NovelToon NovelToon

TINI SUKETI

1. Calon Legenda

Dengan membaca cerita ini, pembaca meyakini bahwa sudah cukup umur. Pembaca bisa menilai secara mandiri jika semua hal yang dipaparkan hanyalah imajinasi penulis belaka yang bersifat menghibur. Cerita ini tidak mewakili suatu agama atau kelompok masyarakat tertentu.

Selamat datang di dunia imajinasi juskelapa. Selamat membaca.

***

Pada usia 24 tahun, Tini belum pernah membayangkan hiruk pikuk kota besar seperti apa. Hidupnya hanya tentang menunggu jodoh. Menunggui seorang pria yang bernama Coki untuk melamarnya.

Tiada hari tanpa bersama Coki. Bagi Tini, Coki adalah pria paling ganteng di desanya. Semua yang ia lakukan hanya untuk Coki.

Coki dulu, Coki lagi, Coki terus. Memangnya apa pekerjaan Coki? Mantri. Lebih tepatnya lagi adalah tenaga honor sebagai mantri hewan. Coki yang luntang-lantung tiga tahun seusai lulus SMA, berhasil menjadi tenaga honorer di dinas setelah orang tuanya menjual dua petak sawah untuk menjadikan hidup anaknya lebih berguna. Hal itulah yang menjadi tumpuan harapan bagi Tini. Membayangkan bisa menikah dengan Coki dan tinggal di rumah mertuanya yang penuh ukiran mirip candi.

“Coki mana, Tin?” tanya Siti Kusmini saat ia dan Tini berjalan beriringan sepulang dari pabrik.

“Pulang keliling-keliling ngecek sapi, palingan tidur. Kenapa? Kok, nanya Coki? Pacar kamu mana?” Tini menoleh sekilas pada sahabatnya.

“Ada,” jawab Siti singkat. “Kamu kapan dilamar?” tanya Siti lagi.

“Ya, enggak tau pastinya. Katanya sabar. Memangnya kenapa? Kamu mau kawin duluan? Ya, udah. Nanti aku dibagiin bahan baju sama ongkos jaitnya.” Tini tertawa santai.

“Kalau aku pesta duluan, nggak apa-apa? Bener kamu mau jadi pager ayunya?” tanya Siti.

“Ya, enggak apa-apa. Aku pasti jadi pager ayunya,” sahut Tini lagi.

Mereka beriringan berbelok ke sebuah jalan tak beraspal yang kanan kirinya di penuhi pepohonan. Daerah tempat tinggal mereka berada di satu jalan yang berkelok-kelok. Rumah Tini dan sahabatnya itu terletak di gang yang berbeda. Namun kesemua gang itu buntu, berakhir dengan daerah tepi sungai.

Tiga ratus meter berjalan kaki, Siti pamit untuk berbelok ke kiri di mana rumahnya berada. Sedangkan Tini, melanjutkan perjalanannya menuju ke dua gang berikutnya. Cukup jauh dari jalan besar, dengan tikungan tajam dan pepohonan yang rimbun, dari kejauhan ia terlihat seperti masuk ke dalam hutan.

Dari kejauhan, Tini melihat rumahnya sepi. Biasanya ada dua motor matik yang terparkir di depan rumah. Sore itu hanya ada satu, milik adik perempuannya.

Tini sedang bersenandung di depan pintu depan rumahnya, ketika pintu itu terbuka.

“Jangan masuk dulu, Mbak Tini cari bapak sana!” seru Evi, saat membuka pintu dan bertemu pandang dengan kakaknya.

“Kok, aku? Aku baru pulang kerja. Dayat mana? Minta dia yang nyari. Aku males. Nanti ketemu banyak bapak-bapak di warung.” Tini menerobos masuk ke rumahnya.

“Enggak ada di warung, tadi pulang nagih aku lewat warung nggak ada. Pasti ngadu ayam lagi,” kata Evi.

“Biarin aja. Ketimbang ngadu domba, kita bisa ikutan pusing. Aku udah bosen ngasi taunya. Udah tua, kok, nggak ada tobatnya. Dayat mana?”

“Dayat main ke rumah temennya. Aku telfon nggak dijawab. Aku capek keliling-keliling dari siang, jam segini baru selesai masak. Bapak dari siang nggak pulang-pulang.” Evi kembali masuk ke rumah dan mengikuti kakaknya ke belakang.

“Ya, udah nggak usah dicari. Kalo laper, kan, pulang. Kalo mati ditanem,” omel Tini, berjalan masuk menuju kamarnya.

“Enggak boleh gitu, Mbak. Orang tua kita cuma tinggal Bapak aja.” Evi duduk di tepi ranjang besi bertingkat yang bagian bawah biasanya ditempati oleh Tini.

Evi Sunarti berusia 19 tahun. Adik kedua Tini ini, pekerjaannya adalah tukang kredit segala macam benda yang diminta pelanggan. Mulai dari perlengkapan dapur, sampai dengan perlengkapan kasur. Gadis itu sangat gigih mengumpulkan uang untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi yang terkendala biaya. Setelah tamat SMA, Tini memberinya modal untuk kembali diputar membeli barang-barang pesanan yang akan dicicil maksimal sepuluh kali setiap bulannya.

Selama harganya masih bisa dijangkau dan mencukupi modal, Evi selalu memenuhi permintaan pelanggannya. Tapi, dengan satu syarat mutlak yang diberikan oleh kakaknya. Pelanggan, suami atau istrinya, tidak ada yang menjadi member warung gaple.

Calon pelanggan yang diketahui memiliki ikatan dengan warung gaple, sudah dipastikan akan gugur. Karena menurut Tini, judi itu tak ada obatnya.

“Dari Ibu masih sehat sampai masuk ke tanah, kerjaan Bapak nggak ada berubahnya. Yang hidupnya berguna, matinya malah cepet. Andai bisa ditukar.” Tini menyisir rambut dan menjepitkannya ke belakang kepala.

“Gendeng!” tukas Evi.

“Telfon Dayat lagi. Udah kelas tiga SMP bukannya banyak belajar, malah kelayapan setiap hari.” Tini menyampirkan handuk dan pergi meninggalkan Evi di kamar.

“Pasti mau pergi malem mingguan sama si Coki,” gumam Evi.

“Memangnya kenapa?” sahut Tini dari depan pintu kamar mandi.

Evi hanya diam tak menyahut. Itu hari Jumat malam. Pemuda-pemudi di desa mereka biasa sudah mulai berkeliaran mencari pasangan atau berpacaran.

Para pemuda biasa duduk di pos ronda bermain gitar. Sebagian hanya berdiri atau jongkok di mulut gang sambil menyuiti gadis-gadis muda yang melintas. Sedangkan gadis-gadis yang melintas, ada yang berhenti untuk mengobrol, ada yang berlalu tanpa menoleh. Tergantung pemuda yang mengajak bicara.

Tini Suketi sudah melewati masa-masa itu. Dia sudah berada di usia terlalu matang di kampungnya. Tinggal di desa kecil dengan 24 tahun belum menikah bukanlah suatu prestasi yang bisa dibanggakan.

Pak Joko masuk lewat pintu belakang rumahnya setelah memasukkan seekor ayam jago yang selalu dibawanya ke mana-mana untuk ditandingkan ke dalam kandang. Ia berusaha untuk tak menimbulkan suara gaduh saat memasuki rumah. Langit sudah gelap dan ia tahu putri sulungnya pasti sudah pulang kerja.

Pak Joko mengendap-endap menuju kamarnya, melintasi ruang tamu kecil.

“Ayam terooooss ...,” kata Tini yang baru muncul di ruang tamu.

Bapaknya langsung menoleh ke belakang. “Cuma dibawa jalan-jalan. Kasian dia bosen di kandang,” jawab Pak Joko.

“Mending dijual. Biar ada gunanya,” jawab Tini.

“Ya, kasian. Masa si Puput mau dijual. Apa lagi gunanya? Dia buat temen Bapak.” Pak Joko balik bertanya.

“Bukannya kerja, ngadu ayam terus. Nanti bisa ditiru sama Dayat. Puput—puput. Ayam jantan namanya Puput.” Tini berbalik meninggalkan bapaknya. Ia kembali masuk ke kamarnya dengan wajah kesal.

“Bosen, kan, ngasi taunya? Heran. Tapi nggak usah dibilang apa-apa lagi. Jadi dosa,” kata Evi. “Besok Mbak Tini masuk shift jam berapa?” tanya Evi pada Tini yang sudah merebahkan dirinya di ranjang.

“Besok aku masuk shift jam sepuluh pagi. Biar aku aja yang masak. Kamu mau ke mana?” tanya Tini.

“Besok aku ke pasar. Ada yang pesan tikar plastik. Mbak Tini makan sekarang. Aku mau tidur. Capek seharian panas-panasan. Mana tadi motor sempet nggak mau nyala. Aku nyelahnya sampe mandi keringet.” Evi memanjat tangga ranjang untuk menempati bagian atas ranjang tingkat.

Tubuh dan hati Tini terasa letih. Punya Bapak pemalas yang tak memiliki rasa kasihan pada anak-anak perempuannya. Sebagian besar waktunya dihabiskan di warung dan kumpul-kumpul di tengah perkebunan untuk mengadu ayam.

Tini berbaring telentang melihat bayangan adik perempuannya yang selalu tidur menghadap dinding. Kehidupan dirasanya sangat tumpul dan buntu. Punya pacar yang meski memiliki pekerjaan tetap tapi dikenal sebagai pecandu. Gaji sebagai honor pas-pasan, namun selalu habis untuk membeli benda haram.

Sudah dua hari Coki sulit dihubungi. Tiap diminta bertemu, laki-laki itu selalu memaparkan kesibukannya pergi dari satu desa ke desa lain untuk mengecek ternak. Ada sapi keguguran, inseminasi, ada yang kudisan karena sakit dan terlalu lama berbaring.

Tini memejamkan mata. Sedang merencanakan sesuatu untuk esok hari, dalam upaya mengurangi kekesalannya.

Seperti rencana kemarin malam. Evi pagi-pagi betul sudah berangkat ke pasar untuk membeli pesanan pelanggannya. Tini sudah berada di dapur untuk memasak sebelum berangkat kerja ke pabrik. Sedangkan Dayat dan Pak Joko masih dibuai mimpi di hari Sabtu.

Menjelang pukul sembilan, Tini sudah bersiap-siap berangkat ke pabrik. Saat tengah mengenakan sepatunya di pintu depan, bapaknya keluar dari kamar sambil mengucek mata, menguap, lalu menaikkan sarungnya.

“Sudah masak?” tanya Pak Joko. Perutnya lapar menjelang pukul sembilan itu.

“Sudah, tinggal masuk mulut aja pokoknya. Aku pergi, ya.” Tini langsung berlalu dari rumahnya setelah menutup pintu.

Pak Joko buru-buru ke belakang. Masakan pagi selalu menggugah selera. Semuanya masih serba panas. Ia mengencangkan ikatan sarungnya dan bergegas ke kamar mandi mencuci muka.

Sambil bersiul-siul, ia menggeser kursi kayu kecil dan duduk mengangkat kakinya.

“Apa ini? Kari? Mantep,” gumam Pak Joko. Dalam sekejab ia mengisi piringnya penuh dengan nasi, kari ayam, rebusan daun singkong dan sambal terasi.

“Pasti masakan Tini. Tumben,” gumam Pak Joko lagi. Ia makan sambil mengusap peluhnya berkali-kali. Tiga centong nasi putih kembali ditambahkan. Lalu, setelah sendawa ketiga, laju kecepatan makannya berkurang. Pak Joko duduk bersandar beberapa saat kemudian dengan napas pendek-pendek.

“Kenyang,” ucap Pak Joko, berdiri menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya. Ia lalu mengambil sekaleng jagung kering dan pergi menuju kandang Puput, ayam jagonya.

“Puput—puput, ayo, makan!” panggil Pak Joko. “Lho? Puput?” panggil Pak Joko, membuka lebar kandang ayam jagonya.

“Puput ke mana? Ke mana? Apa dimaling? Put ...!” teriak Pak Joko, berlari mengitari halaman belakang yang hanya berbatasan dengan ladang kecil dan lembah landai.

“Pupuuuut!!” teriak Pak Joko lagi. Setelah berlari ke sana kemari ia kembali ke depan kandang dan memijat-mijat kepalanya.

“Siapa yang bangun duluan? Evi atau Tini? Mereka pasti ngeliat kalau Puput—” Pak Joko terdiam. “Evi pasti ke pasar lebih pagi. Tini ... masak? Tini masak? Tumben? Kari ayam?” Pak Joko gelagapan. Ia lalu berlari kembali masuk ke dapur. Sejurus kemudian ia berdiri di depan panci kecil di atas kompor dan mengaduk-aduk isi kari di dalamnya.

“Tiniiiiiii!!” Suara Pak Joko menggelegar di Sabtu pagi.

To Be Continued

2. Terpincang-pincang

Pulang dari pabrik, Tini belum berani langsung menuju rumahnya. Coki berjanji menjemput Tini sore itu. Kulit wajahnya yang mulai berminyak, kembali ia tepukkan bedak. Lipstik berminyak berwarna terang pun, ia poleskan sekali lagi. Tini sudah bersiap bermalam mingguan bersama kekasihnya.

Hampir setengah jam Tini duduk di bawah pohon seri, ketika suara knalpot motor yang bisa memecahkan gendang telinga bayi terdengar perlahan mendekat. Sejurus kemudian, Coki muncul dari jalan yang berada di sebelah pabrik mendekatinya.

Motor Coki terlihat sangat kurus. Persis seperti pemiliknya. Awalnya motor itu datang dari showroom dengan badan yang gemuk. Namun, beberapa hari di bawah perawatan Coki, motornya itu seperti tertekan. Tubuhnya dipreteli sampai hanya tersisa batang penyambung dua rodanya.

“Ayo, pulang. Abis nganter kamu aku masih ada keperluan. Enggak bisa lama-lama. Mau ngeliat ternak di desa sebelah.” Coki tidak turun dari motornya. Pria kurus itu hanya duduk di atas motor membenarkan letak topinya. Celana jeans biru yang warnanya sudah memudar sengaja dirobek di bagian lututnya untuk menambah kesan sangar. Tapi, kesan sangar itu gagal. Yang ada, Coki malah terlihat seperti gembel.

“Belum apa-apa udah ngomong nggak bisa lama. Memangnya kenapa ternak di desa sebelah sampe harus diliatin? Apa ada yang aneh? Aku juga mau sekali-sekali diajak ikut ngeliat. Ayo!” Tini langsung merentangkan kakinya naik ke boncengan. Perasaannya sudah tak enak beberapa hari ini. Coki selalu saja terburu-buru tiap mereka sedang bersama.

“Ini serius mau ikut?” tanya Coki dari depan, ia mulai melajukan motornya.

“Ya, iya. Aku mau ikut.” Tini melingkarkan tangannya dengan erat di sekeliling pinggang Coki yang tipis.

Coki melajukan motornya yang bersuara mirip traktor melaju menuju jalan besar, dan terus menuju desa sebelah yang tadi dikatakannya. Dari atas boncengan, kepala Tini sudah celingukan mencari rumah atau perkebunan yang dimaksud oleh kekasihnya. Di mana hewan ternak yang dimaksud oleh Coki. Motor melaju selama sepuluh menit menembus pepohonan. Keluar-masuk ke area perumahan warga desa yang terletak jarang-jarang, namun Coki tidak juga berhenti.

Tini gelisah. Desa itu sepertinya memang bukan tempat tujuan pria yang memboncengnya. Coki terkesan asal mengajaknya berputar-putar.

“Di depan ada rumah, kita berenti dulu.” Tini menepuk pelan pundak Coki, lalu menunjuk sebuah rumah yang halamannya luas.

“Mau ngapain?” tanya Coki.

“Ya, ini, mau ke mana? Enggak jelas!” sergah Tini. “Mau liat ternak di mana? Dari tadi aku nggak ada liat ternak sapi. Semuanya unggas. Kamu bilang selama ini bantu ternak lahiran di desa ini. Apa ayam dan itik sudah melahirkan? Enggak nelur lagi?” Tini mengomel dari balik punggung Coki.

“Kamu ini selalu bawel. Ya, udah. Kita pulang aja. Makin lama kayaknya kita makin nggak cocok,” kata Coki, menghentikan sepeda motornya.

Tini langsung terdiam. Inilah perasaan tak enaknya sejak kemarin. Ia seperti tahu bahwa Coki akan mengatakan hal itu sewaktu-waktu padanya. Kesibukan-kesibukan Coki yang sebenarnya tak pernah sibuk, membuat Tini curiga.

“Maksud kamu apa?” tanya Tini, turun dari boncengan dan berjalan ke depan Coki.

“Aku bilang makin lama kita makin nggak cocok. Kamu nuntutnya terlalu banyak. Ini-itu. Bikin aku pusing,” ketus Coki.

“Tuntutan menikahi perempuan yang sudah kamu kangkangi itu wajar. Sekarang kamu bilang aku nuntut. Kemarin-kemarin tiap liat sapi beranak, kamu datengi aku, karena kepingin kawin juga. Kepalamu itu makin nggak ada isinya karena kebanyakan ngisep sabu-sabu.” Napas Tini tersengal-sengal menahan emosinya.

Dua tahun menjalani hubungan dengan Coki, hanya berhasil membuat keperawanannya terenggut tanpa lamaran pernikahan.

“Kenapa? Kamu nyesel? Aku nggak pernah maksa-maksa kamu. Mau nyalahin aku?” sergah Coki.

“Aku nggak mau nyalahin kamu karena aku yang ngangkang suka rela. Aku juga ikut enak-enak. Aku tau kamu nggak maksa. Tapi, kamu juga sadar kalau harusnya bertanggung jawab. Aku nggak pernah minta apa-apa sama kamu, karena aku memang cinta. Masih mending ngelonte, aku dapet uang. Nyatanya, aku nggak minta apa-apa dari kamu, kan?” tanya Tini. Matanya sudah memanas. Laki-laki yang beberapa waktu lalu siang-malam mengatakan cinta dan sayang padanya kini berada di depannya bagai seorang pria asing tak dikenal.

“Aku mau pulang!” kata Coki.

“Di mana kandang ternak yang mau kamu liat? Sapi betina mana?” paksa Tini. “Aku tau kamu berusaha menghindari aku terus. Alesan mau liat ternak. Bolak-balik pake alesan sapi beranak. Memangnya sapi buntingnya berapa bulan? Setiap hari ada aja yang beranak!” pekik Tini.

“Aku tinggalin kamu di sini,” ancam Coki.

“Kamu anter aku. Jalan ke depan sana jauh,” kata Tini. Ia lalu kembali naik ke atas boncengan sepeda motor.

Wajahnya menekuk dengan hati yang terasa ditusuk sembilu bertubi-tubi. Habislah sudah, pikirnya. Masa depan apa lagi yang dimilikinya di kampung itu? Ayah pengangguran yang tak bisa dibanggakan dan tak pernah memikirkan masa depannya. Kebodohan akan cinta yang membutakan matanya.

Motor bebek kurus Coki keluar dari desa sebelah dan menelusuri jalan menuju desa mereka. Sampai tiba di depan jalan menuju rumahnya, Tini menepuk pundak Coki.

“Aku turun di sini aja,” kata Tini.

“Kamu bilang sampai di rumah. Sini aku anter sampe rumah,” tukas Coki, mulai mengendurkan emosinya sesaat yang lalu.

Coki tak punya keahlian apa-apa di kala sedang waras. Namun, memiliki keahlian mekanik luar biasa ketika sedang mabuk sabu. Pria 27 tahun itu sekejab saja bisa menyatukan kipas angin yang tercerai berai dalam jangka waktu singkat jika baru menyesap sabu. Keahliannya meningkat seperti MacGyver. Berbanding terbalik kalau ia dalam keadaan normal. Bodohnya luar biasa.

Coki menghentikan motornya di mulut jalan. Tiga orang ojek pengkolan terlihat di sana memperhatikan sepasang kekasih di ujung tanduk yang sedang melemparkan tatapan kesal satu sama lain. Saat Tini turun, Coki dengan segera menggeber motornya dan meninggalkan asap putih tebal yang menyelimuti tubuh Tini.

Tini berjalan keluar dari asap bak penyanyi dangdut yang baru muncul di atas pentas.

“Ribut terus, Tin!” tukas salah seorang ojek.

Tini menghentikan langkahnya di depan ojek itu. Namanya Pak Paijo. Usianya hampir empat puluh. Pak Paijo adalah tukang ojek langganan yang sering mengantarkan Tini ke mana-mana.

“Kemarin Coki ke mana? Ada ngeliat, Pak?” tanya Tini, menatap Pak Paijo yang kulitnya nyaris seperti warna gula merah.

“Ke kebun desa ujung. Ada rumah temennya di sana. Kemarin aku nganter langgananku, dan ngeliat ada motornya parkir,” jawab Pak Paijo.

“Kurang ajar itu. Besok temenin aku nguntit dia. Bisa?" tanya Tini.

Pak Paijo mengangguk. "Bisa," katanya.

"Ya, udah. Aku pulang dulu,” tukas Tini kemudian.

“Tinggalin aja. Ngapain sama laki-laki kayak dia. Masih banyak jejaka sini nyari perawan. Jangan takut nggak ada yang mau,” nasihat Pak Paijo.

Tini hanya mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya. Andai semudah itu, ia pasti tak akan akan sesedih sekarang, pikirnya. Hatinya galau bukan kepalang. Kerja pun ia tak konsentrasi. Hubungannya dengan Coki mungkin hanya tinggal menghitung hari.

Tini mau Coki bersikap jantan dengan memutuskannya secara langsung. Tini mau Coki mengakui soal penyebabnya menjauh. Tapi sepertinya, Tini memang harus mencari tahu sendiri dan menangkap basah kekasihnya itu.

Sebelum tiba di gang rumahnya, Tini melewati simpang empat jalan yang di semua sisinya terdapat kebun dan pepohonan yang tumbuh jarang.

Saat melintasi simpang itu, Tini tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kakinya terasa menginjak sesuatu. Ia menunduk, lalu mengumpat. Dengan wajah kesal, ia melanjutkan jalannya terpincang-pincang.

Dari arah kanan Tini, seorang kakek pincang datang menjajari langkahnya. Sepertinya tujuan mereka sama. Kakek itu terkenal pikun. Seisi desa sudah tahu kalau ia sering sesumbar soal menjadi pahlawan kemerdekaan atau tentara yang sering ikut perang di seluruh belahan dunia. Padahal, cucunya mengatakan kalau kaki kakeknya pincang karena pernah kecelakaan. Terinjak seekor sapi yang mengamuk.

Melihat Tini terpincang-pincang, kakek itu mengernyit memandang kaki Tini. Lalu, ia juga memandang kakinya sendiri. Merasa senasib, kakek tersebut memulai pembicaraan.

“Perang Vietnam tahun 1955,” cetus kakek pikun menunjuk kakinya.

Tini memandang kaki kakek pikun yang pincang, lalu memandang kakinya yang juga sedang pincang.

“Tai sapi sepuluh meter di belakang,” balas Tini, menunjuk kakinya.

Kakek pikun mengangguk-angguk mendengar jawaban Tini. Mereka berdua lalu melanjutkan langkah dalam diam.

To Be Continued

Dukung TINI SUKETI ya ....

Karena juskelapa bakal ada Giveaway untuk 3 podium teratas pemberi hadiah terbanyak. Dan beberapa Giveaway untuk fans berlabel gold atau silver yang akan juskelapa acak seadil-adilnya. Semua pasti ada gilirannya.

*Buat yang udah lama nunggu TINI SUKETI dukung enjuss terus ya .... ada Giveaway untuk pembaca lewat jalur amalan yang nggak diliat dari poin.

Ini hanya souvenir kenang-kenangan dari juskelapa selama menulis di Noveltoon. Belum banyak, yang penting ada*.

Jangan lupa follow juskelapa karena bakal njuss sendiri yang PC untuk tanya alamat.

Semoga Tini Suketi bisa bersaing di jagat Noveltoon.

Salam sayang dari juskelapa.

Penulis Platinum jalur amal.

3. Kutangkap Kau Dengan Desah

Tini sudah melupakan kejadian soal Puput si ayam jago yang disembelihnya subuh tadi. Awan gelap masih menyelubungi langit saat Tini mengendap-endap untuk memasak ayam jago petarung bapaknya.

Kekesalannya sudah memuncak. Hujan petir halilintar bumi gonjang-ganjing, bapaknya tak pernah peduli. Semua hidup pria itu hanya berpusat pada seekor ayam jago.

Halaman rumahnya kosong. Tak ada motor Evi atau pun Dayat. Namun, saat ia menekan handle pintu depan rumahnya yang tak pernah terkunci, suara motor terdengar mendekati. Evi dan Dayat muncul bersamaan. Tini masuk ke rumah tanpa melihat kedua adiknya lagi.

"Mbak, Bapak kenapa?" Evi masuk beberapa saat kemudian menghampiri kakaknya.

"Kenapa memangnya?" Tini yang sudah lupa, balik bertanya.

"Bapak melamun di pinggir lembah," jawab Evi.

Pintu kamar yang tadi baru ditutup Evi, diketuk cepat, lalu terbuka. Wajah Dayat muncul menjenguk ke dalam.

"Bapak kenapa? Kayaknya galau. Apa berantem dengan pacarnya? Pacarnya ghosting lagi? Menghindar buat diajak ketemu?" Dayat memberondong kedua kakaknya dengan banyak pertanyaan.

"Memangnya Bapak punya pacar?" tanya Evi.

"Ngapain melamun mikirin pacar? Ghosting-ghosting-ghosting! Iya! Memang hantu semuanya!" umpat Tini sewot.

Evi dan Dayat terdiam. Tak menyangka Tini begitu kesal dengan ucapan Dayat barusan.

"Bapak baru ditinggal mati sama si Puput. Pergi kalian hibur. Aku mau mandi," tukas Tini.

"Puput meninggal? Dikubur di mana?" tanya Evi.

"Kalian berdua sudah makan?" Tini balik bertanya.

Evi dan Dayat mengangguk. "Udah. Pake kari ayam, kan? Enak. Pasti Mbak Tini yang masak," tambah Dayat.

"Oh, ya, sudah! Kuburannya di WC kalau gitu," ucap Tini, mengambil handuk yang terhampar di tepi ranjang bagian atas. Ia lalu keluar kamar.

Evi dan Dayat berpandangan. Lalu, mereka mengusap mulut. Sedetik kemudian, keduanya terbelalak. Mereka berbalik dan berjejalan keluar kamar. Sempat tersangkut di ambang pintu, namun keduanya terbebas setelah saling dorong.

Pak Joko duduk menghadap lembah landai di dekat kandang Puput. Kepalanya tertunduk menatap tanah. Posisinya yang membelakangi pintu dapur, membuat Evi dan Dayat yang berdiri di bawah gawang pintu, tak bisa memastikan apa yang sedang ditatap bapak mereka.

Evi menggamit lengan Dayat. Mengajak adiknya itu untuk lebih mendekat ke balik punggung Pak Joko. Setelah mereka melongok, ternyata benar yang dikatakan Tini. Pak Joko sedang termenung menatap tulang belulang Puput yang tertumpuk di atas tanah.

Evi dan Dayat kembali mundur perlahan-lahan. Kembali masuk ke dapur dan berpapasan dengan Tini di depan kamar mandi.

PLAKK!

Tini memukul kepala Dayat. "Mandi! Dari kemarin kamu begini aja tampilannya."

Dayat meringis memegang kepalanya. Meski harus berjinjit, kakaknya yang pendek itu selalu bisa memukul kepalanya. "Nanti. Sebentar lagi," kata Dayat, ikut mengekori kakaknya masuk ke kamar.

Tini telah berpakaian di kamar mandi. Ia tampak segar karena mencuci rambutnya sore itu. Di depan kaca, Tini mengoleskan bedak Kelly merata di wajahnya hingga berkilap. Lalu, ia mengambil lipstik Hare, lipstik kemasan hijau yang akan membuat bibirnya merah tahan lama. Setengah wanita di desanya menggunakan lipstik itu.

Dayat dan Evi berbaring di ranjang memperhatikan kakaknya.

"Mbak Tini mau malem mingguan ke mana?" tanya Dayat.

Tini tak menjawab, ia lanjut berdandan. Evi sedikit kesal karena diabaikan.

"Mau ke mana, sih?" ulang Evi. "Pergi sama siapa?"

Tini berbalik memandang adik-adiknya.

"Pergi sama Pak Paijo. Puas?" Tini berkacak pinggang.

"Jangan bilang kalau Mbak Tini ...." Ucapan Evi terputus.

"Kalau memang harus. Kenapa enggak?" tanya Tini lagi. "Dayat, Evi. Aku mau ngomong," kata Tini. Ia lalu menepuk kaki Dayat yang berbaring agar duduk memberinya ruang.

"Apa Mbak? Serem aku," tukas Dayat.

"Mulutmu diem dulu," jawab Tini, meremat pelan mulut Dayat. Adiknya itu langsung diam membekap mulutnya.

"Jangan ngomongin yang nggak enak, Mbak. Mbak Tini kalau lagi serius suka serem," kata Evi.

"Aku mau bilang ke kalian berdua. Kayaknya aku ada rencana pergi ke kota. Mau merantau. Aku sumpek di sini. Sekarang kalian sudah besar-besar. Sudah bisa aku tinggal untuk hidup mandiri. Dayat sebentar lagi SMA. Dan kamu ...." Tini menatap Evi. "Kamu pasti capek keliling desa terus jadi tukang kredit. Berdebat dengan orang yang terlambat bayar hampir setiap hari."

"Mbak Tini mau ninggalin kami?" Evi memandang wajah kakaknya yang berkilap dengan raut kecewa.

"Kamu kepingin kuliah, toh?" Tini balik bertanya. Evi mengangguk lemah. "Tabunganmu nanti kutambah. Pergi ke kota dekat sini dan daftar kuliah. Cari kos-kosan murah. Aku nanti kerja di kota buat bantu biayanya. Kamu harus bisa lebih baik, Vi. Aku malu sama ibu kalau kalian nggak jadi apa-apa. Ibu meninggalkan kita dengan banyak pesan-pesan ke aku. Aku kepingin tinggal sama kalian di sini. Tapi kayaknya aku nggak sanggup," tutur Tini.

"Mbak Tini bikin sedih aja," kata Evi. "Kamu, kan, mau nikah sama Coki. Ngapain ke kota?" Mata Evi bersitatap dengan kakaknya.

Tini bangkit. "Ya, sudah. Aku pergi dulu. Pak Paijo biasa jam segini masih mangkal di simpang." Ia berjalan meninggalkan kamarnya.

"Serius mau pergi sama Pak Paijo?" teriak Evi.

"Apa Mbak Tini nggak pacaran sama Coki lagi? Sama Pak Paijo?" Dayat kembali berbaring menarik bantal.

"Mulutmu," bisik Evi.

"Hidayaaat ... mandi!!" teriak Tini dari luar.

"Iya--iya," sahut Dayat, melompat dari tempat tidur dan lari ke kamar mandi.

Sudah mandi, sudah rapi, sudah wangi. Biasanya Tini sudah siap untuk dijemput Coki. Tapi, kali itu pesawat teleponnya sepi. Biasanya, bertengkar sehebat apa pun, pria itu tetap datang.

"Pak, gimana?" Tini tiba di simpang jalan rumahnya, menghampiri Pak Paijo.

"Ada, Tin! Setengah jam yang lalu baru lewat. Katanya ada mau ngeliat sapi mau lahiran." Pak Paijo langsung menyelah motornya.

"Lahiran di mana? Di tempat yang kemarin?" tanya Tini saat sudah berada di boncengan motor.

"Iya. Kamu liat aja dulu, tak anter sekarang. Ayo!" Pak Paijo tidak membenci Coki. Urusan pria itu adalah urusan pribadinya. Tapi, melihat Tini selalu tertipu oleh Coki, Pak Paijo ikut merasa kesal.

Pak Paijo dan almarhumah ibu Tini adalah teman bermain sejak remaja. Sampai ibu Tini meninggal di usia muda dan meninggalkan tiga orang anak yang masih kecil-kecil, Pak Paijo masih mengamati keluarga itu.

Pak Paijo geram. Coki selalu berlagak paling tampan dengan memboncengi semua gadis desa, dengan mengaku sebagai dokter hewan. Sering tak sopan dengan orang tua, tapi entah kenapa pria itu dipuji oleh gadis muda.

Seperti janjinya pada Tini, Pak Paijo membawa Tini ke salah satu rumah yang katanya adalah teman Coki.

"Tin! Aku nggak bisa memastikan Coki ada di sana, ya." Namanya juga usaha, pikirnya. Usaha menunjukkan pada Tini bagaimana perilaku Coki sebenarnya. Pak Paijo membawa motor sedikit kencang.

"Iya, nggak apa-apa. Namanya juga mau nyari tau. Belum pasti," ucap Tini dengan suara mengambang.

Jantung Tini berdebar kencang. Harapannya terhadap Coki sudah berceceran sepanjang jalan. Dan ketika tiba di rumah dengan teras remang-remang, dengan motor Coki di depannya, harapan Tini sudah habis.

"Tunggu di sini aja, Pak. Aku masuk sendiri aja," kata Tini.

"Aku tunggu di atas motor aja. Jangan lama-lama," pesan Pak Paijo.

Tini melangkah pelan-pelan ke teras berlampu kuning. Rumah terletak paling sudut dan kanan kirinya dirimbuni pepohonan. Ia menunduk melihat dua pasang sandal. Sepasang sandal Coki dan sepasang lagi sandal yang sepertinya tak asing lagi.

Tini mencoba menekan handle pintu dan mendorongnya. Ternyata tak terkunci. Rumah siapa ini, pikirnya. Tanpa melepaskan sandal, Tini melangkahkan kaki memasuki ruang tamu lusuh yang lampunya padam. Hanya ada cahaya kecil dari dapur.

Langkah kakinya mengendap-endap. Jantungnya serasa akan berhenti kapan saja saking gugupnya. Ia tak tahan. Sebenarnya ia tak kuat. Tapi, ini harus. Demi kepuasan hatinya.

"Kamu udah? Sini, kamu nungging. Aku sebentar lagi!" Suara Coki yang tak asing lagi terdengar dari kamar yang pintunya sedikit renggang.

Tini mendekati pintu dan mendorongnya. Pemandangan yang tak akan ia lupakan seumur hidupnya. Saat kekasihnya tengah menunggangi sahabatnya sendiri. Ia membuka pintu kamar lebar-lebar.

"Ya, ampun!!" jerit Siti Kusmini. "Tin!" Perempuan yang sedang telanjang bulat itu menjerit dan mendorong tubuh Coki.

"Ngapain kamu masuk ke sini?" tanya Coki.

"Kok, berenti? Aku mau liat. Apa bentuk anuku beda sama anu si tikus? Anu dia bentuknya melintang? Ayo terusin!" Tini semakin melebarkan pintu kamar.

To Be Continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!