Jangan Lupa Baca Novelku dengan judul The Rebirth of the Vengeance, di Mangatoon.
"Jika aku boleh jujur aku tak ingin darahmu mengalir di nadiku. Aku tidak pernah membencimu! Aku hanya tidak suka keberadaanmu, aku tidak suka sikapmu, aku juga tidak suka kehadiranmu," ujar Aretha sembari menahan kepedihan dari rasa sakit yang mendera hatinya.
Aretha berjalan menjauh matanya memandang pada pohon-pohon di sekitar pemakaman. "Jika aku bisa menukar semua darah ini maka aku akan menukarnya dengan darah lain agar aku tidak memiliki hubungan apapun denganmu."
"Aku Ayahmu!" teriak Zein dengan tangan terkepal menahan kemarahan yang menggebu di hatinya. Sungguh ia tak suka mendengarkan semua hal yang diucapkan oleh putrinya ini.
"Ayah! Jika yang Anda bilang adalah seseorang yang selalu ada di saat aku sedih dan terluka, di setiap aku butuh kehangatan, di saat aku menangis dan butuh pelukan, maka orang itu sudah terbujur di dalam sana!" tunjuk Aretha pada sebuah makam yang nampak bersih dan terawat dengan baik.
"Dia yang selalu ada di saat aku butuh, selalu ada di saat aku merasa sendirian, di saat aku merasa dunia tak menginginkan kehadiranku!" Lanjutnya lagi ketika mengenang semua kebahagiaan dan kesedihan yang dilaluinya bersama Arekha.
"Ayah minta maaf Are!"
"Maaf! Setelah semua yang anda lakukan pada kami! Setelah anda melihatnya mati! Atau Anda baru sadar sekarang bahwa Anda masih punya kami sebagai anak Anda?" tanya Aretha sembari memandang hamparan tumbuhan yang hidup di sekitar pemakaman.
Seketika Aretha langsung teringat bagaimana penderitaan ibunya. Tangannya terkepal menahan rasa sakit, menahan rasa pedih yang membakar hati dan jantungnya.
Dia takkan pernah lupa dan takkan bisa lupa, bagaimana senyum ayahnya ketika bersama anak dan istri simpanan yang sangat dicintai ayahnya.
Senyum yang tak pernah ia dan saudara kembarnya dapatkan, senyum yang tak bisa ia miliki meski ia membuat hal yang bagus dan membuatnya bangga sekalipun.
Dia tak akan pernah bisa melupakan bagaimana pandangan mata mereka ketika bertemu di restoran itu, bagaimana sombongnya putra dan putri simpanan ayahnya memandang rendah pada dirinya dan saudara kembarnya.
Aretha merasa beruntung bahwa hati kecilnya sudah lama mati oleh sikap ayahnya terhadap ibu dan saudaranya.
Tapi yang ia takuti saat itu, bagaimana perasaan ibunya ketika tau suami yang dicintainya, yang ditangisinya siang dan malam, yang diharapkan ketulusan dan kesadarannya, yang tak pernah peduli padanya.
Sedang bercanda tawa penuh cinta dengan keluarga kecilnya, tidak! Ia tidakk bisa melupakan bagaimana marahnya Arekha saat melihat ia memandang kepergian ayahnya dan keluarga kecil bahagia mereka.
Kecelakaan yang dialaminya, rasa sakit yang dirasakannya, dan juga darahnya yang mengalir keluar dari tubuhnya, semuanya mengingatkannya bahwa apa yang diinginkannya tak akan pernah terwujud, tak akan pernah bisa ia gapai meski ia memiliki status yang lebih tinggi.
####
Aretha adalah putri dari seorang wanita yang bernama Akhleya Erlangga. Akhleya memiliki satu orang saudara yang sampai sekarang belum ditemukan keberadaannya.
Keluarga Akhleya hancur dalam semalam entah karena masalah apa, semua kekayaan keluarganya menghilang karena berbagai alasan, dan Zein adalah suami Akhleya ayah kandung Aretha.
o0o
Akhleya adalah ibu dari dua balita kecil yang nampak imut dan lucu, mencintai suami yang tak mencintainya, dipaksa bertahan oleh keadaan. Hanya agar dua anaknya mendapatkan cinta yang lengkap dari kedua orang tuanya.
Seakan tak menyerah satu persatu luka datang menggerogoti hatinya, setiap malam hanya ada tangisan kepedihan, diacuhkan dan tak pernah dianggap ada.
Bahkan Akhleya sendiri tidak pernah menyadari bahwa kedua anaknya sering mengintip saat ia menangis pedih sendirian.
Malam itu Akhleya menangis seperti biasa, dibalik pintu kamar yang terbuka sebuah kepala kecil sedang mengintipnya dengan wajah penasaran.
Setelah puas mengintip dan mendengar keluhan sang ibu Aretha kecil berlari menuju kamar saudara kembarnya.
"Kha! Kasihan ibu ya, setiap malam menangis terus padahal nggak ada manfaatnya. Ayah juga nggak perhatian sama kita kayak teman-teman kita yang lain, aku juga ingin kayak teman-teman kita bisa pergi sekolah di antar Ayah," keluh Aretha yang telah selesai mengintip ibunya menangis.
"Ya udah biarin aja, aku bisa kok menggantikan posisi Ayah kita buat kamu, aku akan jagain kamu sama Ibu dengan baik, aku nggak akan biarin kalian sedih lagi, tapi tunggu aku besar dulu, kalo sekarang aku nggak akan bisa bikin kalian bahagia." janji Arekha pada Aretha.
Tanpa terlihat oleh Aretha di kedalaman mata Arekha terlintas rasa dingin yang menusuk hati walaupun hanya sesaat.
Semenjak hari itu Arekha belajar mati-matian. Tanpa lelah, dia terus melampaui harapan Akhleya. Arekha sering mengalami lompat kelas bahkan ia bisa menghasilkan uang sendiri untuk membahagiakan ibu dan adik-adiknya.
Arekha juga mulai menabung dan mempersiapkan berbagai hal untuk masa depan nanti, berbeda dengan Arekha yang semenjak kecil bisa bekerja dan mencari uang sendiri.
Aretha tumbuh besar bergantung dengan kasih sayang Arekha, bak putri yang dibesarkan di istana yang megah, Aretha hidup dengan penuh kasih sayang dan apa saja yang diinginkannya akan dikabulkan Aretha.
Akhirnya dia lebih bergantung pada Arekha daripada Akhleya ataupun ayahnya, dengan kebiasaan yang suka bermanja dan bergantung seperti itu setiap ada masalah Aretha pasti akan datang mencari Arekha.
"Bu, Arekha mana Bu? Aku mau cerita sama dia, aku mau minta pendapat sama dia," ujar Aretha yang sedang duduk di meja makan sembari mengunyah roti selai kacang kesukaannya.
"Loh ibukan ada sayang! Kamu kan bisa cerita sama ibu, kenapa harus cerita sama Arekha terus sih? Kamu jangan bergantung seperti itu sama Arekha sayang," tegur Akhleya sembari membelai lembut rambut Aretha.
"Suatu saat nanti Arekha pasti punya kesibukan sendiri, dia juga akan punya keluarga sendiri, dia tidak akan bisa mengurus diri kamu terus menerus." tambahnya lagi kemudian.
"Bu, biarin Are bergantung sama aku Bu! selamanya aku rela kok. Demi dia apapun akan aku lakukan, termasuk menghancurkan kebahagiaan orang lain. Asal itu untuk kebahagian Aretha apapun Bu apapun, bahkan isi dunia akan aku berikan padanya!" Arekha yang muncul dari ruang belakang nampak tak senang mendengar ucapan Akhleya.
Dia melirik sekilas pada sang ibu sebelum ikut duduk di sebelah Aretha.
"Terserah kalian saja, tapi sekarang kalian masih SMP. Perjalanan hidup kalian masih panjang. Kamu boleh memberi adik kamu apapun tapi kamu tidak boleh merusak kebahagiaan orang lain untuknya." Akhleya menasehati anaknya dengan lembut.
"Kamu berikan dia kebahagiaannya sendiri, kebahagiaan yang di dapat dari milik orang lain nggak akan selamanya bisa bertahan lama nak, sehebat apapun! Sekuat apapun kamu mempertahankannya itu tak akan berhasil!" seru Akhleya sembari menghembuskan nafas pelan.
"Tapi kebahagiaan yang kamu miliki dari hasil keringatmu sendiri dari cinta dan pengapaian kamu sendiri, kebahagiaan itu akan bertahan seumur hidup, dan akan manis pada akhirnya." Akhleya menasehati Arekha agar tak mengambil jalan yang salah.
"Di zaman sekarang hal seperti itu tak lagi berguna Bu, jika kita ingin hidup kita harus menjadi kuat, menjadi kaya dan bisa memegang dunia di tangan kita," jawab Arekha dengan nada datarnya.
"Lihat ibu! Bagaimana ibu selama ini hidup, ibu selalu berbuat baik tapi apa balasannya? Ibu tetap saja dilukai oleh orang lain, kebahagiaan ibu di renggut bukan? Dan kami juga mengalami imbas dari kebaikan ibu," lirik Arekha dengan malas.
Arekha nampak tak suka, dia tak akan membiarkan Aretha terluka seperti ibunya, dia akan mencarikan Aretha lelaki yang baik yang benar-benar mencintainya, yang akan menjaga dan mencintainya dengan sepenuh hati.
"Kha nggak boleh ngomong kayak gitu sama Ibu kita! Kamu akan menyakiti hati Ibu!" tegur Aretha, meski manja Aretha tak selalu mendengar semua ucapan Arekha.
Arekha mendecakkan lidahnya dengan kesal, "Maaf Bu Arekha salah." Meski marah dengan ibunya Arekha selalu tak bisa membiarkan Aretha marah padanya, dia akan selalu menuruti apa yang dikatakan Aretha agar gadis manis itu tak marah dengannya, dia tak akan pernah membiarkan Aretha sedih dan terluka meski oleh dirinya sendiri.
Jangan lupa buat mampir juga di ceritaku yang judulnya Magic or Miracle dan Aku Bukan Bonekamu ya, makasih banyak, buat yang udah mampir maksih like vote dan ratenya juga, aku sayang kalian semua
Janji hari itu yang selalu dipegang teguh oleh Aretha sampai ia beranjak dewasa. Kasih sayang dari ayah yang tak pernah didapatnya, rasa cinta yang tak pernah diterimanya, yang pada akhirnya ia terima dari saudara kembarnya, Arekha.
Semua keluh kesah, rasa sakit, bahkan keluhan sekecil apapun akan disampaikan Aretha pada Arekha, hal itulah yang membuatnya bergantung terus-menerus pada Arekha, sosok yang selama ini mampu menggantikan peran ayah yang selama ini tak pernah Aretha dapatkan.
Kasih sayang, cinta dan perlindungan yang ia butuhkan, selalu ia dapatkan dari saudara kandungnya, mereka tumbuh dewasa tanpa figur seorang ayah yang mengajari dan mengayomi, bahkan makan bersama di satu meja saja mereka hampir tak pernah.
Aretha tumbuh menjadi gadis ramah, cantik, anggun dan juga sopan, rambut coklatnya dibiarkan panjang dan tergerai di punggungnya. Kulitnya putih, hanya saja matanya meniru warna mata sang ayah.
Berbanding terbalik dengan Aretha, Arekha tumbuh menjadi pendiam, dingin, dan berwajah datar.
Kehangatannya hanya akan diberikan pada ibu dan juga saudaranya.
Dia pria yang tampan, rambutnya dibiarkan berantakan dengan tinggi yang sempurna membuat banyak wanita yang tergila-gila padanya.
###
Hari itu adalah hari kelabu bagi Akhleya, Minggu pagi pada pukul 09.00 yang seharusnya menjadi hari ulang tahun si kembar.
Akhleya malah mendapat kabar duka yang langsung menghancurkan senyumannya.
Arekha dan Aretha mengalami kecelakaan saat hendak membeli makanan ke restoran langganan mereka.
Keadaan mobil yang rusak parah dan tak lagi berbentuk, membuat polisi mengatakan kemungkinan hidup untuk keduanya begitu tipis.
Apalagi mobil itu jatuh ke jurang beruntung saat mereka sedang menelusuri lokasi mereka menemukan Aretha yang terlempar keluar mobil dengan luka yang begitu parah dan tak lagi sadarkan diri.
Akhleya mencoba menghubungi suaminya, tapi tak satupun dari puluhan panggilannya yang terjawab. Akhleya bahkan sempat kehilangan semangat saat mendengar kabar Arekha meninggal dunia.
Siang itu semua do'a Akhleya akhirnya terjawab, mata cantik Aretha yang sudah lama tertutup akhirnya terbuka kembali.
"Are udah bangun nak, syukurlah Tuhan masih mendengar do'a ibu!" seru Akhleya dengan gembira saat melihat Aretha akhirnya membuka mata.
"Ibu sangat bahagia nak! Sangat-sangat bahagia sekali!" serunya sekali lagi, Aretha menatap wajah ibunya yang layu kemudian menatap langit-langit kamar.
Dia nampak ragu dan bingung, haruskah menyampaikan pada ibunya semua yang dilihatnya bersama Arekha atau tetap menyembunyikannya sampai ibunya tau sendiri.
Dia saja yang tak peduli merasakan sakit hati lalu bagaimana dengan ibunya yang sangat peduli dan mencintai pria kejam itu.
Lama Aretha terdiam dan tak menjawab apa yang dikatakan Akhleya, dia akhirnya menoleh dan menatap wajah Akhleya yang terlihat begitu bahagia.
"Ayah mana Bu? Dia nggak datang kan buat nengokin Aretha Bu. Arekha mana?" tanya Aretha sembari melihat kiri dan kanan mencari keberadaan kembarannya itu.
"Ayah kamu hanya datang sekali nak!" ujar Akhleya pelan, "ayah kamu mungkin sibuk," bisik Akhleya dengan suara lemah.
Ingin Akhleya mengatakan yang sebenarnya pada Aretha tapi dia takut hal ini akan menyebabkan Aretha yang baru bangun kehilangan semangatnya, dan malah memperlambat proses penyembuhannya,
'Bagus jika hanya melambat bagaimana kalau semuanya memperburuk keadaan Aretha,' pikirnya dalam hati.
"Jangan bohong Bu! Are udah tau semuanya kok!" seru Aretha dengan kesal, saat ia melihat raut wajah sedih dan berbohong pada Akhleya.
"Lagian Ayah juga punya keluarganya sendiri, makanya dia nggak menganggap kehadiran kita penting selama ini, sebelum kecelakaan itu terjadi kami bertemu kok dengan Ayah dan keluarga bahagianya." Lagi Aretha menatap langit-langit kamar rumah sakit tempatnya dirawat.
Seolah-olah langit-langit kamar rumah sakit lebih menarik dan menghibur, Aretha nampak sabar tapi nada suaranya menyiratkan betapa dalam rasa sakit yang dirasakannya.
' Wajarkah seorang ayah tak datang mengunjungi putrinya meski tak ada perasaan sedikitpun.' keluhnya dalam hati.
Akhleya nampak terkejut mendengar ucapan Aretha, sebelum kemudian ia menghembuskan nafasnya secara perlahan.
Ada senyuman kepedihan di bibirnya. "Ibu sudah meminta pisah dengan ayah kamu, hanya saja ia tak mau mengabulkannya, dia bersikeras tak akan menceraikan ibu, apalagi jika ibu masih ngotot ingin berpisah darinya, dia akan mengambil Artha adik kamu sayang."
"Lalu apa tanggapan ibu? Apa Ibu akan tetap bertahan meski tau dia tak menginginkan kita sama sekali?" tanya Aretha dengan alis terangkat. "Atau ibu takut dengan ancamannya?" tambahnya lagi kemudian.
"Nggak sayang, ibu akan mencoba berpisah dengan ayah kamu kok," jawab Akhleya saat melihat raut tak suka dari putrinya.
Aretha mengangguk tanda paham, lalu ia melirik kiri dan kanan saat sadar ia tak melihat keberadaan Arekha sedikitpun.
"Aku kok nggak lihat Arekha sih Bu? Apa lukanya terlalu parah hingga ia tak bisa melihatku? Atau ia juga koma seperti aku Bu?" tanya Aretha lagi dengan tak sabaran, perasaannya mengatakan ada yang tak beres terjadi.
Akhleya terkejut mendengar pertanyaan Aretha, kebingungan jelas tertulis di wajahnya.
Dia ragu harus menjawab apa, dia juga takut ini akan menjadi pukulan terberat untuk Aretha. "Arekha tidak selamat ketika kecelakaan itu terjadi sayang, mereka mengatakan kamu beruntung terlempar keluar dari mobil." ujar Akhleya dengan suara pelan.
"Kamu selamat dan hanya mengalami luka yang seperti ini, sedangkan Arekha dan sopir kita jatuh ke jurang yang sangat dalam di tempat kalian kecelakaan," Jeda Akhleya sembari memerhatikan raut wajah Aretha.
"Yang lebih menyedihkan lagi kondisi mereka sudah tak bisa dikenali, mereka sudah dalam keadaan yang sangat mengerikan," Jelas Akhleya pada Aretha.
Dia tau Aretha anak yang cerdas dan dapat memahami apa yang diberitahukannya meski menyakitkan tapi jika dibohongi Aretha pasti akan curiga dan semakin sering bertanya.
Berbeda jauh dengan apa yang dipikirkan Akhleya, Aretha hanya diam tak merespon, hanya saja air mata yang mengalir di pipinya menunjukkan bahwa ia terluka.
Isakannya sesekali keluar dari bibirnya yang terkatup, meski ia mencoba menahan tangisnya, tapi tetap saja ia tak mampu menahan beban kehilangan yang dirasakannya.
Satu-satunya harapan yang ia miliki, ayah pengganti yang selalu memupuknya dengan penuh kasih sayang, yang menjaga dan melindunginya dengan sepenuh hati sekarang sudah tak ada lagi.
Kemana ia harus mencari sosok itu? Di mana dia bisa mendapatkannya? Melihat kesedihan yang begitu dalam dirasakan oleh Aretha. Akhleya meraih Aretha ke dalam pelukannya, ia berharap bisa menyalurkan rasa hangat yang dimilikinya.
Yang dibutuhkan putrinya sekarang adalah tempat untuk berbagi, tempat untuknya mencurahkan semua rasa sakit yang dimilikinya. Bukan tempat untuk berbagi cerita, Akhleya membiarkan Aretha terus menangis agar beban di hatinya terlepas.
"Bu, akhirnya do'a Arekha terkabul Bu! Dia akhirnya bisa lepas dari pria egois itu Bu." Aretha berseru sembari menangis terisak, meski ucapannya menyiratkan kebahagiaan tapi kesedihan dalam tangisannya sangat jelas.
Akhleya hanya mengangguk pelan ia tak tau harus berbuat apa-apa, dia tau ini hanya pelepas beban bagi putrinya itu.
Akhleya tak bisa berbuat apa-apa selain menghibur Aretha yang masih menangis dengan sedih, apalagi yang bisa dia lakukan dia hanya wanita yang lemah yang tak memiliki dukungan orang tuanya, harta keluarganya dirampok, ayahnya dibunuh, adik yang paling kecilnya menghilang ditelan bumi,
Akhleya tak lagi punya orang lain yang bisa mendukung dan membantunya.
"Are kalo mau nangis, nangis aja sayang! Are ngak perlu menahannya! Lepasin sayang! Lepasin semuanya!" bujuk Akhleya sembari membelai punggung Aretha dengan lembut dan juga penuh kasih cinta seorang ibu.
Isakkan di kamar itu terdengar makin kuat dan semakin jelas. "Bu, aku ngak akan punya Ayah lagi Bu! ngak akan ada lagi yang peduli dan jagain aku, dia pergi Bu, dia pergi! Padahal dia tau aku butuh dia, aku butuh sosoknya yang bisa menggantikan orang yang ngak peduli sama aku!" Aretha menangis kecil rintihan kepedihan dalam tangisannya sungguh sangat menyayat hati.
"Are yang sabar nak! Mungkin ini yang terbaik buat Arekha sayang, coba Are bayangin kalo Arekha selamat terus dia dipenuhi luka bakar dan juga patah tulang nak, apa gunanya dia hidup? Tuhan udah punya jalannya sendiri untuk kita." Akhleya mencoba menghibur Aretha yang sedang menangis pilu.
"Tapi Bu, aku hanya punya Arekha dan ibu sedangkan bang Zack jauh disana, siapa yang bakalan jagain kita lagi? Siapa yang akan menjadi tempat Are bertanya dan berkeluh kesah Bu? Nggak ada lagi yang bisa manjain Aretha Bu! Nggak ada yang bisa memenuhi apa yang Aretha mau, nggak bakalan ada Bu!" serunya lagi dengan penuh rasa sakit.
o0o
Pagi ini Aretha menuju ke makam Arekha dengan seikat bunga di tangannya. Pemakaman yang ditujunya nampak bersih dan terawat.
Semenjak terbangun dari koma dan menjalani perawatan demi kesembuhan dirinya, pagi ini Aretha akhirnya menjalankan ujian terberatnya, dengan tubuh lelah tak bertenaga miliknya Aretha membersihkan rumput yang tumbuh satu-persatu ditepi makam.
"Aku datang Kha! Kenapa kamu tega ninggalin aku dan ibu Kha? Bukannya kamu udah janji bakal menjaga dan melindungi aku sama ibu Kha, tapi mana buktinya?" tanya Aretha dengan air mata berurai.
"Kamu sama seperti Ayah kita Kha, jahat! Kamu egois Kha! Kenapa kamu nggak ajak aku? Kamu bilang kita bakal misahin diri dari Ayah sama-sama, tapi apa Kha? Kamu cuman pergi seorang diri, kamu ninggalin aku." Aretha menghapus air matanya yang jatuh berurai.
Ada senyuman kepedihan di bibirnya, senyum penuh luka dan juga senyuman penuh air mata.
"Kha! Kamu janji akan selalu ada saat aku butuh, akan selalu ada saat aku nggak punya tempat sandaran, tapi sekarang apa Kha? kamu ninggalin aku," isaknya dengan suara yang makin keras dan memenuhi area pemakaman yang sepi itu.
"Kamu juga bilang nggak akan ada yang bisa nyakitin dan merusak kebahagiaanku tapi kamu sendiri yang merusaknya Kha, kamu sendiri yang menghancurkannya, kamu yang ambil Kha benar-benar kamu! Aku sudah lama tidak memiliki perasaan tentang hadirnya seorang ayah," ucap Aretha sembari mencoba menghapus air matanya yang jatuh.
"Dan aku mendapatkan semua itu darimu, kamu yang mampu memberi aku sosok itu, tapi sekarang sosok itu juga direnggut dariku, aku tak berdaya Kha, aku tak bisa berbuat apa-apa!" seru Aretha lagi.
Meski mengeluh dan menyampaikan keluh kesahnya, Aretha tetap membersihkan rumput-rumput yang mulai tumbuh.
"Yang bisa aku lakukan sama seperti biasa bukan Kha! Aku hanya bisa menerima takdir burukku, nasib sial yang selama ini sering ku jalani. Ayah aku tak punya, Keluarga bahagia aku juga tak punya, lalu apa yang ku punya Kha? Yang aku punya hanya rasa sakit, kepedihan, kehancuran dan juga kelemahan." Aretha menatap ke langit tinggi.
Lama Aretha bercerita dan menyampaikan semua keluh kesahnya, tapi akhirnya dengan senyum ikhlas Aretha berdiri menuju pintu keluar dari makam.
Baru saja ia hendak sampai di pintu keluar makam, orang yang tak ingin dilihatnya berdiri di sana dengan anak dan istri tercintanya.
"Kamu sudah sembuh Aretha?" tanyanya dengan raut wajah terkejut yang begitu kentara, ia mungkin tak menduga akan bertemu Aretha di makam ini.
"Kenapa? Anda tidak senang Tuan Zein kalau saya baik-baik saja! Tidak sesuai dengan keinginan Anda yang akan bahagia jika saya mati?" tanya Aretha sembari melirik sinis ke arah pria egois itu.
Wajah Aretha nampak penuh dengan kemarahan. Dengan tangan terkepal erat Aretha mencoba untuk terus menahan amarahnya yang hampir saja naik ke ubun-ubun.
"Apa yang kau katakan? Tentu saja Ayah senang kau sembuh, Ayah belum sempat datang menengokmu sayang, pekerjaan ayah banyak sekali maafkan Ayah!" seru Zein dengan cepat.
Sebisa mungkin Zein mencoba mengendalikan raut wajah terkejutnya.
Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Zein membuat Aretha tersenyum dingin, "Ya ya ya, saya tau Anda sibuk Tuan Zein yang terhormat, saya juga tau apa saja yang Anda lakukan sehari-hari!" angguk Aretha dengan cepat.
Tapi senyuman cemoohan yang tertera jelas di bibirnya, berbanding terbalik dengan jawaban yang diberikan Aretha terhadap Zein.
"Pergilah dari sini! Aku tak ingin Anda mengotori makam saudaraku, kenapa Anda tak ingin menceraikan ibuku? Dengan Anda menceraikannya, wanita tercinta Anda pasti akan sangat bahagia, anak tercinta Anda akan memiliki status yang tinggi, seperti yang di idam-idamkannya selama ini," ejek Aretha dengan senyum penuh cemoohan.
"Itu bukan urusanmu Aretha! Itu urusan ayah dan ibu. Kau tak perlu ikut campur masalah ini, jaga saja kesehatanmu. Dan juga, Ayah tak akan pernah menceraikan ibumu, itu semua adalah amanat kakekmu dan kita harus terus melaksanakannya," jawab Zein dengan cepat.
Aretha memandang wanita yang berdiri di depannya dengan sinis. " Kenapa kau diam saja? Bantu aku mengatakannya!" perintah Aretha lagi tak kala melihat istri kedua Zein.
Aretha jenuh berada di depan keluarga yang penuh drama dan sandiwara ini.
"Bukankah selama ini kau ingin memliki status sebagai istri sah? Bukankah anak-anakmu menginginkan status sebagai anak yang diakui oleh negara? Maka katakan padanya," tunjuk Aretha ke arah Zein yang berdiri di depannya.
Tak ada lagi sopan santun dan etika yang diperlihatkan oleh Aretha.
Gadis lembut dan manis itu seakan berubah menjadi orang lain sekarang.
"Katakan padanya untuk menceraikan ibuku! Dan kau akan memiliki semua yang selama ini kau impikan, harta, pria egois ini dan juga semua kemewahan yang selalu ada dalam bayanganmu selama ini." Aretha tersenyum sinis.
Sedangkan Zein nampak begitu terkejut sekaligus marah, ia tak menyangka Aretha yang pendiam dan sopan akan menjadi orang lain sekarang, dia memandang dengan sedih pada Aretha.
"Jaga mulutmu! Dia orang tua, apa ibumu tak mengajarimu sopan santun sedikitpun?" tanya Zein menahan amarah setelah mendengar ucapan Aretha.
" Oh, aku lupa tuan Zein, ibuku tidak mengajari aku apapun. Dia terlalu sibuk memikirkan pria yang tak mencintainya," Aretha menggeleng dengan dramatis.
"Huh, aku iri pada Arekha kenapa dia bisa memutuskan hubungannya denganmu? Sedangkan aku! Aku tak mendapat kesempatan itu. Aku benci, aku marah, kenapa darahmu masih mengalir di nadiku? Kenapa aku lahir karenamu? Aku tidak ingin menjadi bagian dari dirimu, tapi apa? Aku tak bisa mengeluarkan semua darah ini meski aku ingin, aku sangat membencimu!" teriak Aretha penuh kemarahan ketika mendengar ibunya disebut tak becus mengurusnya.
"Cukup Aretha!" bentak Zein tak kala mendengar semua ucapan Aretha.
Sedari tadi Zein sudah berusaha untuk menahan kemarahan dari kata-kata yang dilontarkan oleh Aretha. Dan sekarang ia telah mencapai puncak kemarahannya.
"Huh, harusnya kau senang ibumu yang murahan itu diberikan status istri sah oleh Ayahku, seharusnya kau bahagia semua orang tau kau anak sah Ayahku, tapi kau tak mau bersyukur! Aku dan ibuku sudah mengalah untukmu dan ibumu yang perebut itu," sindir Clarista sembari berdiri dengan sombong.
Kemegahan yang selalu dibanggakan oleh Clarista di depan Aretha bahkan tak membuat Aretha peduli.
Mendengar ucapan Clarista yang boleh menghina ibunya seenak jidat dan tak dimarahi oleh Zein akhirnya menyulut emosi Aretha.
Kemarahan Aretha telah sampai di ujungnya, "Murahan? Lalu kau sebut ibumu apa? Pelac*r!" Aretha tersenyum dingin, senyumnya sangat menakutkan, membuat Friska dan Clarista secara tak sadar melangkah mundur secara perlahan.
"Lihat, istrimu mengajari putri kalian dengan sangat baik, Aku salut dengan ajaran istrimu, boleh menghina orang seenaknya, tapi kenapa Anda tak menegurnya? Oh astaga aku lupa!" ujar Aretha sembari menepuk keningnya pelan.
Aretha bahkan menggelengkan kepalanya penuh dengan drama.
"Dia putri yang paling Anda cintai, putri yang selalu Anda banggakan dan Anda sebut didepan teman- teman Anda, dengan pendidikan yang baik, kasih sayang yang penuh. Hidup dengan penuh kebahagian dan cinta kasih." Aretha menatap langit sembari menghembuskan nafasnya dengan keras.
"Lalu, apa ibuku bukan orang tua juga? Astaga aku lupa perbedaannya!" Aretha menepuk jidatnya kembali dengan pelan. "Hah, kau ini benar-benar pelupa Aretha," ujarnya pada dirinya sendiri.
"Ibumu bukan orang yang penting, dia siapa dan kau siapa? Mereka orang-orang yang dicintainya. Sedangkan ibumu hanya wanita yang dijodohkan, tidak penting dan tak dianggap, huff sungguh menyedihkan jika kau pikir dia akan membela dirimu." Aretha berbicara pada dirinya sendiri sembari menggelengkan kepalanya dengan ekspresi menyesal yang dibuat buat.
"Sudahlah, biar bagaimanapun pasti tetap aku yang disalahkan! Jadi kumohon pada Anda tuan Zein yang terhormat, silahkan pergi dari sini!" tunjuk Aretha pada pintu keluar makam.
"Makam ini tak akan bisa menampung orang suci seperti kalian, lagi pula kakakku pasti jijik melihat kalian datang, dia sudah tenang jadi jangan nganggu dia lagi! Dengan kalian datang kemari itu akan mengotori matanya dia pasti akan marah padaku, sana pergilah!" usir Aretha lagi saat melihat Zein dan keluarganya tak kunjung beranjak pergi.
"Kuharap kalian akan bahagia. Jangan nganggu aku dan ibuku lagi! Kami tak bersalah pada kalian." Aretha melenggang pergi dari sana meninggalkan Zein yang tak bisa lagi berkata apa-apa,
Zein memandang kepergian Aretha dengan penuh tanda tanya ke mana putrinya yang lembut, sopan, ramah, dan juga santun selama ini? apa dia terlalu terluka karena kehilangannya sehingga membuat dirinya berubah terlalu jauh?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!