NovelToon NovelToon

When We Meet Again

Prolog

Seoul, Desember 2019

Aku selalu menyukai Seoul pada pertengahan musim dingin. Aku suka bagaimana udara dingin tersebut mengalirkan ketenangan disetiap pikiranku. Aku juga selalu menikmati hari-hari sibuknya. Rumah sakit akan bekerja dua kali lipat dari hari biasanya. Hal ini dikarenakan jalanan licin yang banyak menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Sebagai seorang yang bekerja di dunia medis, aku memiliki tanggung jawab besar atas nyawa mereka.

Profesi yang ku emban menuntutku menjadi seorang wanita yang sibuk. Dulu, aku selalu marah kepada Mama tiap kali aku minta untuk ditemani namun ia lebih memilih berkutat dengan pasien dan alat-alat operasi. Kini aku berada diposisinya. Aku merasakan bagaimana berharganya waktu, hingga untuk menikmati waktu luang seperti jalan-jalan tidak lagi masuk dalam list harianku.

Padahal enam tahun yang lalu, saat aku baru pertama kali menginjakkan kaki di Korea, aku sudah mendata beberapa tempat yang akan ku kunjungi. Namun, kesibukanku diawal kedatangan sebagai seorang mahasiswi yang mengambil spesialis bedah, membuatku terpaksa harus membatalkan rencana tersebut. Setelah menyelesaikan studiku, mungkin orang-orang akan berpikir aku akan kembali menyusun rencana awal yang ku buat. Nyatanya, aku semakin sibuk. Menjadi seorang dokter yang berpengaruh penting pada keberlangsungan hidup pasien, membuatku benar-benar melupakan rencana tersebut.

Diluar udara sangat dingin, hampir mencapai 2 derajat celcius diatas titik beku. Aku meningkatkan temperatur penghangat ruangan. Asap mengepul yang berasal dari cokelat panas diatas meja membuatku tertarik untuk segera menikmatinya. Aku memilih beristirahat di ruanganku setelah menyelesaikan operasi transplantasi jantung yang memakan waktu 8 jam. Rasanya kakiku mau patah saja berdiri dalam waktu selama itu.

Drrrrrrtttttt… Drrrrttttt…

Ponsel yang sejak tadi kudiamkan tiba-tiba saja bergetar, seolah memanggil-manggilku untuk segera mengalihkan perhatian padanya.

"Minggu depan kamu sudah di Indonesia, kan?"

Aku tersenyum mendengar suara seseorang yang beberapa tahun terakhir ini menemaniku menjalani hari-hari sibuk. Meskipun harus menyecap asam pahitnya long distance relationship, namun 2 tahun sudah mampu kami lalui situasi tersebut.

"Iya, sayang."

Ku dengar ia menghembuskan napas lega diseberang sana. "Syukur deh. Kirain aku bakal nyiapin semuanya sendirian disini."

Aku tertawa membayangkan ekspresi wajahnya saat ini. "Aku bakal pindah tugas, dan menetap di Indonesia."

Kali ini ia yang kegirangan. Tertawa sambil tak henti-hentinya mengucap terima kasih kepadaku.

Dia adalah laki-laki yang kucintai. 2 tahun lebih kami menjalin hubungan asmara, baru 2 bulan yang lalu aku menerima ajakannya menuju hubungan yang lebih serius, setelah lima kali ia mengajukan lamaran. Aku yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, tidak pernah ambil pusing dengan masalah asmara yang serius. Diusiaku yang sudah menginjak kepala tiga, aku baru menyadari bahwa ternyata, aku juga perlu pendamping yang permanen. Aku perlu keluarga kecil yang kubangun bersama laki-laki yang kucintai.

Aku yang tumbuh dari beberapa kegagalan dan luka masa lalu, hari ini telah berdiri tegak. Bermasa bodoh dengan permainan semesta. Menjalani setiap detik berharga yang kumiliki dengan penuh rasa syukur. Aku tidak perlu melawan setiap takdir yang diporsikan untukku. Hanya perlu bergerak mengikuti arus. Meski resiko tenggelam akan sangat mungkin terjadi, namun aku percaya, orang-orang yang hari ini berdiri disampingku tidak akan pernah menyembunyikan pelampungnya untuk menolongku.

"Jogiyo (permisi), Dokter Cho shi jin ingin agar anda ke ruangannya."

Aku menutup telepon setelah mendapat panggilan dari Suster yang mengatakan agar aku segera menuju ke ruangan pimpinan ahli bedah.

Aku keluar dari ruanganku dan langsung disambut oleh suara sirene ambulans disusul oleh beberapa orang yang terlihat panik. Aku langsung berlari kearah sumber kegaduhan. Kulihat pasien dengan perut tertancap kaca dan beberapa area yang bersimbah darah.

"Bawa dia ke ruang gawat darurat!" Ucapku kepada tim medis dan relawan yang membawanya. "Suster Hye hubungi dokter Lee sekarang! Perawat Nam tolong ambilkan monitor dan pasangkan kateter padanya!" Aku memberi instruksi kepada beberapa tim medis dan bersiap untuk menangani pasien.

Aku hendak mengambil sarung tangan, namun pergerakanku terhenti saat netraku jatuh pada seseorang. Detik itu juga duniaku mendadak melambat ketika aku melihatnya yang membuat jantungku lantas berhenti berdetak.

Ada yang bilang, saat kita benar-benar merindukan seseorang, maka segala objek yang ada terasa seperti yang dirindukan. Aku memang selalu memikirkannya lagi belakangan ini. Beberapa kali juga, ia masuk kedalam mimpiku.

Aku mengedipkan mata, punggungku sedikit memanas. Aku bisa merasakan cengkeraman tanganku yang mengepal hingga buku-buku jariku memutih saat sosok itu menatapku. Aku bisa melihat jelas bentuk tubuhnya, warna rambutnya, dan yang pasti tatapannya. Tatapan lembut yang tidak pernah berubah sedikitpun saat melihatku. Setelah waktu panjang yang membuatku tidak lagi bisa merasakan ditatap seperti itu, hari ini tatapan itu kembali padaku. Sorot lembut itu kembali mengoyak memori yang sudah mati-matian ku singkirkan.

Aku membuang napas panjang, mendadak tubuhku jadi lemas.

Boyben Korea

Jakarta, Juli 2003

Namaku Freya, nama lengkapku adalah Freya Aurora. Kalau kalian coba cari di Google akan muncul berbagai situs web yang menjelaskan apa arti nama Freya. Kalau menurut Wikipedia, nama Freya berasal dari mitologi kuno Nordik, yang berarti dewi yang terikat dengan cinta, keindahan dan kesuburan. Nama Freya pertama kali diberikan kepada adik Freyr, putri dari Njord yang sering disebut sebagai Dewi Kesuburan. Ia memiliki wajah yang jelita dan bahkan pernah dinobatkan sebagai dewi tercantik diseluruh Valhalla. Semua makhluk hidup yang ada di dunia mengagguminya dan banyak yang ingin mendapatkan cintanya.

Sedangkan nama belakangku, yakni Aurora berarti fenomena alam yang menyerupai pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer dari sebuah Planet sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetik yang dimiliki Planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari (angin surya).

Arti namaku memang sebagus itu. Akan tetapi kalau versi Mama jika aku bertanya apa arti namaku ia hanya akan mengatakan, "Ya, cuma nama, karena terdengar bagus Mama berikan untukmu." Jawaban yang agak sedih. Karena sebenarnya aku berharap ada hal spesial yang menjadi sejarah dari namaku itu.

Gadis yang kelewat ekstrovert, itulah julukan yang sering dilontarkan orang-orang terdekatku. Mereka menyebutku demikian bukan tanpa alasan, melainkan karena sifatku yang easy going dan kelewat periang. Aku adalah tipe orang yang tidak mempermasalahkan lingkungan dan orang baru. Aku nyaman berada dimanapun dan memulai percakapan dengan siapapun.

Seperti halnya saat ini. Aku tengah berada diantara beberapa kakak kelas yang ku kenal saat kegiatan MOS seminggu yang lalu. Tidak ada junior yang berani duduk ditengah-tengah mereka selain diriku.

"Fre, lo anak Ipa atau Ips?" Dia adalah Adnan, kakak kelas yang turut serta menjadi panitia MOS. Dia dikenal sebagai si mulut cabe saat kegiatan MOS berlangsung seminggu yang lalu. Bahkan aku pernah menjadi korban. Dia mencaci makiku hanya karena aku salah memakai tali warna sepatu.

"Ips, kak." Aku menjawab sambil memasukkan sepotong kentang goreng ke mulutku.

Aku memang sengaja mengambil jurusan tersebut karena aku menyukai sastra. Impianku adalah menjadi seorang sastrawan dan penulis terkenal. Meski mama tidak menyukainya, tapi ini adalah hidupku. Aku yang paling tau potensi apa yang kumiliki.

"Katanya lo pinter, kok masuk ips?" Kak Adnan kembali buka suara.

"Ya emang apa salahnya kalo orang pinter masuk ips?" kali ini bukan aku yang menjawab, melainkan kak Dian.

Kak Dian adalah salah satu gadis most wanted di Sekolah kami. Selain parasnya yang diciptakan hampir kelewat sempurna dan tubuh tinggi semampai yang dimilikinya, kualitas otaknya juga mumpuni. Ia menjadi peringkat 1 umum diangkatannya dalam 2 tahun terakhir. Ia juga aktif mengikuti Olimpiade SAINS, dan kerap kali menyabet juara setiap mengikuti lomba tersebut. Selain itu, jabatannya sebagai wakil ketua OSIS, dan aktif dalam beberapa organisasi ekstra maupun intra, juga menjadi akses untuknya dikenal di seantero Sekolah.

Kak Adnan menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. "Ya nggak papa. Cuma heran aja, jurusan ips kan biasanya cuma buat anak-anak badung. Atau jangan-jangan lo badung ya?"

Kak Dian menggeplak kepala Kak Adnan dengan tak manusiawi, "Itu mulut nggak ada akhlak banget kalo bicara".

Priiiiitttt

Suara peluit memotong perbincangan kami. Saat ini aku sedang berada di pojok Lapangan. Menyaksikan perlombaan basket antar Sekolahku dan Sekolah lain. Lapangan sudah ramai, hampir sebagian besarnya dipadati oleh gadis-gadis pemandu sorak atau yang hanya sekedar berteriak-teriak menyemangati pemain idolanya. Anak basket memang kece kece. Mayoritas dari mereka memang tinggi tinggi dengan tipe ganteng yang bermacam-macam. Ada yang berkulit putih seperti boyben Korea, ada juga yang berkulit coklat dengan senyum manis seperti Mas Mas Jawa.

Tapi dari sekian banyak orang yang berkumpul, mataku hanya terfokus pada satu orang saja. Dia adalah laki-laki bernomor punggung delapan belas. Laki-laki yang masuk dalam list berkulit putih seperti boyben Korea.

"Diooooo, fighting!!""

"Dioku yang semangat!!"

"Diooo aku padamu!!"

Aku menatap jengkel sekumpulan cewek-cewek yang sejak tadi meneriakkan nama Dio. Sumpah demi selai ubur-ubur, mereka sangat menyebalkan. Suara teriakan mereka mengalahkan suara pemandu sorak yang sedang beraksi didepan sana.

"Kak Dio jiayou!!!"

Semua orang memusatkan perhatiannya kepadaku. Aku berteriak lebih keras dari gadis-gadis tadi, sambil mengepalkan tangan tanda memberi semangat.

"Buset, lo makan toa atau gimana sih? Kenceng banget suaranya." Kak Adnan protes karena kaget mendengarku yang tiba-tiba berteriak disampingnya. Aku hanya nyengir kuda merespon kata-katanya.

Laki-laki yang kuteriakkan namanya berbalik, lalu melambaikan tangan kepadaku. Kulirik gadis-gadis disebelahku berbisik-bisik dan memanyun-manyukan bibirnya karena kesal.

"Jiayou!!" Aku berteriak lagi.

Laki-laki itu mengacungkan kedua ibu jarinya keudara.

Dia adalah Dio Varen Dirgantara. Sebelum resmi menjadi siswa SMA Cendana, aku sudah lebih dulu mengenalnya. Kami bertemu di tempat bimbingan belajar, dan memiliki jadwal belajar di hari yang sama. Kami sering menjadi partner kelompok, dan karena saking seringnya, kami menjadi dekat. Dia sering menghubungiku, awalnya sekedar bertanya masalah tugas. Lalu, lama kelamaan jadi membahas topik lain yang tidak ada kaitannya dengan tugas.

Kalau kak Dian tadi adalah most wanted versi cewek, maka Kak Dio ini adalah versi cowoknya. Dia ketua OSIS. Aktif mengikuti kejuaraan olahraga tingkat nasional. Partner Olimpiade Sains kak Dian. Parasnya yang kata mereka seperti Oppa Oppa Korea membuatnya digilai oleh para siswi di sekolah kami. Dan ya, poin pentingnya dia juga pintar.

*****

Matahari menerik dengan sangat panas. Waktu menunjukkan pukul 12:15. Waktu sholat dzuhur. Aku melepas sepatu dan kaos kaki lalu meletakkannya disudut emperan Mushollah.

"Kamu Freya, kan?" Aku berbalik ketika kudengar seseorang menegurku.

Aku tersenyum, mengenali sosok disampingku. "Iya, kak."

"Masih ingat, kan?"

Aku masih memasang wajah ramah. "Ya masih dong, kak. Kakak panitia yang paling baik, karena nolongin saya dari mulut cabenya kak Adnan."

Dia adalah Kak Sherin. Panitia MOS yang paling baik diantara yang lain. Dia dikenal ramah, tidak galak, dan sering membantu anggota MOS ketika ada yang dibebani dengan tugas berat oleh panitia lain.

Kak Sherin tertawa. "Jadi kalo gak nolongin nggak baik gitu?"

"Ya nggak gitu kak." Aku mengelak, meskipun aku tahu dia bercanda. "Kakak emang baik. Terlepas dari nolongin saya atau enggak, kakak tetap baik. Poin plusnya, kakak cantik." Aku tertawa cengengesan.

Kak Sherin tampak berbinar-binar. Sepertinya ia tersanjung dengan pujian yang kuberikan untuknya.

"Kamu ada nomor hp kan dek?"

"Oh ada kak." Aku mengeluarkan handphone merek Nokia dari saku rokku. Karena tidak menghafal nomorku sendiri, aku melihat kontakku lalu mendikte kak Sherin yang sedang menyalin.

Kak sherin bangkit dari tempat duduknya setelah pamit kepadaku. Ku kira ia akan mengambil air wudhu kemudian menunaikan sholat dzuhur, ternyata dugaanku salah. Ia berjalan menuju kelasnya. Sepertinya ia hanya mampir ketika lewat dan melihatku. Sebenarnya aku sedikit heran. Mengapa ia menyempatkan diri menghampiriku, dan mengapa juga ia meminta nomor teleponku disaat yang menurutku kurang tepat. Tapi aku tidak ambil pusing. Karena adzan dzuhur sudah berhenti berkumandang, aku segera menuju tempat wudhu dan menunaikan kewajibanku sebagai umat muslim.

*****

Praaang....

Kakiku baru saja melangkah memasuki pintu ketika terdengar suara barang-barang dibanting. Tidak, bukan karena tidak disengaja. Aku sudah terbiasa dengan suara-suara itu beberapa bulan belakangan ini.

"Hari ini dia nelpon di hp kamu, dan aku yang angkat! Sekarang kamu gak bisa lagi ngelak!"

Itu suara Mama. Kali ini apa lagi? Rasanya aku sudah muak tiap kali mendengar teriakan mereka. Aku muak melihat barang-barang rusak setiap kali mereka habis bertengkar. Aku muak dengan suasana rumah yang berubah menjadi seperti neraka.

Aku kembali melanjutkan langkahku. Berpura-pura menulikan telinga dan tidak tahu-menahu dengan apa yang terjadi. Kakiku terus menaiki anak tangga satu persatu, meski langkahku kian melambat karena bahuku yang mulai bergetar dan air mata yang sudah tidak bisa lagi ku bendung membasahi pipiku.

Saat sampai dilantai dua, aku melihat Ares, kakakku, sedang berdiri di depan tangga dengan pandangan yang sulit diartikan. Aku tahu, aku bukan satu-satunya yang paling terpukul dengan masalah Mama dan Papa. Aku yakin, Ares pasti merasakan hal yang sama. Meski ia tak pernah berkomentar apapun, namun jauh dilubuk hatinya ada sakit meradang yang tak kasat mata.

"Res." Aku memanggilnya lirih. Ia melihat kearahku yang sudah berlinangan air mata. Tidak ada respon. Ia hanya berdiri mematung menatapku, lagi-lagi dengan tatapan yang sulit diartikan.

Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Aku memiliki seorang kakak laki-laki yang sangat berbanding jauh dariku. Aku tidak mengatakan kami berbeda dari segi fisik, melainkan sifat. Jika aku adalah tipe hiperaktif, maka dia adalah tipe makhluk kutub utara yang sangat dingin dan pendiam. Usianya terpaut 2 tahun dariku. Kami tidak seperti saudara kandung pada umumnya. Dia jarang berinteraksi dengan orang rumah, termasuk denganku. Ia terkesan tidak peduli, sekalipun aku kayang dihadapannya ia tak akan menggubris. Bahkan terkadang aku berpikir, apakah benar dia adalah saudara kandungku. Sebagai saudaranya, harusnya aku menjadi orang yang paling mengenalnya, tapi nyatanya aku sama sekali tidak pernah tahu apapun tentang dia, apa yang dia lakukan diluar sana, kemana dan dengan siapa ia pergi. Ia selalu menutup diri.

Percuma saja aku mengharapkan dia untuk menenangkanku layaknya seorang kakak terhadap adiknya, bahkan ia tak bergeser sedikitpun dari posisinya. Tingkat kekesalanku semakin memuncak. Kakiku berlari memasuki kamar dan sengaja membanting pintu dengan sangat keras. Aku tidak punya siapa-siapa untuk berbagi. Selalu saja seperti ini, tidak ada yang mau mendengarkan keluhanku. Tidak ada yang peduli denganku.

*****

Mataku mengerjap, gelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur dengan kondisi ruangan yang ku biarkan tanpa penerangan. Kepalaku sakit, dan mataku rasanya panas. Aku tertidur setelah menangis sejadi-jadinya.

Ku lihat jam dilayar ponsel jadulku, pukul 21:00. Aku bangkit dari tempat tidur berniat untuk menyalakan lampu dan mengganti seragam sekolah yang masih melekat di badanku, tapi tenggorokanku terasa kering. Akhirnya aku memutuskan untuk bergerak menuju dapur.

Hening, saat ku buka pintu kamar. Tidak lagi ada suara barang-barang berjatuhan. Tidak ada suara teriakan Mama dan Papa yang tadi mendominasi ruangan, seolah berlomba-lomba siapa yang paling lantang. Aku yakin, saat ini pasti mereka sudah tidak ada di rumah. Kebiasaan, pikirku. Mereka selalu seperti ini, pergi setiap usai bertengkar. Meninggalkan anak-anaknya di rumah, tanpa lagi peduli apakah kami sudah makan, apakah kami sudah mengerjakan PR, ah menyedihkan.

Aku turun ke bawah, bukan menuju dapur, melainkan kamar Mama dan Papa. Ku lihat barang-barang berserakan yang belum dibersihkan. Ada pecahan vas bunga kesayangan Mama, dan lukisan foto keluarga kami yang ku buat 3 tahun silam.

Aku masih ingat bagaimana hangatnya keluarga kami dulu. Papa adalah seorang CEO di sebuah perusahaan milik keluarga kami. Ia lebih banyak menghabiskan waktu siangnya di kantor. Tapi di malam hari, ia akan pulang untuk memberikan semua waktunya untuk kami. Mama adalah seorang dokter bedah yang bekerja di Rumah Sakit besar pusat kota. Sama seperti Papa, Mama juga teramat sibuk. Tapi ia selalu memaksimalkan diri untuk mengurus keluarga. Mama selalu berusaha mengawasi tumbuh kembang anak-anaknya, meski sesekali ia tidak bisa menemaniku bermain masak-masakan atau boneka. Namun aku dan Ares tetap tumbuh ditengah-tengah keluarga yang hangat.

Beberapa bulan belakangan Papa berubah. Ia mulai jarang pulang. Tugas kantor menjadi alasannya. Awalnya Mama percaya, tapi pada suatu ketika aku melihat Papa berjalan dengan wanita lain. Aku tidak menyaksikannya sendiri, melainkan bersama Mama. Sejak saat itu, Mama menjadi agresif. Menolak setiap argumen yang Papa keluarkan. Dan menghujani Papa dengan tuduhan-tuduhan yang bahkan sampai saat ini masih sulit ku percaya kebenarannya, meskipun aku sudah melihat semuanya.

Kadang terlintas pikiran buruk di benakku, apa jadinya aku kalau sampai nanti Mama dan Papa berpisah? Apakah aku akan menjadi anak yang kehilangan arah akibat keluarga yang tidak lagi harmonis? Jujur, aku sangat tertekan dengan kondisi keluargaku yang sekarang. Aku memang selalu nampak ceria dihadapan banyak orang, sifat riangku berhasil membantu menutupi suasana hatiku yang sedang mendung, tapi pada kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja. Aku selalu memikirkan, apakah semua ini akan berakhir dengan ending yang baik, atau justru berakhir dengan sangat menyedihkan.

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak setiap kali selesai membaca dengan cara like, vote atau comment. Gomawoyo💕

Pahlawan Hansaplast

"Eh Fre, hari ini ramalan asmara gue gimana?"

"Gue Fre, ramalan keuangan gue cek dulu."

"Bentar elah, gue duduk dulu."

Aku mendaratkan bokong di kursi kemudian mengambil majalah didalam tasku. Aku suka membaca majalah, tiap pagi aku selalu menyempatkan diri membeli majalah baru di toko buku seberang Sekolah. Dan karena didalam setiap edisi selalu ada ramalan zodiak harian, aku sering diminta teman-teman kelasku untuk membacakan ramalan kondisi yang akan mereka jalani dalam satu hari.

"Gina scorpio, ya. Scorpio hari ini, asmara: kamu terlalu memendam apa yang kamu rasakan. Beranilah untuk memulai. Atau kamu harus mengikhlaskan dia bersama yang lain."

"Wah akurat banget emang majalah langganan lo. Bener-bener bisa tau kondisi asmara gue." Gina menepuk-nepuk bahuku dengan dramatis.

"Minggir minggir minggir, gue mau diramal dulu." Junet menerobos kumpulan teman-teman kelas yang sedang mengelilingiku untuk menunggu giliran dibacakan ramalan zodiaknya.

Aku menoyor kepala Junet dengan tak manusiawi. "Lo kebiasaan, antri dulu. Datang paling lambat maunya diramal paling cepet."

"Ini urgent, Fre, urgent! Gue harus diramal duluan. Bacain masalah asmaranya bintang gue, Leo ya." Junet mengambil posisi duduk dihadapanku. Persis seperti seorang pasien yang sedang konsultasi ke dokternya.

"Antri cungkring! Kita kita lebih dulu dateng ini."

"Mundur gak lo!"

Keriuhan semakin bertambah saat para cewek-cewek melampiaskan kekesalannya pada Junet.

"Freya, dicariin Kak Dio."

Radarku langsung ON ketika mendengar nama Kak Dio disebut. "Nih, baca sendiri. Gue mau ngurusin masalah yang lebuh urgent." Tidak lagi ku pedulikan teman-temanku yang meminta dibacakan ramalan zodiak. Aku menyerahkan majalah yang tadi ku pegang kepada Junet, lalu bergegas keluar kelas untuk menemui Kak Dio.

"Hai, Kak." Aku menyapanya yang terlihat sibuk bermain ponsel.

"Eh hai. Lagi sibuk ya?" ia memasukkan ponsel miliknya kedalam saku begitu aku menyapanya.

"Enggak. Kenapa Kak?"

"Temenin ke kantin yuk."

"Kan bentar lagi bel." Aku melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku. 10 menit lagi bel pelajaran pertama akan dimulai.

"Masih 10 menit lagi. Aku cuma mau beli roti terus ke Kelas." katanya.

Aku mengangguk. "Yaudah, ayo."

Kami berjalan beriringan, membuat beberapa pasang mata memperhatikan kami. Tak sedikit juga yang terlihat berbisik-bisik.

"Nanti jadwal bimbel kosong, ya?" Kak Dio kembali buka suara.

Aku berdehem, "Iya."

"Kalo gitu pulang sekolah kita jalan, ya." Ia menghentikan langkahnya lalu menatapku.

Aku yang antusias mendengar ajakannya langsung saja menganggukkan kepala. Kami memang sering bepergian berdua, tapi sebatas untuk tujuan yang jelas. Misalnya mengerjakan tugas atau membeli buku. Baru kali ini ia mengajakku jalan diluar urusan pelajaran.

"Ada yang gelud woyy!!"

Beberapa siswa berlarian kearah Aula. Aku yang tidak tahu apa yang terjadi bingung hendak memutuskan kemana. Ku lihat Kak Dio yang tadi berdiri disampingku kini sudah berlari di depan. Aku memutuskan untuk mengikutinya.

"Brengsek lo!!"

"Lo pikir lo siapa, hah?!"

Semua orang berkumpul di samping Aula. Aku menerobos kerumunan untuk melihat apa yang terjadi. Ku lihat Kak Adnan dan David, anak yang terkenal nakal di Sekolahku, sedang adu jotos. Kak Dio berusaha memisahkan keduanya.

"Dav, udah. Lo mau bunuh temen lo sendiri hah?!" Kak Dio berteriak kearah David yang memukuli Kak Adnan dengan membabi buta.

Bukannya berhenti, David makin gencar melayangkan pukulannya. Ia menepis tangan Kak Dio dengan kasar. Sementara Kak Dio masih tak menyerah. Ia menarik kerah baju David hingga membuat sang empunya refleks melemparkan bogeman mentah kearahnya. Kak Dio tersungkur. Aku yang sudah panik setengah mati daritadi langsung berlari menghampirinya.

"Kak, kita ke UKS…" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, kulihat darah segar mengucur dari hidung Kak Dio. Kepalaku jadi pusing. Pelipis dan telapak tanganku dipenuhi keringat dingin. Aku yang tadi berniat memapahnya kini mundur sedikit demi sedikit.

Kak Dio terlihat bingung, "Fre, kenapa?" sesekali ia meringis dan memegangi hidungnya, berusaha menghentikan pendarahan. Beberapa siswa maju untuk menolongnya.

Guru BK dan security kampus sudah mengamankan David dan Kak Adnan. Beberapa siswa juga sudah membubarkan diri. Aku berusaha bangkit dan nengikuti Kak Dio yang dibawa ke UKS.

"Biar saya saja, Bu." Aku mengambil alih kompres dan es batu dari tangan Bu Mayang, penjaga UKS. Tidak ada lagi darah yang keluar dari hidung Kak Dio.

Laki-laki itu berbaring diatas ranjang dengan memejamkan matanya. Begitu melihatku datang ia berusaha untuk duduk.

"Baring aja Kak, gak papa." Ia kembali ke posisi semula. Aku mulai mengompreskan es batu ke pucuk hidungnya yang nampak memar. Ia meringis kesakitan, padahal aku sudah melakukannya sehati-hati mungkin.

"Kamu tadi kenapa?" Kak Dio bertanya padaku.

"Hah, nggak papa kok kak. Nggak papa. Cuma gak bisa lihat darah aja, hehe." Aku memang phobia dengan cairan kental berwarna merah tersebut. Entah kenapa setiap kali melihatnya, kepalaku mendadak pusing dan keringat dingin bercucuran.

Aku merasa malu, harusnya tadi aku menolongnya, justru aku menghindar dan menjadi orang terakhir yang mengunjunginya di UKS.

Kak Dio tersenyum, manis sekali. Demi kerang ajaib Spongebob, rasanya aku seperti ingin meleleh saja melihat senyumnya.

"Lukanya nggak serius kok. Kata Bu Mayang, 2 atau 3 hari nyerinya bakal hilang. Sekarang kamu bisa balik ke Kelas, bel sudah bunyi dari tadi."

Aku mengangguk. Meski masih ingin menemani Kak Dio, aku tetap berdiri untuk mengikuti instruksinya. Aku menutup pintu secara perlahan, namun aku ingat, masih ada yang belum ku sampaikan kepada Kak Dio, "Kak Dio, lekas sembuh. Nanti aku kesini lagi." Kepalaku menyembul dari balik daun pintu. Kak Dio tertawa melihatku, ia mengacungkan kedua jempolnya. Kali ini aku benar-benar meninggalkannya.

Suasana koridor nampak sepi, jam pelajaran sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Aku harus membuat alasan yang logis untuk bisa mengikuti mata pelajaran Bu Eli.

"Freya!"

Aku spontan berbalik ketika mendengar ada yang memanggil namaku. Ku lihat ada Kak Sherin berdiri didepan ruang guru. Entah apa yang ia lakukan, padahal ini sudah jam pelajaran. Ia berjalan mendekatiku.

"Eh Hai Kak Sherin." Aku menyapanya.

"Hai. Tadi malam aku sms kok nggak di bales?"

Aku menepuk jidat, baru ingat sejak malam aku menonaktifkan handphoneku karena tak ingin diganggu oleh siapapun dan sekarang malah tertinggal di rumah. "Hpku nggak aktif dari semalam Kak. Lowbat hehe."

Kak Sherin mengangguk-angguk. "Oh pantesan. Tapi nanti kalau udah aktif dibales kan?"

"Oh ya pasti dong Kak. Eh aku ke Kelas dulu ya Kak, mata pelajarannya Bu Eli nih."

Baru saja aku hendak melangkah, Kak Sherin kembali menahan langkahku. "Eh, Freya!" Ia berjalan mendekat.

"Iya Kak, kenapa?"

"Emm kamu pacaran sama Dio?"

Aku gelagapan dilemparkan pertanyaan semacam itu. Pasalnya kami memang dekat, hubungan kami bukan lagi cuma sebatas junior dan senior. Tapi tetap saja, masih tidak ada kejelasan status antara kami berdua. We are more than friends but less than a couple.

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. "Enggak Kak. Kami cuma deket. Kenapa?"

Kini giliran Kak Sherin yang gelagapan. "Enggak. Nggak papa. Cuma mastiin aja kalo itu cuma gosip." Ah aku sekarang paham, ternyata benar, gosip antara aku dan Kak Dio sudah tersebar. Awalnya aku mengira Kak Sherin adalah salah satu fans garis keras Kak Dio, dan dia akan menghakimiku. Ternyata dugaanku salah.

"Tolong bilangin yang suka nyebarin gosip ya Kak, lain kali kalo mau ghibah cari tau dulu sumber kebenarannya." Aku tersenyum paksa, merasa jengkel dengan mulut-mulut yang pandai merangkai cerita bohong.

Kak Sherin tersenyum. "Iya Dek, nggak usah khawatir. Ya udah sana masuk Kelas."

Aku bergegas menuju kelas setelah berpamitan dengannya. Sebenarnya aku tidak keberatan jika ada yang berkata seperti itu, hanya saja aku malu pada Kak Dio. Bisa saja ia mengira aku yang sengaja menyebarkan isu tersebut agar diakui sebagai pacarnya.

*****

Aku menutup buku yang sedari tadi asyik kubaca lalu mengalihkan perhatian pada jendela mobil angkutan kota yang sedang ku tumpangi. Tempat yang akan kutuju sudah dekat. Aku pun menyimpan buku kedalam ransel, lalu merogoh recehan dari saku seragamku.

"Kiri."

Ku serahkan recehan tersebut kepada kondektur, lalu bergegas turun.

Hari sudah menjelang sore. Lalu lalang kendaraan yang bersiap untuk pulang memadati jalanan. Asap yang berasal dari kendaraan mereka menyebabkan polusi yang membumbung tinggi diudara.

Aku celingukan memastikan tidak ada kendaraan yang ngebut dari arah kiri dan kanan, namun seperti rantai, mobil mobil sedan dan angkutan umum terus bergerak tanpa ada putusnya.

Ku lihat ada seorang bapak bapak yang berjalan tergesa disampingku. Sama sepertiku, ia juga ingin menyebrang. Aku mengikuti langkahnya yang begitu panjang. Aku kualahan karena kakiku yang pendek.

Aku berdiri di depan bangunan besar dengan tulisan "DWIPURNA GROUP" di atas plang pintu. Begitu memasuki ruangan tersebut, beberapa karyawan menyapaku dengan hangat. "Sore, Mbak Freya. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang karyawati menegurku.

Aku memutuskan mengunjungi Kantor Papa setelah batal menghabiskan waktu pulang sekolah bersama Kak Dio. Sejak terakhir Papa dan Mama bertengkar, Papa tidak lagi pernah pulang ke Rumah. Aku sudah mencoba menanyakan penyebabnya, namun ia hanya mengatakan sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

"Papa ada, Mbak?" Tanyaku.

"Ada, tapi tunggu sebentar ya, biar saya hubungi dulu."

Aku mencegah pergerakan karyawati itu untuk menghubungi Papa. "Gak usah, Mbak. Papa yang nyuruh saya datang kesini." Ucapku berbohong. Aku ingin datang tanpa sepengetahuan Papa sebelumnya, agar tahu apa yang sedang Papa lakukan hingga ia terlihat sibuk dan tidak pernah pulang.

Karyawati tersebut meletakkan kembali gagang telepon yang ia pegang. Meski terlihat ragu, namun ia tetap mempersilahkanku masuk.

Kulihat pintu rungan Papa tidak tertutup rapat, baru saja aku hendak membukanya terdengar suara percakapan.

"Mau bagaimana lagi, sampai disini saja."

"Kamu sudah gila? Bagaimana dengan anak-anak? Aku tidak sampai hati menyampaikan masalah ini sama mereka." Itu adalah suara yang amat sangat ku kenali. Suara Mama.

Aku tetap berdiam diri didepan pintu, berusaha mendengar apa yang sedang mereka perbincangkan.

"Saya sudah mengajukan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama."

Bagai disambar petir, rasanya duniaku runtuh seketika. Keluarga yang harmonis, keluarga yang selalu aku banggakan, haruskah hancur hanya karena keegoisan dua orang?

Aku tidak ingin lagi mendengar kelanjutan perdebatan mereka, aku mendorong pintu dengan kasar, "Mama papa mau cerai?" Tanyaku.

Mereka terlihat kaget melihatku. Dan tidak ada satu pun yang berani buka suara untuk menjelaskan.

"Mama sama Papa mau cerai?!" Kuulangi pertanyaanku untuk memastikan. Air mata sudah menumpuk di pelupuk mataku. Lidahku kelu seolah tidak lagi ada kata yang bisa kuucapkan selain kata-kata itu.

"Sayang, enggak. Kamu salah dengar." Mama maju dan berusaha menenangkanku. Namun aku menepis tangannya yang hendak menyentuh pundakku. Sementara Papa tetap berdiri ditempatnya namun terlihat frustasi.

"Mama sama Papa kenapa egois?!" Aku menyeka air mata dipipi secara kasar. "Mama sama Papa mau ngorbanin kebahagaiaan aku sama Ares?!"

Mama masih berusaha menenangkanku, namun kali ini ia tidak berbicara apa-apa.

"Akan jadi apa kami nantinya tanpa salah satu dari kalian?!" Aku berteriak, persetan dengan statusku sebagai anak yang seharusnya bersikap sopan kepada orang tuanya.

Mama memelukku dengan paksa meski aku meronta-ronta. Ia menangis. Aku tidak pernah bisa melihat Mama menangis. Bagiku tangisan Mama adalah kesedihan terbesar dalam hidupku. "Kenapa, Ma?!" Aku histeris dipelukan Mama.

"Maafin Mama sayang. Maaf."

Aku melepas pelukanku dari Mama, "Kenapa Papa tega?!" Kali ini aku berteriak didepan Papa--hal yang tidak pernah sekalipun kulakukan dalam hidupku. "Papa egois! Papa pikir dengan bercerai Papa bisa bahagia dengan dia?!" Seperti orang kesetanan aku berteriak-teriak memuntahkan kekesalanku.

"Freya! Jaga bicaramu!" Papa balik membentakku. "Kamu tidak tahu kebenarannya. Jangan bicara sembarangan!"

Aku semakin merasa tertantang mendengar Papa mengatakan hal itu. "Papa bilang aku gak tahu? Freya tahu semuanya, Pa. Freya tahu dengan siapa Papa selalu menghabiskan waktu, Freya tahu siapa perempuan tidak tahu diri itu…"

Plakkk

Papa menamparku. Papa yang selama ini kukenal lembut dan hampir tidak pernah memarahiku, hari ini melayangkan tamparannya kepadaku. Napasku tercekat ditenggorokan. Pipiku rasanya panas.

"Kamu bener-bener gila!" Mama histeris melihat apa yang dilakukan Papa terhadapku.

"Pa, aku adalah anak Papa yang selalu papa lindungi saat ada anak-anak kompleks yang jailin aku. Aku adalah anak Papa yang selalu Papa lindungi dari bahaya apapun. Aku adalah anak Papa yang tidak pernah Papa bentak sekalipun…" Bibirku bergetar mengatakan hal itu. "Tapi hari ini, hari ini Papa bentak aku, bahkan nampar aku. Papa kenapa?!" Air mata yang turun dari pelupuk mataku tak terhitung lagi jumlahnya.

Hidupku benar-benar sudah tidak berarti rasanya. Orang yang paling aku banggakan, orang yang paling aku sayangi, hari ini benar-benar telah menggoreskan luka yang begitu dalam. Luka ini tidak akan pernah hilang, sekalipun ada obat paling manjur dibubuhkan keatasnya.

"Aku nggak mau ketemu Papa lagi!"

Aku berlari keluar setelah mengatakan hal itu. Kulihat beberapa karyawan yang nampak kaget ketika melihatku. Sepertinya mereka menyaksikan apa yang terjadi sejak tadi.

Suara tangisku teredam bunyi klakson dan deru lalu lalang kendaraan. Aku terus berlari tanpa tujuan, seperti itik yang kehilangan induknya.

Bruuukk

Aku terjatuh. Lutut dan lenganku rasanya perih, namun hatiku jauh lebih perih. Ku bersihkan debu yang mengotori seragamku. Aku duduk meringkuk dipinggir trotoar dengan masih sesenggukan.

"Sini biar gue lihat."

Seorang anak laki-laki duduk mendekatiku dan mengamati lukaku dengan lekat. Ku lihat ia membawa botol kecil dan kapas serta beberapa hansaplast. Aku yang keheranan semakin dibuat heran saat ia menyentuh kakiku.

"Lo mau apa?!" Aku refleks berteriak, takut kalau-kalau laki-laki dihadapanku ini punya niat jahat.

"Luka lo perlu diobati. Atau lo bakalan sampai besok disini karena nggak bisa jalan." Ucapnya enteng.

Kali ini aku membiarkan ia menyentuh lututku. Aku berteriak ketika cairan alkohol menyentuh permukaan kulitku. "Sakit. Pelan-pelan bisa nggak sih?!" Aku membentaknya.

Dia tak menghiraukan teriakanku. Setelah lukaku bersih, ia menempelkan Hansaplast kebagian yang terluka.

"Sudah. Ayo bangun." Ia bangkit terlebih dahulu, lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

Aku menepis tangannya dengan kasar dan berusaha berdiri sendiri meski kesulitan. Laki-laki itu tertawa seolah merendahkanku.

Selanjutnya ku lihat ia berlari menghentikan angkutan umum. Awalnya aku mengira ia akan pulang. Namun perkiraanku salah.

"Naik sana." Perintahnya.

"Nggak usah. Gue ada jemputan." Ucapku berbohong.

Dia menarik tanganku dengan paksa lalu menyuruhku masuk kedalam angkot. Merasa tak ada pilihan, akhirnya aku menurut saja.

"Bang, bawa dia pulang. Tanyain dimana rumahnya." Ucapnya pada Pak Sopir.

"Siap."

Ia tetap berdiri ditempatnya sampai angkot yang ku tumpangi melaju jauh. Aku tidak tahu siapa dia. Jika diperhatikan dari seragam yang dilkenakan, ia bukan berasal dari Sekolahku. Aku mencoba mengingat-ingat wajah teman-temanku satu persatu. Namun tetap saja aku tidak mengenalinya. Bagaimana bisa ia nenolongku dengan begitu telatennya, bahkan aku saja tidak mengenalinya sama sekali. Lagipula, dia sudah seperti pahlawan Hansaplast saja. Lukaku hanya sedikit, tapi dia membawa serenteng Hansaplast yang tidak ku tau darimana asalnya. Kepalaku mendadak pusing. Hari ini benar-benar banyak hal tak terduga yang terjadi.

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak setiap kali membaca dengan cara like, vote atau comment. Gomawoyo💕

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!