Seorang gadis tengah berbaring santai di sofa panjang sambil menonton sebuah film di layar televisi. Mulutnya tak henti mengunyah, salah satu hobi gadis itu adalah memakan cemilan baik itu snack, kue bahkan cokelat untung saja bobot tubuhnya tidak pernah bertambah secara drastis. Walau begitu ia rajin berolah raga, ketika merasa bobot tubuhnya bertambah maka secepatnya ia akan berjoging pada pagi atau sore hari.
"Syasa," seru seorang wanita setengah baya masih memakai daster sembari memegang kemoceng.
Gadis yang dipanggil Syasa itu pun menoleh dan bergumam singkat tak ingin aktivitas mengunyahnya terganggu.
"Kamu ini, mama kan bilang jangan makan sambil tidur nggak baik, atuh neng,"
Syasa hanya menyengir kuda. Hari ini adalah hari weekend maka dari itu rumah Syasa ramai. Mama dan papa—nya libur kerja dan kedua adiknya pun libur sekolah. Gunawan—papa Syasa datang bergabung di sofa menyingkirkan kaki putrinya agar bokongnya bisa duduk di atas sofa. Bukan hanya itu, Gunawan pun mengambil alih remote di meja dan mengganti siaran televisi.
"Ih papa," Syasa bersungut kesal aktivitasnya diganggu.
"Kamu ini nontonnya cinta-cintaan terus, sekali-sekali itu nontonnya berita supaya kamu tahu berita apa aja yang lagi trend," balas Gunawan.
"Berita terkini, terjadi tawuran antar mahasiswa Universitas Duta Jaya. Polisi berhasil meringkuk dua mahasiswa yang diyakini memimpin komplotan mahasiswa yang melakukan tawuran. Beberapa fasilitas kampus rusak seperti kaca dan beberapa tanaman di taman kampus rusak."
"Sya, bukannya kamu kemarin tes di Duta Jaya yah?" ucap Gunawan.
Syasa mengangguk, tatapannya terfokuskan pada sosok pria yang memakai kemeja yang seluruh kancingnya terlepas. Wajah pria itu sedikit babak belur terutama bagian sudut bibirnya terlihat jejak darah.
"Pa, kalau Arya ikut tawuran kayak gitu papa marah nggak?" celetuk Arya adik Syasa yang kini duduk di bangku kelas 1 SMA. Selisih Arya dan Syasa hanya terpaut 2 tahun.
"Papa bakal marah lah, tapi papa gak bakal tebus kamu malah biarin kamu di penjara aja," jawab Gunawan.
"Lha, gitu amat pa, kalau kakak?" Arya menyenggol lengan Syasa membuyarkan lamunan gadis itu.
Syasa mengganggukkan kepalanya, "apa?"
"Astaga congek banget sih," gerutu Arya.
"Sorry kakak gak fokus tadi, emang kamu nanya apa?" Syasa menyengir kuda, ia memang tidak mendengar pertanyaan Arya karena sibuk pada layar televisi.
"Nggak jadi, jangan-jangan kakak naksir lagi sama cowok yang di tv tadi? Oh jadi kakak sukanya badboy gitu yah?"
"Nggak boleh! Kakak gak boleh suka sama cowok yang modelnya kayak gitu, papa gak suka yah, nanti kalau dia macem-macem gimana? Syasa masuknya di kampus papa aja yah?" Gunawan membujuk putrinya agar memasuki kampus tempatnya mengajar.
Gunawan adalah dosen Management di salah satu universitas negeri di Jakarta. Syasa bersikeras untuk menolak itu, ia sama sekali tidak menyukai jika bersekolah di tempat orang tuanya mengajar. Kedua orang tua Syasa adalah seorang pengajar, Anggun—mama Syasa adalah seorang guru di salah satu SMA di Jakarta namun Anggun telah memilih berhenti bekerja karena ia ingin fokus dengan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu bagi kedua anaknya, sedangkan Gunawan adalah seorang dosen sampai saat ini pria itu masih mengajar.
Sewaktu Syasa SMA pun, ia tidak bersekolah di tempat mamanya mengajar. Syasa hanya tidak ingin bila orang-orang akan meremehkannya jika nilainya bagus pasti orang-orang akan menganggap jika itu hasil campur tangan orang tuanya dan hal itu sangat tidak disukai Syasa.
"Nggak ah, Syasa gak mau,"
"Tapi Sya, papa takut nanti kamu dideketin cowok kayak gitu gimana?"
"Bagus dong pa, lagian menurut Arya mereka yang tawuran gak selamanya salah pasti mereka punya alasan tersendiri, dari pada cowok sok iya tapi cemen kayak si onoh," bela Arya sekaligus menyindir seseorang ekor matanya pun melirik Syasa.
"Kamu ini, tapi gak semuanya harus diselesaikan secara fisik kan?"
"Tau ah, Syasa ngantuk mau tidur," Syasa memilih pergi dari pada mendengar ocehan Arya dan Gunawan yang akan berakhir dengan perdebatan. Syasa pun tidak ingin mendengar sindiran lebih dari Arya mengenai pacarnya.
Syasa membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Kamarnya dipenuhi dengan berbagai buku baik itu buku pelajaran, komik, novel bahkan buku motivasi pun ada di rak buku. Syasa gemar membaca dan sejak kecil sudah diajarkan oleh kedua orang tuanya. Membaca sangat lah penting, karena membaca adalah salah satu kunci dunia. Seperti pepatah jika kita ingin mengenal dunia maka seringlah membaca.
Ponsel Syasa berdering menampilkan satu nama di layar. Syasa tersenyum lebar mengangkat panggilan.
"Halo,"
"Hai beb, udah makan?"
"Udah dong, kamu?"
"Iya sama, ntar sore jalan yuk,"
"Ke mana?"
"Makan bakso pak Mahmud,"
"Mau, kalau gitu jemput yah,"
"Oke see you, aku mau lanjut futsal dulu,"
Tanpa obrolan lagi, Syasa mematikan sambungan teleponnya. Syasa memilih tidur sejenak agar sore nanti ia akan terlihat lebih segar.
****
"Gara! Papa sudah bilang berapa kali hah! Berhenti tawuran, kamu pikir gak sih? Kalau kamu terus menerus begitu kapan kamu akan berkembang? Nggak capek bikin papa malu?"
Gara—seorang cowok yang mempunyai hobi tawuran. Gara lahir dari keluarga sukses, kedua orang tua Gara adalah seorang dokter. Mama Gara seorang dokter spesialis anak sedangkan papa Gara adalah dokter bedah. Gara memiliki kakak selisih satu tahun darinya dan Gara pun memiliki adik kembar yang baru saja memasuki SMP kelas 1.
"Udah? Gara capek mau tidur," Gara menatap wajah papanya yang masih marah. Gara begitu bosan mendengar ocehan papanya tanpa henti, Gara adalah tipikal cowok keras seperti papanya. Gara akan melalukan hal yang menurutnya benar apalagi menyangkut harga diri. Jika seseorang telah berani menginjak harga dirinya maka Gara tidak akan membiarkan orang itu bebas bahkan Gara akan memberikan pembalasan hingga orang itu tidak memiliki harga diri lagi dan bertekuk lutut di depannya.
Haris—papa Gara—menghempaskan tubuhnya ke sofa memijat pangkal hidungnya, kepalanya sungguh pusing.
"Kapan kamu berubah seperti Bayu," gumam Haris.
Langkah Gara terhenti, ia menoleh ke belakang, "Gara tetap Gara dan gak bakal berubah menjadi Bayu!"
Gara kesal dan tidak suka jika dibanding-bandingkan dengan kakaknya—Bayu. Gara pikir jika Bayu adalah anak emas dari kedua orangtuanya dan Gara hanya lah anak yang selalu menyusah kan bahkan membuat keluarganya malu. Gara suka tawuran, merokok, keluar malam, bahkan balap liar sudah menjadi hobi Gara berbanding terbalik dengan kakaknya. Gara menghempaskan tubuhnya ke atas kasur memejamkan matanya mencari ketenangan dan berlanjut hingga Gara terlelap.
----
Yes or no?
Comment, untuk next! ❤
----
RA
Seorang cowok berseragam putih abu-abu baru saja keluar dari halaman sekolah menggunakan motor kesayangannya. Terasa getaran kecil di saku celananya, ia menepikan motornya sejenak untuk mengangkat telepon itu.
"Halo, kenapa kak?"
"Kamu udah pulang kan?"
"Iya, emang kenapa?"
"Singgah beliin kakak cilok di dekat sekolah kamu dong,"
"Hm, udah itu aja?"
"Iya, makasih yah, GPL yah dek,"
Belum sempat Arya berucap, sambungan telepon telah terputus. Arya mendelik sebal kakaknya mematikan sambungan secara sepihak.
"Untung gue sayang sama lo kak,"
Arya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Arya melajukan motornya dalam kecepatan standar. Kendaraan memadati jalanan ibukota terutama polusi udara yang mulai tercemar bukan hanya itu terik matahari yang begitu menyengat menembus kulit untung saja Arya memakai jaket walau ia sebenarnya tidak takut hitam.
Arya sebenarnya tidak suka pulang cepat tapi hari ini ia tidak memiliki kegiatan lagi di sekolah. Tapi Arya memiliki rencana lain, ia akan ke rumah salah satu temannya. Arya membelikan 2 bungkus cilok untuk kakaknya. Di pertengahan jalan motor Arya dihentikan secara paksa oleh 2 orang preman. Tubuh Arya di tarik agar turun dari motor, Arya melawan tapi pundaknya di cengkram erat oleh salah satu preman itu. Jalanan cukup sepi karena Arya sedang melewati jalan pintas namun, jalan itu memang lah cukup terkenal rawan perampokan. Arya harus melewati jalan itu sebab salah satu jalan yang selalu ia lewati ditutup maka dari itu tak ada pilihan lain bagi Arya.
Arya memukul perut preman yang berkepala plontos menggunakan sikutnya. Tubuh Arya sempat terlepas dari cengkraman preman tapi gagal karena preman satunya lagi mengambil alih dirinya.
Tak jauh dari arah Arya berada, ada seorang cowok baru saja keluar dari sebuah warung kecil untuk membeli rokok. Cowok itu memicingkan matanya dan matanya menangkap dengan jelas 2 orang preman sedang menjalankan aksinya. Cowok itu menghisap puntung rokoknya belum sempat ia menghabiskan satu puntung rokok cowok itu membuangnya begitu saja ke aspal.
Cowok itu menaiki motornya dan melajukannya mendekati preman. Saat motornya telah berada di belakang tubuh 2 orang preman itu, kaki jenjangnya menendang keras kaki preman itu secara bergantian.
"Anjing," umpatnya.
Arya bernapas lega ketika ada yang membantunya. Arya memerhatikan bagaimana cowok asing yang menolongnya itu sedang memberikan sebuah perlawanan kuat. Pukulan dan tendangan cowok itu selalu tepat sasaran sehingg kini 2 orang preman itu tumbang dan memilih pergi.
"Thanks bang," ucap Arya pada cowok misterius itu. Arya mengecilkan bola matanya memerhatikan dengan seksama wajah cowok yang menolongnya itu seakan dirinya pernah melihat wajah itu. Tak ada jawaban dari cowok itu. Arya jadinya bingung sendiri sembari menggaruk keningnya. Arya melirik ke plat motor cowok itu. B 64 RA.
"Gara?" gumam Arya menebak arti dari plat motor cowok itu.
"Lo tau nama gue?"
Arya menunjuk plat motor menggunakan dagunya yang diikuti oleh pemilik motor. Gara, cowok itu memang lah benar bernama Gara.
"Lo udah punya pacar atau belum?" tanya Gara.
Arya mendelik, pertanyaan Gara membuatnya bergidik ngeri. Dalam hati, Arya mengira jika Gara suka sesama jenis.
"Gue masih normal," seru Gara membaca ekspresi wajah Arya yang berubah.
Arya menggelengkan kepalanya singkat menandakan bahwa cowok itu belum memiliki pacar.
"Lo punya mama kan?"
Arya mengerutkan dahinya.
"Eh maksud gue, nyokap lo masih hidup?"
Arya mengangguk.
"Lo punya kakak atau adek cewek?"
"Kakak cewek," jawab Arya cepat. Arya rasa saat ini ia seperti sedang di introgasi.
Gara memegang erat pundak Arya menatap lurus kedua bola mata Arya.
"Lo cowok kan?" Arya kembali mengangguk dengan pertanyaan Gara yang terkesan aneh dan konyol. Dari segi fisik sudah sangat jelas jika Arya adalah seorang cowok.
"Bagus sebelum pacaran mending lo belajar berantem yang bener, supaya lo bisa jaga dia terutama nyokap dan kakak lo, cowok itu tugasnya ngelindungin cewek," Gara memukul-mukul pundak Arya.
Gara meraih helm lalu memakainya. Gara menaiki motornya dan berlalu begitu saja. Arya berdiri mematung memerhatikan kepergian motor Gara yang mulai menjauh. Arya mengingat sesuatu, Arya mengingat wajah Gara. Ia pernah melihatnya di TV.
"Dia. . ."
****
Syasa—gadis itu sedang asik berbaring di atas ranjang empuk miliknya. Tubuhnya bergoyang-goyang seiring alunan musik menggema di telinganya. Sebuah novel setia menemani Syasa. Kini Syasa sedang membaca novel sembari mendegar musik.
Suara ketukan pintu tak didengar oleh Syasa. Arya merasa kesal, kakaknya itu tidak membukakan pintu memutuskan masuk begitu saja. Arya berdecak sebal melihat Syasa baring di atas kasur sambil membaca novel. Arya memaki Syasa dalam hati.
'Pantesan nggak dengar telinganya di sumpelin headset'
Arya loncat ke atas kasur membuat Syasa kaget dan terpekik.
"ALLAHUAKBAR ARYA,"
Arya memasang tampang polosnya seperti anak kecil. Arya memberikan bungkusan cilok sesuai pesanan Syasa.
Syasa mengelus dadanya atas sikap Arya yang sama sekali merasa tak berdosa telah mengagetkannya. Namun kekesalannya itu tak berlangsung lama saat memandang bungkusan cilok pesanannya. Tangannya meraih bungkusan itu dari tangan Arya.
"Lama banget sih," gerutu Syasa.
"Aelah, nggak bersyukur banget dah, itu tuh Arya hampir di kroyok sama preman,"
"O,"
Arya melebarkan matanya sempurna mendengar jawaban Syasa yang sangat tidak memuaskan.
"Heh, kakak jahat yah, bukannya khawatir aku kenapa-kenapa malah jawabnya gitu," sungut Arya kesal.
Syasa memutar bola matanya malas, "gini yah adek ku sayang, kamu sekarang kelihatannya baik-baik aja so? Kakak harus cemas? Coba aja kamu nggak balik-balik terus gak ada kabar baru kakak cemas," dengan santainya Syasa berkata sembari mengunyah cilok.
"Makanya cari pacar sana, supaya ada yang khawatirin selain mama, papa dan kakak," tambahnya.
"Arya nggak mau punya pacar sebelum Arya jago berantem," jawab Arya.
Syasa tersedak mendengar ucapan Arya. Syasa mengambil gelas di meja nakas yang berisi air. Syasa menelan air itu hingga menyegarkan kerongkongannya yang terasa pedis karena tersedak.
"Hahahaa, jago berantem, kamu pikir cewek-cewek suka sama cowok yang suka berantem," Syasa tertawa meledeki Arya.
"Bukan gitu maksud Arya, kalau misalnya Arya gak jago berantem gimana mau lindungin pacar Arya nanti, Arya aja kesusahan lawan preman. Arya baru sadar, cowok itu tugasnya lindungin cewek, terutama mama, kakak dan pacar adek nanti,"
"Yang ngajarin gitu siapa sih? Papa yah?"
"Bukan,"
"Terus siapa dong?"
"Bang Gara," jawab Arya.
Syasa mengerutkan dahinya bingung merasa asing mendengar nama yang disebutkan oleh Arya.
"Gara? Siapa?" tanyanya walau Syasa tidak begitu penasaran dengan pemilik nama itu.
Arya memukul jidatnya pelan.
"Oh iya, Arya lupa kasih tau kakak. Masih ingat gak sama cowok yang waktu kita liat di tv itu?"
Kening Syasa membentuk lipatan-lipatan artinya ia sedang berpikir mengingat sesuatu.
"Yang mana?"
"Itu, lho yang mahasiswa ketangkep gara-gara dia tawuran, sekampus juga sama kakak, senior lah," jawab Arya.
Syasa mengingatnya. Ingatannya kembali mengingat ketika tahun lalu ia menonton tv yang pada saat itu terganggu oleh papanya dan mengganti siaran tv. Cowok yang wajahnya sedikit babak beluk akibat perkelahian. Syasa mengingatnya walau wajah cowok itu diingatannya samar-samar karena kejadian itu sudah sangat lama.
"Oh, emang kamu ketemu di mana?"
"Tadi, dia itu yang nolongin Arya dari preman, dia jago banget lho kakak, menurut Arya sih, dia tipe cowok ideal,"
"Idih, jangan-jangan kamu naksir yah?" Syasa bergidik geli jijik dengan Arya.
"Arya masih normal tau, orang Arya kagum aja liat bang Gara jago berantem, udah pasti tuh dia bisa lindungin mama dan pacarnya, kalau cari cowok tuh kayak gitu kak, jangan kayak si onoh, kalau ada preman eh dia panik bukannya melawan malah diam,"
Syasa terdiam. Ia tahu maksud ucapan Arya—adeknya itu sedang menyindir Jody—kekasihnya. Jody memang bukan lah tipikal cowok yang jago berantem, Jody tidak suka segala sesuatu yang bersifat kekerasan namun begitu terkadang Jody sangat suka marah-marah kesalahan sekecil saja suka dibesarkan. Satu sifat Jody yang tidak disukai oleh Syasa selain itu, Jody sangat posesif padanya dan membuatnya sedikit sulit untuk bebas. Syasa harus melaporkan kegiatan apa saja yang akan ia lakukan tak lupa di mana dan dengan siapa.
---
Yay or nay?
---
Tinggalkan jejak kalian! 🙏
---
RA
Syasa melajukan mobilnya dengan kecepatan standar. Jalanan seperti biasa cukup ramai di padati berbagai kendaraan. Pada hari ini, Syasa memiliki jadwal kuliah pagi hingga siang mulai dari pukul 9 pagi hingga jam 2 siang. Cukup padat, biasanya setelah pulang kuliah bila tak memiliki janji dengan Jody untuk bertemu maka Syasa akan langsung pulang beristirahat. Syasa bukan lah tipe cewek yang doyan jalan, ia lebih senang menghabiskan waktu di rumah.
Syasa memarkirkan mobilnya. Setelah terparkir sempurna, ia mematikan mesin mobilnya. Syasa mengambil cermin di tasnya, Syasa memandang wajahnya. Syasa mengoleskan sedikit bedak di wajahnya dan sedikit merah pipi agar wajahnya terlihat fresh. Syasa pun memoleskan lipstik berwarna nude ke bibir tipisnya.
"Perfect," Syasa menaruh kembali cermin ke dalam tasnya. Syasa membuka pintu mobil dan turun dari mobil.
Syasa melangkah kan kakinya, rambut panjangnya yang tergerai lurus bergoyang seiring langkahnya. Syasa membalas beberapa sapaan dari orang-orang yang mengenalnya. Wajah cantik Syasa sudah menjadi pujaan para kaum adam. Setiap kali Syasa datang, para kaum adam tak sungkan memberikan godaan. Syasa selalu mengabaikannya, namun itu Syasa hanya memberikan senyumannya. Membuat para kaum adam bergidik tak tahan disuguhkan senyuman manis oleh Syasa apalagi Syasa memiliki lesung pipit di pipi kirinya.
Syasa memasuki kelasnya. Suasana kelas ketika belum ada dosen begitu riuh. Ada sebagian yang asik berdiskusi, bergosip bagi para wanita dan berdandan. Syasa mendaratkan bokongnya tepat di atas kursi.
"Lo udah kerja tugas dari pak Bambang?" tanya salah satu sahabat Syasa. Cewek bertubuh sedikit berisi dengan rambut pendek sebahu memiliki tahi lalat tepat di bagian bawah bibirnya.
Syasa menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Gadis itu, mengeluarkan ponselnya yang sedari tadi bergetar. Tertera sebuah kata 'pacar' dengan emoticon love di layar ponsel Syasa—gadis itu mengangkat panggilan dari Jody.
"Kok jawabnya lama? Kamu di mana? Sama siapa? Sibuk banget yah jadi angkat telfonnya lama?"
Syasa menghela napasnya mendengar ocehan Jody, lewat telepon saja Jody begitu cerewet apalagi jika mereka bertemu secara langsung sudah pasti mulut Jody tidak akan berhenti mengomel.
"Maaf, aku nggak sempat angkat soalnya aku baru aja sampe kampus,"
"Oh, gitu ya udah aku matiin telfonnya dosen aku udah datang, kamu jangan selingkuh,"
"Iya,"
Syasa meletakkan ponselnya di atas meja. Ia bertopang dagu memikirkan Jody yang tak pernah berubah. Posesif. Kadang Syasa juga merasa bosan dan lelah bila Jody selalu mencurigainya berselingkuh padahal, Syasa sama sekali bukan tipe cewek seperti itu. Jika hatinya telah memilih Jody maka tidak akan bisa merubahnya kecuali Tuhan merubah perasaannya pada Jody maka bisa saja Syasa akan berpaling.
"Gimana rasanya pacaran bertahun-tahun dengan cowok posesif kayak dia? Enak gak? Atau bahkan sebaliknya?" Winda melirik Syasa.
Syasa menyingkirkan tangannya yang menopang dagunya. Matanya melirik ke arah Winda. Ia menggelengkan kepalanya memasang wajah murung.
"Hm, lama-lama juga gue capek Win, apalagi kalau dia gitu terus. Nggak berubah," jawab Syasa lesu.
"Putusin aja udah. Dari pada lo gini terus, tertekan," timpal Winda.
"Nggak tertekan juga sih Win. Cuma kalau lama kelamaan gue juga bosan sendiri, gue mah bukan tipe cewek doyan punya banyak cowok, satu aja gue pusing apalagi banyak,"
"Gue sih saranin sama lo. Kalau emang lo udah nggak nyaman sama dia ya udah putusin aja,"
"Susah Win, gue masih sayang sama dia. Selain gue udah pacaran 3 tahun sama dia tapi dia juga cinta pertama gue dan lo tau kan cinta pertama itu susah buat dilupain,"
Jody adalah cowok pertama yang berhasil meluluhkan hati Syasa. Sudah banyak cowok yang berusaha mendekati Syasa tapi gadis itu selalu menolak dengan alasan tidak ingin pacaran. Syasa mengenal Jody secara tak sengaja saat Syasa sedang kehujanan. Syasa pada saat itu belum diizinkan mengendari motor atau pun mobil ke sekolah makanya ia akan di antar—jemput oleh sopir. Jody menawarkan tumpangan pada Syasa dan Jody jatuh cinta pada pandangan pertama, ia berusaha mendekati Syasa yang begitu sulit untuk di dekati namun perlahan Jody berhasil menaklukan Syasa.
Kegaduhan di dalam kelas terhenti ketika pak Bambang datang dan proses pembelajaran pun di mulai.
****
Di tempat yang berbeda, di sebuah kantin milik mang Supri menjadi tempat perkumpulan The Trouble Maker. Cowok yang paling berpengaruh adalah Ahyan Garasya. Siapa lagi kalau bukan Gara—cowok itu adalah pemimpin dari perkumpulannya. Mereka tidak memiliki nama khusus tetapi semua orang menjuluki mereka dengan sebutan 'The Trouble Maker' di mana artinya adalah pembuat masalah. Seperti julukannya, Gara dan kawan-kawannya sangat suka beradu otot dan kekuatan dengan para pencari masalah terhadapnya. Terutama bagi orang-orang yang semena-mena dan pecundang.
"Pokoknya hari ini kita harus habisin para banci itu," sahut sosok cowok gondrong yang di kuncir.
"Gar, lo mending munculnya belakangan aja, kita yakin bisa melawan mereka, ingat kondisi lo," kata Ciko salah satu anggota The Trouble Maker.
Gara memicingkan matanya mendelik tajam ke arah Ciko, "lo pikir gue apa? Luka gini doang nggak bisa halangin gue untuk lawan para banci itu," seru Gara tak suka mendengar perkataan Ciko seakan pria itu merasa di rendah kan.
"Sepertinya pasukan banci itu udah datang," Rendi—pria berambut cepak itu memicingkan matanya. Tatapannya mengarah ke segerombolan cowok memakai kaos hitam. Memasuki gerbang dengan menggunakan motor secara ugal-ugalan.
Gara membuang puntung rokoknya lalu mematikan apinya dengan menginjaknya. Gara mengangkat bokongnya, ia memasang tatapan tajam dengan tangan mengepal. Gara meraih jaket jeans kesayangannya bagaimana tidak Gara selalu memakai jaket itu tak peduli bagian lengan jaketnya telah sobek akibat salah seorang musuhnya menarik keras lengan Gara menyebabkan jaketnya sobek. Namun begitu, jaket dan sobekannya sudah menjadi ciri khas dari seorang Gara. Bila pria itu tak menggunakan jaket kesayangannya itu maka ia rasa kurang lengkap.
Kaki jenjang Gara tanpa ragu melangkah keluar. Ia telah bersiap, para anggotanya mengikut di belakang. Seketika kampus kembali menjadi riuh dan gaduh. Banyak para mahasiswa berlari menjauh bahkan ada yang hampir terjatuh karena panik. Gara tidak akan membiarkan seorang pun dapat mengacak kampusnya.
Gara berdiri tepat di depan musuhnya. Gara memasang wajah dinginnya memandang satu persatu musuh di depannya.
"Waw, Gara, pantas semua cewek klepek-klepek sama lo," Thio selaku pemimpin Tiger turun dari motor mengambil posisi berdiri di depan Gara memasang senyum remehnya.
Gara tidak bergeming, ia masih memasang wajah dinginnya tak tersentuh. Thio mengangkat tangannya hendak menyentuh dagu Gara tapi ditepis oleh Gara dan menghempaskannya begitu keras.
"Waw, atit," Thio meringis seperti anak kecil lebih tepatnya sedang mengejek Gara dan memancing emosi Gara.
Gara menelan ludahnya. Ia masih begitu tenang. Tidak terpengaruhi oleh ucapan Thio.
Di tempat yang sama namun berbeda lantai dan gedung. Syasa memerhatikan orang-orang yang berlari ketakutan. Winda berada di samping Syasa pun ikut penasaran mengapa mahasiswa berlari ketakutan. Winda menghentikan salah satu mahasiswa untuk menanyakan apa yang sedang terjadi.
"Kenapa semua pada lari?"
"Ada tawuran di bawah,"
Syasa memutar bola matanya jengah, "tawuran, tawuran, tawuran terus. Kenapa sih suka banget tawuran. Nggak capek apa tawuran mulu emang ada prestasinya. Nggak kan, heran gue. Gini yah, gue berdoa semoga gue nggak pernah di dekatkan sama cowok yang suka tawuran, idih gila aja. Cowok yang suka tawuran mah nggak punya kerjaan," ocehnya tanpa henti.
Winda bertolak pinggang memerhatikan Syasa malas.
"Jangan gitu, entah lo kemakan omongan sendiri baru tau rasa lo,"
"Idih apaan, orang gue punya Jody kok," elak Syasa tak terima.
"Gue doain lo putus," cibir Winda mendapatkan jitakan dari Syasa. Winda mengelus keningnya bekas jitakan Syasa.
Ponsel Syasa berdering. Dan ia meyakini jika Jody sedang meneleponnya. Sesuai dugaaan, di layar ponsel miliknya tertera nomor ponsel Jody. Syasa mengangkatnya cepat takut bila Jody kembali mengomel.
"Udah pulang?"
"Iya ini baru aja,"
"Aku jemput,"
"Nggak usah, aku bawa mobil,"
"Ya udah aku tunggu kamu di cafe biasa,"
"Hm oke,"
Sambungan terputus. Syasa melihat sekelilingnya. Banyak mahasiswa berlari dan ada yang menetap tak berani turun. Mereka memilih menyaksikan moment seru melihat seorang Gara melawan musuh-musuhnya. Siapa yang tidak mengenal Gara? Hanya segelintir orang saja yang tidak mengenal sosok Gara dan sepertinya itu terjadi dengan Syasa.
Winda mencegah Syasa agar tidak turun dan menyuruh Syasa tetap tinggal. Menurutnya sangat bahaya bila Syasa pulang dengan keadaan seperti ini. Syasa keras kepala, ia tidak mengindahkan ucapan Winda. Syasa tetap pergi.
Syasa menaiki mobilnya, Syasa terdiam sejenak. Ia memikirkan bagaimana caranya melewati segerombolan orang itu. Apakah ia harus menerobosnya? Tapi bagaimana jika nanti ia melukai orang-orang itu atau bahkan dirinya? Syasa menjadi bingung sendiri. Ponselnya berdering kembali, Syasa melirik ponselnya itu. Jody meneleponnya. Syasa mengabaikan panggilan itu tapi ponselnya terus berdering tanpa henti. Syasa kebingungan tapi pada akhirnya ia nekad melajukan mobilnya hendak menerobos segerombolan cowok yang sedang tawuran.
Dalam pikiran Syasa, ia melajukan mobilnya tak peduli siapa yang ia tabrak nanti yang jelas mobilnya bisa lewat salah siapa yang menghalau jalan. Syasa menyalakan mesin mobil dan perlahan ia melajukan mobilnya. Syasa menutup matanya ketika mobilnya semakin dekat dengan segerombolan itu. Syasa meyakinkan dirinya sendiri bila ia akan baik-baik saja. Syasa mempercepat laju mobilnya dengan ragu sembari menutup mata. Ia takut bila aksinya itu menabrak orang dan ia tidak ingin melihatnya. Di luar dugaan, tangan dan kakinya bergetar hebat, Syasa menginjak rem hingga mobilnya berhenti. Syasa merasa tidak ada yang terjadi. Syasa mengembuskan napasnya lega, ia mengira telah berhasil melewati segerombolan cowok itu.
Syasa membuka matanya tapi detik kemudian matanya melebar secara sempurna. Mobilnya nyatanya belum melewati segerombolan itu. Justru kini, mobilnya berdiri tepat di tengah-tengah menjadi pengahalau antara Gara dan Thio.
Thio menangkap wajah Syasa dari arah luar. Thio sempat terkesima dengan wajah panik Syasa namun masih terlihat cantik. Sudut bibir Thio terangkat naik membuat sebuah senyuman. Thio mengetuk kaca mobil Syasa.
"Buka," seru Thio.
Syasa mendengarnya. Syasa kebingungan sendiri sekaligus panik. Syasa tidak bergeming memilih diam di atas mobil. Thio membuka pintu mobil Syasa, ia menyeret tangan gadis itu agar turun dari mobil. Syasa memberontak, tenaga Thio jauh lebih kuat. Thio memberi kode pada salah satu temannya untuk menyingkirkan mobil Syasa.
"Mobil gue, lo mau bawa ke mana? Lo mau nyulik mobil gue yah?" mulut Syasa berkomat-kamit Thio mengusap telinganya mendengar ocehan Syasa.
"Berisik banget deh,"
Syasa mendelik tajam, "berisik gimana, siapa suruh nahan gue? Mobil gue di bawa segala,"
"Tenang gue nggak bakal culik mobil lo, gue masih mampu beli mobil lebih bagus dari mobil lo," Thio menyombongkan diri.
Syasa berdecih. Tangannya masih di pegang erat oleh Thio. Kini tak ada lagi penghalau. Mobilnya telah di bawa oleh seorang cowok. Syasa bergumam lirih melihat mobilnya menjauh.
"Yah, mobil gue,"
Tapi Syasa tidak cemas sebab mobilnya berhenti tak jauh dari jaraknya berdiri. Thio mengarahkan kepala Syasa menghadap ke depan. Syasa memukul lengan Thio cukup keras.
"Lo apaan sih," serunya.
Thio tidak menanggapi perkataan Syasa.
Syasa menatap lurus ke arah seorang cowok dengan tatapan dinginnya, mata itu menatapnya. Sorot mata itu mampu membuat Syasa menciut namun terpaku seketika saat menatap lekat manik mata cowok itu yang berwarna hazel. Mata itu seakan bersinar terkena paparan sinar matahari. Tanpa sadar dalam hati Syasa memuja cowok itu.
"Sepertinya gue tidak akan melanjutkan perang hari ini, karena gue punya mainan baru," Thio melirik Syasa.
Syasa belum mengerti ucapan dari Thio. Gara masih terlihat tenang.
Thio mengangkat tangan Syasa tinggi-tinggi, ia mendekatkan bibirnya hendak mencium punggung tangan Syasa.
Syasa menepiskan tangannya. Ia melemparkan tatapan tajamnya pada Thio.
"Lo?"
Syasa menunjuk wajah Thio tanpa rasa takut. Emosi Syasa sudah tak terkendali, Thio berhasil membuat emosinya naik. Pertama, Thio memaksa dirinya turun. Kedua, Thio menyuruh seseorang membawa mobilnya. Ketiga, Thio memegang tangannya tanpa izin. Dan yang keempat, Thio ingin mencium tangannya. Sangat lancang.
Di luar kesadaran, Syasa menampar pipi kanan dan kiri Thio membuat semua orang yang menyaksikannya terkejut bukan main. Bagaimana bisa, seorang cewek sangat berani melawan Thio. Gara masih memerhatikan gerak-gerik Syasa dalam diam, ia enggan menghentikan Syasa.
"Lo pikir gue bakalan diam aja atas sikap lo yang lancang ini. Lo udah ganggu gue, pertama lo nyuruh gue turun dan bawa mobil gue. Lo pikir gue ada urusan sama lo dan orang-orang ini? Kalau lo mau ribut yah ribut aja, jangan bawa-bawa gue, emang lo kenal gue? Gue aja nggak kenal sama lo. Lagian gue heran, lo kalau mau berantem itu tau tempat dong, jangan di jalanan apalagi di kampus emang kampus ini punya nenek moyang lo apa? Ganggu, awas gue mau lewat, gue sama sekali nggak punya urusan sama kalian,"
Syasa mendorong tubuh Thio menjauh agar tak menghalau jalannya. Thio merasa di hina atas sikap Syasa. Thio menarik tangan Syasa menghentikan langkah gadis itu.
"Mulai sekarang lo punya urusan sama gue dan lo akan jadi pawang buat gue dan Gara. Lo bakal lepas kalau Gara sendiri yang berusaha lepasin lo dari gue tanpa bantuan antek-anteknya," Thio menaikkan satu alisnya memasang senyum 'setan' mencoba menantang Gara.
Thio tahu salah satu kelemahan Gara adalah wanita. Gara tidak suka jika seorang wanita terluka apalagi menjadi korban atas perkelahian mereka. Saat Gara maju maka Thio dan pasukannya akan menyerang Gara seorang diri. Walau Thio tahu, Gara bisa melawannya tapi akan sedikit kesulitan jika dia hanya sendiri saja berbeda dengan Thio yang di belakanganya ada 15 orang siap menyerang Gara.
Gara mengepalkan tangannya kuat. Para teman Gara memberikan masukan pada Gara agar segera pergi dan mengabaikan perkataan Thio.
"Lo mending pergi dari sini, biar kita yang urus Thio dan nyelamatin tuh cewek," bisik Ciko tapi tak berpengaruh sama sekali. Gara dengan keras kepalanya akan menerima tantangan Thio. Gara maju ke depan.
Thio tersenyum puas, ia tahu rencananya akan berhasil buktinya Gara telah maju selangkah itu artinya Gara menerima tantangannya. Thio memberikan Syasa ke tangan salah satu pasukannya. Thio akan melawan Gara terlebih dulu, rasanya sangat menarik. Gara membela seorang wanita asing dan mencari mati karena harus melawan Thio seorang diri.
Thio memberi kode kepada para pasukannya untuk mengepung Gara. Thio tersenyum licik melihat tampang Gara yang terlihat begitu tenang. Thio berdecih tepat di depan wajah Gara. Dalam hatinya, Thio merasa terhina akan sikap tenang dari Gara.
Thio dan pasukannya kini mengepung Gara dan masing-masing di antaranya mulai memberikan perlawanan pada Gara. Thio memberikan sebuah pukulan keras tepat di rahang Gara. Yang pada saat itu situasinya Gara hanya seorang diri, mendapatkan serangan hampir saja tumbang. Ciko, Rendi, Heri dan lain-lain berang dibuatnya. Mereka hendak maju namun di tahan oleh Gara sendiri. Gara menyuruh mereka tetap diam di posisinya.
Gara mengepalkan tangannya, Gara masih memasang wajah datarnya namun sorot matanya memancarkan aura mematikan. Gara maju tanpa persiapan, Thio mendapatkan pukulan keras di bagian wajahnya. Gara mengangkat kakinya tinggi-tinggi, mengarahkannya tepat di depan wajah salah satu pasukan Thio yang berdiri di sampingnya. Kaki Gara bergerak seperti arah jarum jam dan berhasil mengenai wajah satu persatu pasukan Thio.
Emosi Gara sudah naik pitam. Ia tak bisa mengendalikannya lagi. Gara kembali menarik kerah baju Thio. Dan memberikan bogeman keras di perut dan dada Thio. Dari arah belakang tubuh Gara ditarik secara keras hingga tangannya terlepas dari kerah baju Thio. Tiga kaki tersaji di depan wajah Gara hendak menyerah wajah dan tubuhnya. Gara menepis kaki-kaki itu menggunakan tangannya.
Thio memukul leher Gara hingga pria itu hampir saja tumbang. Pasukan Thio tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka secara bersamaan menyerang Gara dengan pukulan keras.
"Anjing, mereka tidak bisa dibiarin, Gara bisa mati kalau gini," gumam Rendi.
Ciko, Rendi, Heri dan yang lainnya maju membantu Gara. Ciko menarik baju seseorang yang memukul Gara.
"Banci lo semua berani main keroyokan,"
Ciko mendorong tubuh Gara menjauh. Tubuh Gara tergeletak di aspal. Cowok yang menahan Syasa pergi. Hingga kini tubuh Syasa bebas. Syasa melihat Gara mengerang kesakitan di aspal. Syasa tidak tega melihatnya. Syasa berlari mencari bantuan. Syasa bernapas lega saat satpam dan pihak kepolisian datang. Syasa berlari ke arah Gara. Entah kenapa ada sebuah dorongan menyuruhnya untuk menolong Gara.
Syasa memangku wajah Gara. Syasa menepuk pipi Gara agar pria itu tetap membuka matanya.
"Lo harus bertahan,"
Mata Gara terbuka setengah, ia melihat wajah Syasa yang panik. Syasa memalingkan wajahnya melirik ke arah kiri dan kanan mencari bantuan. Tanpa Syasa sadari, satu sudut bibir Gara tertarik ke atas. Garis senyuman Gara begitu tipis hingga Syasa tidak menyadarinya. Gara mengerang kesakitan hingga matanya tak sanggup lagi terbuka dan penglihatannya menjadi gelap.
---
Vomment dong guys! Big love ❤
---
RA
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!