Detak jarum jam dinding diiringi kicauan burung yang bertengger di jendela memenuhi ruangan yang bernuansa elegan dan mewah di lantai dua bangunan bertingkat 3.
Senada dengan matahari yang terbit dengan ceria pagi itu, seorang gadis tersenyum menikmati pantulan dirinya dari atas sampai bawah di depan cermin. Pakaian yang hampir seluruhnya berwarna biru, serasi dengan warna kulit putih mulus gadis itu.
Diiringi dengan senandung yang tak henti keluar dari mulutnya, hingga sebuah ketukan pintu menghentikan kegiatannya.
Tok! Tok! Tok!
Dengan jepit rambut yang dihiasi permata berwarna biru berkilauan, bertengger di atas rambut hitam panjang gadis itu. Rossi Alexandra.
Ia mengalihkan pandangannya dari cermin panjang di samping lemari dan meninggalkannya. Pintu terbuka, tampak sosok wanita berumur 40an tengah berdiri di depannya. Berseri seri, Rossi keluar kamar dan menutup pintu.
"Bibi, bagaimana menurutmu. Apa aku cantik dengan ini,?" tanya Rossi sambil memperlihatkan setiap lekuk yang ada di tubuhnya.
"Anda selalu cantik nona, bahkan memakai piyama pun anda tetap cantik," jawabnya. Gadis itu tersenyum mendengarnya.
"Terimakasih, apakah Sarah sudah datang?," tanya Rossi.
"Sudah nona, ia sedang menunggu dibawah," jawab Bi Lana.
Mengiyakan jawaban wanita itu Rossi pun bergegas berjalan menjauh dari kamarnya, di ikuti bi Lana dibelakangnya. Ia menyandarkan tangan lentiknya di atas pegangan tangga yang melengkung. Jari jemarinya menelusuri ukiran ukiran yang timbul di permukaannya seirama dengan langkah kaki jenjang yang ditopang high heels berwarna putih dibawahnya.
Rossi menginjakkan kakinya pada tangga terakhir, sampai dilantai yang mengkilap berlapiskan keramik mika, memperhatikan para wanita yang memakai baju seragam mondar mandir membersihkan setiap sudut bangunan itu, Rossi kesal melihatnya.
"Kenapa mereka begitu rajin, padahal hanya satu orang yang tinggal di rumah ini."
Bi Lana hanya mengangguk tak berani menjawab. Ia mengerti maksud dari nona muda nya itu, bahwa hanya ada Rossi mendiami rumah bak istana itu sekarang.
Orang tua? Orangtuanya banyak menghabiskan waktu untuk mengurus pekerjaan mereka. Apa dan dimana ayah dan ibunya bekerja Rossi tidak mengetahuinya. Sangat jarang mereka berada di rumah dan meluangkan waktu dengan Rossi semenjak dia menjadi model di kota S. sekitar 3 tahun yang lalu. Tak ada kakak maupun adik, Rossi putri satu satunya Hans Alexandra dan Rahel Andreas.
Ia butuh perhatian sejak itu. Menjalani hidup tanpa kasih sayang dan bergelut dalam dunia modeling, model terkenal dan berbakat di kota S. Membuatnya merasa semua cinta yang diberikan padanya seakan terlihat palsu, namun sikapnya selalu ramah pada semua orang.
Membuat Rossi memakai topeng di setiap hari-hari yang dilaluinya. Namun ia sering melupakan banyak hal. Seperti memori dalam ingatannya ada yang di hapus. tapi Rossi merasa mungkin itu hanya karena ia kelelahan bekerja untuk pemotretan.
Ada Bi Lana yang selalu ada dirumah bersamanya dan berbagi kasih sayang namun itu masih berbeda dengan kasih sayang yang diinginkannya. Seorang sahabatnya bernama Sarah, sekaligus managernya pada pekerjaan modelingnya selalu ada dan mensupport nya sehingga dia tak merasa kesepian di kota itu.
Dia berharap akan ada waktu saat seseorang bisa memberikannya kasih sayang yang sangat dia inginkan dan berhenti memikirkan waktu yang hilang dari ingatannya.
"Kenapa begitu lama, kita ada pemotretan penting hari ini baby," Ujar seorang wanita pada rossi, Sarah.
Sarah yang sudah lama menunggu nya beranjak dari sofa merah di ruang tamu dan menarik Rossi untuk segera pergi meninggalkan rumah itu. Menuju ke mobil sport mewah yang terparkir di luar.
Di dalam mobil.
"Apa yang kamu cemaskan Sarah, kita tidak akan terlambat. Ini masih begitu pagi."
"Tidak tidak tidak, Rossi kamu harus datang awal hari ini. banyak pemotretan dan tentu saja kamu harus menjadi yang paling cantik dan disiplin disana," jawab Sarah sambil memasangkan sabuk pengaman di bangku rossi
"Tenanglah, lagi pula aku ini sudah cantik. Tidakkah kamu lihat ini," ucap Rossi sambil menopang kedua pipi nya yang mulus itu dengan tangannya. Dan bercermin di spion depan mobil itu.
"Ahh sudah lah, narsis".
Sarah melajukan mobil keluar dari gerbang yang dipenuhi bunga bermekaran di sudut kanan dan kirinya.
Mobil mewah itu sekarang terparkir di parkiran bawah gedung bertingkat yang menjulang tinggi. Yang sudah ada banyak wartawan disana.
"Apa ini? Kenapa ada begitu banyak orang, apakah mereka menungguku," kata Rossi sambil melihat keluar jendela.
"Jangan ke gr an, mereka menunggu CEO baru perusahaan ini. Namanya.. entah lah aku lupa," ucap Sarah yang bersiap siap untuk turun dari mobil.
"Hooo. Apa dia tampan? Tapi bukankah acaranya nanti malam? Kenapa mereka berkumpul sepagi ini," Rossi penasaran.
"Tentu saja dia tampan, mungkin mereka mengira CEO itu datang melihat perusahaannya pagi ini".
****
Tempat lain di kota S. Ruangan yang beraura kelam. Seorang pria yang tengah duduk dengan gagahnya di atas sebuah kursi seperti raja yang duduk di singgasananya , di hadapannya ada seseorang yang tergeletak di lantai berlumuran darah, memohon padanya.
"A-a-aku tidak tau, ss-sungguh," kata lelaki yang hampir mati itu.
Pria tampan itu tersenyum padanya, mengambil pistol yang berada di atas nampan perak di sampingnya. Menembak lelaki sekarat itu dengan satu tembakan tepat di dadanya.
Pria itu memberi kode dengan tangannya pada sekelompok pria lain berjas hitam. Seakan paham dengan yang diperintahkan, dua orang dari mereka menarik jasad yang sudah babak belur dan berlumuran darah itu keluar sana.
"Selidiki semuanya, jangan sampai ada yang terlewatkan sedikitpun. Bagaimanapun aku harus segera menemukannya."
"Baik tuan."
Seorang pria menyanggupinya dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Edgar Julian Stevenson, tuan muda sekaligus pewaris tunggal dari keluarga Stevenson. Yang sudah sukses selama bergelut dalam dunia bisnis sejak dia masih berusia 20th. Disamping kesuksesannya sebagai CEO di perusahaan terbesar di Asia, ia juga merupakan mafia yang berpengaruh di Asia-Eropa. Namun status nya sebagai mafia tak dipublikasikan. Pria itu dikenal dengan temperamennya yang buruk.
****
Di ruang rias, semua orang terlihat sibuk.
"Rossi Alexandra," ucap seorang wanita dengan suara lentik menghentikan kesibukan Rossi dan Sarah, memandangi seorang wanita modis bergaun merah terbuka yang menampakkan sedikit buah dadanya. Berjalan mendekati mereka dengan angkuh, Vera Anderson.
Ia berdiri berkacak pinggang di hadapan Rossi yang sedang duduk di kursi rias.
"Selama apapun kamu berdandan disini, tidak akan bisa menyaingi ku," ledeknya dengan wajah sok cantik itu.
"Oh ya? benarkah? ayo kita lihat siapa yang akan menjadi bintang malam ini," balas Rossi dengan berbalik tersenyum manis padanya.
Vera pergi dengan kesal namun sudah ada rencana licik untuk menjatuhkan nama Rossi.
"Huh. Ada apa dengannya Sarah? Kenapa dia menjadi semakin angkuh akhir akhir ini."
"Dia mendapatkan sponsor baru di belakangnya, dan tampaknya memiliki kekuatan disini."
"*****," ucap Rossi sambil beranjak dari kursi rias untuk kembali pada pemotretan.
Jadwal pemotretan Rossi hari itu sangat padat. Hingga dia sampai di rumah menjelang malam.
Di rumah Rossi.
"Huh. Lelahnya, apa kita harus menghadiri acara itu? Aku lelah.."
Rossi menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur empuk kesayangannya.
"No no no, kamu harus hadir. Apa kamu mau mengalah pada wanita ****** itu? Aku mandi duluan," jawab Sarah sambil menuju ke kamar mandi.
Rossi hanya merengek dan tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Lelah. Letih. Lesu.
Namun ia harus menjadi bintang malam ini. Harus. Setelah Sarah selesai mandi, Rossi bergantian ke kamar mandi. Dan mereka bersiap siap untuk pergi ke acara penyambutan itu.
Dengan dibalut gaun putih bercampur merah muda. Rambut panjang terurai dan bergelombang di ujungnya, Rossi tampak seperti seorang putri. Dengan riasan sederhana bernuansa merah muda, sangat cocok dengan wajahnya, tampak serasi dengan perhiasan berkilau yang dia kenakan.
"Oke.. Waktunya kita berangkat tuan putri," goda Sarah setelah selesai mendandani tuan putrinya itu. Mereka berangkat dengan mobil berwarna putih yang sudah terparkir di depan rumah. Melajukan mobil itu dengan santai di jalanan malam sambil menikmati suasana kota malam yang indah.
--***
Di depan gedung perusahaan Xx.
Karpet merah terbentang panjang menuju pintu masuk gedung bertingkat yang sudah dikelilingi oleh para wartawan. Mereka berdesakan tak ingin kehilangan momen penting untuk laporan pekerjaan mereka.
"Lihat. Lihat. Itu dia Presdir nya sudah datang," suara nyaring seorang pria membuat suasana nya menjadi sibuk.
Cahaya flash kamera muncul dari setiap penjuru untuk mengambil foto sesosok pria yang berjalan di atas karpet merah dengan setelan jas berwarna biru gelap, badan tegap dan tentunya berwajah tampan.
Langkahnya diikuti beberapa pria bersetelan hitam seragam di belakangnya. Memasuki pintu gedung itu dengan angkuh.
***
"Sarah, apa kita tidak akan terlambat jika kamu mengemudi seperti siput ini," kata Rossi sambil memandangi jalanan dari balik kaca mobil.
"Kita harus menikmati suasana jalanan malam Rossi, lihatlah. Bukankah indah. Lagipula tidak akan terjadi apa apa jika kita terlambat sedikit saja," balas Sarah tenang.
Rossi hanya mengangguk namun ia sangat penasaran dengan Presdir baru itu. Hati kecilnya merasa tidak sabar untuk bertemu dengan pria itu.
Tak lama kemudian mereka sampai di parkiran bawah gedung, tidak melewati karpet merah yang terbentang di depan. Mereka sudah terlambat. Jadi masuk melewati pintu yang lain.
Didalam ruangan itu, para tamu tengah sibuk berbincang bincang. Rossi dan Sarah menyelinap di tengah keramaian berbaur di dalamnya. Ternyata acara penyambutannya sudah berakhir. Rossi merasa sedikit sedih, dia tak dapat melihat pria itu.
"Lihat ini. Siapa yang datang," kata seorang wanita dengan gaun yang berkilau berwarna merah berjalan menggandeng tangan seorang pria mendekati dua wanita yang tengah menikmati minuman mereka. Rossi dan Sarah.
Rossi tak menghiraukannya, meletakkan gelasnya tanpa memperdulikan wanita yang berdiri di depannya itu.
"Kau! kau berani," ucap Vera kesal.
"Jika kau tak ingin pria di samping mu itu tau bagaimana kau bermain di belakangnya. Jangan menggangguku," ucap Rossi berbisik padanya lalu meninggalkan wanita yang kemarahannya hampir meledak itu.
'Lihat saja, sampai kapan kau akan sombong seperti itu,' Vera berbisik dalam hatinya.
Ia memberi tanda pada salah satu pelayan yang membawa minuman di tangannya. Diiringi senyum licik di wajahnya. 'Kau akan berterima kasih padaku rossi,' batin Vera.
"Silahkan minumannya nona," ucap seorang pelayan memberikan segelas anggur pada Rossi.
Rossi menerimanya tanpa kecurigaan sedikitpun berlalu pergi meninggalkan pelayan itu. Membawa minuman itu bersamanya. Di sela perbincangannya dengan tamu disana, Rossi meminum anggur itu.
"Sarah, aku ke toilet sebentar."
Rossi pergi menjauh dari Sarah setelah wanita itu mengangguk.
Di lorong toilet.
"Kenapa kepalaku begitu sakit, nafasku juga menggebu. hoh. Panas sekali malam ini."
Rossi memegang kepalanya sambil berjalan sempoyongan ke toilet. Ada dua pria yang berdiri di samping toilet itu seakan sedang menunggu mangsa mereka.
"Hai wanita, mau kami bantu?"
Seorang pria tersenyum nakal pada Rossi, mulai menyentuh wajah Rossi yang sudah mulai memerah.
"Jangan menyentuhku."
Rossi menyingkirkan tangan kotor itu darinya.
"Jangan sok jual mahal begitu, tenang saja. Kami akan memperlakukanmu dengan lembut sayang."
Mereka menarik Rossi ke sudut dinding dan memojokkannya.
"Menjauh dariku. Lepaskan."
Rossi berusaha melepaskan genggaman pria itu di tangannya.
Di balik sudut itu ada seorang pria yang tengah mengobrol melalui telepon.
"Terus selidiki!"
Edgar mengakhiri panggilannya. Dan berjalan mendekati sumber suara yang mengganggunya dari tadi.
"Apa kalian bersenang senang?"
Suara berat Edgar menghentikan kegiatan dua pria yang ingin bercinta itu.
"Jangan mengusik kami, carilah wanita lain," ucap seorang pria yang sudah tak tahan.
"Tolong aku."
Rossi memohon pertolongan edgar dengan wajah merah mungil nya.
Namun Edgar malah berpaling dan pergi menjauh. Tidak menghiraukan permohonan gadis itu.
Tidak lama kemudian, tepat sebelum pria itu hendak mencium Rossi. Sekelompok pria berjas hitam menghentikannya dan membereskan dua orang itu. Lalu membawa rossi yang setengah sadar ke dalam mobil yang berada di parkiran bawah gedung.
Ternyata seorang pria didalam mobil itu. Edgar.
"Jalan," ucap edgar sambil membuka jasnya dan menutupi tubuh mungil Rossi yang mulai menggeliat tak nyaman.
Sopir itu melajukan mobilnya keluar dari parkiran dengan gesit dan melaju di jalanan malam tanpa tujuan.
"Panas."
Rossi menyingkirkan jas yang menutupinya lalu mendekat pada Edgar. Tanpa kewaspadaan sedikitpun.
"Tolong aku."
Wajah memelas itu membuat Edgar menjadi ingin memakannya. namun ia masih berusaha untuk menahan. sampai Rossi terus mendesaknya, ia merasa sangat tidak nyaman. dan mengikuti permainan wanita itu.
"Ini permintaanmu, oke."
Rossi mengangguk dan mengecup lembut bibir Edgar. Edgar tersenyum. Sebelumnya tak ada wanita yang berani menciumnya, membuat sopir yang melihat itu cemas pada Rossi.
Takut tuannya itu akan marah. Tapi bukannya marah Edgar malah mencium balik Rossi dan mencium dalam bibir mungil itu. Membuat bawahannya itu heran.
"Kembali ke mansion."
Edgar menghentikan ciumannya dan menyandarkan Rossi di bahunya. Edgar merasa familiar saat melihat Rossi di gedung tadi, membuatnya tak rela jika harus membiarkan wanita itu berada dalam pelukan pria lain.
Di rumah mewah tepi pantai.
Edgar menggendong Rossi yang terbalut jasnya memasuki pintu besar mewah bernuansa elegan dan disambut oleh jajaran pelayan yang tunduk hormat padanya. Edgar melewati mereka, menaiki tangga dan berlalu.
"Apa yang terjadi? Ini sudah sangat lama sejak tuan muda dekat dengan seorang wanita. Bahkan sekarang menggendongnya?" Ucap seorang pria yang bergegas mendekati pak sopir yang tengah berdiri di sudut pintu.
"Hei kalian. Berhenti bergosip. Bukankah ini bagus, tuan muda bisa melupakan gadis itu," ucap seorang wanita yang keluar dari arah dapur.
Di kamar, Rossi terbaring di tempat tidur yang disinari cahaya rembulan, membuatnya tampak sangat menawan. Sedangkan Edgar berada diatasnya. Ia mengalungkan tangannya dileher Edgar. Menggoda pria itu. Tanpa sadar apa yang sedang ia lakukan.
Edgar tersenyum, merasa bergairah melihat tingkah Rossi yang terlihat begitu menggoda. ia memenuhi keinginan Rossi yang sudah merasa sangat tidak nyaman dan ingin bercinta dengannya.
"Tolong aku," ucap Rossi di bawah tubuh Edgar.
"Tentu saja sayang," balas Edgar.
Dengan gesit Edgar melepas bajunya, mulai menciumi Rossi dari bibir mungil yang memanggilnya sejak tadi, lalu perlahan mulai menelusuri leher jenjang gadis itu. Membuat Rossi menggelinjang dan meremas seprai tempat tidur.
Edgar melepas perlahan gaun yang menutupi tubuh Rossi. Melepaskan satu persatu penghalang diantara mereka. Sehingga mereka tak lagi dibalut oleh sehelai benangpun. Tubuh mereka disinari cahaya rembulan yang menembus masuk melalui kaca besar di ruangan itu.
Edgar melanjutkan kegiatannya, meninggalkan tanda gigitan kecil darinya pada setiap tubuh mulus Rossi. Rossi mengerang.
"Auhh."
Membuat Edgar menjadi lebih bergairah lagi. Terlihat dari siluet di atas tempat tidur itu. Tubuh mereka menyatu.
Terdapat bercak merah di atas seprai. Menandakan status Rossi dari gadis menjadi wanita. Baru pertama kali, melihat itu Edgar tersenyum puas.
Mempercepat gerakannya memompa tubuh Rossi. ruangan itu dipenuhi oleh erangan Rossi dan Edgar. Mereka bercinta dengan begitu panas. Hingga terlelap setelah beberapa ronde. Berpelukan.
***
Pagi hari, mentari memaksa masuk dari balik kaca besar. Menyilaukan, membangunkan seorang wanita yang terlihat begitu lelah setelah kejadian semalam.
"Uhh. Kepalaku sakit."
Rossi bangkit dan memegang kepalanya. Lalu duduk di tepi tempat tidur tanpa memakai penutup apa pun.
"Huaaa. Apa ini, kenapa aku.."
Rossi menjerit dan menyilangkan kedua tangannya menutupi dadanya. merapatkan pahanya. Rossi mulai mengingat satu persatu adegan dia yang menggoda pria itu.
Membuatnya menjadi gila jika semakin mengingatnya.
"Aku menggodanya."
Rossi berulang ulang mengulangi perkataan itu. Termenung.
Ketukan pintu membuatnya terkejut, dan langsung meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. Lalu seorang wanita berumur 40an memasuki ruangan itu dengan membawa pakaian di tangannya.
"Silahkan mandi nona, ini pakaian anda. Tuan muda sudah menunggu anda di bawah."
Wanita itu tersenyum ramah dan berlalu pergi meninggalkan ruangan itu. Rossi masih tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya. Namun yang membuatnya penasaran, siapa pria yang dia goda tadi malam.
Selesai mandi dan memakai pakaian yang disediakan untuknya. Rossi perlahan menuruni anak tangga satu persatu hingga terlihat seorang pria tengah makan di meja makan. Rossi bergegas mendekatinya
"Maaf tuan. A-aku sungguh minta maaf atas kejadian semalam. Aku.."
Rossi mengaitkan kedua telapak tangannya di bawah perut ratanya. Sangat imut.
"Duduklah."
Rossi gugup namun hanya bisa menuruti perkataan pria itu. Rossi berjalan menjauh. berencana duduk di seberang pria itu. Namun seorang pelayan menarik kursi di dekat pria itu dan memberi tanda agar Rossi duduk disana.
Rossi hanya terdiam. Menatap pria yang tengah sibuk menyuap makanannya.
"Apa yang kamu lihat!? Makan makananmu."
Nada bicara Edgar terdengar seperti marah bagi rossi. Namun sebenarnya itu biasa saja bagi orang rumah itu.
Tak lama kemudian, Edgar pergi meninggalkan meja makan. Berjalan ke menaiki tangga dan mulai tak terlihat. Rossi menyusulnya karena dia harus memperjelas kejadian semalam.
Edgar mengetahui bahwa dia diikuti. lalu langkahnya terhenti dan berbalik ke arah penguntit itu. Ternyata itu adalah Rossi. Wanita yang tidur dengannya semalam. Tiba tiba mendorong tubuh Rossi ke pojok dinding. Menatap mata wanita itu dengan tajam. Nafas mereka menyatu. Terlalu dekat.
"Apa kamu menyesal bercinta denganku?"
Edgar menatap dengan tatapan mengintimidasi. Rossi menggeleng. Melihat tingkah wanitanya itu Edgar langsung menciumnya dan perlahan tangannya mulai bergerak memasuki pakaian Rossi. Rossi langsung menghentikannya. Dia mendorong tubuh Edgar menjauh. Nafasnya tersengal.
Rossi berusaha mengatur nafasnya. Memulai pembicaraan.
"Tunggu. Tak bisakah kita berkenalan dulu. Aku Rossi. Kamu?" Tanya Rossi sedikit gugup.
Edgar menyerngit kesal. Siapa di dunia ini yang tidak mengenalnya.
"Ck!" Balas edgar.
Dia pun pergi dan membanting pintu kamar yang berada di ujung lorong. Rossi tak berani mengikutinya. Hanya berdiri menunggu di sudut lorong itu.
--***
Ruangan elegan namun terkesan sederhana dikelilingi rak bersusun ribuan buku di dalamnya. Menjadi latar belakang seorang pria yang tengah sibuk dengan komputernya.
Kriing. Kriing
Dering ponsel menghentikan kegiatannya, dia berjalan ke arah kaca besar dan menjawab telepon sambil memandangi keindahan pantai dari kejauhan.
"Ya."
Edgar menjawab singkat dengan suara yang berat. Terdengar suara dari seberang ponsel yang melaporkan secara rinci dan detail hasil dari tugasnya. Mendekati akhir pembicaraan.
"Dan tuan muda, kami tidak dapat menemukan informasi mengenai nona Rossi, biodatanya diamankan oleh kode khusus."
"Apa itu adalah kode yang dibuat oleh pak tua itu?" Edgar bertanya kesal.
"Sepertinya benar tuan, itu adalah kode yang dibuat oleh Mr.hans dan tuan besar."
Edgar mematikan panggilan itu, melempar ponselnya. Menendang vas indah besar yang berada di samping kakinya.
Prang. Pecah. Berantakan.
"Mereka ikut campur lagi, apa sebenarnya yang mereka inginkan."
Edgar menghela nafas menahan kemarahannya.
Dia kembali duduk di kursi kerjanya empuk itu. Sambil berpikir serius tentang masalah yang terjadi.
"Aku harus menemukannya sebelum Mike kembali kesini."
Edgar berusaha memikirkan berbagai macam cara. Mike adalah pamannya, adik dari ayahnya. Dia ingin menjatuhkan kepemimpinan Edgar. Sudah banyak cara kotor yang dia lakukan. namun Edgar selalu bisa mengatasinya.
Dan sekarang Edgar masih dalam pencarian untuk menemukan wanitanya, tapi apa yang dilakukannya selama ini sia sia. Tak membuahkan hasil.
Seketika Edgar langsung teringat pada Rossi, wanita yang bercinta dengannya tadi malam.
'Mungkin aku bisa memanfaatkannya,' pikir Edgar.
Edgar keluar dari ruangannya dengan begitu berambisi. Langkahnya terhenti melihat sesosok wanita yang tengah tertidur dipojokkan lorong. Masih memakai pakaian tipis yang diberikan padanya tadi pagi.
"Apa dia begitu bodoh, tertidur disini."
Edgar mendekatinya. Tatapan matanya terhenti menatap wajah Rossi yang tengah terlelap. Membelai wajah mulus rossi. Seketika dia teringat pada wanita yang selama ini dia cari. Olivia.
***
Edgar adalah lulusan dari universitas top dunia di Amerika serikat. Ia mampu menyelesaikan kuliah nya lebih awal. Dan memulai bisnis pertamanya di paris. Saat itulah dia bertemu dengan seorang mahasiswi jurusan modeling di salah satu universitas yang dia kunjungi.
Suara rem decitan mobil menyatu dengan teriakan seorang mahasiswi yang sudah tergeletak di depan sebuah mobil silver mengkilap. Membuat banyak orang berkerumun untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Seorang mahasiswi lain dengan pakaian kasual, dengan rambut terikat dan memakai jepit rambut. Berlari di antara kerumunan dan mendekati seorang wanita cantik berambut pendek yang sudah terduduk di depan mobil itu.
"Jane, apa yang terjadi?"
Olivia langsung menghampirinya.
Jane Gabriela adalah sahabat olivia selama di kampus dengan jurusan yang sama. Biasanya mereka selalu bersama. Namun pagi itu Olivia terlambat bangun dan menyuruh Jane untuk pergi duluan ke kampus.
Jane hanya mengeluh menahan sakit. seorang lelaki tinggi dan sedikit berkumis keluar dari mobil itu untuk menyelesaikan permasalahannya. Namun bagi olivia tidaklah semudah itu. Jane terluka. Mereka cukup lama berdebat. Membuat pria yang berada didalam mobil menjadi kesal. Keluar dari dalam mobil.
Pria itu muncul dengan kacamata hitam, membuat mata para gadis di kerumunan menatapnya terpesona. Termasuk Olivia. Sebelum ia mengalihkan kembali pandangannya pada Jane. Namun itu tak menyulutkan niat nya untuk meminta pertanggung jawaban pada orang itu.
"Menyelesaikan gadis kecil ini saja kau tidak becus," ketus pria itu.
Lelaki yang sedari tadi berada disana menunduk dan mengundurkan diri mundur dibelakangnya. Pria itu menatap jengkel gadis mungil yang tingginya hanya setinggi bahunya.
"Apa yang kau inginkan? Uang?" Edgar membuka kacamata hitamnya.
Dia menunduk, mendekatkan wajahnya pada Olivia. Mata mereka bertatapan. Olivia melangkah mundur dirinya. Menjauh dari pria itu.
"Oh tuan yang terhormat, bukankah kau sebaiknya membawa temanku ke rumah sakit?" Olivia menatap balik mata pria itu.
Pria itu menaikkan alisnya dan menyeringai.
"Bodoh." Edgar menjentikkan jari nya pada kening Olivia.
Ia memasang kembali kacamatanya, berbalik dan berbisik pada bawahannya sebelum kembali ke mobil. Dia melajukan mobilnya sendiri melewati kerumunan massa.
"Hei?!" Olivia bersorak padanya.
Terlihat dari kata spion gadis itu tengah mengutuknya. Membuat Edgar tertawa melihat tingkah Olivia yang begitu menggemaskan. Masih pagi dia sudah mendapatkan tontonan yang bagus.
Seiring berjalannya waktu, mereka sering bertemu. Di kampus, di pusat perbelanjaan. Bahkan saat rekreasi liburan pun mereka masih dapat bertemu. Mereka sering bertengkar untuk hal yang tidak jelas, hingga menjadi lebih dekat. Semakin dekat. Hingga saat kelulusan Olivia. Mereka berencana untuk menghabiskan malam bersama.
Di Bawah menara tinggi yang menawan dengan cahaya lampu yang meneranginya. Eiffel. Sepasang kekasih yang begitu bahagia berjalan ke sana kemari. Olivia menarik tangan Edgar. Mereka menyelip di kerumunan mencari posisi yang pas untuk menikmati malam indah itu.
Berpegangan tangan sambil melihat langit indah yang sudah dipenuhi kembang api berwarna warni. Suasana yang diinginkan Edgar untuk melamar kekasihnya itu.
Tepat saat Edgar mengeluarkan cincin berlian berukiran huruf O di baliknya, sesuatu yang tajam mendarat di lehernya. Membuat penglihatannya menjadi kabur dan tangan mereka terpisah, kemudian tak sadarkan diri.
Tepat 1 hari 2 malam, Edgar terbangun dengan jarum infus tertancap di tangannya. Ia sudah berada di kamarnya. Tentu saja tak ada kekasihnya olivia. Dia langsung berlari mencabut jarum itu keluar dari ruangan itu. Disambut oleh ayah dan ibunya dan beberapa pelayannya.
Terlihat jelas dari wajah ibunya, ia sangat mencemaskan putranya itu.Tangan Edgar berdarah karena infus yang dicabutnya. Namun Edgar tak mengindahkannya. Dia hanya memikirkan Olivia.
"Dimana Olivia?" Tanya edgar.
Tak ada satupun yang menjawab pertanyaannya. Hening. Ayah dan ibunya saling bertatapan. Menarik nafas panjang dan menarik Edgar kembali ke kamarnya. Menjelaskan setiap detail situasi yang terjadi malam itu.
Dari saat itu, Edgar terpisah dengan Olivia. Tak bisa menemukannya. Ia berusaha untuk mencari tahu keberadaan kekasihnya itu. Berbagai macam cara yang dia coba, namun tak membuahkan hasil sedikitpun.
Biodata mengenai Olivia tak bisa dijangkau nya. Keamanannya dibuat oleh Mr. Hans, sahabat ayahnya. Di dunia mafia. Belum ada seorangpun yang bisa memecahkan keamanan yang buat oleh Mr. Hans.
Yang membuat Edgar penasaran, kenapa mereka mengamankan identitas gadis itu. Ada apa sebenarnya. Sejak saat itu dia terus berusaha mencari dan memecahkan kode itu. Tak berhasil.
Tak berselang beberapa hari. Edgar dipilih menjadi penerus bisnis ayahnya sekaligus menjadi ketua "Eagle" mafia. Setelah urusan nya selesai dia berencana untuk kembali ke kota S tempat kelahirannya dan kekasihnya, berharap menemukan Olivia disana.
Edgar tumbuh menjadi pria yang sukses di usia mudanya. Bergelut di dunia mafia, dan menjadi salah satu kekuatan mafia yang ditakuti. Pencarian informasi mengenai olivia, tidak membuahkan hasil apa pun. Menjadikannya pria yang emosional dan tidak membuka hatinya pada wanita manapun.
****
Edgar menggendong Rossi perlahan, tak ingin membangunkan wanita itu. Membaringkannya di tempat tidur. Edgar tak rela meninggalkan wanita itu. Dia merasakan kehangatan di dekatnya. Dia merindukan Olivia. Edgar terduduk di sudut tempat tidur. Melamun.
Menatap Rossi dengan penuh cinta, berharap itu adalah Olivia. Wanita yang sangat dirindukannya.
'Betapa bahagianya aku jika Olivia disini sekarang.'
Edgar membelai pipi merah Rossi dengan lembut. Hingga deringan ponsel menghentikan kegiatannya.
Terdengar suara terburu buru dari seberang telepon.
"Tuan, tuan besar menyuruh Anda segera ke markas sekarang."
"Ya."
Edgar mengakhiri panggilan itu, mengambil jas nya kemudian dengan cepat meninggalkan rumah besar itu. Dia mengendarai mobil sport hitam di jalanan kota dengan kecepatan sedang.
Dia menekan tombol di mobilnya menelpon ke mansion nya, terdengar nada sambung.
"Jaga dia baik baik, siapkan yang dia butuhkan. Jangan sampai dia kabur."
Edgar langsung mengakhiri panggilan itu tanpa mengetahui respon dari lawan bicaranya itu. Ya penerima telepon pasti menurutinya.
Edgar kembali fokus ke jalanan, dan mempercepat kecepatan mobilnya. Menyalip satu persatu kendaraan yang berada di depannya. Mulai memasuki kawasan sepi di ujung kota yang hanya dikelilingi oleh pepohonan rimbun. Edgar memarkirkan mobilnya di depan bangunan yang terlihat begitu lusuh.
Ia memasuki bangunan itu melewati pintu besi yang sedikit berkarat. Berderit. Dindingnya sudah dipenuhi oleh tumbuhan liar menjalar. Dia terus berjalan beberapa langkah ke dalam. Tepat di ujung lorong. Edgar memberikan sidik jarinya di atas finger print yang terpasang disana. Perlahan besi yang kokoh dipenuhi rumput menjalar di permukaannya bergerak ke samping menjadi sebuah pintu.
Bertuliskan kata "Eagle" di setiap sudut , Edgar disambut dengan hormat. Terdengar bunyi senapan disana sini. Besi yang bergesekan. Dentuman demi dentuman. Terdengar sibuk. Edgar terus melanjutkan langkahnya, menaiki sebuah lift bawah tanah dan turun ke bawah.
Terdengar sedikit bisik bisik percakapan dari lift berdinding kawat berbentuk persegi yang hampir sampai di dasar itu.
--***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!