Aku menatap selembar kertas putih yang saat ini sedang ku pegang. Di sana tercetak manis dengan rapi dan manis sebuah nama Airell Azel. Nama pemberian orang tua ku yang tulus, mungkin.
Melihat ini kedua mata ku entah mengapa terasa berat dan enggan untuk sekedar berkedip saja. Aku tidak bodoh untuk tidak mengetahui bahwa sesuatu yang tertulis di kertas putih itu adalah tentang diriku.
Sebuah garis takdir yang entah mengapa membuat ku mellihat semua ini terasa lucu sekaligus menyedihkan. Di kertas itu, sebuah tinta hitam telah menggariskan ku sebuah hidup tanpa arti. Masa depan ku sudah digariskan
oleh selembar kertas putih yang sesungguhnya ini begitu lucu dan menyedihkan. Tuhan seakan-akan sedang mempermainkan ku, menjeratku dengan kuasa-Nya sehingga aku tak mampu mengelak apalagi melawan kehendak-Nya.
Tersenyum tipis, aku menyeka air mata yang mengalir hangat dikedua pipi ku. Ah, jika ada mereka yang mendukung dan membantu ku terus berdiri mungkin sakitnya tidak akan sesakit ini. Akan tetapi faktanya berbeda bukan? Mereka tidak ada di sini, bahkan satu pun.
Aku sendiri di sini atau tepatnya aku dibuang oleh mereka yang dengan bodohnya tidak bisa ku benci walaupun sekuat apapun mereka menyakiti ku. Kedua orang tua dan keluarga besar ku tidak pernah menginginkan kehadiran ku. Aku mengerti dengan sikap dan tindakan mereka yang seperti itu, mungkin mereka malu mempunyai anggota keluarga yang aneh seperti diriku. Aku pribadi sangat memahami hal ini, akan tetapi bukankah mereka juga manusia seperti sama halnya dengan diriku?
Mereka punya hati bukan?
Seharusnya hati mereka benar-benar berfungsi untuk hal ini, mereka seharusnya memahami diriku walaupun aku berbeda dari mereka. Karena aku berbeda seharusnya mereka berada di samping ku, memeluk ku, merangkul ku dan menjadi sandaran untuk ku terus berdiri dalam menghadapi hidup ini. Tapi itu tidak terjadi.
Mereka malah dengan halusnya mendorong ku keluar dari lingkaran mereka seraya mengatakan, “Ai, sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri.”
Aku tidak bodoh untuk tidak mengerti dengan maksud ucapan lembut ini, aku tau itu adalah sebuah pengusiran yang tak kasat mata. Aku pun tau aku tidak akan diberikan kesempatan untuk mengatakan, “Maaf aku tidak bisa.
Aku tidak kuat jika harus menahan semuanya sendirian.” Aku tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk mengatakan hal itu.
Karena mereka menutup mata untuk melihat ku yang hidup tanpa tujuan dengan masa depan yang tidak jelas. Mereka berpura-pura tuli dengan suara kecemasan diriku tentang masa depan karena ya, mereka tahu akhirnya akan seperti apa. Aku tidak punya masa depan yang indah.
Bahkan meluangkan waktu untuk datang ke sini mengantarkan ku surat ini saja mereka tidak mau, mereka mengatakan bahwa mereka sedang sibuk sebagai alasan untuk menghindari bertemu dengan ku.
Aku tahu bahwa aku tidak seberhaga itu dimata mereka, tidak mengapa.
Menghela nafas, aku meremat kuat kertas putih yang ada dalam genggaman tangan ku. Merematnya putus asa kemudian beralih melemparnya ke tempat sampah yang ada di dalam kamarnya. Setelah ku pastikan kertas malang tersebut tidak melenceng dari target lemparan ku, aku pun mengalihkan pandangan ku menatap jendela kaca yang memperlihatkan betapa derasnya hujan di luar sana. Perlahan kedua tangan ku bergerak memeluk tubuh ku sendiri, cuaca dingin dan tentu saja tubuh ku merasa kedinginan dengan suhu sekarang.
Terdiam, aku memandangi hujan dengan suasana sunyi sebagai teman. Menikmati suasana yang sudah suka rela hujan ciptakan dan berpikir bahwa betapa baiknya langit menurunkan hujan untuk menemani kesepian ku di tempat
ini.
Apa kalian tau mengapa keluarga ku membuang ku?
Itu karena aku berbeda, seperti yang aku katakan tadi. Tidak seperti kalian, aku berbeda. Aku terlahir dengan kelainan genetik yang paling langka terjadi. Tubuh ku secara keseluruhan adalah laki-laki, akan tetapi aku mempunyai rahim. Bahkan wajah ku kata mereka terlihat aneh, mereka kadang memanggil ku dengan sebutan banci di sekolah.
Aku tidak tau siapa aku sebenarnya, apakah aku laki-laki atau perempuan?
Semuanya tampak abu-abu untuk ku. Ini seperti menjelaskan bahwa masa depan ku tidak akan pernah jelas. Kata dokter yang menangani ku, aku adalah seorang perempuan karena selain mempunyai rahim aku juga mempunyai wajah yang manis atau cantik mungkin. Berbicara tentang alat kelamin pun aku juga punya, malahan aku punya dua jenis. Satu perempuan dan satu laki-laki. Oleh karena itu dokter mengatakan bahwa aku adalah perempuan akan tetapi walaupun begitu sayangnya aku tidak punya payudara seperti perempuan di luar sana. Sudah
ku bilang bukan bahwa tubuh ku sepenuhnya adalah laki-laki, jadi dada yang amat sangat rata adalah poin pertama. Jika dokter mengatakan bahwa aku adalah perempuan, maka dunia akan mengatakan bahwa aku adalah orang yang aneh juga cacat. Mereka tidak menerima mahluk tidak jelas seperti ku.
Lalu surat yang ku terima hari adalah sebuah keputusan yang dibuat oleh dokter bahwa aku tidak akan mungkin melakukan operasi pengangkatan rahim, jika aku memaksa mungkin aku akan berakhir tidak selamat. Jangankan
mengangkat rahim, mengangkat yang lain saja itu juga mustahil karena tubuh ku sudah terikat penuh oleh kelainan ini sehingga menghilangkan salah satu adalah sesuatu yang mustahil.
Yah, ini adalah takdir yang manis bukan?
Melihat ini kadang membuat ku berpikir mengapa hanya aku yang mengalami hal ini dan kenapa Angela juga tidak merasakan hal yang sama seperti yang ku rasakan. Ah, aku lupa mengatakannya.
Aku terlahir kembar, kembaran ku bernama Angela Azelia. Tidak seperti diriku Angela terlahir sempurna, bahkan tidak hanya fisik akan tetapi non fisik pun tidak dapat diragukan. Aku tidak tau siapa Kakak dan siapa Adik di antara kami akan tetapi yang pasti kami saudara. Angela adalah gadis yang beruntung, bukan hanya itu ia juga menjadi gadis tercantik di sekolah ku. Bahkan ia menjadi rebutan banyak orang.
Nah, setiap kali memikirkan Angela di hati ku selalu terbesit pertanyaan mengapa Tuhan hanya menyempurnakan Angela?
Mengapa aku juga tidak terlahir seperti Angela?
Atau mengapa Angela tidak terlahir seperti ku?
Terlahir cacat dan aneh, mengapa hanya aku yang mendapatkannya? Bukankah kami kembar?
Tidak, tidak sekembar itu. Bukankah kami lahir di waktu yang hampir bersamaan?
Lalu mengapa hanya aku?
Hahahah…lupakan, bukankah ini sudah menjadi takdir ku jadi tidak perlu dipertanyakan lagi.
Aku dan Angela tinggal di tempat yang berbeda, jika dia di sana dengan kasih sayang keluarga ku yang melimpah maka aku di sini dengan kesepian yang mengikat. Aku tinggal di sebuah apartemen yang sederhana dekat dengan sekolah ku. Tidak, jangan salah paham. Orang tua ku sebenarnya sudah menyiapkan ku sebuah apartemen yang lebih bagus dan layak dari ini namun ku tolak.
Seperti yang mereka katakana aku harus hidup mandiri di sini, maka dari itu akan ku tunjukkan kepada mereka bahwa tanpa mereka aku masih bisa berdiri sendiri walaupun pada kenyataanya itu semua bukanlah hal yang mudah untuk ku lakukan.
Untuk menghidupi kebutuhan ku, aku bekerja paruh waktu di sebuah toko bunga sekitar apartemen ku. Penghasilan yang ku dapatkan pun ku rasa sudah sangat cukup untuk menghidupi kebutuhan ku sehari-hari. Jadi aku tidak pernah berpikir tentang kekurangan apapun.
Ah, hujan ternyata semakin deras. Suaranya yang tidak beraturan dan suhu yang mulai merangkap dingin membuat ku mau tidak mau mengantuk. Aku kemudian memutuskan untuk berbaring dan menarik selimut untuk menutupi tubuh kedinginan ku.
Mengingat semuanya aku ingin sekali berbicara di depan mereka semua yang merasa terganggu akan kehadiran ku. Aku ingin mengatakan bahwa aku pun tidak ingin terlahir dengan seperti ini. Bahkan jika boleh memilih, aku
lebih baik memilih tidak pernah terlahir dan terus merasakan sakit di dunia ini. Tapi nyatanya aku tidak bisa dan harus menerima dengan lapang dada bahwa takdir memang tidak bertindak adil untuk ku.
Ya, takdir memang tidak seadil yang mereka katakan.
Bersambung..
"Mom, Ai juga mau kayak Kak Angel.” Ai kecil dengan wajah polos menarik pakain Mamanya yang terlihat glamor dan mewah. Menarik pakainnya manja Ai kecil mencoba menarik perhatian Mamanya yang sedang sibuk merapikan rambut hitam panjang nan lembut milik Angela, Kakaknya.
Mengalihkan pandangannya dari rambut berkilau Angela, Mama kini membawa tatapannya kepada anak kecil yang juga seumuran dengan Anggela. Berdiri dengan mata berbinar, anak itu seolah memberikan kesan sebagai anak laki-laki yang manis dan patuh, menyenangkan mata. Sayangnya Mama tidak menyukai kesan anak laki-laki yang manis dan patuh karena ia tau betul kekurangan apa yang dimiliki anak ini. Daripada menampilkan tatapan penuh kasih sayang selayaknya seorang Ibu, Mama justru menatapnya dengan mata yang penuh dengan rasa keengganan. Ia kecewa dan merasa malu pada takdir, mengapa Ai harus lahir ke dunia ini jika hidupnya tidak bisa dirubah dan masa depannya kosong. Mama membenci kenyataan ini.
“Kenapa sayang?” Walaupun begitu ia masih saja memberikan senyuman kasih sayang kepada Ai kecil.
Berkedip polos, Ai kecil tidak dapat melepaskan pandangannya dari wanita cantik nan anggun yang kini sedang menatapnya dengan pandangan lembut. Wajah cantik wanita ini sepenuhnya menurun ke wajah Kakaknya yang mempesona. Angela menuruni segala kecantikan dari Mamanya.
“Ai juga mau seperti Kak Angel, Ai mau ikut Momi dan Papi pergi seperti Kak Angel.” Suara lembut Ai kecil terdengar mengayun lembut, ia mengeluarkan keluhannya selama ini. Ia sesungguhnya selalu iri melihat Angela dapat berpergian dengan bebas dan santai bersama orang tuanya, Ai juga ingin berada di posisi itu. Melakukan perjalanan apapun itu bersama kedua orang tuanya adalah ambisi besar dari Ai kecil yang polos.
Mama tertegun, sejenak ia tidak tau harus merespon apa kepada Ai kecil yang malang. “Ai, Mama sama Angela pergi bukan untuk main-main akan tetapi ada pertemuan bisnis yang sedang kami lakukan. Jadi Mama pikir Ai masih belum cukup besar untuk ikut bersama kami, okay, Ai yang patuh di rumah dan jangan nakal.” Jawab Mama seraya mengelus kepalanya lembut.
Ai kecil yang polos tidak merespon apapun lagi, tersenyum manis ia menganggukkan kepalanya dengan patuh berjanji tidak ingin mengecewakan Mamanya.
“Ai jangan nakal, okay.” Peringat Angela yang kini sudah selesai di rias. Seperti Mamanya, Angela juga cantik. Mereka sangat serasi dan menyenangkan mata, bahkan dalam sekali pandang pun orang-orang akan tahu bahwa mereka adalah pasangan Ibu dan anak yang saling menyayangi, penuh perasaan lembut.
“Okay, Ai akan patuh.” Jawab Ai tersenyum lembut seraya menatap kedua punggung orang terkasihnya perlahan menjauh. Setelah punggung Mama dan Angela menghilang dari pandangannya, senyuman riang dan ringan Ai sedikit demi sedikit menghilang. Mata yang tadi berbinar penuh harap kini meredup, menampilkan sosok Ai kecil yang malang juga kesepian.
Ai memang masih kecil tapi bukan berati ia tidak bisa menilai emosi orang-orang yang ada di sekelilingnya. Tidak, ia sangat mengerti hal itu. Ia tau dan dapat menilai tatapan orang terhadap dirinya tanpa terkecuali Mamanya. Senyuman lembut nan ringan yang ada di bibir manis Mamanya adalah senyuman palsu. Itu tampak seperti kasih sayang seorang Ibu kepada anaknya akan tetapi tidak bisa sampai ke matanya dan kehangatan seakan kosong di sana. Itu hanya topeng.
Bahkan tatapan lembut Mamanya tidak benar-benar sampai ke mata Ai kecil karena ia tau ada keengganan di mata Mamanya.
Tidak berdaya, Ai kecil membawa langkah kecilnya berjalan ke kamar untuk istirahat. Tempat yang dingin dan sepi namun menerima kehadirannya tanpa keluhan. Menutup pintu kamarnya dengan gerakan terbiasa, Ai kecil langsung membawa tubuh mungilnya untuk berbaring. Menatap dinginnya langit-langit kamar dengan pikiran rumit.
“Mom, berhentilah menggunakan alasan yang sama.” Bisik Ai kecil mengeluh. Perlahan cairan bening dan hangat mengalir lembut dari sudut matanya yang sendu.
“Karena pasti selalu ada pertanyaan yang tidak bisa Ai tanyakan kepada Momi.” Ai kecil begitu tersiksa dengan pertanyaan itu, ia ingin menyuarakannya akan tetapi entah mengapa Ai seolah di tahan oleh sesuatu. Sesuatu itu memberikannya perasaan seolah-olah jawaban yang akan diberikan Mamanya adalah hal yang menyakitkan. Ai kecil begitu ragu akan hal itu.
Di lingkupi suasana sepi dan sunyi, perlahan mata basah Ai kecil terasa berat dan mengantuk. Ai kecil ingin bertahan akan tetapi rasa kantuk itu membuatnya tidak berdaya dan jatuh mengalah.
“Ya, Ai selalu ingin bertanya bahwa mengapa Angela bisa dan Ai tidak?” Bisik Ai kecil kepada dirinya sendiri, berbicara seolah-olah ini adalah lagu nina bobo untuk dirinya yang sepi.
DOARR
Suara sambaran petir yang ganas berhasil membangunkan Ai dari mimpi buruknya. Mengerjap terkejut, Ai mencoba mengatur nafasnya agar lebih tenang dan teratur. Bangun dari acara tidurnya, Ai kemudian mendudukkan dirinya dengan tatapan kosong yang tergambar jelas diwajahnya. Suara gerimis hujan yang berisik juga menenangkan membuatnya enggan untuk melanjutkan tidurnya. Mengusap wajahnya asal-asalan, ia bisa rasakan jika wajahnya saat ini sudah basah bahkan itu masih terasa hangat di sudut matanya.
“Mimpi buruk sialan.” Gumamnya mengumpat. Menyibak selimutnya Ai langsung menekan saklar lampu sehingga membuat ruangan yang seharusnya gelap gulita kini sudah terang benderang. Bergerak malas Ai mengalihkan tatapannya pada jam weker yang ada di samping tidurnya.
“Sebentar lagi subuh.” Suaranya begitu melihat waktu sudah menunjukkan pukul 04.13. Menghela nafas kasar, pandangannya teralihkan dengan tempat sampah kecil yang berdiri di sudut kamarnya. Ada keraguan yang melintas di sinar matanya yang hampa. Menimbang apakah harus mendatangi tempat sampah itu atau tidak, ia ingin memastikan bahwa apa yang terjadi tadi malam adalah bagian dari mimpi buruknya semata atau tidak. Berpikir lama akhirnya ia memtuskan untuk mendengarkan kata hatinya dan berjalan mendekati tempat sampah tersebut. Beruntung tempat sampah itu tidak sepenuh biasanya sehingga ini dapat memudahkan Ai untuk menemukan objek yang ia cari.
Mengobrak abrik isi tempat sampahnya yang tidak seberapa, ia jejerkan beberapa kertas putih yang Ai dapatkan dari tempat sampah tersebut di dinginnya lantai. Dengan tenang Ai kemudian membuka remasan kertas pertama yang ada di depannya, bergerak hati-hati dan pelan kertas putih pertama tersebut tidak menampilkan apa yang ia takutkan setelah benar-benar terbuka. Meremasnya kembali Ai kemudian memasukkannya ke dalam tempat sampah lagi. Lalu perlakuan yang sama pun ia berikan kepada kertas lainnya hingga menyisakan 4 remasan kertas lainnya. Tidak setakut dan sepanik beberapa waktu lalu langsung saja Ai ambil satu kertas di lantai tanpa pikiran panjang dan tanpa menyiapkan mentalnya pun Ai benar-benar berani membuka rematan kertas tersebut hingga catatan apa yang tertera di dalam benar-benar membuatnya membeku. Ia seakan mati rasa setelah membaca catatan yang ada di kertas tersebut tertulis tentang dirinya.
Tersenyum miris, Ai langsung merobek-robeknya menjadi beberapa bagian dan kemudian membuangnya dengan marah ke luar jendela. Udara yang dingin dan mengandung air hujan langsung menerpa kulit wajah pucat Ai yang terlihat semakin kosong. Tubuh kurusnya yang tidak berdaging sekilas dapat membuat orang salah paham betapa miskinnya ia sampai-sampai membuatnya sulit mendapatkan makanan. Padahal bukan itu kasusnya, walaupun ia jauh dari orang tuanya Ai sama sekali tidak kekurangan uang untuk membeli makanan. Justru ia sendiri yang menolak untuk mengkonsumsi makanan tersebut, Ai pikir tidak makan sekali dua kali tidak dapat membunuhnya karena meski ia ingin mati sekali pun takdir tidak akan pernah mengizinkan itu terjadi.
Kalian tahu kenapa?
Itu karena Tuhan senang melihat penderitaannya, Tuhan begitu menikmati hari-hari dimana ia begitu sulit untuk tersenyum. Bahkan Tuhan begitu terhibur melihat dirinya yang terambang dalam cinta sepihak.
Ai sudah biasa dengan skenario ini akan tetapi bodohnya sebiasa apapun hal ini tidak dapat membuatnya merasa terbiasa. Rasa sakit karena hidup berbeda itu sangat menyakitkan dan perasaan itu sudah di dapatkan dari sebelum ia benar-benar mengenal dunia.
Ah, melihat hujan yang masih tetap kukuh menemaninya membuat Ai tanpa sadar di bawa kembali ke masa kecilnya yang suram. Masa dimana ia hanya bisa mendapatkan punggung dingin Papanya yang tercinta, masa dimana ia hanya bisa menikmati senyuman lembut Mamanya yang palsu, dan masa dimana rasa iri dan cemburu lahir di dalam hatinya setiap kali melihat perlakuan berbeda yang Angela dapatkan dari Papa dan Mamanya.
“Aku lelah, sungguh.” Bisiknya miris seraya mengusap cairan hangat yang mengalir lembut di pipi pucatnya. Ya, Ai begitu lelah seperti ini. Menanggung semuanya sendirian itu sangat menyakitkan dan Ai tidak bisa berbohong bahwa selama ini semuanya begitu amat sangat menyakitkan. Ia benci seperti ini tapi kenyataannya ia harus menghadapi semua ini. Bahkan sekalipun ia merasa muak dengan situasi dan kondisinya tetap saja, ia tidak akan pernah berdaya untuk menolak semua keadilan ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!