bosan dan memilih kabur dari rumah panti, yang dianggapnya sebagai rumah neraka. Tidak tahu harus kemana ia melangkahkan kakinya, hanya membiarkan dirinya tinggal dipinggir jalan.
Kisah hidup semasa kecilnya yang cukup kelam, sudah tak ingin lagi diingatnya. Sangat sakit rasanya, jika harus mengulang kenangan yang sama sekali tak pernah diharapkannya.
Aleta juga tidak meminta dilahirkan jika hidupnya berakhir seperti ini, menyedihkan dan hancur.
...•••...
Aleta mempercepat langkahnya ketika hendak melewati gang kecil di kawasan padat penduduk. Lampu jalan yang minim penerangan membuat daerah tersebut rawan dari kejahatan.
Terlebih Aleta, seorang wanita yang berjalan sendirian di malam yang telah larut. Ia sendiri pun merasa was-was, jika mendapati sekelompok penjahat yang mencoba membahayakan dirinya.
Seperti saat ini, Aleta merasakan saat seseorang sedang menguntitnya sejak tadi, namun ia tak begitu menghawatirkannya, sebab selalu membawa senjata yang diyakininya ampuh.Bubuk cabe, itu menjadi senjata yang selalu berada di dalam saku jaketnya.
Merasa terganggu dengan penguntit itu, Aleta pun menghentikan langkah dan segera berbalik. Mengedarkan pandangan untuk mencari sang penguntit yang ternyata berhasil bersembunyi sebelum diketahui olehnya.
"Jangan bersembunyi! Keluar kalau kau berani. Cara itu sudah kuno, tidak ada gunanya bersembunyi!!"
Pekiknya yang terdengar jelas dari si penguntit. Bukannya keluar dari persembunyian, sang penguntit justru kabur dan segera pergi dari sana sebelum Aleta benar-benar akan menghabisi dirinya.
"Dasar pengecut!"
Cibirnya sebelum melangkahkan kembali kakinya, ia ingin segera sampai di rumah dan merebahkan tubuhnya di kasur. Seharian Aleta hanya berada di taman kota tanpa teman bicara, cukup sekaleng minuman dingin dan sebungkus kebab sapi yang menjadi teman bicaranya sore tadi.
Rasanya waktu berjalan begitu lambat, pikirnya. Jika saja ia bekerja hari ini, mungkin waktu tidak akan begitu lama berjalan.
Aleta merebahkan tubuhnya di kasur kecil miliknya, sederhana namun cukup membuatnya nyaman. Malam ini, ia tidak ingin lagi memikirkan hal apapun yang membuat kepalanya pening. Ia ingin mengistirahatkan otaknya dari perasaan sendu yang selalu mengganggu.
Aleta mematikan lampu kamar dan segera memejamkan mata, berharap masalahnya hari ini hanya sekedar batu kerikil yang sedang dilaluinya.
...♡♡♡...
..."Jalan satu-satunya untuk bertahan hidup di dunia ini adalah, memiliki uang. Demi mendapatkannya, semua orang akan melakukan apapun."...
..._______...
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan pintu membangunkan waktu tidurnya, walau jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, Aleta masih bersembunyi dibalik selimut tebal dan enggan untuk bangun.
Cuaca pagi itu terlihat kelam sehingga membuatnya semakin betah berlama-lama berada di atas kasur dan malas untuk bergerak. Rintiknya hujan seperti menyuarakan gemericik yang menentramkan jiwa, pantas saja sebagian orang lebih suka memilih tidur kembali, ketika hujan pagi tiba.
Aleta membiarkan seseorang yang sejak tadi mengetuk pintu rumahnya. Sampai tiba dimana suara ketukan itu berubah menjadi suara pukulan keras yang bisa saja merusak pintu rumahnya.
Ia tersadar ketika mendengar kebisingan yang terjadi di depan pintu rumahnya dan segera menghampiri seseorang yang dengan tidak sopan mengganggu tidurnya, bahkan memancing amarah karena mengetuk pintu begitu keras.
"Sial! Mengganggu saja, tak punya sopan santun."
Umpatnya geram pada seseorang itu. Begitu membuka pintu rumah, Aleta tidak menemukan siapapun berada disana. Celingak-celinguk di ambang pintu, mencari sosok yang dengan sengaja mengganggunya.
Aleta berniat kembali menutup pintu rumahnya, sebab berpikir jika yang mengetuk pintu itu hanyalah orang iseng saja. Namun secara tidak sengaja, Aleta menoleh kearah pot bunga mawar putih miliknya yang hancur berserakan di bawah anak tangga.
Dihampirinya pot bunga yang telah hancur berkeping-keping itu, sembari menggambil setangkai bunga mawar merah yang tergeletak mengenaskan di atas tanah.
Ia pun menduga, jika yang melakukan perbuatan itu adalah seseorang yang mengetuk pintu rumahnya tadi. Tetapi ia tidak ingin ambil pusing, sebab dipikirnya itu hanya sebatas ketidaksengajaan saja.
•••
Kini Aleta tengah berada di sebuah mini market yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Ia membeli beberapa bungkus mie instan untuk persediaan makanannya selama beberapa hari kedepan. Ya hanya itu yang bisa dibelinya saat ini, sebab uangnya benar-benar menipis.
Begitu keluar dari mini market, Aleta melihat selebaran brosur yang tertempel di salah satu sudut tembok mini market, yang bertuliskan lowongan pekerjaan, segera diambilnya selebaran tersebut dan disimpannya di dalam saku jaketnya.
Mungkin ini, jalan terbaik untuk hidupnya sekarang. Tidak penting sekeras apapun pekerjaan itu, asalkan ia bisa mendapatkan uang setiap bulannya.
Aleta duduk di depan mini market dan membaca selebaran lowongan kerja tersebut dengan teliti. Sebuah pekerjaan yang mengharuskannya untuk keluar malam dan juga mengharuskannya memiliki sim A.
Semua itu tidak masalah untuknya, sebab ia sempat menjadi supir taksi sebelum bekerja di kedai coffee. Namun yang membuatnya ragu, ia harus menjadi supir pengganti untuk pelanggan yang sedang mabuk.
Hal yang paling tidak disukainya sama sekali. Melihat pemabuk saja sudah membuatnya jengkel apalagi harus menjadi supirnya, sudah jelas sangat merepotkan, pikirnya.
Karena tidak memiliki pilihan lain, ia pun mencoba pekerjaan itu untuk beberapa bulan kedepan, sambil mencari pekerjaan yang lain.
Dengan segera Aleta menghubungi nomer yang tertera di selebaran. Menanyakan prihal pekerjaannya dan ia pun diminta untuk datang ke perusahaan yang bergerak di bidang usaha rental mobil dan supir pengganti.
Tak butuh waktu lama, Aleta tiba di perusahaan tersebut dan untung saja letaknya tidak begitu jauh dari mini market.
Aleta membaca jelas persyaratan yang diberikan pada pemilik rental itu, sebelum akhirnya kedua belah pihak saling bersepakat. Aleta menyetujui syarat tersebut, sementara sang pemilik rental menerima Aleta bekerja di tempatnya sebagai supir pengganti dan ia sudah bisa bekerja malam ini juga. Aleta akan diberitahu melalui telepon jika nanti mendapatkan pelanggan untuk membawakan mobilnya.
•••
Sudah hampir tengah malam dan ia masih menunggu panggilan dari pemilik rental. Matanya tak lepas dari pandangan layar ponsel miliknya. Meskipun bosan dan mulai mengantuk, ia berusaha mengusir rasa itu, demi sepeser uang yang harus didapatkannya malam ini.
Drtt!
Drtt!
Drtt!
Aleta segera menerima panggilan dari sang pemilik rental dengan perasaan lega, sebab pemilik rental memberitahukan bahwa ia akan membawa pelanggan yang saat ini berada di bar sky cloud.
Ia pun segera melesat ke tempat tujuan menggunakan transportasi ojek online, agar dapat tiba disana dengan cepat.
Hanya berselang 30 menit, akhirnya Aleta sampai di tujuan dan berlari kecil menghampiri petugas bar untuk menanyakan pelanggan yang menghubungi pihak rental.
"Maaf, apa benar ada seseorang yang menghubungi pihak rental dan mencari supir pengganti?" tanyanya pada petugas.
"Oh iya benar, itu Tn. Damar yang meminta kami untuk menghubungi pihak rental! Apa anda supir penggantinya?" tanyanya balik.
Aleta mengangguk, "Iya benar. Dimana saya bisa menemuinya?" tanya Aleta segera.
Petugas itu memberitahukan dengan jelas bahwa pelanggannya telah berada di mobil sejak tadi dan menunggunya. Tak lupa juga ia memberitahu plat nomor mobil si pelanggan kepada Aleta.
Aleta kembali berlari kecil menuju parkiran mobil untuk menghampiri pelanggannya, ia tak ingin membuat kesalahan di hari pertamanya bekerja. Untung saja Aleta bisa dengan cepat menemukan mobil tersebut yang terparkir tak jauh dari pintu masuk bar.
Diketuknya kaca mobil untuk membangunkan pria yang saat ini tengah bersandar di kursi belakang kemudi. Tanpa sepatah kata, pria tersebut membuka kaca mobil dan melemparkan kunci mobil di depan wajah Aleta yang sontak membuatnya terkejut.
"Berengsek!"
Umpat Aleta kesal akan sikap pelanggannya yang dinilainya tidak memiliki tata krama dengan baik.Tanpa berlama-lama, Aleta segera masuk kedalam mobil mewah miliknya.
"Maaf, saya akan memasangkan sabuk pengaman untuk anda," ucap Aleta sembari mencoba meraih seat belt di samping pria itu.
"Menjauh dariku!"
Kalimat itu membuat Aleta mengurungkan niat untuk membantunya memasangkan seat belt. Karena pria itu, ternyata belum benar-benar mabuk.
Bahkan aroma alkohol pun tidak begitu menyengat dari tubuhnya. Aleta memang tidak bisa melihat jelas wajah pria itu, karena suasana dalam mobilnya begitu gelap. Namun ia menembak, jika pelanggannya itu bukanlah seorang pemabuk.
"Lalu, untuk apa dia menghubungi pihak rental dan meminta supir pengganti, jika dia sendiri masih bisa menyetir." Batinnya curiga.
Aleta berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia kembali mendapat teguran darinya.
"Cepat jalan!!" hardiknya.
Aleta meneguk salivanya kasar, ia sedikit ragu dengan pekerjaan baru yang akan dijalaninya saat ini.
Aleta menyalakan mesin mobil dan menekan gas perlahan, mengingat sudah cukup lama ia tidak lagi mengendarai sebuah mobil. Terlebih mobil mewah dan modern seperti sekarang.
Di pertengahan jalan Aleta melirik pria itu dari kaca spion di depannya. Tampak pria tersebut tengah menutup kedua matanya dengan lengan kekarnya sembari bersandar pada kursi.
"Wanita bodoh!"
Celetuk pria itu yang dapat didengar oleh Aleta, entah untuk siapa cibiran yang di tujukan. Aleta enggan menanggapinya, sebab pemabuk tetap saja pemabuk. Mau seberapa banyak ia meminum alkohol itu, tetap tidak akan pernah sadar dengan ucapan yang terlontar dari mulutnya.
•••
Mobil berhenti tepat di sebuah hotel megah nan mewah. Sudah dapat dipastikan, jika yang berada di dalam sana adalah mereka-mereka yang berdompet tebal dengan kasta yang berbeda dari Aleta, termasuk pria yang masih tertidur di dalam mobilnya.
Aleta berdehem setelah membuka pintu. "Maaf Pak, kita sudah sampai!" ucapnya hati-hati.
Pria tersebut membuka mata, "Antar aku ke kamar!" perintahnya membuat mata Aleta terbuka lebar karena terkejut.
"Maaf, tugas saya hanya menggantikan anda mengendarai mobil bukan mengantar anda ke kamar!" tolak Aleta tegas.
"Baiklah, kalau begitu aku tidak akan membayar mu," pria itu mengancam Aleta dengan dalih uang.
Aleta berpikir, sebelum akhirnya ia menyetujui ucapan pria tersebut. Toh pikirnya hanya sebatas mengantar saja, tidak akan terjadi apa-apa setelah ini.
Dia sudah sering menghadapi pria-pria hidung belang sebelumnya. Lagi pula ia menguasai ilmu bela diri, yang di dapatnya dari menonton televisi dirumah.
...♡♡♡...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!