Klinik Bersalin Mutiara Bunda
Tangisan bayi memecah kesunyian malam, tepat jam 00.30 bayi perempuan lahir dengan persalinan normal. Seorang ibu muda berusia 19 tahun, tergolek lemah tak berdaya, seraya memeluk bayi yang baru saja dilahirkannya. Tak terlihat siapapun menungguinya, hanya ia seorang diri dan bayi mungil di sampingnya.
"Selamat ya, Bu. Bayinya cantik mirip Ibunya," ucap seorang bidan tersenyum, seraya mengelus pipi sang bayi.
"Iya, Bu. Terima kasih banyak ya," Jawabnya dengan lemah. Genangan air terlihat di kedua matanya.
"Suaminya di mana? Mau saya bantu hubungi?" Tanyanya.
"Tidak usah, Bu. Mungkin masih sibuk bekerja," Jawabnya. Senyuman getir tersungging dari bibirnya.
"Tadi sore kalo nggak salah liat, diantar seorang wanita? Di mana dia sekarang?"
"Iya, beliau kaka ipar saya. Sedang pulang dulu kerumah, Bu."
"Oh gitu, ya sudah. Sekarang Ibunya istirahat dulu. Kalo ada apa-apa panggil saya, atau suster jaga lainnya. Mereka ada di depan sana," Ucapnya. Seraya menunjuk ruangan depan.
"Iya Bu, sekali lagi terima kasih banyak."
Wanita setengah baya itu tersenyum hangat, dan berlalu meninggalkannya.
Dalam diam ibu muda itu menangis, seraya mengecup kening sang bayi yang tertidur pulas. Ia baru saja mempertaruhkan nyawanya sendirian, untuk melahirkan seorang bayi tanpa siapa pun di sampingnya.
Setelah sang kaka ipar pergi karena ada urusan, sehingga terpaksa meninggalkannya sendiri di klinik bersalin ini. Dan suaminya belum juga datang, padahal tadi sore sudah diberi tahu bahwa ia akan segera melahirkan.
Dalam kesunyian malam, terbayang raut wajah sang mama. Dadanya terasa sesak, sakit dan pilu.
Membayangkan jika sang mama tahu, bahwa dirinya telah melahirkan seorang bayi. Air mata perlahan meluncur dari pipi mulusnya. Terasa panas mengaliri seluruh urat nadinya. Tubuhnya terguncang menahan sesaknya nafas yang tertahan.
"Ma, Maafkan Hanna. Hari ini telah kurasakan perjuangan seorang Ibu," bisiknya dalam hati.
Teringat jelas bagaimana dengan keras penolakan sang mama, saat ia akan menikah dengan lelaki pilihannya. Dia berfikir, alasannya sangat tidak logis. "Bagaimana mama tahu karakter pria itu, hanya dari gestur tubuhnya?" Tanyanya. Saat baru pertama bertemu dengan calon menantunya di tempat kost gadis itu.
Dengan tubuh yang sangat lelah dan buliran bening terus mengalir tak tertahan, ia pejamkan mata. Mencoba melupakan sejenak. Lalu, tak lama kemudian, wanita itu tertidur menahan sesak dan sakitnya hati.
****
Sinar mentari perlahan mulai muncul dari peraduannya, menyusup dari balik tirai menerpa wajah seorang wanita, yang baru saja memperjuangkan kehidupan untuk seorang bayi. Dia terkesiap saat mendengar tangisan. Segera diraihnya bayi perempuan mungil disamping dan menyusuinya.
Seorang suster datang menghampiri.
"Mba Hanna, mari saya bantu mandikan Adek bayinya." Sembari tersenyum ramah, mengulurkan tangannya.
"Iya Sus, sebentar saya kasih ASI dulu yah." Jawabnya.
Kini badan lelahnya sudah berangsur membaik, meskipun masih terasa sakit untuk berjalan.
Sementara di luar, sebuah mobil kijang berhenti tepat di depan klinik. Seorang pria berhidung mancung, serta memakai kacamata keluar dari mobilnya. Dengan setengah berlari masuk menuju ruang pendaftaran.
"Suster, ada Ibu yg melahirkan atas nama Hanna di sini?" Tanyanya, dengan nafas tersengal.
"Sebentar saya cek dulu ya, Pak." Jawabnya. Seraya melihat buku di depannya.
"Ada Pak, maaf dengan Bapak siapa ya?" Tanyanya kemudian.
"Saya Ansell, suaminya!"
"Oke Pak, silahkan, itu ruangannya." Suster menunjuk sebuah ruangan di depannya.
Ansell langsung masuk dengan tergesa-gesa, tanpa mengucap salam.
"Hanna ..." Panggilnya dengan lembut. Tenggorokannya tercekat, sekilas terlihat genangan air di matanya.
Wanita yang dimaksud mendongakkan wajah melihat ke arah suara. Seketika air mata langsung menetes tak tertahan. Rasa sesak di dadanya seolah bersambut, lelaki yang sangat dicintainya, baru menampakan diri dan telah membiarkannya berjuang sendirian melawan maut.
Suster yang hendak memandikan bayi langsung berbalik arah, merasa salah tingkah melihat adegan di depannya ini.
"Ansell ..." gumamnya pelan.
"Maafkan aku sayang, semalam ..."
"Iya aku tau, kamu pasti sibuk dengan pekerjaanmu kan? Sehingga tak ada waktu untuk mengantarku, tak ada waktu untuk menemani melahirkan anakmu, darah dagingmu!" Potongnya dengan pedas, air mata deras membasahi pipinya.
"Maafkan aku Han, kemarin mendadak ada urusan penting, jadi aku segera menghubungi Kak Athifa untuk mengantarmu!" Jawabnya, seraya meraih tangan istrinya dan menggenggamnya erat.
Kepalanya tertunduk di tepi ranjang menangis tanpa suara. Lalu, bayi mungil yang sedang menyusu itu merengek, karena merasakan guncangan dari tubuh ibunya yg sedang menangis.
Pria bermata coklat itu lantas berdiri. Menatap takjub pada makhluk mungil di depannya.
"Hanna, ini anak kita?" Tanyanya, dengan mata berbinar. Tangannya mencoba meraih bayi dalam gendongan ibunya, dan mengangkatnya dengan kaku.
Air mata bahagia meluncur bebas tak terbendung, dia mencium pipi dan kening sang bayi. Akhirnya, penantian sekian lama berujung indah hari ini.
"Terimakasih Hanna, telah menjadikanku seorang Ayah. Akan aku beri nama, Aeleasha Arian Rendra," ucapnya, seraya terus menciumi bayi mungil yang nampak tak nyaman digendongannya.
Hanna hanya melirik dan mengusap air mata di pipinya. Pria bernama lengkap Ansell Arian Rendra itu, masih terlihat tampan dan muda meskipun sudah menginjak kepala 3. Sudah 1 tahun ini mereka bersama. Kehadiran anak itu membuatnya sangat bahagia, sehingga terus menggendongnya dan berdendang nyanyian tidur dengan masih sedikit kaku. Membuat istrinya tersenyum geli.
Sejenak suasana hening.
Setelah bayinya terlelap dalam gendongan, dia meletakkan kembali di samping ibunya. Terdengar deringan ponsel dari kantong bajunya, dia pun berjalan keluar untuk mengangkatnya.
Tak lama kemudian masuk kembali dengan raut wajah bimbang.
"Hanna, ini ada uang kamu pegang aja dulu. Biaya persalinan akan aku bayar nanti. Dan aku sudah menghubungi Kak Athifa, untuk membawakanmu pakaian ganti dan pakaian anak kita." Hanna hanya menanggapinya datar, tanpa respon. Perasaannya mulai tidak enak.
Ansell meletakan uang itu di sampingnya.
"Maaf Hanna, aku harus pergi. Baru saja Pak Willy telfon, ada urusan penting yang harus dikerjakan. Tapi, aku janji secepatnya akan kembali menemanimu." Seraya memegang jemari istrinya, dia memohon.
"Apa? Kamu mau pergi? Ini hari Minggu, Ansell! Tak bisakah kamu menemaniku di sini. Aku cape, lemas, setelah berjuang mati-matian melahirkan anakmu. Tapi kamu tak ada di sampingku, memberikan semangat atau sekedar ada untuk melihat perjuangan hidup dan matiku! Dan sekarang, kamu datang ke sini lalu pergi lagi?" Teriaknya, menatap tajam mata suaminya, sesak di dadanya kembali memuncak. Ia memilih menumpahkannya.
"Aku akan kembali Hanna, hanya ada urusan sebentar tolonglah mengerti aku!"
"Mengerti kamu? Kurangkah pengertianku selama ini untukmu? Bagaimana sembilan bulan ini aku mengandung anakmu dan kamu, seringkali meninggalkanku sendiri!" Wanita itu tak sanggup membendung air matanya, dan kembali tumpah membasahi pipinya. Baru saja seutas senyum menghiasi bibirnya. Kini, berubah menjadi kemarahan yang meledak.
"Aku bekerja, dan semua ini demi kamu dan masa depan anak kita!" Jawabnya memegang kedua pundak istrinya.
Hanna menepis tangan suaminya. Belum sembuh penat di tubuhnya, kali ini hatinya juga terasa lelah dengan suaminya, pikirannya mendadak kalut.
"Kamu selalu saja seperti ini Ansell, datang dan pergi dengan tiba-tiba. Apa aku ini tak ada pentingnya di hidupmu? Bahkan, setelah aku berjuang sendirian melahirkan anakmu pun, kau tetap saja seperti ini!" ucapnya. Suaranya melemah menahan sakit, melebihi rasa melahirkan yang baru saja ia alami.
Di ruangan depan, para suster memperhatikan pertengkaran mereka, seorang suster masuk ke ruangan.
"Maaf Pak, keadaan Bu Hanna masih lemah. Tolong jangan biarkan dia tertekan atau depresi, kasian bayinya nanti." Ucapnya mengingatkan.
"Iya sus, maaf." Ansell menjawab dengan lirih.
Suster kembali ke ruangannya. Sejenak suasana kembali hening. Hanya ada isakan tangis dari Hanna yang terdengar.
Ansell mendekat mencium kening istrinya dan mengusap pelan rambutnya.
"Aku mencintaimu, Hanna." Ucapnya lembut.
Dia berjalan keluar dan memasuki ruang administrasi untuk membayar biaya persalinan.
Hanna tertunduk lesu, seringkali ia ditinggalkan mendadak seperti ini. Ia memandangi bayi mungil yg tengah menggeliat di sampingnya, air mata kembali menetes, dadanya kembali sesak. Andai saja kamu tak hadir di hidupku. Mungkin, aku sudah pergi dari Ayahmu, setelah tau sifat aslinya yang tak pernah ada waktu sedikit pun untukku. Bisiknya dalam hati
Hatinya hancur, remuk berkeping-keping. Dia tak menyangka laki laki yg menikahinya setahun lalu begitu tega memperlakukannya seperti ini.
***
Seorang perempuan cantik, bertubuh gempal dengan riasan tebal, memasuki klinik tempat Hanna melahirkan. Terlihat sebuah gunting yang disembunyikan di tangan, dipegangnya erat.
"Sus, ruangan bersalin di mana yah?" Sapa perempuan itu, dengan muka ramah yang dipaksakan.
"Maaf, mau cari siapa ya, Bu?" Tanya suster penuh selidik.
"Saya keluarga dari Pak Ansell," jawabnya.
"Oh, mau jenguk Bu Hanna ya? Itu Bu ruangannya." Jawab suster, seraya menunjuk ruangan di depannya.
"Oke, makasih sus!"
Dengan wajah penuh amarah, ia memasuki ruangan di mana Hanna tengah terbaring lemas tak berdaya.
Bersambung..
Hai readers, selamat datang di kehaluan othor 🤭 jangan lupa like, komentar, vote atau hadiah buat akuuh yaa biar semangat ngehalunya hihi.
Jalan-jalan ke surabaya, ketemu burung beo.
Salam kenal dari saya, sarangeeooo❤
Tiba-tiba lemparan sebuah gunting, hampir saja mengenai wajah Hanna. Dia menengok ke arah pintu, terlihat seorang wanita dengan tubuh tinggi, bibir merah menyala. Menatap tajam ke arahnya, yang baru saja hendak berbaring.
Dadanya berdegup kencang, kaget dan tersentak. Jika ia terus berdiri tadi, tak menutup kemungkinan gunting itu berhasil menancap di wajahnya. Untung saja, sang bayi tengah dimandikan di ruangan lain. Sehingga tak mendengar kegaduhan ini.
"Siapa kamu?" tanyanya setengah berteriak, balik menatap tajam wanita yang kini tengah berjalan mendekatinya.
"Harusnya aku yang nanya, siapa kamu? Dan ada hubungan apa kamu dengan Ansell," selidiknya. Matanya melotot penuh amarah.
Deg, hatinya tersentak mendengar nama suaminya disebut.
"Ansell adalah suamiku dan aku, baru saja melahirkan anaknya!" jelasnya.
Plaaakkk
Wanita itu menampar keras pipi Hanna, hingga tersungkur ke tepi ranjang.
"Aaaww....!" jeritnya. Dia memegangi pipi yang terasa perih, tak menyangka dapat serangan mendadak seperti ini.
"Dasar perempuan murahan! Sini kau!" Wanita itu berteriak dan kembali menarik tangan Hanna, hendak menyeretnya keluar.
"Ada apa ini?!" tanya seorang bidan paruh baya tergopoh. Bersama seorang suster membawa bayi, yang telah selesai dimandikan.
Wanita itu terperanjat, dia segera melepaskan tangan Hanna. Matanya menatap bayi mungil, yang berada digendongan. Tiba-tiba hatinya sakit, seperti tertusuk ribuan pisau. Buliran bening, tampak tergenang di pelupuk matanya.
Hanna meringis kesakitan memegang pergelangan tangannya, air matanya perlahan menetes. Apa ini? Bisiknya dalam hati. Ia masih tak mengerti apa yang telah terjadi. Kenapa perempuan ini datang menyerang, dan bertindak kasar padaku? gumamnya. Hatinya terus dipenuhi tanya.
"Tolong Bu, ini klinik bukan pasar! apa maksud Ibu datang marah-marah dan bertindak kasar pada pasien saya?" tanyanya dengan tegas.
"Pasien Ibu ini, wanita murahan! Dia telah merebut suami saya!" teriaknya. Tangannya menunjuk persis di wajah Hanna.
Mulut Hanna menganga, tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya. Kepalanya mendadak pusing, pandangannya buram, air mata kembali mengalir dengan derasnya. "Tidak ... tidak mungkin Ansell ...." dia menutup mulutnya dengan tangan dan menahan isak tangisnya.
Bidan itu mengernyitkan dahinya sejenak, lantas dengan suara lebih tenang, dia berkata "Oke, saya paham situasi ini. Kita coba bicarakan baik-baik ya, Bu. Silahkan Ibu duduk!" perintahnya seraya menunjuk kursi.
"Sus, tolong, bantu Mba Hanna untuk berbaring. Wajahnya terlihat pucat." Suster mengangguk. Setelah meletakan bayi pada kasurnya, ia menghampiri wanita muda yang tengah duduk lemas di tepi ranjang.
"Sebelumnya saya minta maaf, bukan maksud untuk mencampuri urusan kalian. Tapi, karena Mba Hanna ini pasien saya. Maka, ijinkan saya untuk menengahi masalahnya," ucapnya pelan.
"Maaf, Bu, saya akan bawa wanita ini ke hadapan Ansel. Jadi, tolong jangan ikut campur urusan saya!"
"Begini Bu, Mba Hanna ini baru saja melahirkan. Kondisinya masih sangat lemah dan lagi kasian bayinya. Apa Ibu tega sebagai sesama wanita dan seorang Ibu?"
"Asal Ibu tau, wanita ****** ini sudah tega merebut suami saya! Saya tidak peduli bagaimana keadaan dia, seperti halnya dia yang tidak peduli telah merusak rumah tangga saya!" pekiknya.
"Sini kamu banguuunn ....!" teriaknya kembali menarik tangan Hanna.
"Ada apa ini??"
Tiba tiba masuk seorang perempuan berkulit putih, hidung mancung dengan rambut pendek sebahu, dan tubuh tinggi semampai. Meskipun umurnya terlihat tidak muda lagi. Tetapi, masih terlihat kecantikan yang terpancar dari wajahnya.
"Zea ..." ucapnya lirih. Raut wajahnya tegang. Matanya terbelalak, melihat istri pertama Ansell ada di sini.
"Kak Athifa! Kenapa Kakak sembunyikan semua ini? Apa salahku, sampe kalian tega mengkhianatiku?" jeritnya.
Tangisnya pecah, hatinya hancur remuk redam. Tubuhnya lemas serasa tak bertulang. Dengan langkah gontai, ia mendekati kakak iparnya itu. Seraya mengguncang tubuhnya meminta penjelasan.
"Kenapa Kak?? Apa karna aku tak bisa memberikan anak untuk Ansell, sehingga kalian tega menghancurkan hidupku?!" teriaknya lagi. Suasana hening, hanya terdengar isakan tangis dari kedua wanita yang tengah hancur lebur hatinya.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya heran. Ia bingung apa yang harus dikatakan pada kedua adik iparnya kini.
"Tadi aku kerumah, Kak! belum sempat sampai di rumah Kakak, tiba-tiba seorang tetanggamu menegurku." Suaranya terdengar parau, kembali mengingat kejadian sebelum ia sampai di klinik ini.
*****
"Loh, Mba, kata Bu Athifa semalem melahirkan? Ko sekarang udah fresh segar bugar begini, bayinya mana?" tanya seorang ibu setengah baya, raut wajahnya tampak keheranan memandang Zea.
"Melahirkan? Saya nggak hamil, Bu," jawabnya masih dengan raut santai.
"Lha, kemaren kan saya berpapasan sama Bu Thifa. Katanya baru saja nganterin istrinya Pak Ansell, yang melahirkan di klinik," paparnya dengan wajah bingung menjelaskan.
Deg ... hatinya bergetar hebat pikirannya mulai kacau. Dengan langkah yang tergesa-gesa dia segera berlari ke rumah kakak iparnya itu. Sesampainya di depan rumah Athifa, dia melihat asisten rumah tangga tengah menyiram bunga.
"Bi, Ka Athifa ada di rumah?" tanyanya cepat.
"Nggak ada Bu, maaf, salon juga tutup," jawabnya. Mengira Zea adalah pelanggan salon majikannya.
"Dia kemana?"
Memang sudah lama sekali Zea tak pernah menyambangi rumah Athifa. Semenjak cekcok persoalan rebutan pelanggan salon, hubungan mereka jadi merenggang. Ya, mereka sama-sama berbisnis kecantikan di rumahnya.
Persaingan di antara mereka semakin runcing karena perumahan mereka berhadapan.
Mendadak hari itu ia ingin datang untuk meminta maaf, hatinya pun sering gundah akhir-akhir ini. Mungkin, itulah insting seorang istri yang sangat tajam. Dia berniat ingin memperbaiki hubungan mereka. Namun apa yang ia dapat, justru kabar yang luar biasa membuat hatinya syok.
"Lagi jenguk istrinya Pak Ansell melahirkan, Bu."
Zea mencoba menutupi ketegangan di wajahnya. Meski hatinya mendadak perih. Jantungnya berdegup gak karuan.
"Memang istrinya Pak Ansell, siapa yah?" selidiknya, ia tau asisten rumah tangga ini baru bekerja beberapa bulan sehingga belum mengenali Zea.
"Namanya, Bu Hanna. Sudah sekitar 2 bulan ini tinggal di sini dan sekarang sedang melahirkan di klinik depan sana Bu," jawabnya seraya menunjuk ujung jalan depan.
Hatinya bergetar, darahnya mendidih, amarah merasuki pikirannya. Segera ia membuka pintu samping rumah Athifa tempatnya membuka salon. Matanya nanar memandang sekeliling, ia menyambar gunting di meja dan bergegas berlari ke arah klinik.
*****
"Zea ...." Suara laki-laki yang kini berdiri di depan pintu, membuyarkan lamunannya. Semua wajah menengok padanya.
Tak terkecuali Hanna, yang tengah menangisi nasib hidupnya kini. Dia tak menyangka, ternyata selama ini menjadi istri kedua. Sama sekali tak terpikirkan olehnya, Ansell lelaki yang dipilih atas dasar cinta telah tega membohonginya.
Ia pun kembali teringat penolakan keras sang mama, yang tak memberi ijin atas pernikahan mereka. Tetapi, pada akhirnya luluh dan berharap apa yang ia firasatkan tidak akan pernah terjadi.
Namun, belum genap satu tahun pernikahan mereka, lelaki yang dipilihnya telah memberikan luka yang sangat dalam.
Sanggupkah ia bangkit? Akankah pernikahannya terus bertahan?
Bersambung
Silahkan kritik dan sarannya
"Ansell ...." gumamnya lirih. Segera ia menghampiri lelaki yang sudah bertahun-tahun hidup bersamamya.
Plaaakkk ...! Tamparan Zea sukses mendarat di pipi kiri suaminya itu.
"Tega kamu Ansell! Gini cara kamu membalas kekuranganku? Dengan menikah diam-diam dan punya anak dari wanita murahan itu!" teriaknya histeris.
Ansell hanya diam, menatap sekeliling dengan bingung. Dia belum siap jika harus menghadapi situasi seperti ini. Meskipun, sering membayangkan suatu saat pasti terjadi. Dan hari ini, tepat 1 hari setelah Hanna melahirkan bayi perempuan yang sangat dinantikan, semuanya terjadi.
"Ma ... maafkan aku Zea," ucapnya seraya memegang kedua pundak wanita itu.
"Maaf? Setelah semua ini kamu hanya bisa bilang maaf?!" Dia menepis tangan kekar Ansell.
Hanna tak kalah geram, saat melihat pria yang telah begitu tega membohonginya diam di tempat, tanpa sepatah kata pun padanya. Begitu pula dengan Athifa, dia segera menghampiri adiknya.
"Ansell, bawa Zea pulang! Jelaskan semua padanya, biarkan Hanna Kakak yang temani!" katanya dengan tegas.
Ansell melihat ke arah Hanna yang sedang menatapnya tajam, seakan menunggu penjelasan darinya. Pandangannya sendu, seakan menyampaikan permintaan maaf. Ada genangan air yang memancar dari pelupuk matanya.
Tiba-tiba Zea berjalan mendekati Hanna lagi. Semua waspada, mencoba memisahkan mereka, termasuk Ansell.
"Zea ... jangan sakiti Hanna!" pintanya.
"Kamu tinggalkan Ansell dan berikan bayi perempuan ini padaku! Maka kamu bebas, aku tidak akan memperpanjang masalah ini!" ujarnya tegas menunjuk wajah Hanna.
Athifa segera menjauhkan Zea, dia takut perempuan itu akan berbuat nekat. Mengingat sifatnya yang memang pemberani dan arogan.
Dengan cepat Ansell menarik tangan Zea dan membawanya pergi.
"Mari kita bicara, Ze." Mereka berlalu meninggalkan klinik dengan mobil yang dikendarai Ansell.
Hanna hanya memandang dengan tatapan kosong. Dia berpikir suaminya akan membelanya atau bahkan, memilih menemaninya dibanding perempuan itu. Tapi, kenyataannya Zea yang dia pilih.
Mereka pergi menyisakan luka yang tengah menganga dan seribu tanya di benak Hanna.
Bidan senior menepuk lembut pundaknya dan mengingatkan ada seorang bayi cantik, yang suatu saat nanti membuatmu lupa akan problem ini. Hanna hanya mengangguk dan tersenyum getir.
Wanita lemah itu menangis tanpa suara, hatinya terluka, hancur berkeping-keping. Sudah tak ada gunanya lagi dia hidup. Dalam hatinya berharap ini mimpi. Tapi, cengkraman dan tamparan Zea tadi masih membekas sakit. "Ini bukan mimpi," gumamnya, "ini nyata." Tangisnya pun pecah menggema ruangan itu. Semua terdiam, seolah hanyut dalam kesedihan.
Kenyataan pahit bahwa dia dinikahi laki-laki beristri. Dan selama setahun ini, Ansell telah berbagi kasih dengan wanita lain, selain dirinya. Dia kembali teringat wajah sang mama, yang tidak pernah merestui hubungan mereka. Sampai akhirnya, dia menikah siri secara diam-diam.
"Ini hukuman darimu, Mama," bisiknya pelan.
Athifa mencoba menenangkan, dengan mengusap kepala dan punggungnya. Serta menyuruhnya beristirahat.
"Kakak nganterin baju-bajumu nih dan juga Adek bayi," ucapnya pelan seraya mengeluarkan beberapa helai pakaian bayi. Hanna hanya memandangnya, tanpa sepatah kata.
"Kak, kenapa nggak bilang kalo Ansell punya istri? Apa salah Hanna sampai kalian tega kaya gini?" Di sela air matanya Hanna mencoba meminta penjelasan dari Athifa.
"Maafkan Kakak, Han. Sebenarnya ...."
"Kriiiinnggg...."
Suara ponselnya berbunyi, sebelum ia sempat meneruskan ucapannya. Sejurus kemudian sang kakak ipar pamit menjawab telpon dan berjalan keluar ruangan. Lalu masuk dengan wajah panik.
"Hanna, Kakak pulang dulu ya! Bagas nangis kejer katanya, nanti ke sini lagi sekalian bawa Bagas," terangnya panik. "kamu baik-baik yah, jangan terlalu dipikirkan kita tunggu Ansell yah." jawabnya menenangkan seraya mengusap pundak Hanna.
Hanna hanya mengangguk, tanpa jawaban. Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang ingin Hanna sampaikan kepada kakak iparnya itu. Tapi, ia urungkan.
Setelah semua pergi, tinggallah dia sendiri. Kembali air mata menetes tak tertahan, meratapi takdir yang begitu kejam padanya. Hatinya terasa perih, bagai tercabik ribuan pisau.
Dia melihat bayinya menggeliat kehausan. Tatapannya telah berubah kosong melihat bayi itu. Sesaat ia teringat ucapan Zea, untuk menyerahkan bayinya.
"Mungkinkah jika aku menyerahkan anak ini, semua akan baik-baik aja? Mama juga nggak akan tau kalo aku sudah menikah dan melahirkan. Jadi, aku bisa bekerja menggapai mimpiku." bisiknya dalam hati. Pikirannya mulai melantur, mengikuti emosinya.
"Tidak ... tak akan kubiarkan Ansell memiliki anak ini. Aku tak akan rela dia hidup bahagia bersama wanita itu. Biarkan saja selamanya mereka tidak memiliki anak. Akan kujauhkan laki-laki bajingan itu dari anaknya!" gerutunya. Batinnya terus berkecamuk.
"Aku harus berbuat sesuatu, tak mungkin kuterima semua ini. Menjadi yang kedua bukanlah pilihan untukku." bisiknya dalam hati.
Hanna sudah membulatkan tekad untuk pergi. Menghilang selamanya dari kehidupan Ansell. Tak peduli apa pun yang akan terjadi. "Aku harus pergi." gumamnya. Air mata terasa panas membakar pipinya.
Dengan tertatih menahan sakit, segera ia bangun mengemasi barang-barangnya. Tak lupa ia simpan uang pemberian Ansell kemarin. Dia berharap uang itu cukup, untuk ongkos pulang menemui orang tuanya. Dan cukup untuk biaya hidupnya selama ia masih belum bisa bekerja.
Dia berniat, untuk kabur malam nanti setelah semuanya sepi. Gunting yang dibawa perempuan tadi tergeletak di meja, segera ia meraihnya. Perlahan Hanna mendekati bayinya. Air matanya jatuh tak tertahan melihat wajah polos sang bayi.
******
Saat malam datang, dengan gelisah ia terus memandangi jam yang menggantung di dinding. Wajahnya berulang kali melihat keluar kamar.
"Semoga Kak Athifa atau pun Ansell tidak balik lagi," gumamnya.
Jam terus berputar, Hanna masih terjaga menggendong bayinya yang telah siap dibungkus kain.
"Mba Hanna, belum istirahat?" Tiba-tiba bidan senior datang menghampirinya.
"Belum Bu," jawabnya seraya melempar senyum setenang mungkin.
"Masih sendirian?"
"Iya, paling nanti agak maleman Kakak saya datang."
"Oh, baik, kalo gitu istirahat aja yah. Ditaro aja dedenya, jahitannya masih sakit kan buat gendong-gendong?"
"Oh, iya Bu. Ini tadi nangis jadi saya gendong. Nggak papa Bu, saya harus membiasakan diri kan."
"Maa Syaa Allah, semoga bayinya tumbuh jadi anak yang sholehah yaa."
"Aamiin, terima kasih banyak ya Bu."
"Sepertinya Pak Ansell juga sangat menyayangi Ibu dan adek bayi. Saya bisa melihat dari tatapan tulus beliau. Terlepas dari masalah yang sedang kalian hadapi, cobalah untuk bicara baik-baik. Jangan sampai anak yang jadi korbannya, Bu." ucapnya seraya mengelus lembut kepala bayinya.
Hanna hanya tersenyum tipis, dia tidak terima jika harus diperlakukan seperti ini. Prinsipnya, apa pun akan saya maafkan tapi, tidak dengan pengkhianatan. Sekali berkhianat, selamanya akan seperti itu.
"Ya sudah, saya pamit yaa."
"Iya, Bu. Sekali lagi terima kasih."
Ia meilirik jam pukul 9 malam, direbahkan tubuh mungil sang bayi dan tak lama kemudian dia pun ikut tidur di sebelahnya. Menahan kesakitan yang entah kemana mencari obatnya. Di saat-saat butuh seseorang untuk menemaninya ia malah sendiri menanggung beban yang cukup berat untuknya.
Di luar rembulan bersinar sangat terang, bulan purnama telah menampakkan wajahnya. "Aku harus bangun sedini mungkin," bisiknya dalam hati.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!