...DILARANG KERAS MENGCOPPY ATAU MENYADUR CERITA INI....
...CERITA INI MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR DAN FIKSI SEMATA....
...JIKA ADA KESAMAAN NAMA, TEMPAT, DAN PERISTIWA YANG TERJADI ITU HANYA KEBETULAN SEMATA....
..._________...
...SELAMAT MEMBACA!...
...***...
Siang itu di Blue Bottle Coffe
“Memangnya sampai kapan kau akan seperti ini terus?”
William bergeming saat ditanyai oleh Lucas, sahabatnya.
“C’mon dude, that was long time ago! When you walk.”
“Entahlah,” menyugar rambutnya.
“Okey, kau butuh merefresh otakmu”
“Sialan! Otakku tidak sekotor otakmu.”
Keduanya lalu tertawa.
Lucas mengangkat tangan kanannya memanggil pelayan.
“Hello sweet heart, bisa tolong bawakan aku cintamu?” pinta Lucas sembari mengedipkan matanya menggoda Angela.
“Nope.” Jawab Angela singkat dengan wajah datar.
“Agkh, hatiku sakit mendengar penolakkanmu my Angel.” Lucas pura pura kesakitan sembari memegang dada kirinya.
William hanya menggeleng melihat tingkah sahabatnya itu.
“Ayolah Luc, bukan saatnya bermain-main, aku benar benar sedang sibuk.” Ujar Angela mulai kesal.
“Heh, apakah benar sesibuk itu?”
“Kau bisa lihat sendiri, atau karena matamu tertutup belahan dada kumpulan wanita wanita itu jadi kau tiba tiba menjadi rabun!” Angela berkata dengan sarkasme.
Kali ini William terkekeh mendengar ucapan Angela, sedangkan Lucas hanya menggaruk tengkuknya karena yang dikatakan oleh Angela sedikitnya memang benar.
“I’m so sorry, baby. Baiklah aku tidak akan menggodamu. Tolong bawakan aku dua Espresso dan Stroopwaffle.” Pintanya.
Angela mencatat permintaan Lucas. “Ada lagi?” tanyanya memastikan.
“Hatimu.”
Plak!
Angela memukul kepala Lucas menggunakan buku yang dipegangnya.
“Maaf atas ketidaksopananku Mr. Anderson, tapi sahabat anda sepertinya masih mengalami hangover karena terlalu banyak bercinta dengan para wanitanya. Maka dari itu aku harus memukul kepalanya memastikan agar dia segera sadar.”
William terkekeh mendengar perkataan Angela.
“It’s okey, Angela. Aku justru bersyukur jika kau bisa melakukan lebih dari pada ini.”
Lucas mengusap kepalanya. “Sialan kau, Anderson!” umpatnya.
“Baiklah, aku permisi. Pesanan anda akan segera aku siapkan.” Kemudian berlalu dari tempat keduanya berada.
“Dia tidak mempan oleh pesonamu, Luc.”
Mengendikkan kedua bahunya. “Entahlah, dia gadis yang unik. Aku senang saat menggodanya dan membuatnya kesal adalah hiburan tersendiri bagiku.”
“Kau jatuh cinta kepadanya?”
“Nope! Angela bukan tipeku, lagi pula aku juga tidak berminat dengannya, hanya sebatas senang menggodanya saja.” Ujar Lucas.
“Itu karena kau ditolak berkali-kali olehnya. Hati hati, jangan sampai kau menjilat ludahmu sendiri.” William terkekeh.
Tak lama seorang gadis dengan rambut panjang, brown sugar menghampiri tempat keduanya berada, dibarengi dengan dua wanita berpakain sexy sehingga tak sengaja menyenggol nampan berisi Espresso dan Stroopwaffle yang dibawa oleh gadis itu terjatuh.
Prang!
Bunyi gelas pecah dan Espresso mengenai pakaian salah satu wanita yang menyenggol nampannya.
“Gosh! Apa yang sudah kau lakukan? Dasar pelayan sialan. Kau tahu jika pakaianku sangat mahal, bahkan gajimu tidak akan cukup untuk membelinya.”
Seketika keributan itu menjadi perhatian oleh seluruh pengunjung Blue Bottle Coffe.
“Aku minta maaf, Nona. Aku benar benar tidak sengaja, akan segera aku bersihkan.” Ujar Kyra membungkukkan tubuhnya.
“Egh, dasar pelayan bodoh!” makinya, kemudian saat tangannya hendak melayangkan tamparan di pipi Kyra, seseorang menahannya.
“Wow, wow! Pelan pelan ladies. Bisakah kalian jelaskan apa yang terjadi di sini?” Lucas melepaskan tangan wanita bergaun merah tersebut.
“Pelayan bodoh ini menumpahkan kopi di pakainku,” wanita tersebut menjawab dengan suara manja dan tangannya bergelayut kepada Lucas.
Lucas mengangkat sebelah alisnya, “benarkah begitu?”
Dia kemudian mengambil ponsel di sakunya, dan menelpon seseorang.
“Tolong kirimkan video dari CCTV ke email pribadiku sekarang,” perintahnya.
Drrt ... drrrt ....
Ponsel Lucas bergetar. Kemudian dia mengutak-atik ponsel, dan mengamati dengan seksama video yang baru saja diterimanya. Sesuai dugaan Lucas, jika wanita bergaun merah dan temannya itu yang bersalah karena telah menyenggol nampan yang dipegang Kyra.
“Sepertinya ini murni kesalahan anda dan teman anda, Nona. Pelayan ini tidak salah.”
Wanita itu langsung kesal karena Lucas sudah membela Kyra.
“Mana bisa begitu, jelas jelas pelayan bodoh ini yang salah.” Ujar wanita bergaun merah itu sembari menunjuk ke arah Kyra. “Aku harus bertemu dengan bos di sini, agar pelayan ini dipecat!” dengan nada angkuh.
Lucas terkekeh mendengarnya, “Anda bisa melihat video CCTV ini.” Menyodorkan ponselnya kepada wanita itu.
Kedua wanita itu tampak pias setelah melihat video yang disodorkan oleh Lucas.
“Saya harap kalian tidak pernah kembali lagi ke sini, dan meminta maaf kepada nona pelayan ini.” Lucas dengan suara tegas.
“Itu tid_”
“Atau kalian lebih suka aku kirim ke balik jeruji karena membuat kekacauan dan membuat pengunjung lain merasa tidak nyaman?” Lucas menyela ucapan wanita bergaun merah itu.
Keduanya tidak bisa berkutik dan meminta maaf kemudian pergi.
“Hei, whats wrong Kyra?”
“Luc, aku benar benar minta maaf.” Kyra dengan nada menyesal.
“Oh, ayolah Kyra. Aku memang bos di sini, tapi bukan berarti membela orang salah. Apakah kau baik baik saja?”
“Hehm, aku baik baik saja.” Kyra menganggukkan kepalanya. ”Aku akan kembali untuk membawakan pesananmu.”
Lucas menganggukkan kepalanya.
Setelah itu kyra berlalu untuk menyiapkan pesanan Lucas dan William.
Sesampainya Kyra di meja Barista, Xavier langsung menanyakan keadaannya. “Kau baik baik saja?” dirinya begitu khawatir dengan Kyra.
“Ya, aku tidak apa apa.” Tersenyum kepada Xavier.” Tolong buatkan aku lagi pesanan untuk Mr. Lucas dan temannya.” Pinta Kyra.
“Baiklah, Tuan Putri.”
Kyra tersenyum. Tak lama kemudian dua cangkir Espresso dan Stroopwaffle telah siap, dirinya melangkah pergi mengantarkan pesanan itu.
“Di mana Angela?” Tanya Lucas sesaat setelah Kyra menaruh pesanannya di atas meja.
“Dia sedang ke toilet.” Jawab Kyra.
“Apakah dia baik baik saja? Aku lihat wajahnya sedikit pucat.” Tanya Lucas dengan nada khawatir.
Kyra tersenyum ke arahnya, “Kau tenang saja, Luc. Hanya siklus bulanan yang biasa kami— para wanita— alami, jadi tidak perlu khawatir.” Ujar Kyra menjelaskan.
“Tentu saja aku khawatir, pantas saja tadi dia terlihat sangat ingin memakanku.” Pura pura bergidik ngeri.
William yang sedari tadi memperhatikan hanya menggelengkan kepalanya.
“Baiklah, aku permisi. Selamat menikmati hidangan kalian, Luc dan Mr. Anderson.” ujar Kyra Kyra mengangguk sopan dan berlalu pergi.
Malam hari cuaca kota New York tiba tiba mendung dan turun hujan. Kyra yang mendapatkan waktu untuk beristirahat melangkahkan kakinya ke rooftop Blue bottle Coffe.
Hujan masih turun dengan derasnya. Kyra mengembuskan napasnya menatap langit, kemudian menangkupkan tangan serta memejamkan kedua matanya untuk berdoa. Tanpa Kyra sadari, hal yang dia lakukan tidak luput dari sepasang mata yang sedari tadi mengamati kedatangannya ke rooftop ini.
Kyra membuka kembali kedua matanya, menjulurkan tangannya ke arah air hujan yang jatuh mengenai atap sambil menyunggingkan senyum di bibirnya.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Tubuh Kyra sedikit berjengkit karena terkejut, dia menoleh ke arah suara itu berasal. Tak jauh dari tempatnya berdiri William bersidekap menatapnya.
“Mr. Anderson? Ma—maaf aku tidak menyadari, jika anda di sini.”
“Bisakah jangan terlalu formal kepadaku?”
“Pardon?”
“William, cukup panggil aku dengan nama depanku.”
“Baiklah, William.”
“Kau tadi sedang melakukan apa?” Tanya William masih penasaran.
“Berdoa.”
William merasa telinganya sedikit bermasalah.
Berdoa katanya?
Kyra melihat ekspresi wajah William hanya tersenyum, kemudian menjulurkan tangannya lagi ke arah tetesan air hujan.
“Saat hujan adalah kesempatan emas untuk berdoa, bukan berkhayal atau larut dalam kenangan masa lalu, terlebih jika kenangan itu adalah hal yang menyakitkan.” Matanya menatap lurus ke depan.
William sedikit tertegun dengan apa yang diucapkan Kyra.
Ponsel Kyra bergetar, dia mengeluarkan ponsel itu dari dalam sakunya. Setelah mematikan alarm, dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaketnya.
“Waktu istirahatku sudah selesai, Aku permisi, sampai bertemu lagi.” Kyra kemudian berlalu meninggalkan William yang masih terdiam menatap langit malam tanpa bintang.
...****...
...DILARANG KERAS MENGCOPPY ATAU MENYADUR CERITA INI....
...CERITA INI MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR DAN FIKSI SEMATA....
...JIKA ADA KESAMAAN NAMA, TEMPAT, DAN PERISTIWA YANG TERJADI ITU HANYA KEBETULAN SEMATA....
..._________...
...Selamat membaca!...
...***...
William pulang ke Penthouse miliknya yang ada di 432 Park Evenue setelah seharian berkutat dengan setumpuk laporan, dan rapat dengan beberapa klien penting yang akan bekerja sama dengan perusahaan miliknya. Setelah sang Kakek menyerahkan Anderson Corp. kepadanya, William menghabiskan waktunya untuk bekerja terus menerus seolah dirinya adalah robot. Tidak heran jika Anderson Corp. Di bawah kepemimpinan William sebagai seorang CEO semakin melebarkan sayapnya.
Tubuhnya benar-benar lelah. Setelah membuka pakaian, dia membersihkan diri ke kamar mandi. Tak lama setelah berendam air hangat dalam bathtup dengan handuk yang masih terlilit di pinggang, William berjalan untuk mengambil pakaian di walk in closet. Setelah mengenakan celana training warna hitam, dan mengeringkan rambut miliknya, William merebahkan tubuhnya di atas king size bed yang nyaman. Matanya memandang langit-langit kamar dengan gaya kontemporer modern didominasi warna crem menambah kesan mewah, sebelum perlahan kantuk mulai datang dan terbuai ke dalam mimpi.
...***...
Drrt ... drrt ….
Tangannya meraba ponsel yang bergetar di atas meja di samping tempat tidurnya. Tertera nama asisten pribadi kakeknya di layar ponsel itu.
“Ada apa Paman Fred?”
“......”
“Baiklah, aku akan ke sana.”
William menaruh ponselnya kembali di atas meja. Memijat sedikit pelipisnya. Melihat jam di dinding menunjukkan pukul 10 malam. Setelah kesadarannya sepenuhnya kembali dia segera berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti pakaian, setelah itu menuju basement.
William mengendarai Mercedes-Benz E-Class membelah jalan di kota new York. Saat di lampu merah tampak di sisi jalan William melihat seorang gadis tengah diganggu oleh beberapa pria brandal. Melihat keadaan yang begitu sepi, William menepikan mobil miliknya.
Tin!
Suara klakson memekakkan telinga dan mengejutkan gerombolan pria itu, mereka segera berlalu pergi meninggalkan seorang gadis yang juga tak kalah terkejut.
“Apa kau hanya akan berdiri di situ saja?” ucapnya kepada gadis itu, “masuklah” mempersilakan untuk menaiki mobilnya.
“Terima kasih Mr. Anderson.”
William melajukan kendaraanya.
“Sedang apa kau malam malam begini, Kyra?” Tanya William tanpa berpaling dari kemudi karena matanya fokus memperhatikan jalan di depannya.
Kyra menghela napasnya. “Maaf merepotkanmu, aku baru saja akan pergi menuju rumah sakit.”
William mengernyitkan dahinya mendengar jawaban Kyra.
“Kau sakit?”
“Bukan aku, tapi ibuku.”
“Oh,”
Setelah itu hening sampai beberapa saat kemudian juan bertanya kepada Kyra, dia akan ke rumah sakit mana.
“Sekali lagi, aku ucapkan terima kasih William. Sampai jumpa.” Ujar Kyra setelah menutup pintu mobil, dan segera berlari memasuki gedung rumah sakit itu, sedangkan William segera melajukan mobilnya menuju mansion sang kakek.
Para maid menyambut kedatangannya, sedangkan asisten kakeknya memerintahkan beberapa maid untuk mempersiapkan kamar untuk William karena dirinya akan menginap di mansion tersebut.
“Paman Fred, di mana kakek? Apakah keadaanya baik baik saja?” Tanya William kepada asisten pribadi kakeknya.
“Kesehatan Tuan besar akhir akhir sedikit menurun, tetapi sekarang Tuan besar sudah beristirahat setelah meminum obatnya.”
“Baguslah, beritahu aku jika ada sesuatu yang salah atau ketika kakek sakit. Dan, untuk apa kakek ingin bertemu denganku secepatnya? Apakah ada hal yang sangat penting yang akan dibicarakan Kakek kepadaku?”
“Ya, tuan Muda.”
“Apa itu?”
“Saya tidak mengetahuinya, karena tuan besar sendiri tidak membicarakan hal tersebut kepada saya.”
Tumben. Pikir William.
“Baiklah, setelah makan malam aku akan tidur. Besok pagi aku akan menghadap
Kakek. Terima kasih Paman Fred.”
William menuju ruang makan.
...***...
“Kyra tidak masuk hari ini karena menjaga ibunya yang sedang sakit. Dari yang aku dengar, ibunya dirawat di rumah sakit milikmu.”
Saat ini keduanya tengah berada di Blue Bottle Coffe milik Lucas karena William mengajaknya bertemu siang itu.
“Ya, tadi malam aku mengantarnya.”
“Wow, sobat! Kau sangat cepat sekali, heh.” Ujar Lucas dengan nada mengejek.
“Itu tidak seperti yang kau pikirkan, Luc. Aku tidak sengaja melihatnya di jalan saat menuju mansion milik Kakekku, dan dia tengah diganggu oleh beberapa pemuda berandalan.”
“Baiklah, unsur kesengajaan pun tidak masalah bagiku karena dia wanita yang baik.” Mengendikkan kedua bahunya. “Ada apa, sepertinya kau terlihat sangat frustrasi? Apakah Kakek Ben baik baik saja?”
William menghela napasnya panjang. “Kemarin Paman Fred menghubungiku agar aku datang ke mansion. Sesampainya di sana ternyata keadaan Kakek kurang begitu baik, tapi pagi harinya dan sampai hari ini sudah jauh lebih baik.”
“Syukurlah, lalu apa yang membuatmu seperti seorang yang frustrasi?”
“Kakek memintaku untuk segera menikah karena dia menginginkan anak dariku.”
Lucas tersedak kopi yang sedang diminumnya. Membelalakkan matanya ke arah William.
“Kau serius?”
William mengangukkan kepalanya.
“Kau dijodohkan dengan siapa?”
William menggelengkan kepalanya.
“Maksudmu?”
“Aku tidak dijodohkan dengan siapapun, tapi Kakek memintaku untuk menikah dalam waktu yang dekat.”
Lucas tertawa mendengar ucapan William yang terdengar sangat tersiksa dan putus asa.
“Lalu, apa rencanamu?”
Melihat kearah jalanan. “Entahlah,” ujar William dengan suara lirih.
“Apa kau benar benar tidak bisa melupakannya?” Tanya Lucas, “Maaf— tidak seharusnya aku bertanya hal itu.” Ujar Lucas menyadari kesalahannya.
Kemudian hening. Tak ada lagi pembicaraan di antara keduanya.
...***...
William memijit pelipisnya, seharian ini pikirannya benar-benar kacau setelah permintaan dari sang kakek saat dia mengunjunginya.
“Bagaimana kabar kakek hari ini?” William memegang lembut tangan kakeknya yang tengah berbaring di atas tempat tidur.
“Seperti yang kau lihat, tidak perlu ada yang kau takutkan. Aku bahkan masih mampu bertahan hingga cicitku lahir.” Ujar tuan Dominic Anderson—kakeknya.
William hanya diam saat mendengar ucapan kakeknya. Bukannya tidak tahu hal tersebut adalah sindiran untuk, tapi dia hanya berpura-pura.
“Paman Fred berkata kepadaku, jika ada hal penting yang ingi kakek bicarakan?” Tanya William mengabaikan sindiran kakeknya.
“Kau ini kenapa tidak basa basi sedikitpun,” protes Tuan Dominic kepada William. “Aku ingin seorang anak?”
“Maksud kakek? Apakah kakek ingin menikah lagi?”
“Astaga, kau ini. Aku sudah mau tanah dan Tuhan bisa kapan pun memanggilku, kau berkata aku ingin menikah? Kau bercanda, Nak.”
Tuan Dominic terkekeh mendengar ucapan cucunya itu.
“Aku ingin anak darimu, cicitku. Jadi kapan kau akan memberikannya untukku? Apa kau ingin membuatku mati dengan rasa penuh penyesalan karena tidak bisa menggendong dan bermain dengan cicitku.” pintanya.
“Tapi aku belum ingin menikah, lagi pula aku juga tidak memiliki kekasih.” sangkal William mencari alasan.
“Bagaimana bisa kau memilki kekasih, jika waktumu saja kau gunakan dengan terus bekerja,” ujar tuan Dominic dengan nada ketus.
“Apakah aku memang harus menikah?”
“Memangnya kau ingin kakekmu mati dengan rasa penyesalan? Dasar cucu durhaka.” Gerutu tuan Dominic, “aku tidak mau tahu, secepatnya kau harus menikah. Kalau tidak aku sendiri yang akan menjodohkanmu dengan cucu dari para kolegaku.” Ujarnya tegas.
William hanya bisa terdiam.
“Bagaimana aku akan memenuhi keinginanmu?” ujar William dengan suara lirih.
Jarinya menekan intercom. “Lilya, apakah hari ada rapat penting?” Tanya William kepada sekretarisnya.
“Tidak ada Mr. Anderson, jadwal rapat dengan Inklife diundur hingga Rabu depan.”
“Baiklah, hari ini aku akan pulang lebih awal. Jika ada sesuatu yang mendesak kau bisa hubungi Lucas.”
“Baik Mr. Anderson”
William bangkit dari kursinya yang nyaman. Melangkah masuk ke dalam lift. Sepanjang dia berjalan tak hentinya para pegawai wanita memandang penuh dengan kekaguman, sosok William seakan memiliki magnet bagi mereka. Dengan wajah tampan, rahang kokoh dan kekayaan yang dimiliki olehnya membuat wanita manapun mendambakan sosok Wiliam sebagai pasangan. Berbeda dengan William, dirinya bahkan enggan menjalin sebuah hubungan terlebih jika itu adalah sebuah pernikahan.
Bukan tanpa sebab dia enggan memiliki hubungan dengan wanita manapun, semua itu karena kenyataan pahit di masa lalu yang membuatnya seperti itu. Meskipun hampir tujuh tahun berlalu, tetap saja hal itu sulit dilupakan. Tapi kemarin kakeknya sendiri yang meminta William untuk menikah, terlebih dalam kurun waktu yang singkat harus membawa calon istri kehadapan sang kakek, dia benar benar frustasi.
...****...
...DILARANG KERAS MENGCOPPY ATAU MENYADUR CERITA INI....
...CERITA INI MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR DAN FIKSI SEMATA....
...JIKA ADA KESAMAAN NAMA, TEMPAT, DAN PERISTIWA YANG TERJADI ITU HANYA KEBETULAN SEMATA....
..._________...
...Selamat membaca!...
...***...
Kyra mendorong troli berisi belanjaan sambil membaca daftar belanjanya, hal apa saja yang dia butuhkan. Dia memastikan agar tidak ada lagi yang tidak tertinggal, tetapi sayangnya Kyra terlalu fokus hingga tak menyadari jika ada seseorang di depannya.
“Agh!”
“Ya Tuhan! Apa kau tidak apa-apa, Tuan? Maaf, aku benar benar tidak sengaja.”
Kyra mencoba membantu orang itu untuk bangun. Dan setelahnya memunguti setiap barang yang jatuh.
Ya ampun Kyra, apa apaan kau ini. Bagaimana bisa kau terlalu fokus? Sampai tidak melihat orang lain di sekitarmu. Batinnya.
“Ini Tuan,” menyodorkan sekaleng minuman dingin kepada pria itu.
“Terima kasih, Nona.” Pria itu tersenyum tulus.
“Aku minta maaf sekali lagi, aku benar benar tidak sengaja.” Ujar Kyra dengan wajah menyesal.
Pria itu tertawa kecil. “Aku tidak apa apa, Nona. Lagi pula aku juga bersalah karena terlalu bingung hingga tidak melihat, jika ada troli yang mendekat ke arahku.”
“Baiklah, Tuan_”
“Bryan atau Ian.” Selanya sembari mengulurkan tangan ke arah Kyra.
“Ah, ya, Ian. Aku— Kyra, kalau begitu aku permisi dulu.”
Bryan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Emh, maaf Kyra. Mungkin ini terdengar kurang sopan, tapi bisakah kau membantuku.” Ujar Bryan salah tingkah. “Ka—kau jangan salah sangka, aku hanya sedang bingung.”
Kyra tersenyum ke arahnya. “Apa yang bisa kubantu?”
“Begini, sepupuku sedang— emh, kau tahu— dia bilang tentang siklus wanita. Aduh, apa ya namanya? Dia memintaku membelikan sesuatu untuknya.” Bryan tampak semakin gugup.
“Aku tahu. Kau bisa ikut denganku, Ian.” Ujar Kyra mendorong troli belanjanya ke tempat yang dibutuhkan pria tersebut.
Bryan mengikuti kemana Kyra pergi.
“Ini, yang bersayap atau tidak?” ujarnya menunjukkan benda itu kepada Bryan.
“Hah! Bersayap? Apakah ada yang seperti itu? Bukankah nanti dia bisa terbang.” jawab Bryan polos.
Kyra tertawa mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Bryan.
“Maaf, maaf, seharusnya aku tidak bertanya seperti itu. Baiklah karena kau tidak tahu, aku akan memilih keduanya dan juga satu botol minuman pereda rasa nyeri untuk sepupumu.”
Bryan hanya mengangguk patuh karena dia memang tidak tahu hal itu, sepupunya itu benar-benar mengerjainya. Setelah selesai keduanya membayar di kasir.
“Terima kasih atas bantuanmu, jika kau tidak ada mungkin aku akan seperti orang boboh yang kebingungan sampai malam hari di tempat ini.”
“Sama sama, aku senang bisa membantumu. Baiklah, jika tidak ada hal lainnya aku permisi.”
Baru saat Bryan hendak menahan kepergian Kyra, ponsel di saku celananya berbunyi. Terpampang nama sepupunya di layar itu.
“Aku sudah membeli apa yang kau suruh.”
“........”
“Baiklah, baiklah, kau cerewet sekali. Apa ada lagi?”
“........”
“Baik, aku akan membelikan semuanya. Kau tunggu saja dan bersabarlah, sampaikan sayangku pada Leo. Sudah dulu, aku akan menyetir.”
Bryan mematikan sambungan teleponnya. Dia memasukkan semua belanjaan yang dibelinya ke dalam mobil di kursi penumpang di sampingnya.
Saat Bryan duduk di belakang kemudi dia mengingat gadis yang membantunya tadi. Tanpa sengaja dia juga ikut tersenyum ketika mengingat bagaimana pertemuan tidak sengaja itu.
“Manis. Semoga kita bertemu lagi.” harapnya.
Tangannya memutar kunci, menghidupkan mobil, dan melakukan kendaraan tersebut menuju toko kue pesanan sepupunya.
Kyra sudah sampai di apartemen miliknya. Baru saja Kyra menaruh barang belanjaannya di atas meja dapur, dia mendapati sebuah panggilan di ponselnya.
“Ya, halo.”
“…….”
“Baiklah, aku akan segera ke sana.”
Setelah menutup panggilan tersebut Krya sesegera mungkin datang ke rumah sakit menggunakan taksi.
...****...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!