NovelToon NovelToon

ELENA

Terjadi

Seorang gadis cantik berkulit putih sedang membersihkan wajahnya di depan washtafel di dalam toilet khusus karyawan hotel Semeru. Hotel tersebut salah satu hotel berbintang di kota Jakarta. Dia adalah Anyelir, gadis berusia delapan belas tahun yang merupakan gadis yatim piatu.

Diambilnya kapas dalam wadah lalu ia menuangkan botol berisi air ke kapas tersebut. Dengan lembut ia bersihkan makeup yang menempel di wajahnya. Setelah dirasa cukup, ia lalu membasuh wajahnya dengan air, tak lupa memakai sabun khusus cuci muka. Saat sedang menyisir rambutnya, seseorang membuka pintu toilet dan bergabung bersamanya.

"Balik naik angkot?" tanya Viola kepada Anyelir yang sedang mengikat rambutnya seperti kuncir kuda.

"Emang biasanya?" alih-alih menjawab, Anye balik bertanya.

"Ck." Vio berdecak. " Siapa tau aja udah punya gebetan jadi gak perlu naik angkot lagi".

"Itu gebetan apa tukang ojek Vi?" tanya Anye sambil terkekeh, hampir saja lipstik yang sedang ia pakai meleset keluar jalur.

"Kalo ada yang bisa dimanfaatkan kenapa harus merugikan diri," jawab Viona tak mau kalah.

"Siapa sih yang merugikan diri? justru aku itu memberi manfaat loh buat sopir angkot secara gak langsung 'kan memudahkan dalam mencari rezeki yang otomatis akan menambah pahala juga buat aku." Sanggah Anye panjang lebar.

"Iya...iya, baik Bu guru," canda Vio.

"Nah...gitu dong, ini baru murid yang baik." Ucap Anye sambil menepuk-nepuk pelan pundak Vio

.

"Heleeh." Vio mencebikan bibirnya.

Dirasa penampilan sudah cukup rapih dan sudah tidak ada makeup di wajahnya hanya olesan tipis lipstik. Anye memang selalu membersihkan terlebih dulu wajahnya ketika pulang kerja karena dia memang tidak suka berdandan, pada saat akan bekerja pun Vio memilih berangkat lebih awal supaya bisa memakai makeup terlebih dulu di toilet hotel. Memakai sling bag nya Anye pun memutar badannya ke arah Vio.

"Aku duluan Vi, jangan lupa makan dan minum air putih yang banyak biar tetep sehat, malam ini 'kan perayaan ulang tahun Bos."

"Dih apa hubungannya, gak jelas lo."

"Kalau sakit gak bisa ikut pesta dong, emang gak nyesel gak bisa liat muka tampan Pangeran Ken?" bisik Anye di telinga Vio.

Vio nyengir."Bener juga."

"Yaudah balik duluan, dadaaahhh," ucap Anye sambil melambaikan tangannya ke arah Vio.

"Duluan...duluan terus dari tadi tapi gak balik- balik. Hus..hus..huss sana," balas Vio sambil menggerakkan tangannya seolah mengusir.

Anye berjalan menuju pintu belakang hotel. Anye duduk di halte sambil menunggu angkot yang menuju ke arah rumahnya. Tak lama kemudian angkot yang ditunggu datang. Anye segera melambaikan tangannya dengan tujuan memberhentikan angkot tersebut. Angkot pun berhenti, segera Anye duduk dibangku belakang.

Beberapa menit kemudian angkot yang ditumpangi Anye berhenti tepat di depan rumah kontrakannya. Anye segera turun kemudian memberikan uang lima ribu rupiah kepada sang sopir. Anye melangkah menuju rumah sederhana yang dindingnya sudah pudar. Mengetuk pintu kemudian mengucapkan salam lalu mendorong pintu lalu masuk ke dalam.

Anye langsung menuju ke salah satu kamar, membuka pintunya lalu masuk kedalam tak lupa menutup kembali pintu kamar itu. Terlihat wanita tua yang sedang duduk bersandar di kepala keranjang. Ia tersenyum ke arahnya. Anye segera menghampiri wanita tua itu, duduk dipinggiran ranjang.

"Pagi Nek," ucap Anye sambil menyalami tangan neneknya.

"Pagi Sayang,"jawab Nenek tersenyum sambil membelai kepala cucunya.

"Anye buatkan sarapan dulu ya, Nenek mau sarapan apa pagi ini?" tanya Anye kepada sang Nenek.

"Gak usah repot-repot Sayang, nanti Nenek bisa buat sarapan sendiri, lagi pula Nenek sudah masak nasi tinggal buat lauknya saja. Lebih baik sekarang kamu bersih-bersih terus istirahat, capek 'kan habis kerja shift malam."

"Nenek kenapa masak nasi sendiri, harusnya Nenek tunggu Anye pulang dulu, biar nanti Anye yang masak, Nenek kan masih harus banyak istirahat," ucap Anye sambil mengerucutkan bibirnya.

"Nenek juga harus banyak bergerak Sayang, biar badan gak kaku. Lagi pula Nenek udah sehat kok," jawab Nenek masih setia membelai kepala Anye.

"Anye gak mau Nenek sakit, Anye gak mau Nenek kenapa-kenapa, cuma Nenek yang Anye punya sekarang di dunia ini," ucap Anye dengan wajah sendu.

Nenek Tari yang melihat wajah sendu Anye pun jadi ikut sedih, ia lalu menarik Anye ke dalam pelukannya. Diusapnya kepala dan punggung Anye dengan sayang. Ia tau cucunya pasti merasa sedih dan kesepian karena hanya dirinya lah yang selama ini menemaninya.

Orang tua Anye sudah lama meninggal, ayahnya meninggal pada saat Anye berusia empat bulan di dalam kandungan. Sedangkan ibunya meninggal setelah melahirkan Anye.

Selama ini Anye hanya hidup berdua dengan Neneknya. Neneknya bekerja keras demi untuk membiayai kehidupan mereka dan juga untuk menyekolahkan Anye. Beruntung Anye merupakan anak yang cerdas, ia selalu mendapatkan beasiswa dari kelas satu SD sampai lulus SMA. Sebenarnya Anye juga mendapatkan beasiswa untuk masuk ke perguruan tinggi dua tahun yang lalu, tapi tidak Anye ambil karena Anye harus bekerja untuk pengobatan Neneknya.

Anye merupakan siswa yang cerdas, ia bahkan masuk dalam kelas akselerasi atau istilah umumnya loncat kelas. Terbukti ia lulus SMA dua tahun yang lalu, itu menandakan dirinya lulus saat usianya enam belas tahun.

Setelah lulus sekolah, ia membantu Neneknya berjualan kue dan juga menjaga toko baju. Karena kalau untuk melamar pekerjaan di perusahaan itu sangatlah tidak memungkinkan karena masih di bawah umur. Sedangkan peraturan kerja hanya memperbolehkan jika sudah berusia delapan belas tahun atau minimal sudah tujuh belas tahun lebih dan mempunyai Kartu Tanda Penduduk.

"Sudah...sudah jangan sedih begini ah, nanti cantiknya hilang loh, kalau sedih," ucap Nenek Tari menenangkan Anye.

Nenek Tari melonggarkan pelukannya, lalu tangan keriputnya mendarat di pipi Anye guna untuk menghapus air mata yang mengalir.

"Nenek baik-baik saja Sayang, kalau pun nanti terjadi sesuatu dengan Nenek...." Nenek Tari menjeda ucapannya demi untuk menarik panjang nafasnya.

"Jaga diri kamu baik-baik, kamu harus tetap kuat, capai semua mimpi kamu, yang pastinya

anak, bahkan sampai Anye tua."

"Nenek juga berharap begitu, tapi umur seseorang tidak ada yang tau sampai kapan ia harus hidup di dunia ini," ucap Nenek Tari menenangkan Anye.

Nenek Tari segera berdiri."Kamu bersih-bersih dulu setelah itu kita sarapan, Nenek akan buatkan nasi goreng dengan telor ceplok mau?"

Anye segera mengangguk. Wajah sedihnya sudah berubah dengan senyum ceria. Bersama Nenek keluar kamar. Nenek menuju dapur, sedangkan Anye menuju kamar untuk mengambil handuk dan baju ganti untuk di bawa ke kamar mandi. Rumah kontrakan yang ditempati Anye tidaklah besar, hanya mempunyai satu ruang tamu, dua kamar tidur, dapur dan kamar mandi disamping dapur.

Tiga puluh menit kemudian mereka telah menyelesaikan sarapannya. Nenek Tari duduk di kursi yang ada di dapur sambil menghadap ke luar pintu belakang. Sedangkan Anye menyelesaikan tugasnya menyuci piring dan gelas bekas mereka sarapan.

"Setelah ini kamu langsung istirahat Nye, malam ini katanya ada pesta di hotel kamu bekerja? Pasti malam ini akan sangat melelahkan," ucap Nenek Tari.

"Iya Nek, habis ini Anye langsung istirahat kok," jawab Anye sambil mengeringkan tangannya dengan kain lap.

Seperti biasa sebelum berangkat kerja, Anye memastikan jendela dan pintu belakang sudah terkunci. Kompor sudah dimatikan. Tak lupa menyiapkan obat untuk diminum Nenek. Setelah memastikan semua aman ia pun segera berpamitan kepada sang Nenek yang sedang berbaring di ranjangnya.

"Nek, Anye berangkat kerja dulu ya, jangan lupa obatnya diminum," ucap Anye sambil mencium tangan Nenek.

"Hati-hati di jalan,"jawab Nenek kemudian dan ditanggapi dengan anggukan oleh Anye.

Anye beranjak keluar rumah kemudian mengunci pintu utama. Ia membawa satu kunci rumah supaya ketika pulang kerja tidak perlu mengetuk pintu untuk membangunkan Neneknya.

Tiba di hotel seperti biasa ia langsung menuju toilet untuk mencepol rambutnya dan ber makeup. Saat melewati lobi ia sudah merasakan suasan pesta, diantaranya banyaknya bunga, lilin dan juga lampu-lampu hias sebagai hiasan di sepanjang lobi. Baru memasuki lobi saja Anye sudah bisa merasakan akan kemewahan pesta yang nanti akan diselenggarakan. Itu belum dilihatnya ballroom yang menjadi pusat tempat untuk pesta.

Pukul enam sore Anye sudah memulai aktivitas kerjanya. Anye bekerja sebagai resepsionis, ia sudah dua bulan bekerja di hotel Semeru ini. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam yang artinya pesta akan segera dimulai. Pantas saja sedari tadi banyak tamu yang sudah datang.

"Psstt..psstt."

Anye merasakan tendangan di kakinya. Ia pun menoleh ke arah Vio, dengan tatapan bertanya. Tapi kemudian ia mengikuti arah pandang Vio. Ternyata dalam jarak beberapa meter di depan mereka, sang pemilik hotel tengah berjalan menuju ballroom. Pasangan paruh baya itu terlihat serasi, yang pria tampan dan berwibawa dan yang wanita terlihat sangat cantik meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad.

Yang paling membuat merinding sekaligus sesak napas adalah seorang pemuda yang berjalan disamping pasangan tersebut, ya siapa lagi kalau bukan Kennet Piera Kaswel. Ken merupakan anak tunggal dari Danial Kaswel dan Angelina Carolin yang notabene pemilik hotel Semeru.

"Yah...cepet banget jalannya, gue kan belum puas memandang Pangeran pujaan," gerutu Vio sambil memanyunkan bibirnya.

"Yaudah sana ikut masuk aja ke ballroom," ucap Anye.

Vio pun berdecak."Walaupun kita karyawan ikut perayaan pesta, tetep aja kita ngerayain nya di tempat masing-masing."

Seluruh karyawan hotel Semeru memang selalu mengikuti pesta yang sering diadakan di hotel ini, tetapi mereka tidak bisa masuk ke ballroom, yang diperbolehkan masuk hanya tamu undangan dan juga karyawan level supervisor keatas. Selain itu, karyawan yang lain hanya bisa mengikuti pesta dengan melihat pada layar monitor yang dipasang di bagian- bagian tertentu.

"Hoaaammm.....hoaaaammm. Pestanya membosankan! Pangeran gue gak keliatan di layar monitor. Bukanya seger malah perih mata gue saking seriusnya mantengin tuh layar." Ucap Vio sambil menguap beberapa kali.

"Gue merem bentar yah, ntar gantian mumpung sepi," ucapnya lagi sambil mendaratkan kepalanya di atas meja disusul dengan memejamkan mata.

Anye hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya itu. Ia lanjut menikmat beberapa camilan dan minuman pesta yang diberikan untuk karyawan hotel.

"Anye, tolong panggilkan Widya suruh dia ke lantai privat ya. Cek kamarnya apakah sudah rapih dan wangi. Pak Ken akan menginap malam ini." Ucap Mbak Lani sambil ngos-ngosan karena lari dari ballrom menuju resepsionis.

"Widya kayaknya lagi istirahat deh Mbak," jawab Anye.

"Kalau begitu saya minta tolong kamu buat cek kamar itu sekarang bisa? Atau Vio aja biar kamu tetap disini," ujar Mbak Lani.

"Bisa Mbak, biar saya saja," jawab Anye.

"Ok terima kasih. Sekarang ya Nye, soalnya pak Ken kayaknya mabuk berat."

Anye segera membangunkan Vio dan dia menyampaikan bahwa dia akan ke lantai privat untuk cek kamar sehingga ia menyuruh Vio untuk menggantikannya. Karena saking ngantuknya Vio pun hanya mengangguk tapi tidak mendengarkan apa yang Anye katakan.

Setelah berada di lantai privat, Anye segera memasuki kamar itu dengan terlebih dahulu membuka pintunya dengan menempelkan jarinya. Kamar privat ini hanya bisa dimasuki oleh pemilik perusahaan dan karyawan khusus yang bertugas untuk membersihkan kamar. Sebenarnya yang bertugas adalah Widya, Anye sebagai resepsionis juga di berikan acsess door untuk berjaga-jaga apabila ada yang urgent seperti saat ini.

Setelah memastikan kamar rapih dan wangi, Anye segera mematikan lampu dan bermaksud akan segera keluar kamar. Tapi sebelum ia membuka pintu, pintu itu sudah terbuka lebih dulu dan menampakan seseorang dengan wajah tampan yang menatap tajam ke arahnya.

Anye terkejut, ia reflek mundur. Tetapi ia sadar bahwa ia harus segera keluar, maka setelah mengumpulkan keberanian nya ia pun melangkah ke arah pintu, belum sempat Anye keluar, tangannya terlebih dulu dicekal oleh pria itu, kemudian dihempaskan tubuhnya ke kasur.

"Aahhh..." Anye berteriak karena panik dan juga merasakan sakit karena hempasan pria tersebut.

"P-Pak, maaf saya harus keluar, semua sudah saya rapihkan, dan Bapak bisa langsung istirahat," ucap Anye gemetaran.

Pria itu tidak mendengarkan ucapan Anye, ia malah bergerak maju dan menindih tubuh Anye. Anye yang merasakan dirinya dalam bahaya merasa sangat ketakutan dan menangis. Anye berteriak, memohon supaya pria itu sadar, tapi ia tak mampu melawan, tenaga pria itu sangat kuat. Anye kelelahan karena ia terus berteriak dan memukul-mukul pria diatas tubuhnya.

Pria yang tak lain adalah Ken itu mencengkeram kedua tangan Anye dengan satu tangan, tangan lainnya ia gunakan untuk menyingkap rok yang Anye kenakan. Bibirnya pun terus menerus menjelajah di setiap inci tubuh Anye. Tak lama Anye tersentak, merasakan sakit yang luar biasa pada intinya. Anye pasrah pada apa yang pria itu perbuat padanya malam itu.

Pria itu tertidur pulas setelah beberapa kali mendapatkan kenikmatan. Anye yang menyadari pria di sampingnya telah tertidur, ia segera bangun untuk merapikan pakaian dan rambutnya sekadarnya. Anye berjalan keluar kamar dengan tertatih karena nyeri di bagian intinya.

Anye berjalan tertatih menuju lift kemudian keluar hotel melewati lobi tanpa mempedulikan kanan kirinya. Saat sampai di jalan Anye bingung apakah harus langsung pulang atau ia tak tahu akan kemana. Apabila langsung pulang pasti Neneknya akan bertanya kenapa pulang dini hari, karena Anye melihat jam di tangannya menunjukan pukul tiga dini hari.

Anye memutuskan untuk langsung pulang tapi dengan berjalan kaki. Ia seperti orang gila yang jalan tanpa alas kaki dengan seragam hotel yang sudah kusut, rambut diikat sekadarnya dan tentunya air mata yang mengalir tanpa henti.

Hancur?

Dering ponsel mengusik tidur gadis berkulit putih itu. Tak ada niat untuk menjawab panggilan, Anye justru menutupi seluruh badannya dengan selimut. Karena ponselnya tak berhenti berdering, Anye pun segera menyambar benda pipih itu. Vio nama yang tertera pada layar.

"Halooooo...Anye ya Tuhaannn lo kemana aja sih? Kata Mbak Lani lo semalem gantiin Widya tapi kenapa gak balik lagi? Gue nungguin ampe lumutan, bahkan tadi pagi pun gue sengaja tunggu lo di toilet hampir setengah jam tapi lu gak nongol-nongol, di telpon juga gak aktif, Trus ini kenapa tas lo ditinggalin begitu aja? Gak takut ada yang rampok apa?"

"Sorry Vi, semalam setelah gantiin Widya, perut aku sakit banget jadi aku langsung pulang aja." Bohong. Ya Anye tidak mungkin menceritakan kejadian tadi malam kepada Vio, bahkan kepada Nenek Tari pun saat tiba di rumah Anye beralasan tidak enak badan makanya ijin pulang lebih awal. Anye bertekad untuk merahasiakan kejadian itu. Ia akan menyimpannya sendiri.

"Tapi lo udah mendingan? Udah minum obat kan? Hari ini bisa kerja gak? Kalo gak bisa ntar gue ijinin ke Mbak Lani. Semalem Mbak Lani juga nyariin lo, tapi untung otak gue encer jadi gue bilang lo lagi di toilet."

"Makasih Vi, kayaknya aku hari ini masih belum bisa kerja, tolong ijinin ke Mbak Lani ya."

"Tenang aja, besok pulang kerja gue mampir sekalian bawain tas lo."

"Makasih Vio."

Sambungan pun terputus. Anye duduk bersandar di ranjang. Pandangannya lurus ke depan, tetapi tatapannya kosong. Kejadian tadi malam masih saja melintas jelas di pikirannya. Ia pun meringis merasakan pening di kepalanya, belum lagi tubuhnya seakan remuk karena gempuran semalam.

Nenek Tari masuk dengan membawa nampan berisi sepiring nasi, semangkuk sup jagung dan segelas air putih. Nenek Tari meletakan nampan tersebut di pinggiran kasur.

"Makan dulu, ini sudah jam sebelas siang, bahkan sarapan pun kamu lewatkan," ucap Nenek Tari lalu ia pun keluar.

Anye mengangguk, ia pun makan dengan tak berselera. Hatinya hancur. Kehormatan yang ia jaga selama ini telah dirampas begitu saja. Padahal masa depannya masih panjang. Ia masih ingin kuliah, ingin meraih cita-citanya, ingin membahagiakan Neneknya. Tapi entah setelah kejadian itu ia tidak mempunyai semangat hidup. Ia pun tak berniat melaporkan ke polisi, karena menurutnya percuma saja. Mereka punya kuasa, punya uang jadi mana bisa Anye menang melawan mereka walau sekedar meminta pertanggungjawaban.

Sudah satu minggu Anye tidak bekerja dengan alasan sakit. Anye memang tak sepenuhnya berbohong karena selain merasakan hati dan pikirannya yang tak baik-baik saja, ia pun kerap sakit kepala. Apalagi selama satu minggu ini makannya tIdak teratur. Sekalinya makan itu pun paling banyak dua suap yang masuk ke dalam perutnya.

Tidurnya pun tidak nyenyak. Ia sering merasakan gelisah dalam tidurnya, jadi paling lama ia tidur hanya satu jam dalam semalam, itu pun dengan beberapa kali terbangun. Anye juga menjadi lebih pendiam, ia sering melamun bahkan menangis sendiri.

Saat Vio ke rumahnya pun ia hanya menjadi pendengar saja. Vio lebih banyak berbicara dengan Neneknya.

Sang Nenek yang merasakan keanehan cucunya pun bingung sendiri. Karena saat ditanya, Anye selalu menjawab tidak ada apa-apa. Dia baik-baik saja.

Setelah satu minggu tidak berkerja, hari ini Anye berniat ingin berangkat bekerja walaupun rasa takut dan trauma masih melekat pada dirinya. Sebenarnya Anye hanya akan menyerahkan surat pengunduran dirinya. Tekadnya sudah bulat bahwa ia akan berhenti bekerja, ia tidak mau hidup dengan bayang-bayang tindakan pelecehan terhadapnya.

Setelah berhenti ia berniat akan membawa Neneknya pindah ke satu desa di daerah Bandung. Beberapa hari yang lalu ia berselancar dengan ponselnya dan melihat ada iklan lowongan pekerjaan di desa tersebut. Ia pun segera mengirimkan CV melalui email.

Saat sampai di hotel ia segera menemui Mbak Lani dengan maksud menyerahkan surat pengunduran dirinya.

"Kamu yakin Nye dengan keputusan kamu?" tanya Mbak Lani yang tak percaya dengan keputusan Anye. Karena yang dia tahu Anye sangat senang saat diterima bekerja disini. Ia bahkan pernah mengatakan akan bekerja dengan keras dan rajin bahkan kalau perlu lembur tiap hari supaya bisa menabung untuk biaya kuliah.

"Insya Allah yakin Mbak," jawab Anye.

"Mbak harap kamu tidak akan menyesal apa yang telah menjadi keputusan kamu ini. Jangan sungkan hubungi Mbak kalau kamu butuh sesuatu atau hanya untuk sekedar berbagi cerita," ucap Mbak Lani sambil memberikan pelukan perpisahan.

Setelah menemui Mbak Lani, kini Anye melangkah menuju resepsionis untuk menemui sahabat sekaligus rekan kerjanya. Anye akui ia sebenarnya nyaman kerja di hotel ini apalagi mempunyai partner kerja seperti Vio. Vio anak yang periang, cuek, walaupun kalau ngomong suka ceplas ceplos tapi anaknya sangat baik dan ramah. Tak heran jika Anye bisa langsung dekat dengannya sejak pertama masuk kerja.

Anye sedikit pendiam jadi ia tidak terlalu banyak teman yang dekat dengannya. Di hotel ini ia hanya dekat dengan Vio, Mbak Lani, Widya dan Asep yang bekerja sebagai cleaning service. Anye bisa dekat dengan Asep karena sering meminta tolong untuk dibelikan makan atau camilan saat bekerja.

"Kenapa mendadak gini Nye? Kamu yakin?" tanya Vio yang terkejut setelah mendengar apa yang Anye katakan.

"Pertanyaan kamu kok sama sih seperti Mbak Lani, jangan bikin aku jadi galau deh," ucap Anye sambil me ngerucutkan bibirnya.

"Ya jelas gue nanya gitu, lo disini baru kerja sekitar dua bulan, trus lo pernah bilang pengen kuliah juga kan, kenapa mendadak resign udah gitu alesan lo gak masuk akal tau gak," ucap Vio kesal.

Anye mengatakan bahwa ia berhenti bekerja karena akan mencari pekerjaan di Bandung. Anye bilang Neneknya butuh suasana pedesaan, butuh udara yang segar supaya sakitnya sembuh. Tentu saja membuat kesal Vio karena menurutnya tidak masuk akal. Karena katanya kalau yang namanya sakit itu yang dibutuhkan obat bukan udara segar. Memang udara segar juga bagus untuk kesehatan tapi kan bukan dijadikan sebagai jalan penyembuhan.

"Doakan saja ini yang terbaik untuk aku dan Nenek. Terima kasih Vio sudah menjadi orang yang mengerti aku selama ini, jangan pernah lupain aku ya," ucap Anye dengan mata yang berkaca-kaca.

"Lo kenapa ngomong gitu si, gue jadi ikut sedih nih, gue ikhlas kok berteman sama lo. Baik-baik ya di sana," ucap Vio sambil mengusap-usap punggung Anye.

Setelah perpisahan dengan beberapa teman kerjanya, Anye berniat untuk langsung pulang. Ia harus berbicara kepada Neneknya tentang rencananya untuk pindah ke Bandung.

"Loh, kamu gak jadi kerja?" tanya Nenek setelah melihat Anye kembali ke rumah padahal ia baru berangkat dua jam yang lalu, harusnya ia baru akan pulang setelah jam enam sore berhubung Anye saat ini shift pagi.

"Anye sudah berhenti bekerja Nek," jawabnya lirih.

"Kamu dipecat?"

Anye segera menggeleng. Lalu ia segera menjelaskan alasan dirinya berhenti bekerja.

"Memang aku yang ingin berhenti Nek. Aku sudah dapat pekerjaan baru di daerah Bandung. Rencananya interview Senin depan."

"Kamu tega ninggalin Nenek di sini sendiri? Gak mungkin 'kan kamu bolak balik Jakarta-Bandung?"

"Kita akan pindah ke sana Nek."

"Kita?" tanya Nenek.

"Iya kita, aku dan Nenek." jawabnya sambil tersenyum.

Setelah meyakinkan Neneknya, Anye segera membereskan pakaian dan dan barang-barang yang akan dibawa ke Bandung. Beruntung barang yang dibawa tidaklah banyak, karena untuk kasur, lemari dan kursi dan barang-barang besar lainnya merupakan milik orang yang rumahnya ia sewa.

Keesokan harinya Anye dan Nenek sudah bersiap untuk pergi ke Bandung. Anye sengaja memesan travel bus supaya ia dan Nenek bisa langsung diantar ke alamat tujuan. Beberapa hari sebelumnya, setelah Anye mengirimkan surat lamaran itu ia pun segera mencari kontrakan di dekat tempat ia bekerja nantinya. Untungnya ia mendapatkan rumah sewa yang tak jauh dari tempatnya bekerja dengan harga yang lumayan murah.

Saat kendaraan yang ia tumpangi perlahan meninggalkan rumah lamanya, hati Anye merasa tercubit. Ia seakan tak rela meninggalkan rumah yang sudah lama ia tempati. Karena di sanalah banyak kenangan suka duka ia dan Nenek dalam menjalani hidup. Tak terasa air matanya mengalir membasahi pipinya, tapi segera ia hapus supaya tidak terlihat oleh sang Nenek.

Tak terasa sudah satu bulan Anye tinggal di desa X di daerah Bandung. Desa tersebut tidak terlalu jauh dari pusat kota, hanya memerlukan waktu kurang lebih satu jam. Anye sekarang bekerja sebagai admin di salah satu perkebunan teh milik Pak Irawan. Pak Irawan dulunya tinggal di Jakarta, karena ada sesuatu hal, maka ia sekeluarga pulang ke Bandung. Pak Irawan juga mempunyai putri yang sepantaran dengan Anye. Bahkan saat SMA pernah satu sekolah dengan Anye. Kata pak Irawan Kayla sekarang sedang kuliah di New York.

Ah, kalau mendengar kata kuliah Anye menjadi sedih, karena ia tidak seberuntung Kayla yang bisa kuliah bahkan di luar negeri. Tapi itu semua tak lantas membuat Anye patah semangat. Ia justru harus bekerja lebih keras lagi, apalagi sekarang Neneknya sedang di rawat di rumah sakit yang pastinya memerlukan banyak biaya.

Nenek Tari bersikeras untuk pulang, ia tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Karena dokter mengijinkan, maka pagi ini Anye bersiap ke rumah sakit untuk menjemput sang Nenek. Beruntung pak Irawan berbaik hati karena mengijinkan Anye masuk kerja setengah hari. Rencananya setelah menjemput Nenek di rumah sakit lalu mengantarnya ke rumah, Anye akan segera berangkat bekerja.

Anye tiba di kantornya tepat jam satu siang. Ia segera mengambil setumpuk berkas tanda pengiriman pupuk dan juga penjualan hasil panen. Saat akan membuka satu file, ponselnya berdering. Ia lalu mengangkat panggilan tersebut yang mana dari Bu Lusi yang merupakan istri Pak Irawan.

"Assalamualaikum," Anye tak lupa mengucapkan salam terlebih dahulu.

"Waalaikumsalam, Nye sekarang kamu pulang bareng Sodik ya. Tadi Ibu sudah berpesan kepadanya supaya jemput kamu."

"Memangnya ada apa Bu? Saya baru saja sampai di kantor." Pikiran Anye pun langsung tertuju kepada Neneknya.

"Nenek baik-baik saja 'kan Bu?" tanyanya dengan khawatir.

"Yang sabar ya Nye, Nenek sekarang tidak akan merasakan sakit lagi, beliau sudah sembuh total," jawab Bu Lusi mencoba menenangkan Anye.

Seketika tubuh Anye pun lirih ke lantai, ia menangis kencang. Ia tahu maksud sembuh itu apa. Saat Sodik menghampirinya, Anye masih terisak-isak, tubuhnya lemas bahkan untuk berdiri saja ia tak sanggup.

***

"Neng sing sabar, kudu ikhlas," ucap Bu Lusi saat berjalan mendampingi Anye setelah dari pemakaman.

Anye hanya diam. Bahkan saat para pelayat berdatangan ke rumahnya untuk mengucapkan belasungkawa pun ia hanya menganggukkan kepala. Keesokan paginya Anye merasakan nyeri di kepalanya. Saat akan berdiri untuk mengambil gelas yang ada di meja dekat tempat tidurnya tiba-tiba perutnya bergejolak. Ia segera berlari ke kamar mandi hanya untuk memuntahkan cairan bening dari dalam mulutnya.

"Hoek..hoek..hoek."

Badan Anye lemas, kepalanya makin nyeri ditambah rasa mual tak kunjung berhenti padahal sudah setengah jam ia berada di kamar mandi hanya karena muntah-muntah yang tak berhenti. Anye duduk bersandar di lantai kamar mandi. Anye pikir mungkin efek tidak ada yang makanan yang masuk ke dalam perutnya sejak kemarin dan juga efek akan datang bulan.

Tunggu...mata Anye pun membulat, ia meringis menggelengkan kepala untuk menyingkirkan pikiran yang tidak-tidak. Anye segera mengambil ponsel untuk mengecek jadwal bulanannya. Dan nyatanya ia sudah telat lebih dari satu bulan.

Anye segera membuka bungkusan kecil yang tadi dibelinya di apotek dekat rumah. Lalu ia membaca petunjuk cara menggunakannya. Dengan tangan gemetar, ia perlahan membuka mata untuk melihat hasilnya. Terkejut. Anye melempar benda tersebut ke tempat sampah, ia pun menangis pilu, ia bingung apa yang harus ia lakukan. Ia takut akan dicemooh orang. Hatinya hancur, baru saja ditinggal oleh orang yang dicintainya kini hadir nyawa yang bersemayam di rahimnya.

Karena kalut Anye memukuli perutnya berkali-kali sambil menangis. Ia tidak menginginkan bayi yang ada karena kecelakaan itu.

Kehidupan Baru

Satu minggu sudah Nenek Tari meninggalkan Anye sendiri di dunia ini. Hal itu membuatnya seolah-olah menjadi mayat hidup, ditambah kenyataan bahwa dirinya sedang mengandung dengan status belum menikah. Ia tak pernah membayangkan bagaimana nantinya tanggapan orang-orang saat tahu dirinya hamil di luar nikah.

Sempat terlintas dalam pikirannya untuk mengakhiri hidupnya tetapi ia teringat akan pesan Neneknya untuk selalu kuat dan menggapai cita-citanya walau tak ada lagi Nenek disisinya.

Ia juga sempat berniat untuk menggugurkan kandungannya, tapi lagi-lagi gagal karena pesan Neneknya selalu terngiang-ngiang. Ditambah ia takut resiko fatal apabila melakukan aborsi.

Meskipun sedang berduka atas meninggalnya Nenek tercinta dan juga masalah tentang kehamilannya yang ia sendiri pun tak tahu harus bagaimana, Anye tetap bekerja seperti biasa, menyembunyikan kesedihan dan kekalutannya di hadapan orang lain.

Ya, hidup terus berjalan, siapa lagi kalau bukan diri sendiri yang berjuang. Anye selalu menyemangati diri sendiri bahwa suatu ketika ia akan menemukan jalan keluar dan nasib baik berpihak padanya. Ia yakin itu, selagi ia masih berusaha dan juga disertai doa tentunya.

"Nye."

Panggilan itu membuyarkan lamunannya, ia pun terkesiap. Sampai-sampai pulpen yang ada di tangan kanannya meluncur bebas ke lantai.

"Eh..ma-maaf Pak, Bapak manggil saya?" tanya Anye gugup.

Anye memang memilih menyebut pasangan suami istri pemilik perkebunan dengan panggilan bapak dan ibu. Padahal baik Pak Irawan maupun Bu Lusi sudah meminta mengubah panggilan dengan Om dan Tante saja seperti dulu waktu mereka masih bertetangga.

Namun Anye menolak dengan alasan menghormati beliau yang merupakan pimpinan tempat ia bekerja.

Pria paruh baya itu tersenyum." Kamu melamun?" Hanya dijawab gelengan serta senyum tipis dari bibir Anye.

"Saya cuma mau kasih tau, Kayla sedang dalam perjalanan pulang, mungkin sekitar jam lima sore sudah tiba di bandara, apa kamu mau ikut kami ke Jakarta untuk jemput Kayla sekalian jalan-jalan."

Pak Irawan tau bahwa suasana hati Anye pasti masih sedih, maka dari itu ia sudah sepakat dengan istrinya untuk mengajak Anye jemput Kayla, itung-itung refreshing.

"Owh Kayla akan pulang Pak? saya senang mendengarnya, terima kasih atas niat baik Bapak, tapi lebih baik saya menunggu Kayla di sini saja, lagi pula pekerjaan saya masih banyak yang belum close," ucap Anye mencoba menjelaskan.

"Ya sudah setelah ini Om dan Tante akan langsung ke Jakarta, jangan lupa makan."

Pak Irawan beserta istri memang sangat menyayangi Anye. Mereka menganggap Anye seperti anak kandungnya. Wajar saja karena mereka hanya memiliki satu anak yang sudah lama tinggal di New York.

"Baik Pak. Bapak dan Ibu hati-hati di jalan, salam buat Kayla ya Pak, nanti kalau sudah di sini saya temui di rumah."

Pria paruh baya tersebut menjawab dengan anggukan lalu segera keluar kemudian mengendarai mobilnya. Setelah kepergian Pak Irawan, Anye kembali hanyut dalam pekerjaannya. Banyak pengiriman yang pending karena ia tidak bekerja selama dua hari saat Neneknya meninggal.

Hari sudah malam. Saat Anye akan membaringkan tubuhnya di atas kasur terdengar ketukan pintu. Ia bertanya-tanya siapa kira-kira bertamu malam-malam begini. Mengingat Anye belum mempunyai teman yang akrab di daerah ini. Dengan tetangga sekitar pun ia hanya menyapa sekedarnya apabila bertemu. Anye segera berjalan ke arah pintu. Saat membuka pintu, ia pun dikejutkan dengan satu teriakan yang cukup menyakitkan indera pendengarannya.

"Anyeliiirrrr!" teriak Kayla sambil merentangkan kedua tangannya yang siap untuk memeluk Anye."kangen..kangen..kangen," imbuhnya mengeratkan pelukan.

"Astagfirullah Kay, aku pikir siapa malem-malem bertamu sambil teriak-teriak," ucap Anyelir kemudian mengurai pelukannya.

"Hahahahaa." Hanya tawa yang keluar dari mut Kayla.

"Kamu sudah sampai? masuk yuk, di luar dingin," ajak Anye.

Mereka pun masuk. Tak lupa Anye menutup pintu. Lalu mereka menuju sofa yang ada di ruang tamu. Mereka pun duduk di sana.

"Baru aja nyampe, makanya langsung ke sini. Tadi Ayah cerita katanya kamu udah sebulan lebih tinggal di sini."

"Iyah, ehm...mau minum apa?"

"Alaah kaya sama siapa aja, gak usah repot-repot, kalau mau ntar ambil sendiri. Nye...aku turut berdukacita atas meninggalnya Nenek Tari."

Diingatkan akan Neneknya, wajah Anye kembali murung bahkan matanya sudah berkaca-kaca.

"Maaf Nye, bukan maksudku buat kamu sedih, sabar ya. Insya Allah Nenek udah bahagia di sana," ucap Kayla menenangkan Anye sambil mengusap-usap punggungnya.

Tak terasa air mata Anye mengalir begitu saja. Entah karena teringat Neneknya atau sedang meratapi nasibnya atau mungkin juga karena keduanya. Tiba-tiba Anye berdiri kemudian berlari menuju kamar mandi demi untuk memuntahkan isi perutnya.

"Kamu sakit Nye?" Tanya Kayla khawatir. "Mau aku buatin teh hangat?" tawarnya kemudian.

"Aku gak papa Kay, mungkin cuma kecapean."

"Tapi muka kamu pucat banget. Aku tidur di sini malam ini ya, temenin kamu takut kenapa-kenapa," ucap Kayla.

"Langsung tidur aja yuk, aku cuma butuh istirahat aja kok."

Pagi harinya Anye perut Anye kembali mual, ia pun tak bisa menahannya, cukup lama ia di dalam kamar mandi karena muntah terus menerus. Hal itu membuat Kayla makin khawatir, sehingga ia memaksa Anye untuk berobat ke dokter.

"Ayok Nye aku anterin ke dokter, kamu lemas gitu, muka kamu udah seperti mayat tau gak."

"Aku gak papa Kay."

"Jawabannya gak papa terus, jangan-jangan kamu hamil ya," ucap Kayla.

Sebenarnya Kayla hanya bercanda melontarkan kalimat seperti itu. Tapi lain halnya dengan Anye yang langsung menegang. Tak lama bahunya bergetar yang menandakan ia menangis. Kayla yang melihatnya menjadi kebingungan.

"Ma-maaf Nye, aku cuma bercanda."

Tubuh Anye ambruk, ia menangis sambil merangkul lututnya sendiri. Kayla menghampiri lalu memeluknya dari samping. Akhirnya Anye menceritakan semuanya, termasuk memberitahu tentang kehamilannya.

Anye pun menanyakan apakah Kayla mengenal orang yang bisa menggugurkan kandungan. Tentu saja hal itu langsung ditentang oleh Kayla. Kayla menyarankan agar Anye tetap mempertahankan kandungannya, jangan sampai ia berbuat dosa dengan menghilangkan nyawa yang tak berdosa.

Kayla juga menawarkan kepada Anye untuk ikut dengannya ke New York. Ia nantinya beralasan bahwa kampusnya membutuhkan seorang asisten dosen, tapi memang salah satu dosennya membutuhkan asisten. Karena Anye pintar maka Kayla menawarkan pekerjaan itu.

"Untuk sementara kamu boleh tinggal dengan ku, selamanya juga boleh sampai kamu bosan," jelas Kayla.

Setelah berbicara dengan kedua orang tua Kayla, Anye segera mengurus paspor dan surat penting lainnya untuk dibawa ke New York. Hari itu pun tiba, Anye telah sampai di negeri Paman Sam, ia berdoa semoga kehidupan nya bisa lebih baik, ia bertekad memulai hidup baru dengan lingkungan baru tentunya dengan darah daging yang sedang ia kandung.

"Oek...oek...oek."

Tangisan kencang menggema di seluruh ruang persalinan. Anye bersyukur ia bisa melewati kehamilannya tanpa kesulitan dan sekarang bayi yang dikandungnya selama tiga puluh sembilan minggu telah terlahir ke dunia.

"Selamat Nyonya, bayi anda perempuan dan ia sangat cantik," ucap salah satu perawat sambil memperlihatkan bayi dalam gendongannya.

Hati Anye menghangat ketika pertama kali menatap sepasang mata bulat itu. Bibirnya mungil dan berwarna pink. Kulitnya putih bersih dan rambutnya pun lebat dan halus.

***

Lima tahun kemudian

"Elen, Mamah pergi ke kampus dulu ya Sayang. Kamu boleh menyelesaikan semua ini tapi jangan lupa makan dan tidur siang. Nanti minta dibantu oleh Bibi Mary ok?" ucap Anye pada gadis cantik berusia empat tahun.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum, tak lupa memberi kecupan pada pipi kanan dan kiri Mamahnya. Ia melambaikan tangannya kepada sang Mamah.

Ya, gadis itu adalah Elena Rose putri cantik dari Anyelir. Elena sekarang sudah berusia empat tahun. Ia sangat hobi sekali melukis, bahkan lukisannya mempunyai nilai jual yang tinggi.

Setelah melesaikan satu lukisannya, Elena segera merapikan alat lukisnya. Lalu ia keluar dari ruangan melukis tersebut dan tak lupa menguncinya. Anyelir memang sengaja mbuatkan ruangan khusus melukis untuk Elena, karena sudah satu tahun ini Elena sudah menghasilkan ratusan lukisan. Beberapa lukisan itu ada yang dijual ada juga sebagai koleksi. Elena melukis untuk dirinya sendiri, tak jarang ia juga mendapat pesanan dari orang-orang penting.

Walaupun baru berusia empat tahun Elena tidak seperti anak lainnya yang seusia dengannya. Ada kalanya ia bermain, tapi waktunya banyak digunakan untuk melukis dan membaca. Elena sudah bisa menulis dan membaca sejak umur dua tahun.

Hal tersebut diketahui Anyelir pada saat ia sedang mencari-cari ijasah SMAnya. Lalu Mary, orang yang bantu-bantu di rumah Anye ikut mencari dan karena ia asli Amerika maka iya bertanya kepada Anye seperti apa tulisan ijasah itu. Anye menuliskannya di sebuah kertas lalu memperlihatkan kepada Mary. Hal itu dilihat juga oleh Elena yang sedang sibuk menyusun lego.

Elena berjalan ke sebuah lemari di ruang tamunya, kemudian membuka laci dan mengambil sebuah kertas yang bertuliskan ijasah kemudian diserahkan kepada Anye. Anye dan Mary pun terkejut lalu Anye mencoba membuat tulisan ambilkan sepatu merah Mamah. Tak lama Elena membawa sepatu merah Mamahnya.

Mulai saat itu jika menginginkan sesuatu maka Elena akan menuliskan di sebuah notebook electric. Elena memang anak yang cerdas tapi ia tidak pernah berbicara. Suara yang dikeluarkan dari mulutnya hanya teriakannya saja saat ia merajuk. Seperti sekarang ia melemparkan piring dan gelas yang ada di meja makan. Ia juga melempar vas bunga ke arah Bibi Mary.

"Aakhh...aakhh...aakhh," teriak Elena sambil melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya.

"Elena Sayang jangan seperti ini, kamu mau apa Sayang?" tanya Bibi Mary mencoba membujuk Elena.

Elena menggelengkan kepalanya sambil terus berteriak dan melempar barang-barang.

Praaang bunyi gelas pecah karena menghantam tembok. Bibi Mary langsung memeluk Elena dari belakang lalu menggendongnya menuju kamarnya. Bibi Mary sempat kewalahan karena Elena yang terus meronta dalam gendongannya. Lalu ia membaringkan Elena di tempat tidur sambil memegangi tangan dan kaki Elena.

"Elena Sayang kamu harus tenang, jika menginginkan sesuatu bicaralah pada Bibi dengan baik, kalau Bibi bisa pasti akan Bibi berikan. Kau bilang ingin bertemu Papamu. Kalau kau ingin punya Papa. Kau harus jadi anak yang baik jika ingin punya Papa," ucap Bibi Mary menenangkan Elena.

Ajaib. Elena langsung tenang seketika. Kalimat itu seolah mantera yang mampu menyihir Elena untuk tenang. Apabila sedang ada Anye, Elena cukup dipeluk dan diusap-usap olehnya.

Saat Anyelir pulang dari kampus Bibi Mary menceritakan kejadian tadi.

"Kenapa Elen seperti itu ya? Padahal ia anak yang cerdas, langsung tanggap apabila diberitahu, tapi kalau sudah hilang kontrol pasti akan mengamuk seperti itu," ucap Anye.

"Mungkin Nona perlu bicara berdua dengan Elena. Mungkin saja Elena butuh lebih dekat dengan Nona," saran Bibi Mary.

Anye berpikir mungkin Elena kesepian karena jujur saja sudah tiga tahun ini Anye lebih banyak menghabiskan waktunya di luar. Ya semenjak tinggal di sini, Anye menjadi asisten dosen di NYU (New York University). Ia sekarang juga akan menyelesaikan S1 nya di NYU.

Setelah berbicara dengan Elena, maka Anye memutuskan akan membawa Elena kemana pun ia pergi, termasuk apabila ia kuliah atau mengajar. Hal itu bertujuan agar Elena terbiasa bertemu dengan banyak orang.

"Elen siap ikut Mama ke kampus?" tanya Anye.

Gadis kecil itu pun mengangguk dengan antusias. Ia sedang mempersiapkan apa saja yang harus dibawa ke kampus Mamanya. Tak lupa ia membawa satu set alat lukis kecil yang bisa dengan mudah untuk dibawa kemana pun. Lengkap dengan stand, cat air, kuas, dan juga kanvas.

Tiba di kampus, Anye mengajak putrinya ke ruangan khusus asisten dosen. Anye pun meminta Elen untuk duduk di kursinya.

"Sayang, sepuluh menit lagi Mamah ada kelas. Kamu mau menunggu di sini atau di taman belakang?" tanya Anye pada putri cantiknya.

Elena menjawab dengan menunjuk kursi yang sedang didudukinya.

"Ok, dua jam lagi Mama kembali. Kalau Elen bosan, Elen boleh ke taman belakang, di sana Elen bisa melukis di bawah pohon. Tapi ingat setelah dua jam harus kembali ke sini."

Elena mengangguk lalu menyodorkan pipinya untuk dicium oleh Anye.

CUP

Satu ciuman mendarat tepat di pipi gembul Elena.

Kelas musik berakhir lima menit yang lalu. Semua mahasiswa mulai berhamburan keluar. Setelah merapikan tasnya sang dosen pun keluar kelas. Pintu kelas tidak sepenuhnya tertutup. Baru beberapa langkah dosen wanita tersebut menghentikan langkahnya lalu menoleh ke kalas yang baru saja ditinggalkannya.

Terdengar dengan jelas alunan biola dengan nada yang indah. Alunan biola itu terdengar syahdu yang seolah-olah menyampaikan akan kerinduan seseorang.

Karena penasaran, dosen wanita yg diketahui bernama Emily itu pun kembali ke kelas tadi. Segera ia membuka pintunya dan dia mendapati seorang gadis kecil yang cantik dengan lincahnya memainkan biola.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!